Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3734 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Rozanah
"ABSTRAK
Infeksi saluran nafas akut (ISNA), baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri seperti 'common cold', faringitis trakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia dan bronkopneumonia masih merupakan masalah yang penting di berbagai negara oleh karena prevalensinya yang masih sangat tinggi.
'Committee on Child Health Services' di London tahun 1978 melaporkan bahwa 50% penyakit anak balita ialah infeksi saluran nafas dengan kematian sebanyak 2000/tahun dan 21.1% di antaranya perawatan di rumah sakit dengan kematian sekitar 34.7%. (Martin dkk.,1978).
Dalam beberapa tahun belakangan ini perhatian terhadap ISNA semakin meningkat setelah penyakit diare akut berhasil dikontrol. Walaupun sebagian besar infeksi adalah infeksi saluran nafas bagian atas (ISNA-A), namun infeksi saluran nafas bagian bawah (ISNA-B) cukup memberi masalah bagi seorang dokter (Denny dan Clyde,1988).
Di negara sedang berkembang, 20-25% kematian anak balita disebabkan oleh ISNA. Jenis ISNA yang merupakan penyebab kematian terbesar adalah pneumonia (WHO,1981) ; dan pneumonia merupakan salah satu komplikasi dari bronkitis.
Bronkitis sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1808, pertama kali dikemukakan oleh Badham (dikutip oleh Holland, 1982) . Walaupun pengetahuan mengenai paru-paru dan penyakit saluran nafas makin meningkat, namun sampai sekarang istilah bronkitis masih sering dipergunakan terhadap semua penyakit dengan gejala batuk (Turner,1983).
Dahulu bronchitis kurang mendapat perhatian, terbukti hanya
ditemukan 3 artikel mengenai bronkitis antara tahun 1935 - 1959. Setelah diadakan simposium mengenai bronkitis oleh para ahli di
Britania Raya dan Irlandia pada tahun 1951, minat para ahli terhadap bronkitis semakin meningkat (Fletcher,1959). Bronkitis akut jarang dibicarakan secara khusus ; para ahli umumnya membicarakannya sebagai salah satu sindrom klinis ISNA bawah yang terdiri dari `croup', trakeobronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Landau,1979 ; Denny dan Clyde,1986).
Bronkitis akut sebenarnya adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai saluran nafas besar termasuk bronkus besar dan bronkus sedang dan biasanya disertai trakeitis (Edwards,1966 ; Williams dan Phelan,1975). Penyakit ini dapat timbul karena infeksi menurun dari saluran nafas atas atau infeksi primer pada percabangan trakeobronkial. Infeksi dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Di negara maju hampir 90% infeksi saluran nafas atas maupun bawah disebabkan olaeh infeksi virus sedangkan di negara berkembang infeksi bakteri memegang peranan yang lebih besar (Williams dan Phelan, 1975 ; Denny dan Clyde, 1985). Di Indonesia saat ini belum pernah ada laporan mengenai faktor etiologi pada bronkitis akut ini.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.M. Azhari
"Karya kedua dari Panca Karya Husada ialah pengembangan tenaga kesehatan. Karya ini bertujuan untuk meningkatkan upaya pembangunan dan pembinaan tenaga kesehatan, dimana salah satu programnya adalah pengembangan karier. Pengembangan karier bertujuan untuk mengadakan pembinaan tenaga berdasarkan sistem karier dan prestasi kerja. Dengan demikian terdapat kejelasan tentang pola pengembangan pendidikan dan latihan, kejelasan tentang kriteria penilaian kenaikan pangkat/promosi dan penunjukan dalam jabatan.
Untuk melaksanakan semua kegiatan diwilayah kerjanya, Puskesmas memerlukan tenaga pelaksana terutama dokter Puskesmas yang rela bekerja dengan penuh pengabdian dan dengan dedikasi tinggi. Sebagai rangsangan dan dorongan kepada dokter yang bekerja di Puskesmas, pemerintah telah melaksanakan Program Pemilihan Dokter dan Paramedis teladan.
Program Pemilihan dokter Puskesmas teladan sudah berjalan 10 tahun tetapi belum pernah dilakukan evaluasi. Apakah ada dampak penghargaan teladan terhadap pengembangan karier dokter Puskesmas yang meliputi kenaikan pangkat istimewa atau pilihan, promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Disamping itu apakah ada juga dampaknya terhadap kepemimpinan, prestasi kerja dan motivasi dokter Puskesmas.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang pengembangan karier dokter Puskesmas teladan serta faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pengembangan karier dokter Puskesmas teladan ialah kepemimpinan, prestasi kerja dan motivasi dokter Puskesmas.
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan tehnik analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis dilakukan dengan analisis persentase dengan uji Chi-square. Penelitian dilakukan terhadap 31 orang dokter Puskesmas teladan tingkat Kabupaten/Kotamadya yang masih bekerja di Propinsi Sumatera Selatan. Sebagai pembandingnya adalah dokter Puskesmas non teladan dengan jumlah yang sama.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dengan analisis persentase dan dengan hasil uji Chi-square ada perbedaan yang bermakna, ternyata ada hubungan antara penghargaan teladan dengan promosi jabatan. Dengan analisis persentase walaupun dengan uji Chi-square tidak ada perbedaan bermakna, penelitian ini memperoleh hasil ada hubungan antara penghargaan teladan dengan kepemimpinan, prestasi kerja, kenaikan pangkat, dan pendidikan jenjang karier.
Penelitian juga memperoleh ada hubungan antara kepemimpinan dengan promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Penelitian juga memperoleh ada hubungan antara prestasi kerja dengan promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier, serta ada hubungan antara motivasi dengan kenaikan pangkat, promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier. Sedangkan hasil penelitian yang memperoleh tidak ada hubungan adalah hubungan antara penghargaan teladan dengan motivasi, kepemimpinan dengan kenaikan pangkat, prestasi kerja dengan kenaikan pangkat, promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier.
Peneliti mengemukakan beberapa saran yaitu perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel dan daerah penelitian yang lebih luas, pada pemilihan dokter teladan penilaian kepemimpinan tidak hanya dilihat dari DP-3 tapi ditambah dengan penilaian bersifat observatif atau dengan cara penilaian pada penelitian ini, penilaian prestasi kerja juga ditambah dengan cara penilaian lain, SKB tiga Menteri agar cepat diterbitkan, untuk promosi jabatan dan pendidikan jenjang karier seyogyanya predikat teladan mendapat prioritas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi Cokroharjono
"ABSTRAK
Tanah longsor sebagai gejala alam merupakan salah satu penyebab yang bisa merusak hutan lindung pada kawasan Taman Nasional gunung Gede-Pangrango (Tamnas GEPANG).
Sehingga sangat relevan, suatu penelitian untuk menentukan teknik mengidentifikasi lokasi tanah longsor potensial, agar bisa diambil sikap yang tepat.
Tanah longsor berkait erat dengan stabilitas lingkungan alami. Stabilitas lingkungan alami terpengaruh oleh beberapa aspek gejala atau fenomena alami. Maka untuk mengidentifikasi potensi lokasi tanah longsor, perlu diungkap lebih dahulu gejala-gejala alami yang mempengaruhi stabilitas lingkungan.
Untuk itu dikembangkan konsep Potensi Kerapuhan Lingkungan Alami (PKLA), yaitu himpunan dalam kesatuan ruang dari kekuatan, sifat, dan keadaan gejala alam yang secara potensial mempunyai daya merusak terhadap lingkungan hidup.
Ada empat variabel yang secara potensial mempengaruhi stabilitas lingkungan, yaitu keterjalan lereng (XI), intensitas hujan (X2), tekstur tanah (X3), dan tutupan vegetasi (X4).
Da1am rangka menelaah bahwa PKLA merupakan indikator lokasi tanah longsor potensial, dilakukan dengan pendekatan ilmu lingkungan. Pendekatan yang dikembangkan dari kombinasi pendekatan ekologi dengan pendekatan geografi ini, bertumpu pada prinsip interdisiplin, prinsip spatial, serta prinsip orientasi kedepan.
Prinsip interdisiplin mengakomodasikan konsep-konsep yang ada pada geografi fisik, geologi, geomorfologi, ilmu tanah, ekologi, dan klimatologi.
Prinsip spatial atau prinsip ruang menghendaki digunakannya peta sebagai alat analisis.
Prinsip orientasi kedepan menghendaki dilakukannya peramalan wilayah (regional forecasting).
Nilai PKLA (pkla) atau nilai kumulatifnya dihitung dengan menggunakan teori himpunan (set theory), yang aplikasinya menggunakan diagram Venn. Dengan teknik tumpang tindih {super impose), nilai-nilai PKLA (pkla) secara hierarkis dikembangkan dari PKLA (pkla) berdimensi satu, menjadi PKLA (pkla) berdimensi dua, lalu meningkat menjadi PKLA (pkla) berdimensi tiga, dan terakhir menjadi PKLA (pkla) berdimensi empat. Dari proses ini akan diperoleh jumlah konstribusi PKLA (pkla) elemen dari masing-masing dimensi terhadap pembentukan PKLA universe. Di samping itu dapat pula dihitung bobot konstribusi relatif pkla masing-masing himpunan bagian (sub-das). Ternyata hanya sub-das yang mempunyai bobot konstribusi surplus yang mempunyai potensi tanah longsor.
Tanmnas GEPANG yang terbentuk oleh 40 sub-das, ternyata 26 sub-das diantaranya, mempunyai potensi tanah longsor; sepuluh sub-das mempunyai potensi tanah longsor tinggi, dua belas sub-das nempunyai potensi tanah longsor menengah, empat sub-das mempunyai potensi tanah longsor rendah.
Potensi tanah longsor bisa menjadi faktual atau menjadi kenyataan bila rezim hujan menunjukkan sifatnya yang ekstrim. Ini bisa terjadi pada bulan-bulan Desember atau Januari yaitu pada saat terjadi hujan maksimum. Dan lebih besar kemungkinannya untuk terjadi pada bulan-bulan Maret atau April yaitu pada saat hujan maksimum sekunder.
Namun ada fakta lingkungan yang menarik, yaitu pada tempat-tempat di mana hujan menunjukkan peranan kuat untuk menjadikan massa tanah tidak stabil yang di satu pihak memungkinkan terjadinya longsoran,maka peranan tutupan vegetasi di tempat itu dalam menjaga kestabilan massa tanah, yang di pihak lain mencegah terjadinya longsoran juga kuat.
Ini menunjukkan bahwa lingkungan alami pada hakekatnya selalu menjaga keseimbanganya sendiri.
Dalam hal ini sikap mendasar yang perlu diambil adalah minimal menjaga keseimbangan yang ada.
Namun lebih bijaksana bila keseirrbangan itu diubah dengan kecenderungan peranan tutupan vegetasi sebagai faktor yang menjaga kestabilan massa tanah diperkuat fungsinya. Ini berarti bahwa. wi.layah hutan lindung perlu diperluas, terutama pada sub-das - sub-das yang mempunyai potensi tanah longsor tinggi.

ABSTRACT
Potential Natural Environment Fragility As An Indicator For Potential Landslide Location:The case of Mount Gede-Pangrango National ParkAs a natural phenomenon, landslide is one of the causes which is capable of damaging the protected forest in the area of Mount Gede-Pangrango National Park {Tamnas GEPANG). It is so relevant that a research should be conducted for discover a technique of identifying the potential landslide location in order to be to take correct measures.
Landslide is closely related to natural environment stability. Several indicative aspects or natural phenomena influence the natural environment stability. Therefore, in order to identify potential landslide location, it is necessary to reveal the national-phenomena, which influence the environment stability.
Therefore, a concept of Potential Natural Environment Fragility - (PNEF), whish is a system of power, character, and a state of natural phenomena having potentially damaging force against environment, is developed.
There are four variables viz.; slope steepness (X1), rainfall intensity (X2), soil texture (X3), and vegetation covering (X4).
In analyzing that PNEF is used as an indicator for potential landslide location, an approach using environmental science is conducted. The approach, which is developed from ecological a geography cal approach, is based-on interdisciplinary principles, spatial principle, and future-oriented principle.
The interdisciplinary principle constitutes concepts prevailing in physical geography, geology, geomorphology, pedology, ecology and climatology.
The spatial principle needs the use of maps as means of analysis. The future-oriented principle calls for regional forecasting complementation.
M EE' value or its cumulative value is calculated by using a set theory whose application uses Venn's Diagram- By employing superimpose technique, the PNEF values are hierarchically developed from PNEF of one dimension to PNEF of two dimension, then increased to PNEF of three dimension, and finally to PNEF of four dimension.
From this process, total contribution of elemental PNEF from respective dimension to the formation of universal PNE will be obtained. Apart from that, the relative contribution quality of PNEF from each sub catchments area can be calculated. It appears that only sub-catchments area having the surplus contribution quality- has landslide potential.
GEPANG National Park comprising 40-sub catchments area, 26 out of with have landslide potential. The have high landslide potential; the other twelve have medium, and the other four low landslide potential.
The landslide potential may turn into reality when rainfall shows its extreme characteristics. Under the circumstances it can hap pen in the month of December or January when the rainfall reaches its peak. And more likely, it can take place in the month of March or April at the time when the rainfall is at its secondary maxi nun.
Nevertheless, there is an-interesting environmental feature, that at places where on the hand rainfall plays an important role in forming unstable mass of land, landslide is likely occur, but on the other hand the vegetation covering at the identical places keeps the stability of the mass of land and thus prevents landslide-probability.
This shows that natural environment, properly speaking, always keeps its own equilibrium.
For this reason, a fundamental attitude towards this particular case necessarily to be taken is at least to keep the existing equilibrium.
However, it will be recommendable if the equilibrium is altered to an inclination that the role of vegetation covering as a functional factor which preserves-the land mass stability is stimulated.
Consequently, it means that protected forest areas should be enlarged, especially in the catchments areas which have high landslide potential.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Aries Djaenuri
"ABSTRAK
Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional, pemerintah memberikan perhatian yang sebesar-besarnya pada pembangunan di pedesaan. Perhatian yang besar terhadap pedesaan itu didasarkan pada kenyataan bahwa desa merupakan tempat berdiamnya sebagian besar rakyat Indonesia, kedudukan desa dan masyarakat desa merupakan dasar landasan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Di dalam prosesnya, pembangunan desa terdiri dari dua unsur utama yaitu partisipasi atau swadaya masyarakat dan pembinaan pemerintah atau dengan kata lain ada dua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan desa yaitu masyarakat dan pemerintah.
Berbagai pendapat menyatakan bahwa partisipasi masyarakat desa merupakan salah satu ciri dari pembangunan desa dan merupakan unsur utama yang berpengaruh besar bagi berhasilnya pembangunan desa. Oleh karena itu banyak kegiatan yang dilaksanakan khususnya oleh pemerintah untuk meningkatkan partisipasi, bahkan keberlangsungannya terus diupayakan dan dijaga.
Di Kecamatan Tambun partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, di masing-masing desanya tidak sama tinggi rendahnya.
Di sisi lain berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa aspek kepemimpinan Kepala Desa merupakan salah satu aspek yang menonjol dan berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan desa.
Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka pokok permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaruh kepemimpinan Kepala Desa terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa serta seberapa besar pengaruh faktor kepemimpinan Kepala Desa terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di Kecamatan Tambun.
Berdasarkan telaahan teori dan pendapat para sarjana dapat diungkapkan bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan secara bervariasi. Dalam hubungannya dengan upaya menggerakkan partisipasi masyarakat, definisi yang dapat digunakan adalah definisi dinamis. Yang pada hakekatnya berintikan pelaksanaan fungsi penggerakan dan pengarahan.
Kepala Desa sebagai wakil pemerintah dan pemimpin masyarakat desa melakukan fungsi yang sama dalam upaya menggerakkan partisipasi masyarakat di desanya. Lebih lanjut dari telaahan teori dapat disimpulkan bahwa secara teoritis terdapat hubungan antara kepemimpinan Kepala Desa dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.
Mengacu pada telaahan ini maka hipotesis yang dapat dikemukakan adalah :
1. Ada pengaruh positif antara kepemimpinan Kepala Desa dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa.
2. Dengan kepemimpinan yang tinggi dari Kepala Desa dalam menggerakkan anggota masyarakat desa akan meninggikan tingkat partisipasi dalam proses pelaksanaan pembangunan desa.
Untuk menguji kebenaran dari kedua hipotesis di atas, delakukan penelitian lapangan. Dua variabel yang diteliti adalah kepemimpinan Kepala Desa sebagai variabel bebas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa sebagai variabel tergantung. Variabel bebas terdiri dari dua sub variabel yaitu penggerakan (motivasi) dan pengarahan, sedang variabel tergantung terdiri dari empat sub variabel yaitu partisipasi dalam Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan dan Pemanfaatan hasil pembangunan. Lokasi yang dipilih menjadi sampel adalah tiga Desa Swakarya, Tiga Desa Swasembada, untuk Responden dipilih dari empat golongan yaitu Kepala Desa, Aparat Desa (Pamong Desa), Pemuka masyarakat Desa dan masyarakat Desa.
Dari hasil kajian diperoleh informasi bahwa hipotesis pertama teruji kebenarannya, bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan Kepala Desa dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa dengan Nilai 0,53234.
Lebih lanjut dari hasil analisa Regresi diperoleh informasi bahwa ada pengaruh positip variabel bebas terhadap variabel tergantung dengan persamaan Y = 2,05315 + 0,20?57 X.
Dengan persamaan ini hipotesis kedua teruji pula kebenarannya, semakin tinggi Nilai X (kepemimpinan Kepala Desa) akan semakin tinggi Nilai yang diperoleh variabel Y (partisipasi masyarakat). Adapun sumbangan pengaruh kepemimpinan Kepala Desa terhadap partisipasi masyarakat adalah 28,339 %.
Oleh karena itu untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa, disarankan hal-hal antara lain seperti :
1. Lebih memberikan peranan kepada Kepala Desa untuk mengambil keputusan yang menyangkut pembangunan di desanya.
2. Hendaknya Kepala Desa memperhatikan benar kepentingan/kebutuhan masyarakat setempat, dalam pembuatan rencana Pembangunan Desa:
3. Hendaknya memberi tauladan yang baik, sejauh mungkin memberi bantuan dan memberikan penghargaan secara formal ke pada anggota masyarakat yang berprestasi.
4. Kepala Desa hendaknya lebih intensif memberikan penerangan tentang manfaat proyek pembangunan desa yang akan dilaksanakan.
5. Kepala Desa hendaknya bekerjasama dengan Pemuka Masyarakat dan meningkatkan kegiatan LKMD dan aktivitas pengurusnya.
6. Kepala Desa hendaknya menghimbau masyarakat untuk mengawasi jalannya pembangunan Desa dan menilai terhadap pelaksanaannya.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buraerah H. Abd Hakim
"Fertilitas ialah jumlah kelahiran hidupyang dihasilkan oleh seorang wanita selama aktifitas masa reproduksinya tetap berlangsung, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor langsung maupun tidak langsung. Dari keempat determinan fertilitas, penggunaan kontrasepsi memberikan dampak positif, dan pengaruhnya bervariasi sehubungan dengan prevalensi "Current user". Dari data sekunder tahun 1988 menunjukkan fluktuasi pemakaian kontrasepsi di Sulawesi Selatan dan kenyataan itu secara langsung atau tidak langsung memberi konsekuensi meningkatnya tingkat fertilitas di Sulawesi Selatan terutama golongan umur 20 - 44 tahun.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder, Survey Pencapaian Program Keluarga Berencana Serta Pengaruhnya Terhadap Fertilitas di Sulawesi Selatan tahun 1988. Yang termasuk responden adalah Pasangan Usia Subur, yaitu ibu yang sejak penelitian ini dilakukan berada di dalamkeadaan status kawin dan berumur 15 -40 tahun, serta menggunakan salah satu jenis alat kontrasepsi. Dalam pengolahan dan analisa data, digunakan program SPSS, sedangkan perkiraan besarnya TFR diterapkan cara yaitu dikemukakan oleh Bongaart, yang memperhitungkan TFR langsung dari faktor-faktor yang dianggap berpengaruh. Dalam penelitian ini akan dihitung besarnya TFRuntuk empat Kabupaten serta masing-masing Kabupaten, kemudian mempelajari pola serta perubahan fertilitas sehubungan dengan perubahan dari faktor-faktor yang dianggap mempengaruhinya. Setelah itu secara khusus akan dipelajari besarnya dampak masing-masing determinan fertilitas terhadap ?Total Fecundity " ( TF ) utamanya penggunaan kontrasepsi, baik untuk empat Kabupaten maupun per Kabupaton. Dalam menentukan besarnya TFR dan faktor-faktor yang meinpengaruhinya diterapkan cara Bongaart, sedangkan pola fertilitas akan dihitung menurut umur ibu, selanjutnya perubahan fertilitas dinilai berdasarkan grafik 5 dan 6.
Dari basil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:
1. TFR untuk empat Kabupaten adalah 3,4 kelahiran perwanita, sedangkan untuk masing-masing Kabupaten adalah Jeneponto 2,9 kelahiran perwanita; Luwu 3,2 kelahiran perwanita; Barru 2,5 kelahiran perwanita; dan Bone 5,1 kelahiran perwanita.
2. Pola fertilitas menurut umur ibu untuk empat Kabupaten berbentuk hurup U terbalik, dan pola tersebut bervariasi menurut Kabupaten.
3. Tingkat fertilitas mengalami perubahan untuk tiga tahun terakhir baik untuk empat Kabupaten maupun masing-masing Kabupaten.
4. Penggunaan kontrasepsi mempengaruhi tingkat fertilitas di Sulawesi Selatan baik untuk empat Kabupaten maupun masing-masing Kabupaten.
5. Untuk masing-masing Kabupaten pengaruh tersebut bervariasi dan cenderung ditentukan oleh prevalensi current user yang ada setempat.
Dengan melihat pada keempat determinan fertilitas yang termasuk dalam rumus Bongaart maka proporsi wanita usia subur status kawin, masa tidak subur selama masa menyusui, pengaruhnya hampir merata pada semua Kabupaten, sedangkan dua determinan lainnya yaitu keguguran dan penggunaan kontrasepsi pengaruhnya bervariasi menurut Kabupaten. Disarankan bahwa untuk menekan tingkat fertilitas di Sulawesi Selatan perlu ditingkatkan penggunaan kontrasepsi secara aktif, serta mempertahankan lamanya menyusui. Perlu dilakukan penelitian yang berskala lebih luas untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi dan efektifitas penggunaannya. Bahwa metode Bongaart merupakan cara yang cukup baik dan sederhana untuk memperkirakan besarnya TFR sehubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanti Herlambang
"ABSTRAK
Banyak pimpinan perusahaan memandang uang sinonim dengan motivasi dan uang digunakan sebagai suatu resep untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dibidang motivasi kerja.
Whyte (dikutip dari Saul W. Gellerman, 1984) menunjukkan, bahwa selama berpuluh-puluh, bahkan beratus ratus tahun uang dipandang sebagai satu-satunya pertimbangan yang dipikirkan oleh para karyawan dan bahwa manusia mencurahkan tenaga dan waktunya bukan tanpa perhitungan akan imbalan-imbalan yang kelak diterimanya sebagai hasil tindakannya. Bahkan ada orang-orang tertentu yang bereaksi terhadap uang lebih daripada yang lain. Lalu apakah makna uang tersebut bagi masing masing individu, sehingga mereka bersedia menghabiskan sebagian besar waktu, tenaga dan pikiran mereka untuk mengumpulkannya ? Mungkin jalan pintas yang terbaik untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan bertanya secara langsung kepada para karyawan mengenai makna uang bagi mereka.
Lawler (1971) berdasarkan pengumpulan hasil-hasil penelitian yang dilakukannya menemukan hampir duapertiga laporan menilai uang menduduki satu diantara tiga insentif kerja yang terpenting. Jumlah rata-rata jenis jenis insentif yang diteliti adalah 12 dan dalam salah satu dari penelitiannya tersebut Lawler menjumpai bahwa hanya dua dari 49 karyawan yang menjadi subyek penelitian menempatkan uang pada nomor urut di bawah 6.
Hampir satu diantara 4 karyawan tersebut menempatkan uang pada nomor urut 1 dan pada waktu ditanya secara langsung, mereka mengakui bahwa uang sangat penting sebagai suatu insentif kerja.
Mungkin tidak ada topik lain dalam manajemen organisasi kerja yang lebih banyak diperdebatkan, lebih dipertentangkan dan lebih banyak menimbulkan salah paham, selain uang. Sebabnya tidak sukar dipahami. Uang/imbal an uang merupakan pas biaya yang penting bagi organisasi.
Di Indonesia, riset mengenai makna uang bagi para karyawan dan kondisi-kondisi yang mempengaruhinya masih sangat sedikit. Lagipula hal ini merupakan masalah yang sangat peka. Justru karena hal ini amat peka, maka sukar mendapatkan jawaban yang tepat berdasarkan perumusan dan data yang ketat, yang diterima umum.
Buku-buku, tulisan-tulisan dan seminar-seminar mengenai pertumbuhan organisasi seringkali hanya sedikit sekali membicarakan makna psikologis uang bagi para karyawan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan utama mereka, sehingga uang mampu mempengaruhi perilaku karyawan serta menentukan keefektifan organisasi.
Sekilas pandang sukar untuk menerangkan mengapa segi keorganisasian yang demikian penting tersebut tidak mendapat perhatian lebih banyak. Bagaimanapun juga, segi uang/imbalan uang dapat mempengaruhi , keefektifan organisasi dan dapat memainkan peranan penting dalam mengendalikan perilaku para karyawan. Dengan demikian perlu mendapat perhatian dalam upaya pertumbuhan organisasi. Uang merupakan segi yang lebih bersifat materialistis diantara sekian alasan mengapa orang bekerja. Dan untuk sebagian orang, mencari uang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang lebih rendah tingkatnya. Namun banyak profesional dibidang pengembangan organisasi merasa segan untuk membicarakan tentang pengimbalan uang, bila penekanannya hanya semata-mata dari segi keuntungan atau kerugian ekonomis saja serta memandang kerja semata-mata untuk mencari uang. Sebab manusia bukan hanya makhluk ekonomis, melainkan juga makhluk sosial--psikologis yang kompleks. Para ahli tersebut menginginkan segi kemanusiaan lebih memperoleh perhatian di tempat-tempat kerja (Lawler, 1983)."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Ngurah Anom Kumbara
"Masalah sehat sakit adalah merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya (Kleinman 1978: 252; Lieban 1973: 1034). Dengan demikian kesehatan merupakan kondisi yang dinamis dan beragam secara ajeg dari individu atau atau kelompok (Audy 1971; Rudy dan Dunn 1974). Ancangan ini menekankan pada gagasan bahwa kesehatan mungkin bisa berubah dan berfluktuasi dari suatu titik ketitik yang lain dalam waktu berikutnya seperti antara kondisi sehat, sakit dan mati.
Ancangan pengertian atau konsep sehat tersebut berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh World Health Organization WHO bahwa sehat adalah a state of complete physical, mental and social wellbeing, and not merely the absence of disease and infirmity.
Kalangan ilmuwan sosial dan beberapa ahli kedokteran tidak menerima rumusan ini karena mengandung kelemahan dasar. Selain rumusan ini bersifat utopis, juga menunjukkan bahwa kondisi ini bersifat statis dan mutlak menurut ukuran-ukuran yang dianggap universal. Padahal di dalam kenyataannya secara budaya kondisi sehat sakit bervariasi antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain, dalam satu masyarakat yang luas (variasi antar budaya dan variasi infra budaya ). Selain dari itu ide﷓ide kesehatan senantiasa dikaitkan dengan kemampuan profesional individu dalam menjalankan peranan-peranan sosial dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat (Wilson 1970: 92; Kalangie 1982: 46).
Konsep kesehatan bukanlah terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah biologis, tetapi dia juga berkaitan dengan konsep sosial sebagai proses interaksi manusia dengan lingkungannya dalam upaya mencapai keseimbangan optimal dan menguntungkan. Karena itu status kesehatan merupakan masalah yang rumit yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: faktor genetik dan kependudukan, faktor pelayanan kesehatan, faktor lingkungan dan faktor prilaku manusia (Blums 1974 : 3).
Faktor tingkah laku dan faktor lingkungan berperan menonjol, sehingga dalam upaya peningkatan derajat kesehatan, kedua faktor itu dipandang sebagai faktor yang amat menentukan.
Faktor kemiskinan dan keterbatasan sumber daya sering mendasari gangguan kesehatan dalam bentuk kekurangan gizi, sanitasi yang buruk, menurunnya daya tahan tubuh dan mudahnya kena penyakit infeksi maupun parasitis, serta kurang memadainya pelayanan kesehatan.
Kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi pada kelompok miskin untuk mendapatkan kebutuhan dasar pangan yang cukup, air bersih yang sehat, lingkungan yang baik serta pelayanan kesehatan yang memadai, mempengaruhi status kesehatan kelompok ini (Eckholm 1981 : 3; Pherson 1987: 128; Chambers 1987: 1).
Masalah gizi salah ( malnutrition) baik yang bersifat kelebihan gizi (over nutrition) maupun yang kurang gizi, (under nutrition) dengan berbagai implikasinya merupakan fenomena yang amat luas dan kompleks. Kelaparan dan kekurangan gizi merupakan hambatan yang paling besar bagi perbaikan kesehatan pada sebagian besar penduduk negara-negara dunia ke tiga.
Masalah kelebihan gizi (over nutrition) merupakan gambaran kenyataan yang umumnya ada di negara-negara industri maju dan beberapa negara-negara sedang berkembang sebagai kelompok minoritas yang tingkat ekonominya tinggi, menampaknya pola penyakit dan gambaran klinis yang berbeda dengan yang menderita kekurangan gizi. Pola penyakit dan gambaran klinis yang ada pada kelompok ini biasanya merupakan bentuk penyakit kronis yang tidak menular seperti penyakit lever, hipertensi, gangguan jantung, obesitas, pshikosomatis, diabetes dan sakit gigi (Sanjur 1982: 7 ). Pola penyakit seperti ini merupakan konsekwensi dari perilaku diet, di mama faktor-faktor sosio budaya dan psikologis, kemungkinan besar juga berkontribusi besar dan menentukan."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aus Al Anhar
"ABSTRAK
APK TS Banjarmasin adalah salah satu institusi pendidikan tenaga kesehatan lingkungan didirikan tahun 1983 dan sampai akhir tahun 1988 sudah menghasilkan lulusan sebanyak 151 orang. Pendirian institusi ini terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan lingkungan setingkat S0/D III pada propinsi-propinsi di Kalimantan; dan diharapkan dapat menunjang pelaksanaan upaya peningkatan kesehatan masyarakat umumnya dan bidang kesehatan lingkungan khususnya.
Program pelayanan kesehatan sejak awal 1980-an mencanangkan kesehatan untuk semua orang pada tahun 2000 melalui upaya kesehatan primer ( Primary Health Care), dengan salah satu bentuk kegiatan adalah upaya penggalian potensi dan partisipasi masyarakat. Di Indonesia hal tersebut di operasionalkan dengan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) dan kemudian lebih disederhanakan dalam bentuk kegiatan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Melihat adanya kebutuhan upaya penggalian potensi dan partisipasi masyarakat, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah tenaga kesehatan lulusan suatu institusi pendidikan tenaga kesehatan (dalam hal ini APK TS) mempunyai kemampuan untuk melakukannya pada bidang keahliannya, sesuai (relevan) dengan kemampuan pelaksanaan yang diharapkan.
Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui kesesuaian (relevansi) antara nilai hasil belajar dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi dimaksud, sebagai upaya evaluasi terhadap proses pembentukan kemampuan (selama proses pendidikan) dengan memperhatikan mata-mata kuliah yang dianggap mempunyai kontribusi untuk itu.
Penelitian ini bersifat deskriftif dengan rancangan cross sectional . Dilihat dari segi program pendidikan, penelitian ini bersifat evaluatif prediktif . Dilakukan terhadap lulusan APK TS Banjarmasin yang bekerja di Puskesmas di seluruh Propinsi Kalimantan Selatan. Analisis dilakukan secara kualitatif dan uji statistik Chi kuadrat (dan derivatnya).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai UKP responden cenderung rendah, kemampuan untuk melaksanaan fungsi UKP relatif belum sesuai, kecuali untuk fungsi 1 dan 3, sedang pada bidang kemampuan tersebut relatif tinggi pada bidang FAB dan PTA.
Relevansi antara nilai UKP dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi UKP secara kualitatif hanya terdapat pada beberapa fungsi, yaitu fungsi 1 dan 2 bidang PTA, PS, STTU dan HSM; pada fungsi 3 bidang PAB, PTA, STTU, HSM dan KL; fungsi 4 dan total pada bidang STTU. Walaupun secara statistik diperoleh hasil perhitungan, bahwa nilai UKP masing-masing bidang tidak mempunyai relevansi dengan kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi UKP pada bidang yang bersangkutan.
Di lihat dari segi karakteristik responden, beberapa karakteristik mempunyai hubungan secara kualitatif dengan kemampuan pelaksanaan fungsi UKP yaitu angkatan pendidikan, masa kerja total dan masa kerja di Puskesmas, pengalaman kerja, penataran/latihan yang pernah diikuti, strata puskesmas, masa kerja atasan dan lokasi puskesmas. Secara statistik hubungan tersebut bermakna pada masa kerja responden dan masa kerja atasan untuk bidang PAB dan PTA.
Saran yang dikemukakan oleh penulis antara lain bahwa nilai hasil belajar tidak dapat dipergunakan sebagai satu-satunya indikator kemampuan, supaya disusun suatu acuan minimal penguasaan kemampuan dari suatu proses pendidikan (critical competency), pemikiran perbaikan ataupun peningkatan pola pemberian materi belajar serta penelitian dengan skala yang lebih luas dan dalam terutama untuk tujuan penetapan standar dan kriteria pemanfaatan tenaga menurut jenisnya."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofyan Anwar Mufid
"Dalam Islam, ulama adalah pemimpin umat. Keberadaan mereka dibutuhkan oleh masyarakat Kotamadya Banda Aceh yang 95% penduduknya memeluk Agama Islam. Islam mempunyai konsep bersih yang luas untuk kepentingan ibadah dan kepentingan kebersihan lingkungan.
Namun potensi seperti di atas belum banyak menunjang program kebersihan di Kotamadya Banda Aceh untuk mewujudkan kota bersih sesuai dengan peraturan yang berlaku. Masalah yang diteliti berkisar pada sejauh mana peranan ulama yang berfungsi sebagai motivator dalam sistem pengelolaan kebersihan, pengetahuannya dalam makna konteks tentang bersih yang mendukung pengetahuan bersih dari konsep Islam. Kemudian bentuk-bentuk aktivitasnya, kondisi kebersihan, dan partisipasi masyarakat.
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui tingkat peranan ulama dalam pelaksanaan program kebersihan, khususnya fungsi mereka sebagai motivator dengan menerapkan konsep agama tentang bersih.
Pada bagian bahasan teoritis memuat beberapa konsep yang mendasari standar penerapannya: (1) Rumusan pengertian bersih dan kebersihan sebagai standar yang dianut; (2) Konsep bersih menurut Islam untuk kepentingan ibadah dan lingkungan; (3) Teori tentang-peranan untuk menetapkan keberadaan peranan ulama dalam sistem pengelolaan kebersihan yang berfungsi sebagai motivator; (4) Pengertian ulama dan konsep kepemimpinannya di Aceh; (5) Rujukan ulama yang bersumber dari Al Qur'an dan Hadis; (6) Kerangka konseptual yang membentuk variabel-variabel sebab, akibat dan permasalahan yang diteliti; (7) Penjelasan variabel-variabel dan hipotesis kerja (Tan 1980 dan baca Moleong 1989) untuk mengarahkan penelitian, penulisan dan pembahasannya.
Selanjutnya dalam metodologi, setelah memilih Kotamadya Banda Aceh sebagai lokasi penelitian, lalu menetapkan jenis sampei utama yaitu ulama secara random sebanyak 28 responder yang akan diteliti peranannya. Sampel unsur pemerintah dan masyarakat sebagai sampel pendukung, masing-masing berjumlah 23 dan 70 responden. Pertimbangannya, pemerintah sebagai pihak penyelenggara program kebersihan, sedangkan masyarakat sebagai sasaran motivasi ulama dan yang berhubungan langsung dengan kebersihan secara operasional.
Data dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Data diolah dengan tabulasi distribusi persentase relatif, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan analisis deskriptif berdasarkan data kuantitatif.
Adapun hasil penelitian: (1) Penduduk Kotamadya Banda Aceh 95% memeluk Agama Islam dari jumlah penduduk 168.789 jiwa; (2) Kotamadya Banda Aceh belum mencerminkan kota bersih sesuai dengan standar yang dianut karena masih rendahnya partisipasi masyarakat. Hambatannya antara lain masih sulitnya merubah budaya membuang sampah di sembarang tempat yang dilatarbelakangi kurangnya pemahaman pengertian kebersihan lingkungan dan kurangnya motivasi. Pengertian dan penerapan konsep Islam tentang bersih masih terbatas pada kepentingan ibadah yang disebabkan antara lain oleh kurangnya keterlibatan ulama dalam memberikan motivasi tentang kebersihan lingkungan; (3) Sebagai upaya untuk mengatasinya, diperlukan sistem pengelolaan yang terpadu meliputi Perda, pengadaan sarana, partisipasi masyarakat, dan motivasi ulama bersama unsur lain; (4) Ulama Kotamadya Banda Aceh secara kognitif mempunyai pengetahuan konsep Islam tentang bersih. Namun secara kuantitatif sebagian besar mereka belum banyak mengembangkan makna bersih secara kontekstual dalam memberikan motivasi. Atau: secara kualitatif pengembangan makna konstekstual sudah diterapkan, akan tetapi hanya oleh sebagian kecil ulama. Motivasi pengertian dan penerapan konsep Islam tentang bersih pada umumnya masih berkisar pada kepentingan ibadah ritual; (5) Tingkat keterlibatan ulama ternyata masih kurang (6l%) seperti terlihat pada bentuk aktivitasnya. Padahal pilihan terbesar responden masyarakat (43%) mengharapkan kehadiran ulama sebagai motivator bahkan mendapat dukungah dari responden pemerintah.
Ada kecenderungan hubungan antara tingkat kurangnya peranan ulama dalam melaksanakan fungsinya sebagai motivator, dengan kurangnya pengetahuan mereka secara kualitatif (tebel 7) ; (6) Motivasi tentang kebersihan dengan pendekatan agama merupakan materi pendekatan yang tepat. Selanjutnya media mimbar dan teknik ceramah masih dominan dipergunakan. Padahal masyarakat sudah mendambakan media dan teknik yang lebih luas dan bervariasi; (7) Responden masyarakat 98,5% menyatakan partisipasi masyarakat tergantung motivasi ulama dengan alasan masih tingginya kredibilitas masyarakat terhadap ulama, dan ulama diakui sebagai pemimpin terdekat dengan umat (tabel 17); (8) Responden masyarakat 61% menyatakan bersih sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, namun 53 menjawab masih terbatas pada keperluan ibadah. Alasan di atas merupakan faktor lain yang menyebabkan masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan pengertian bersih yang hanya mereka terima dari praktek bimbingan ibadah melalui pengajian (54, 5%).
Pembahasan berkisar tentang sejauh mana pengetahuan dan penerapan konsep Islam tentang bersih yang dimiliki ulama itu didukung oleh pengetahuaan bersih dalam pengertian umum.
Selain tuntutan dakwah, tanggung jawab peranannya dalam sistem pengelolaan kebersihan yang fungsinya sebagai motivator, juga karena tuntutan pembangunan berwawasan lingkungan. Di sini ulama diperlukan kesadaran tanggung jawabnya dalam pembangunan berlanjut untuk meningkatkan kualitas umat. Karena tingkat partisipasi masyarakat berkaitan dengan pengetahuan dan penerapan bersih secara luas serta partisipasinya tergantung dari motivasi ulama, maka dituntut menguasai pengetahuan konsep Islam tentang bersih dalam makna kontekstual.
Lingkungan bersih,.partisipasi masyarakat, dan motivasi ulama menjadi satu sistem operasional yang mempunyai hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya.
Akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa peranan ulama telah ada dan diperlukan dalam sistem pengelolaan kebersihan, akan tetapi masih pada tingkat rendah. Rendahnya peranan ulama disebabkan oleh faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan dan penerapan konsep Islam tentang bersih dalam makna kontekstual, bentuk dan frekuensi kegiatan, penggunaan media dan teknik kegiatan.
Kurangnya peranan ulama mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat. Rendahnya partisipasi masyarakat bersama faktor lain juga dipengaruhi oleh faktor mendasar yaitu terbatasnya pengertian dan penerapan konsep Islam tentang bersih hanya pada keperluan ibadah ritual yang mereka terima dari pengajian dan bimbingan praktek ibadah.
Mengingat ulama sebagai pemimpin umat yang memiliki kredibilitas tinggi di mata masyarakat Kotamadya Banda Aceh, maka peranan mereka diperlukan dalam sistem pengelolaan kebersihan. Ulama juga sebagai guru umat sehingga dituntut menguasai pengetahuan konsep Islam tentang bersih dalam arti luas.

The Role Of Ulama In The Implementation Of Cleanliness Program: A Case Study in Banda Aceh MunicipalityAccording to Islamic teaching, ulama are leaders of mankind. They are needed by the community members of Banda Aceh Municipality where 95 percent of the population-are Moslems. Is-lam has a broad and comprehensive concept of cleanliness for worship (as ritual washing) and environmental purposes.
However, the above-mentioned concept has not been fully adopted to support the cleanliness program in Banda Aceh Municipality to make the clean city program a complete success, in accordance with the existing regulations. This study deals with the extent of the function of the role of ulama as motivators in the management system of cleanliness, the know-ledge of cleanliness within the contextual sense which sup-ports the knowledge derived from Islamic concept, the types of activities, the condition of the city and the people's participation. The general objective of this study is to assess the potential role of ulama in the implementation of the cleanliness program, especially to identify the extent of the role of ulama as motivators in environmental cleanliness.
In the chapter on the theoretical framework, several concepts supporting the implementation, of cleanliness programs are presented, including: (1) The definitions of clean and cleanliness as standard references; (2) The concept of cleanliness according to Islamic teaching for worship and environmental purposes; (3) Theory of role; in order to specify the position of ulama in their role and their function as motivators; The definition of ulama and the concept of leader in Aceh; The ulama's references which are mostly based on Al Qur'an and Hadits; (6) The conceptual framework which comprises the causality variables and working hypothesis (Tan 1980, and Moleong 1989) directing the study, its writing up and analysis.
Methodology. Banda Aceh Municipality was chosen as the research location because a cleanliness program has been implemented in this city. Using the random sampling method, 28 ulama whose role would be studied, were selected as the main sample, followed by a supporting sample consisting of 23 respondents from the local government officials and community members. The selection of the supporting simple was based on the fact that the government is the implementation of the cleanliness program, while the community members are the target group of the ulama's role as motivators, and at the same time are also directly and operationally involved in the program.
Data were collected using questionnaires, interviews, observations, as well as reviewing the literature related to the study. Later, the data were processed by tabulating the relative percentage distribution, and then qualitatively analyzed by using descriptive analysis, which was based on quantitative data.
Result of the study: (1) The research was conducted in Banda Aceh Municipality, with a total population of 168.7 89, of which 95 per cent are Moslems; (2) The research results indicated that due to people's low participation, so far the Banda Aceh Municipality has. not presented the condition and image of a clean city in accordance with the expected standard. Findings showed that the constraints rest among others on the fact that it is still difficult to change the cultural behavior of these people in disposing of their waste. This stems from lack of understanding and awareness of environmental cleanliness as well as lack of motivation. The under-standing and application of cleanliness based on Islamic concepts so far is still limited to worship purposes (as impurities) indicating that the ulama have not been fully participating in motivating the people to carry out the program; (3) Within the endeavors to implement the cleanliness program, an integrated management system is highly necessary, involving the local Government Regulation, facilities, public participation, and motivation geared by the ulama and other relevant agencies; (4) The ulama of Banda Aceh Municipality possess cognitive knowledge of cleanliness based on their religious concept. However, quantitatively most of these ulama have not developed the contextual meaning of cleanliness when motivating the people. In other words, qualitatively the con-textual notion of cleanliness has only been developed by a very limited number of ulama. In general, the knowledge and application of the concept of cleanliness in Islamic teaching is still mainly focused on fulfilling the call for worship purposes; (5) The extent of the involvement of ulama in their motivating role is still considered low (61 percent), whereas the responses from community members (43 per cent) and government officials (61 percent) expect that the ulama should play a role as motivators. There is high correlation between a weak role for the ulama as motivators and a lack of qualitative knowledge on their part {Table 7);(6) Religious approach is connected with cleanliness, or the other way around, that cleanliness can be used as a standard for motivating the people. Furthermore conventional media and techniques, such as pulpit and talks (ceramah) are still predominantly used. It should be noted that the people now expect wider varieties of media and techniques; (7) Responses from community members (95,5 per cent) indicated that public participation depends on the ulama's role as motivators, due to the ulama's high credibility and the ulama are still regarded as the people's closest leaders; (8) Responses from community members (61 per cent) declared that cleanliness had become part of their community life, however 53 per cent acknowledged that it was only limited to worship. The above reasons are the factors which influence the low public participation which is related to people's perception of the cleanliness concept acquired from worship and religious doctrines (54,5 percent, see Table 27).
The chapter of theoretical discussion deals with extent of the ulama's knowledge of their religion and the application of Islamic concepts, which is also supported by their general interpretation of cleanliness.
The responsibility of the ulama according to their role as motivators in the management of the cleanliness program is not only because of their responsibility to preach (dakwah), but also be issued of the need to implement sustainable development. Therefore, in-order to enhance the quality of life for mankind; awareness of sustainable development on the part of ulama is imperative. Since the level of public participation is significantly related to people's knowledge and under-standing of cleanliness in a broad sense, and their participation depends on the motivation geared by the ulama, hence the ulama should have sufficient knowledge of the Islamic concept of cleanliness within its contextual meaning.
Cleanliness, public participation and motivation generated by the ulama have become an operational system in interaction with one another.
The role of the ulama is needed in the management system of cleanliness, but is still at a low level. This low level is caused by several factors such as minimum knowledge and application of the Islamic concept of cleanliness in the contextual manner, kind and frequency of activities, utilization of media and technique of these activities and forth.
If the role of the ulama is decreased, the public participation is lower as well.
The level of people's participation together with other factors are affected by several basic factors, such as limited understanding and application of-the Islamic concept of cleanliness merely for religious matters which they get through doctrines (pengajian-pengajian), and worship guidance.
Ulama as leaders of mankind have the highest credibility in their society. Therefore an active role in the cleanliness management system on the part of ulama is a must.
Ulama as well as teachers are in demand for their knowledge of the Islamic concept of cleanliness in a broad sense.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T4175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Muchtar
"Suku Batak adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Sumatera. Secara geografis, suku Batak diapit oleh.suku Aceh di sebelah Utara, dan Minangkabau di sebelah Selatan. Menurut sejarah, asal-usul suku Batak berasal dari India. Namun belum ada penelitian Anthropologi yang mendalam mengenai kedatangan orang Batak pertama ke Sumatera. Keadaan sekarang ini, daerah asal tempat tinggal suku Batak di Sumatera, berada di wilayah dataran tinggi pada ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Pusat-pusat asal tempat tinggal itu secara geografis terletak di Propinsi Daerah tingkat I Sumatera Utara, di Kabupaten Daerah tingkat II: Tanah Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Suku Batak masih dapat dikelompokkan ke dalam beberapa sub-suku. Ada penulis yang mengklasifikasikan suku Batak terdiri dari: Karo, Simalungun, Pakpak, Sipirok-Mandailing, dan Toba. Yang tergolong ke dalam pendapat ini adalah J.C. Vergouwen dan Heiman Billy Situmorang. Kelompok penulis lain berpendapat, selain yang disebutkan tadi (Karo, Simalungun, Pakpak, Sipirok-Mandailing, dan Toba), masih ikut tergolong ke dalamnya Gayo-Alas yang berdiam di Propinsi Aceh. Yang tergolong ke dalam pendapat ini adalah Batara Sangti dan Nalom Siahaan.
Dalam tesis ini penulis lebih condong kepada penggolongan yang dilakukan aleh J.C. Vergouwen dan Billy Situmorang. Sebab adat dan falsafah Gayo-Alas lebih banyak perbedaannya daripada persamaannya dibandingkan dengan kelima sub-suku Batak lainnya. Misalnya sistem kekeluargaan Gayo-Alas lebih dekat pada sistem parental (patrimatri lineal), sedangkan kekeluargaan Batak adalah sistem patrilineal. Kekerabatan masyarakat Batak diikat oleh falsafah dalihan na tolu, sedangkan pada masyarakat Gayo-Alas, hal ini tidak terlihat begitu tegas. Ada yang memakai dalihan na tolu dan ada yang tidak.
Berkaitan dengan masalah pemerintahan, memang terdapat perbedaan yang nyata di antara kelima sub-suku di atas. Misalnya saja antara Toba dengan Simalungun. Pada Batak Toba, manusia itu dipandang sama. Semua orang memiliki hak dan kewajiban adat yang sama. Konsep pemilikan tanah pada masyarakat Toba adalah hak ulayat, dan semua warga dipandang berstatus sama-sama raja. Sedangkan pada Batak Simalungun adalah sebaliknya. Manusia dipandang mempunyai kelas yang berbeda, ada kelas raja yang memerintah dan ada kelas rakyat yang diperintah. Suatu wilayah kerajaan dipandang sebagai milik raja, sehingga orang yang berdiam di wilayah itu adalah rakyat yang mengerjakan milik raja tersebut. Raja memiliki sebuah Istana untuk menjalankan kekuasaannya. Situasi ini mirip dengan sistem pemerintahan kerajaan di Jawa. Simalungun di masa lampau terdiri dari beberapa kerajaan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>