Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Farida N. Srihadi
Abstrak :
Tesis ini membahas fenomenologi pengalaman estetika menurut Mikel Dufrenne (1910-1995) seorang filsuf yang menerapkan fenomenologi dalam kajian estetika. Buku monumentalnya, La Phenomenologie de L'esthetique, kami jadikan sebagai sumber utama bahan penelitian. Dufrenne membuat semacam struktur pokok pemikiran fenomenologi estetikanya kedalam 4 bagian: fenomenologi obyek estetis, fenomenologi persepsi estetis, analisa karya seni, dan pengalaman estetis. Fenomenologi obyek estetis Dufrenne bersifat dialektis yaitu hubungan timbal balik antara obyek estetis dengan persepsi estetis yang mengakibatkan terbentuknya pengalaman estetis. Pengalaman estetis berkaitan dengan obyek estetis yang dialami. Pengalaman estetis ini bersifat intensional dimana ada Baling ketergantungan antara pikiran (noesis) dengan fenomena (noema), sehingga hubungan subyek-obyek persepsi bersifat antropologis. Persepsi estetis berbeda dengan obyek estetis. Obyek estetis adalah hakekat karya seni dalam kesadaran, sedangkan pengalaman estetis yang paling murni bersumber dari karya seni. itu. Dufrenne membentuk teori persepsi yang terdiri dari tiga tahapan: pertama, persepsi sebagai kehadiran, bersifat global, prareflektif dan merupakan kesatuan; kedua, hubungan persepsi dengan representasi dan imajinasi yang cenderung mengobyektifkan persepsi: ketiga, kaitan persepsi dengan refleksi dan perasaan. Kualitas afektif dari obyek estetis memiliki apriori yaitu apriori kosmologis dan apriori eksistensial yang memungkinkan dunia tereskpresi. Kebenaran seni adalah kebenaran kualitas afektif yang bersifat imanen dalam persepsi indrawi dan pengalaman estetis. Pada rekonsiliasi subyek-obyek yang terjadi melalui persepsi dan pengalaman membentuk kedalaman estetis. Dufrenne memberi dua batasan karya seni 1) Seni formal yang mengasumsi ketentuan, berupa konsistensi dan keselarasan dari pengamatan. Batasan ini melibatkan komposisi yang khas. 2) Seni sebagai suatu menifestasi kecerdasan melalui ekspresi yang melampaui makna karya. Dufrenne membentuk seni berdasarkan spesifikhya atas elemen formal dan skema organik. Skema organik adalah cara melihat kehadiran karya. Dufrenne menganalisis musik dan lukisan dengan syarat skema formal, alasannya karena seni hadir melalui faktor temporal dan keuangan. Dufrenne menganalisis karya piktorial melalui teori penciptaan, yaitu elemen-elemen dasar: keselarasan, irama dan melodi. Metode pengalaman estetis dari Dufrenne memberikan tempat pada pengamat atau penikmat obyek estetis. Pengalaman estetis harus benar-benar membawa pengertian a priori terhadap rasa haru. Pengalaman estetis memerlukan apriori afektif, supaya obyek estetis melalui keekspresifannya, mampu membuka relasi dengan dunia. Apriori afektif dibedakan atas: 1) Apriori kosmologis yang ada didalam obyek sehingga memungkinkannya dipersepsi. 2) apriori eksistensial yang berada dalam subyek konkret, yang memungkinkan subyek melalui pengalaman estetisnya, mempersepsi karya seni secara estetis dengan memberi anti, nilai dan keunikan karya seni. Subjek konkret ini, mungkin saja seniman atau penonton yang mampu membawa ekspresi seniman itu. Apriori afektif memiliki dua kondisi yaitu sensibilitas dan pemahaman yang menimbulkan pemikiran terhadap objek estetis. Realita memerlukan dunia estetis untuk tampak nyata, sehingga suatu penilaian dapat dilakukan. Dengan memberi signifikasi atau pemaknaan ontologis terhadap pengalaman estetis, diakui bahwa aspek kosmologis eksistensial merupakan apriori afektif sebagai pemakna atau menjadi rasa dari realitas, yaitu nilai-nilai estetis.karya seni.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T.M. Sjahriar Halim
Abstrak :
Dalam menelusuri pemikiran fenomenologik Ortega Y Gasset di bidang estetika, kita jumpai bahwa pada awalnya ia berpijak pada batu loncatan epistemologik yaitu bahwa yang dicari filsafat maupun ilmu pengetahuan adalah kebenaran. la menemukan bahwa metode yang cocok untuk mencapai kebenaran adalah metode fenomenologik dengan gagasan intuisi tetapi ia menolak lembaga reduksi eiditis karena ia menyadari bahwa ia berhaluan anti-idealistis. Metode fenomenologik mencakup struktur unsur-unsur subjek dan objek yang selalu berada dalam hubungan saling berkaitan, memerlukan, dan kerja sama, tetapi dua ini tidak pernah dan tidak mungkin melebur jadi satu. Jadi kebenaran tergantung dari kebenaran hubungan-hubungan tadi. Demikian dalam tinjauan fenomenologiknya tentang estetika yang mencakup seni ia mengemukakan terus menerus unsur-unsur kerja sama antara subjek kreatif dan objek estetik. Hakekat sesuatu ia temukan melalui kegiatan rasio atau berpikir yaitu melalui berpikir secara dialektik yang sekaligus merupakan berpikir fenomenologik, dengan ini ia artikan bahwa objek itu yang akan memimpin pikiran kita ke benda pada dirinya. Karena Ortega y Gasset mengutamakan realitas hidup,ia menghargai dan mencintai kemajemukan dan keanekaragaman. Bukan begitu saja, ia menghargai secara tersendiri setiap unsur yang tampil kepada subjek dalam realitas hidup itu, dengan sendirinya ia menghargai juga setiap sudut pandangan. Sudut pandangan ini bergantung pada keadaan seseorang, maka keadaan seseorang berperan sangat besar dalam kehidupan seseorang. Jika kita melihat lebih dekat keadaan itu, maka ternyata bahwa keadaan dari setiap bagian dalam keadaan itu terikat pada banyak hal yang tak dapat terlepas darinya. Setiap bagian dikelilingi pula oleh suatu keadaannya. Begitulah suatu benda terikat secara sambung-menyambung dan secara kait-berkaitan dengan banyak hal dan benda lain dalam keseluruhan yang karenanya terus menerus berubah-ubah. Tak mungkinlah melihat suatu benda atau hal secara terisolir dari keadaannya, secara fragmentaris. Mungkin yang dimaksud Ortega y Gasset: harus ditanggapi secara holistik atau seperti dalam teori Gestalt. Setiap objek berada dalam dialektika dari benda-benda nyata. Bukan dalam dialektika teoritis dari satu konsep ke konsep lain dalam kesadaran. Juga bukan dalam perenungan dan perumusan belaka dalam rasio murni. Demikian juga dalam bidang estetika, dengan berpikir dialektik dari pihak subjek (sebagai kesadaran yang aktif dalam kehidupan praktis), subjek ini menemukan konsep objek estetik; dalam tahap kedua konsep dalam kesadaran subjek, menimbulkan keinginan pada subjek untuk mengekspresikannya dalam satu ujud kebendaan; akhirnya ia mengkreasi suatu karya seni. Kiranya tahapan-tahapan ini sejajar dengan tahapan-tahapan cipta, rasa, karsa. Dalam satu dialektika dari benda-benda nyata, mungkin saja subjek kreatif sendiri ikut serta di sini, begitu juga subjek pemirsa dan penilai, karena semua memang berada dalam satu masyarakat yang saling mengakibatkan gerak secara praktis. Yang paling berperan dalam proses kreativitas ialah jarak antara subjek kreatif dan objek estetik yang menimbulkan jarak pula antara karya seni dan subjek pemirsa. Jarak ini dapat mengakibatkan terjadi keterasingan cirri-ciri manusiawi dalam seni yaitu, subjek kreatif tidak berhasil membawakan ciri-ciri manusiawi melalui karya seninya kepada subjek pemirsa. Ortega Y Gasset juga mengemukakan persoalan jarak agar kepada subjek pemirsa dapat diterapkan predikat nilai memirsa dengan sikap estetis, dimana ada dua patokan memirsa, yaitu secara tanpa pamrih dan secara tanpa prasangka atau terjarak. Ortega y Gasset berulang kali menekankan bahwa patokan-patokan untuk sikap estetis berlaku pula untuk sikap etis. Yang dipersoalkan dalam estetika adalah dialog antara unsur subjek kreatif dan objek estetik maupun karya seni dan subjek pemirsa dan menyangkut keindahan. Yang dipersoalkan etika adalah subjek pelaku dan menyangkut kebaikan. Dan memang, sebagai mana di Timur ada pendapat-bahwa yang indah itu baru indah jika baik dan yang baik itu baru baik jika indah, maka apa yang berlaku untuk yang indah berlaku juga untuk yang baik, bahkan sekaligus berguna. Dan karena pengalaman estetik adalah sejajar dengan pengalaman religius, maka sikap yang seharusnya dikejar adalah satu sikap dimana sikap estetis, sikap etis dan sikap religius berdialektika dengan kesamaan hak. Hal ini memang wajar karena wilayah seni, etika maupun religiusitas, bahkan kegunaan, berada dalam keadaan kait-berkaitan, saling memerlukan dan saling menunjang secara keseluruhan dalam realitas yang disebut kehidupan manusia. Contohnya: fenomena dehumanisasi dalam seni oleh angkatan muda, kita harus hadapi dengan tanpa pamrih dan dengan jangan terjarak terhadap anak muda, tanpa marah dan dengan pengertian, serta menghargai anak muda yang ingin bergaya memberi satu kejutan, dan membimbingnya melihat nilai-nilai luhur dalam kehidupan nyata melalui seni. Demikianlah Ortega Y Gasset memperlihatkan bagaimana Subjek kreatif, Objek estetik dan Subjek pemirsa merupakan tiga unsur yang selalu berada dalam dialektika di bidang estetika, dan bahwa subjek kreatif dengan objek estetik, dan karya seni dengan subjek pemirsa selalu berdialog dalam satu fenomena seni.
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16099
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Febriyanti
Abstrak :
Sebagai sebuah nilai estetika, kawaii memiliki banyak manifestasi. Salah satu manifestasi nilai estetika kawaii tersebut adalah dalam aspek fashion. Dalam kawaii fashion, genre yang paling dikenal luas adalah Lolita-kei. Lolita-kei adalah genre kawaii fashion yang terinspirasi dari gaun bangsawan di Eropa pada era Victorian dan Rococo. Nilai-nilai estetika Eropa pada era Victorian dan Rococo ini diadaptasi ke dalam Lolita-kei lewat nilai-nilai kawaii. Pada akhir skripsi akan terlihat perpaduan nilai estetika Victorian, Rococo dan kawaii menyebabkan lahirnya subgenre dalam Lolita-kei yang masing-masing memiliki porsi nilai estetika Eropa dan kawaii yang berbeda-beda. Nilai-nilai estetika ini tampak dalam warna dan potongan pakaian, aksesoris, tata rias dan tata rambut. ...... As an aesthetic value, kawaii has a lot of manifestations. One of those manifestations is in the fashion aspect. Among other genres in the kawaii fashion, Lolita-kei is the most well known. Lolita-kei is a genre of kawaii fashion that is heavily influenced by Europe's aristocrats clothing during Victorian and Rococo times. The classic Victorian and Rococo aesthetics are adapted into Lolita-kei through the kawaii aesthetics. In the end of the research, it is apparent that the mix between the Victorian, Rococo, and kawaii aesthetics caused the birth of subgenres in Lolita-kei, in which each of the subgenres have different proportions of European and kawaii aesthetics. The mix of these aesthetics will be apparent in the color and cut of the clothings, accessories, make-up and hairdressing.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56889
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Graham, Gordon
London: Routledge, 1997
111.85 GRA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nyoman Kutha Ratna
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007,
801.93 Rat e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 2005
111.85 ROU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sim, Stuart
New York: Harvester Wheatsheaf, 1992
111.85 SIM b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bologna: Societa editrice il Muline, 1976
111.85 EST
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Spitteler, Carl
Zurich: Artemis-Verlag, 1947
111.85 SPI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>