Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1300 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"Percandian di situs Batujaya relatif baru ditemukan, yaitu pada tahun 1985. Karena temuan yang relatif baru, maka kajian tentang percandian di situs Batujaya inipun belum banyak dilakukan, apalagi yang berkaitan dengan lingkungan fisik dikaitkan dengan peninggalan berupa bangunan candinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa situs Batujaya berada pada dataran aluvial yang subur dan banyak mengandung air tawar. Walaupun demikian, situs ini sering pula terjadi banjir. Untuk mengatasi ini dilakukan upaya untuk meninggikan dasar bangunan, mengurung sekitar bangunan dan melapisi bangunan dengan lepa. Mengingat masih sangat sedikitnya data yang terungkap, maka dalam panelitian ini masih dirasakan kekurangan dan kelemahan. Mudah-mudahan di masa mendatang penelitian di sini akan lebih intensif lagi, sehingga akan menjadi lebih jelas lagi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Isman Pratama
"Kehadiran dan keberadaan bentuk-bentuk penggambaran makhluk hidup pada sejumlah kepurbakalaan Islam di berbagai kota di pesisir pantai utara Jawa dan Madura, seperti Cirebon, Demak, Jepara, Lamongan, Gresik dan Sumenep, cukup menarik sebagai bahan kajian. Didalam Islam, terdapat sejumlah larangan mengenai penggambaran dan perwujudan dari makhluk yang sifatnya hidup atau bernyawa. Kenyataannya justru sebaliknya, pada sejumlah kepurbakalaan di dunia Islam, khususnya di Cirebon, terdapat banyak sekali penggambaran makhluk hidup dalam berbagai bentuk.
Masalah penelitiannya adalah seberapa jauh bentuk-bentuk penggambaran makhluk hidup tersebut dapat dideteksi dan diidentifikasi melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Makhluk apa saja yang digambarkan dan bagaimana cara atau tehnik penggambarannya. Selain itu, seberapa jauh faktor non-muslim dan budaya pra-Islam ikut berperan dalam penggambaran makhluk bernyawa tersebut. Tujuan penelitian ini, adalah mengidentifikasikan dan menginventarisir karya seni rupa Islam Cirebon yang menggambarkan makhluk hidup, bentuk, tehnik dan fungsi dari penggambaran tersebut. Lokasi penelitiannya di kota Cirebon yaitu di keraton Kasepuhan, keraton Kanoman, mesjid Panjunan dan Taman Gua Sunyaragi. Media penggambaran pada monumental yang diteliti di keraton Kasepuhan adalah bangunan Siti Inggil, bangunan Pringgandani, bangunan Prabayaksa, bangunan Kaputren, bangunan Pamburatan, atap bangunan, pintu buk, pintu Gedung Dalem Panembahan Pakungwati, patung Macan All, area nandi di Taman Bunderan; di keraton Kanoman adalah di tembok keliling keraton, bangunan Siti Inggil, pintu masuk bangunan Pendopo, patung Macan Ali; dinding mesjid Panjunan, dan Taman Gua Sunya Ragi. Media artefak yang diamati adalah kereta Singa Barong, kereta Paksi Naga Liman, kereta Jempana, tandu Garuda Mina, hiasan dinding, tempat lampu, vas bunga, tempat surat, tempat keris, peralatan gamelan, patung, topeng, hiasan lengan, tameng, kaki meja, kaki kursi, kaki meja singgasana, meriam, wayang, keramik, tegel porselen, panil gunungan, dan artefak pintu.
Hasil penelitian menunjukkan ada tiga jenis makhluk hidup yang digambarkan yaitu makhluk hewan, makhluk hibrid, dan manusia. Jenis hewannya adalah banteng, lembu, macan, gajah, burung, rasa, ikan, naga, singa, ayam, srigala, katak, kerbau, anjing, kuda, garuda, dan burung phonik. Jenis makhluk hibridnya adalah ganesha, singa barong, naga, garuda mina, putri duyung, dan paksi naga liman. Sedangkan manusia digambarkan dalam bentuk utuh, dan berupa wajah atau mukanya saja. Selain itu, terdapat juga penggambaran makhluk malaikat. Dari segi tehnik penggambarannya, ada empat tehnik yaitu 1) naturalistis, 2) stilistik/denaturalistis, 3) hibridasi, dan 4) wayang. Dari segi fungsinya, ada enam yaitu: 1) mengingatkan kepada Tawhid; 2) tranfigurasi bahan, 3) transfigurasi struktur, 4) pengindahan, 5) titiwangsa, dan 6) simbolis. Dari penggambaran makhluk hidup dapat ditelusuri kehadiran pengaruh dari budaya luar, baik dari yang non muslim seperti India, Cina, dan Eropa, maupun muslim seperti Mesir. Selain itu, tentunya pengaruh budaya dari pra-Islam atau Hindu Buddha. Hal ini memperlihatkan kearifan penguasa maupun seniman yang membuat karya seni rupa Islam di Cirebon.
Dari penelitian ini, dapat terlihat bahwa penggambaran makhluk hidup pada sejumlah media kepurbakalaan di Cirebon menunjukkan kehadiran maksud-maksud tertentu dari si pembuatnya, dan tanpa meninggalkan pesan-pesan Islami yang ingin disampaikan kepada pemirsa karya seni Islam kuna tersebut. Di samping itu, pada karya-karya artefak masa kini, memperlihatkan adanya kontinuitas penggambaran makhluk hidup yang secara tradisi dilanjutkan dan menjadi ciri khas dari karya seni Cirebon seperti motif macan ali."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Supratikno Rahardjo
"Alat-alat logam memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat kompleks yang dikenal sebagai masyarakat peradaban. Alat-alat ini diciptakan dalam berbagai bentuk dan bahan serta ditujukan untuk berbagai fungsi. Namun demikian pengetahuan kita tentang alat-alat tersebut, khususnya yang dibuat di Jawa pada masa Hindu-Buddha (abad ke-8 s/d ke-15), masih sedikit. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui lebih jauh tentang alat-alat logam, khususnya yang disimpan sebagai koleksi di empat tempat, yaitu di Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Jawa Tengah, Museum Sonobudoyo, SPSP Jawa Timur dan Museum Lapangan Trowulan. Dua yang pertama berada di wilayah Jawa Tengah dan dua yang terakhir di wilayah Jawa Timur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tradisi pembuatan alat-alat logam dikenal sekurang-kurangnya enam jenis bahan yaitu tembaga, perunggu, kuningan, besi, perak dan emas. Di antara jenis bahan tersebut, perunggu merupakan bahan yang paling banyak dipakai. Di samping itu dijumpai adanya kecenderungan bahwa jenis bahan tertentu digunakan untuk membuat jenis alat tertentu. Logam besi misalnya digunakan terutama untuk senjata dan alat-alattajam, sedangkan emas terutama untuk membuat perhiasan dan perlengkapan upacara. Adapun motif-motif biasa digunakan flora, fauna dan manusia. Sedangkan teknik penyajiannya berupa terawang, goresan, relief, dan wujud tiga dimensi.
Dilihat dari segi persebarannya, alat-alat logam yang dijumpai di Jawa Tengah meliputi wilayah yang lebih luas daripada benda-benda yang dijumpai di Jawa Timur. Dari segi pertanggalannya, sebagian besar benda-benda koleksi mewakili periodenya sendiri. Koleksi logam dari Jawa Tengah terutama mewakili periode Mataram, sedangkan koleksi logam yang dijumpai di Jawa Timur mewakili periode sesudahnya. Dari segi fungsinya benda-benda logam tersebut dipat dikelompokkan ke dalam delapan jenis, yaitu sebagai senjata dan alat-alat tajam, perlengkapan dapur dan sarana penyajian, hiasan dan komponen rumah, alat musik dan sarana komunikasi, alat hitung dan transaksi, sarana upacara keagamaan, dokumen resmi dan sarana transportasi. Dalam kenyataan beberapa alat tidak dapat ditetapkan ke dalam satu ketegori fungsi secara tegas, karena dapat terjadi sebuah benda dibuat untuk berbagai keperluan yang kadang-kadang berbeda sekali dengan maksud pembuatannya semula."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Penelitian ini adalah merupakan usaha untuk mengungkapkan peninggalan sejarah kuno sekitar kurun waktu abad 11 Masehi, yaitu secara khusus adalah masa pemerintahan raja Airlangga. Raja Airlangga merapakan seorang tokoh yang patut dikaji, karena selain kabijakan yang didalankan semasa pemerintahannya sehingga mengangkataya menjadi salah satu raja besar di sapanjang perjalanan sejarah kuno Indonesia, ia diperkirakan mempunyai jaringan politik, ekonomi dan agama dengan raja-raja di daratan Asia Tenggara. Bahkan ide pembaharuannya diperkirakan merupakan .pengaruh dari keterkaitannya dengan jaringan tersebut, demikian juga kebijakan pamerintahan yang dilakukan banyak diikuti oleh raja-raja,dikawasan Asia Tenggara itu.
Penelitian terhadap suatu masa yang telah lampau dimungkinkan dengan meneliti kembali data tertulis yang dihasilkan pada masa tarsebat di samping tinggalan materi yang masih ada hingga sekarang. Jelaslah prasasti menjadi tulang punggung data yang akan diolah di samping karya sastra pada masanya. Sebelum data tersebut, diinterpretasi dan diintegrasikan dengan data yang lain, prasasti-prasasti itu haruslah dianalisis tealebih dahulu sehingga layak dianggap sebagai data.
Analisis yang dilakukan adalah kritik yaitu kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern berkenaan dengan otentisitas sumber dan kritik intern berkenaan dengan kredibilitas sumber. Kritik intern berkenaan dengan deskripsi, transliterasi dan terjemahan.
penelitian awal ini adalah mengkaji 4 buah prasasti yang diterbitkan oleh raja Airlangga, ke empatnya dibaca ulang dialih aksarakan dan diterjemahkan. Hasil dari kritik intern yang dilakukan, selain memperbaiki pembacaan oleh peneliti sebelumnya juga dijumpainya beberapa hal baru yang memerlukan penelitian lanjutan yaitu munculnya kebiasaan menjabarkan berbagai tindak pidana dan perdata dalam masyarakat, kemudian munculnya hak-hak istimewa raja dan keluarganya serta membengkaknya jumlah abdi dalam raja.
Jelaslah hal tersebut pasti mempunyai kaitan dengan kaadaan politik, sosial dan ekonomi. Selain itu juga telah ditetapkan pembabakan terhadap masa pemrintahan Airlangga sesuai dengan data prasastinya (20 buah) yaitu masa awal pemerintahan yang diisi dengan peperangan untuk menegakkan hegemoninya, masa keemasan dan masa akhir yaitu saat-saat pembagian kerajaannya untuk menghindari perang saudara.
Keempat prasasti -yang dianalisis memunculkan 4 tema yang menarik. Prasasti Pucangan berbahasa Sanskerta adalah prasasti yang memuat tema legitimasi bagi kedudukan Airlangga sebagai raja, sedangkan prasasti Pucangan berbahasa Jawa kuno yang diterbitkan beberapa tahun kemudian, sarat dengan penjelasan kehidupan keagamaan Airlangga selama di pengasingan. Prasasti-Baru menggambarkan kedekatan raja dengan rakyatnya dan bersama dengan prasasti-prasasti lain yang bertema sama yaitu pemberian hadiah status-.sima merupakan tema sosial. Prasasti dengan tema sosial memperlihatkan bahwa Airlangga menjadi raja karena dukungan sepenuhnya dari_rakyatnya. Sedangkan tema ekonomi, dijumpai dalam isi prasasti Kamalagyan, yaitu perbaikan'bendungan untuk kelancaran pekerjaan pertanian dan perdagangan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati Marwoto Johan
"Kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 hingga terbentuknya kerajaan Islam pertama pada awal abad ke 13 telah menghasilkan tinggalan budaya yang amat kaya. Para ahli sepakat bahwa Islam datang dan berkembang melalui jalur perdagangan sehingga pada awalnya terbentuklah koloni-koloni perdagangan muslim di berbagai tempat di kota-kota pelabuhan, sebagaimana dicatat dalam berita Cina pada tahun 674, yang menyebutkan Palembang sebagai. salah satu koloni muslim.
Peninggalan yang berarti tentang adanya masyarakat muslim adalah sebuah situs di Leran yang menyimpan sebuah nisan dari seorang wanita muslim yang berangka tahun 1082 Masehi dan bukti lainnya adalah yang terdapat di situs Kota Gina (Sumatera Utara) dan kota Barus yang diperkirakan memiliki temuan-temuan keramik yang berangka thhun dari abad 10 sampai abad 12 Masehi.
Kemunduran dari kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu diduga merupakan salah satu faktor berkembangnya Islam di bumi Nusantara, sehingga kemudian jalur perdagangan berpindah ditangan para pedagang Islam. Pantai utara Jawa adalah jalur perdagangan yang banyak dikunjungi para pedagang sejak lama, sehingga di wilayah ini banyak sekali ditemukan situs-situs dari masa Islam. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan oleh para ahli ,namun sangat sedikit yang mempersoalkan seni dekoratif yang dihasilkan kebudayaan islam di Nusantara. Sehingga perlu kiranya dilakukan penelitian ke arah ini.
Seperti apakah bentuk-bentuk dekoratif yang menandai masa Islam. Berbagai pernyataan telah disampaikan para ahli mengenai fungsi dan makna dekoratif pada tinggalan budaya Islam di dunia, seperti Faruqi yang menyatakan bahwa fungsi dari ornamen Islam adalah untuk mengingatkan manusia akan ke Esaan Tuhan, sehingga bentuk-bentuk yang dihasilkan adalah ornamen-ornamen yang penuh dengan abstraksi. Jabar Beg menggaris bawahi bahwa pusat daya normatif seni kaum muslim adalah Islam itu sendiri dan agama Islam tidak menggariskan bentuk-bentuk seni tertentu, tetapi sekedar memberi pagar lapangan ekspresi.
Para ahli berkebangsaan Asing yang melakukan penelitian tentang Islam di Nusantara banyak yang mengajukan pendapatnya bahwa Islam di Indonesia tidak menghasilkan apapun baik peninggalan berupa monumen maupun kemajuan dalam bentuk yang lain. Berbagai aspek dipandangnya sebagai semata-mata kelanjutan dari budaya masa Indonesia-Hindhu. Tentu saja hal ini sangat ditentang oleh para ahli Islam, seperti yang dilakukan Naguib Al- attas.
Dari penelitian yang saya lakukan terhadap situs Demak dan Kudus di pesisir utara Jawa memperlihatkan bahwa memang masih banyak ornamen yang dipakai pada masa Islam yang merupakan kelanjutan dari masa Indonesia -Hindu yaitu seperti ornamen bunga lotus, sulur-suluran, motif sinar Majapahit dan bentuk-bentuk makara yang telah distilir. Namun demikian , hasil penelitian ini masih harus dipertimbangkan lebih lanjut karena bila memperhatikan beberapa situs lainnya seperti Cirebon, Mantingan dll kita akan menemukan berbagai ornamen yang sangat dekat kaidah-kaidahnya dengan kaidah ornamen Islam.
Selain ornamen yang disebut di atas ternyata, juga diperoleh kaligrafi Islam dan berbagai bentuk perbingkaian yang sangat banyak dipakai sebagai ornamen pada kedua Situs ini. Hal ini sangat menarik dan dapat saya anggap sebagai salah satu ekspresi seniman Islam di tempat ini yang tampaknya dengan sadar membatasi diri dari keinginannya untuk mengisi bingkai-bingkai dengan hiasan-hiasan mahluk hidup seperti yang umumnya ditemukan pada bangunan candi-candi. Lebih lanjut sangat menarik untuk melihat kasus ini pada menara Kudus yang oleh banyak sarjana Belanda di anggap sebagai sisa peninggalan dari masa Indonesia-Hindhu karena bentuknya yang sangat menyerupai candi. Namun bila kita lihat seluruh ornamen yang ada hanyalah bingkai-bingkai yang polos kadang-kadang diberi hiasan keramik Cina, tentu sangat berbeda dengan kebiasaan tradisi seni Hindu. Ada hal yang sangat disukai oleh para seniman di kedua situs ini adalah menempelkan keramik Cina, Pada tembok mesjid Agung Demak ada keramik cina yang selain menggambarkan bunga-bunga terutama lotus juga banyak dijumpai penggambaran binatang seperti , anjing yang berada di atas awan, burung merak dll. Bila dilihat dari bentuk mesjid kuno, maka kehadiran keramik cina pada dinding-dinding tembok mungkin merupakan tambahan yang kemudian.
Walaupun demikian dari hasil penelitian ini sangat terasa bahwa ornamen mahluk hidup sangat dibatasi dan hal ini mengingatkan kita akan larangan dari para ulama Islam untuk menggambarkan mahluk hidup apalagi di dalam bangunan mesjid. Fungsi dari ornamen tampaknya lebih pada penanda bagian-bagian penting dari bangunan.
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan penelitian yaitu tahap pertama pengumpulan data dan selanjutnya dilakukan analisis dan interpretasi data. Pada tahap pengumpulan data dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada penelitian lapangan dilakukan pendataan berbagai bentuk omamen dengan cara membuat foto dan gambar. Pada tahap analisis dilakukan pemilahan atas dasar variabei-variabel tertentu terutama aspek bentuk serta ketetakan. Pada tahap interpretasi dipakai analog' yang dapat dipakai untuk mengungkapkan keberadaan suatu gejala-gejala tertentu."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Fitriati Nurlambang
"ABSTRAK
Kehidupan beragama pada masa Jawa Kuna amat penting sifatnya. Hal ini dapat terlihat dari bekas-bekas penghidupan yang mereka tinggalkan pada saat ini seperti candi-candi yang didirikan sejaka abad 8 Masehi sampai dengan abad 14 Masehi sebagai rumah-rumah peribadatan yang sakral dimana pengelolaannya tertulis dengan jelas di dalam kitab-kitab agama. Selain itu, pentingnya agama di dalam kehidupan mereka juga tampak jelas di dalam relief-relief maupun data tertulis seperti prasasti maupun karya-karya sastra.
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan bagaimana wanita pada masa Jawa Kuna ikut aktif di dalam kehidupan beragama dan sampai dimana peran mereka di dalam menjalankan salah satu aspek kehidupan yang sangat penting tersebut. Adapun masalah pokok yang dikaji adalah sebagai berikut: (1) Di dalam kegiatan keagamaan seperti apa saja kaum waita dapat ikut berperan, dan (2) sampai seberapa jauh peran mereka dapat diperhitungkan di dalam kegiatan-kegiatan tersebut? Masalah ini cukup menarik mengingat sampai saat ini seakan-akan masih berlaku dalam pemikiran masyarakat bahwa kehidupan agama masih menomorsatukan pria, oleh karena itu jika dapat ditengok jauh ke belakang bahwa wanita dapat atau tidak ikut berperan di dalam aspek tersebut, maka diharapkan pemikiran tersebut dapat diperbaharui. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis data yang digunakan, yaitu metode analisa deskriptif.
Berdasarkan analisa yang dilakukan dapat dirumuskan beberapa kesimpulan: Pertama, peran wanita di dalam kehidupan beragama baik berdasarkan data prasasti, karya sastra, maupun relief dapat dianggap cukup penting mengingat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh kaum pria juga dapat dilakukan oleh para wanita. Kedua, Kaum wanita pada masa Jawa Kuna juga dapat berstatus sebagai pendeta, pertapa, ataupun murid-murid pertapaan yang hidupnya menyepi seperti halnya kaum pria. Ketiga, Lebih jauh dari itu semua, kaum wanita masa Jawa Kuna juga dapat didudukkan sebagai Yang Didewakan, yaitu dalam bentuk arca-arca pendharmaan. Secara umum memang dapat dikatakan kaum wanita sama halnya seperti kaum pria yang dapat aktif dalam kehidupan beragama, namun demikian masih perlu kiranya diteliti lebih lanjut sampai seberapa jauh keikutsertaan ini dapat dianggap sebagai kesetaraan, mengingat sampai saat ini data arkeologi menampilkan jauh lebih banyak jumlah pria yang aktif di dalam kegiatan-kegiatan kehidupan secara umum, dan kehidupan beragama secara khusus. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Nusi Lisabilla Estudiantin
"Pura-pura kuno yang menjadi objek dalam kajian ini adalah pura-pura yang yang memiliki tapak (pondasi) kuna dan diperkirakan dibangun pada abad 8 hingga 18 Masehi, yang dibagi .menjadi Bali masa PraMajapahit (8-13 Masehi), Bali masa Majapahit (14-15 Masehi dan Bali PascaMajapahit (16-18 Masehi). Permasalahan yang dihadapi dalam kajian ini adalah bahwa pura di Bali, khususnya pura kuna yang menjadi objek kajian ternyata tidak semuanya terdiri dari tiga halaman, karena ada pura yang hanya terdiri dari dua halaman dan ada pulayang terdiri dari empat halaman.
Kajian ini menggunakan metode komparatif dalam upaya menjawab permasalahan yang dihadapi. Pura-pura kuno yang menjadi objek kajian diperbandingkan dengan kompleks percandian Panataran dan punden berundak di Crunung Penanggungan yang diwakili oleh bangunan Candi Carik (Kep. I) dan Candi. Kendalisodo:(Kep. LXV).
Berdasarkan perbandingan yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pada dasarnya pura-pura di Bali terdiri dari tiga halaman, yakni jaba (profan), jaba tengah. (setengah profan/setengah sakral). dan jeroan (sakral) serupa dengan konsep bangunan suci masa Majapahit, namun pada saat ini halaman depan atau jaba pada sebagian pura di Bali kini dapat berupa halaman terbuka, jalan raya, lahan pertanian bahkan pemukiman. Keadaan ini dapat saja terjadi karena sangat mungkin disebabkan keterbatasan lahan mengingat jumlah penduduk yang semakin meningkat,.selain itu bagian halaman yang "hilang", yakni jaba memiliki sifat profan sehingga tidak mengganggu keberadaan pura itu sendiri, mengingat bagian paling panting dari pura adalah jeroan yang bersifat suci dan sakral; tempat para umat melakukan pemujaan. Dengan demikian pelaksanaan aturan pembangunan pura bedasarkan konsep Triloka dan Tri Angga tidak lagi bersifat kaku dan disesuaikan dengan keadaan yang ada sekarang, namun tidak mengurangi nilai kesakralan pura itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T12627
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lien Dwiari Ratnawati
"Makanan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi proses kimiawi dalam kehidupan manusia (Chang 1977: 3), karena makanan bukan hanya berfungsi sebagai sumber energi yang diperlukan tubuh, melainkan juga menyediakan unsure-unsur kimia tubuh yang dikenal sebagai zat gizi (Suhardjo 1985: 12)2. Dalam kenyataannya makan lebih dari sekedar kebutuhan vital, karena tanpa makanan manusia tidak dapat hidup. Makan, dan minum adalah kebutuhan jasmani yang diperlukan oleh manusia dalam proses metabolisme sebagai sumber energi bagi tubuhnya, Manusia senantiasa memerlukan energi tersebut sebagai tenaga untuk melakukan berbagai pekerjaan. Walaupun kegiatan makan bukan kegiatan yang mendominasi hidup, tetapi manusia harus dan pasti melakukannya setiap hari. Jadi kebutuhan makan dan juga minum adalah kebutuhan yang tidak dapat digantikan3. Pada masa Plestosen, manusia hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang berupa umbi-umbian, kerang, daging binatang, dari lain-lain. Mereka sangat bergantung kepada lingkungan alamnya. Hal ini masih berlanjut hingga akhir masa plestosen atau permulaan masa Holosen. Gejala hidup bercocok tanam dan berternak barn timbul sekitar 6000 tahun SM diikuti dengan pembuatan wadah-wadah gerabah (Soejono 1984: 26-27)"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T6356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Slamet Sujud Purnawan Jati
"Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Seperti halnya wilayah lain di Pulau Jawa, penelitian arkeologi di Jawa Timur, khususnya untuk situs prasejarah telah dimulai sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Kegiatan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian pada saat itu. Pada tahap awal tampaknya perhatian penelitian lebih banyak dicurahkan pada tujuan untuk menemukan benda-benda arkeologi berupa artefak. Sementara itu kegiatan yang banyak dilakukan berupa pendokumentasian, kegiatan inventarisasi, pembahasan yang berorientasi pada artefak (artifact-oriented), dan beberapa upaya untuk merekonstruksi kehidupan manusia di masa lampau.
Kegiatan penelitian di wilayah ini pada dua dasawarsa terakhir telah meningkat jumlahnya, dan telah terjadi pergeseran perhatian dari pengkajian atas artefak kepada pengkajian atas situs dan bahkan kawasan. Namun demikian penelitian tersebut belum mencakup seluruh aspek yang terkait, misalnya aspek lingkungan. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena berbicara perkara kehidupan manusia dan budayanya, tentu tidak akan terlepas dari perkara yang lain seperti lingkungan alam. Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi baik dalam dimensi ruang maupun waktu (Soejano 1987:37).
Sejak masa lalu manusia telah memanfaatkan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini tercermin dari bukti-bukti arkeologi yang diperoleh, baik yang berbentuk artefak (artefact), ekofak (ecafact), fitur (feature), dan situs (site). Namun disadari bahwa bukti-bukti arkeologi yang sampai kepada kita memiliki keterbatasan baik kuantitas maupun kualitas (Mundardjito 1986:42). Oleh karena itu untuk dapat menjelaskan kehidupan manusia masa lalu tidak hanya dibutuhkan pengkajian atas artefak semata-mata, tetapi pengkajian yang luas atas tinggalan arkeologi, tidak saja pada hanya satu situs, namun tinggalan arkeologi dalam Skala ruang yang lebih luas, yaitu benda-benda arkeologi dan situs-situs yang tersebar dalam wilayah atau kawasan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang makro, yaitu pendekatan kawasan disertai dengan kesadaran yang tinggi akan keterkaitan antar situs, baik secara ekologis, geografis maupun fungsional."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balkis Khan
"ABSTRAK
Tugas akhir akademik pascasarjana yang berupa karangan ilmiah ini berjudul "Keragaman Nisan dan Jirat Kompleks Makam Raja Kutai Abad 18-20 (Ditinjau dari Aspek Hiasan). Inti yang hendak disampaikan adalah pengungkapan ragam-ragam hias kompleks makam Raja Kutai yang kemudian ragam hiasnya yang menyerap unsur budaya Bugis, Makassar, Dayak dan yang baru muncul pada masa Kutai Islam.
Tinggalan arkeologi berupa kompleks makam Raja Kutai ini, secara administratif berada di Tenggarong, ibukota Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, tepatnya sebelah utara gedung Museum Mulawatman (dahulu Istana Kerajaan Kutai).
Kompleks ini mempunyai 142 makam. Dari 142 itu hanya 20 bush yang dijadikan sampel. Kompleks ini mempunyai ragam-ragam bias yang raya dan beragam. Menurut Ambary, tipe nisan di kompleks ini adalah tipe Bugis - Makassar dan terpengaruh tradisi ragam bias Dayak. Dan berdasarkan data sejarah telah ada hubungan antara Kerajaan Kutai bercorak Islam dengan Bugis, Makassar dan Dayak.
Dari isu ini, masalah yang hendak dikaji adalah hubungan antara nisan dan jirat di kompleks makam Raja Kutai dengan tradisi hiasan pada nisan dan jirat Bugis, Makassar dan tradisi hiasan pada blonrang dan hmgun Dayak berdasarkan ragam hias. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap ragam-ragam hias pada nisan dan jirat di kompleks makam Raja Kutai dan dengan mengadakan perbandingan ragam-ragam hias Bugis, Makassar dan Dayak dengan ragam-ragam hias Kutai tersebut dapat diketahui seberapa banyak ragam hias pada nisan dan jirat terpengaruh ragam bias tradisi Bugis, Makassar dan Dayak.
Dari isu ini, masalah yang muncul berupa hipotesis, yaitu, "bahwa ragam-ragam hias di kompleks makam Raja Kutai ini diduga menyerap budaya Bugis, Makassar dan Dayak dan ada sejumlah ragam bias yang baru muncul pada masa Kutai Islam".
Oleh sebab itu, dilaksanakan pengkajian terhadap 7 lokasi, yaitu ragam bias kompleks-kompleks makam budaya Bugis (2 lokasi), Makassar (3 lokasi) dan Dayak yang kemudian dibandingkan dengan kompleks makam Raja Kutai. Menilik objek kajian ini, maka pendekatan yang paling sesuai diterapkan adalah pendekatan Identifikasi yang dianggap dapat menjawab atau membuktikan hipotesis yang diajukan.
Berdasarkan hasil pengamatan dengan pendekatan Identifikasi diperoleh kelompok ragam bias pada masing-masing lokasi. Untuk melihat seberapa jauh ragam-ragam bias di kompleks makam Raja Kutai, maka ragam-ragam hiasnya dibandingkan dengan ragam-ragam bias keenam lokasi tersebut (kompleks makam Gowa, Tallo, Binamu, Watan Lamuru, Jere LompoE dan Dayak).
Dari perbandingan hasil pendekatan klasifikasi, tampak, bahwa dalam keragaman hiasan pada nisan dan jirat kompleks maka Raja Kutai menyerap unsur budaya lain. Unsur-unsur ragam bias yang lain itu dapat dikelompokan menurut tradisi asalnya, adalah:
1. Ragam hias Bugis: helai mawar, belah ketupat, bintang, tumpal dan gada
2. Ragam hias Makassar: helai mawar, bonggol bunga, mawar, swastika, belah ketupat, lingkaran, tumpal dan ular.
3. Ragam hias Dayak: mawar, pelipit, gada (blontang) dan ular.
4. Ragam hias yang baru muncul pada masa Islam adalah: keligrafi kufi, bingkai cermin, swastika banji dan stilir ekor, kepala dan badan ular.
Faktor-faktor pendukung tentang kemungkinan adanya ragam hias kompleks makam Raja Kutai menyerap budaya ragam hias Bugis-Makassar karena adanya pembauran mereka dengan sifat sirinya dalam masyarakat dan peranannya dalam Pemerintahan Kutai (salah satu turunannya ada yang merjadi Raja Kutai). Begitu pula dalam hal penyerapannya terhadap ragam bias budaya Dayak karena adanya kebijakasanaan Pemerintah Kutai kepada suku Dayak yang tampak dalam Undangundang Kerajaan "Panji Selaten" dan mereka hidup berbaur dalam masyarakat Kutai. Penyerapan terhadap budaya Bugis, Makassar dan Dayak menyebabkan difusi kebudayaan yang terjadi dalam keragaman hiasan nisan dan jirat kompleks makam Raja Kutai.

The Ornamentation on Nisans and Jirats at Complex of Grave for Kings of Kutai at 18-20 of the CenturyThis study concentrates on the archaeology of The Complex of Grave for Kings of Kutai, especially, the ornamentation on the nisans and the jirats. By administrative, the complex is located in Tenggarong, the capital regent for Kutai Regent, East Kalimantan, The location is exactly at the north or at the right of Mulawarman Museum (it was a palace of Kutai kingdom). The complex has 142 graves but they are only 20 graves of them to be as samples. The nisans and the jirats of graves have many beautiful of forms of ornamentation. A nisan and a jirat are elements of grave. A nisan is a sign which also mentioned a tomb stone and a jirat is a subbasement of grave. According to Ambary that nisans in complex of grave for kings of Kutai are typical of Bugis-Makassar influenced by the Dayak tradition. As far as he said, it doesn't seem if forms of ornamentation are derived from Bugis, Makassar and Dayak tradition in detail or not.
Because of that reason, the study formulated is the relationship among nisans and jirats at the complex of graves for king of Kutai and the ornamentation of Bugis, Makssar and Dayak based on the aspect of ornamentation.
The objective of this study are to identify the ornamentation on nisans and jirats in the complex of grave for kings of Kutai, and to identify the ornament influenced by Bugis, Makassar and Dayak's ornamentation into nisans and jirats in that complex of graves for king of Kutai.
To this case, the classification approach will be relevance to resolve the hypotheses above and also to the objective is. Technically, the writer must classify all ornament of all traditions into groups and types. The all types are compared to get the background characters.
At the end of this scientific work is shown, that results are that ornamentation on nisans and jirats in the complex of grave for Kings of Kutai are influenced by Bugis, Makassar and Dayak tradition. The forms of ornamentation are derived from i.e.: 1. Tradition of Bugis: sheets of rose, stars, hitters, triangles and escutcheons. 2. Tradition of Makassar: sheets of rose, buds of flower, rosettes, lattice (swastikas), escutcheons, circles, triangles, snakes and hitters. 3. Tradition of Dayak: sheets of flower, roses, hitters (blontang), pelipits (smallish of folds) and snakes. 3. Tradition of the Islam age of Kutai: Kufi of calligraphy, lattice-works (swastikas of banji), tails and heads of snake stylized by flora and snake body stylized by pelipit (smallish of folds) and frames of mirror.
That's for the abstract of the study for ending the duty to the mastery degree. The hoping, it will contribute to all researchers. To all professors contributed the knowledge, thank them very much.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>