Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maura Dinda Helmina
"Asas keadaan diam mengatur bahwa sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan, harta pailit debitur akan dalam keadaan diam di bawah sita umum kurator, yang kemudian harta tersebut akan dikelola dan diurus oleh kurator hingga proses kepailitan berakhir. Sita umum terhadap harta pailit debitur menyebabkan tidak ada satupun pihak yang diperbolehkan untuk mengalihkan maupun mengeksekusi harta pailit tersebut, baik debitur, kreditur, maupun pihak ketiga. Meskipun demikian, penerapan asas keadaan diam sendiri masih belum diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, sehingga masih menimbulkan banyak kekeliruan dalam penerapannya. Salah satunya adalah terkait dengan penerapan asas keadaan diam terhadap kreditur pemegang jaminan hak kebendaan atau terhadap kreditur separatis. Mengacu pada hukum keperdataan, kreditur separatis seharusnya memiliki hak didahulukan untuk melakukan eksekusi sendiri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hak tersebut harus ditangguhkan terlebih dahulu selama harta pailit dalam keadaan diam atau yang disebut juga sebagai masa stay, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penelitian ini akan membahas mengenai kesalahan majelis hakim dalam menerapkan asas keadaan diam perkara Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 serta membahas mengenai akibat hukumnya terhadap kreditur pemegang jaminan hak kebendaan atau kreditur separatis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menganalisis bagaimana majelis hakim menerapkan asas keadaan diam serta penerapan dan akibat hukumnya berdasarkan Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Dalam analisis yang dilakukan ditemukan bahwa majelis hakim dalam kasus pada Putusan Nomor 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 telah salah menerapkan hukum dengan mengesampingkan ketentuan periode keadaan diam yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

The principle of stay (automatic stay) provides that from the moment it is declared bankrupt by the court, the debtor's insolvent property will be in a state of stay under the general confiscation of the curator, which property will then be managed and taken care of by the curator until the insolvency proceedings end. The general confiscation of the debtor's insolvent property causes no party to be allowed to transfer or execute the bankruptcy property, whether the debtor, creditor, or third party. However, the application of the principle of stay itself is still not comprehensively regulated in Law Number 37 of 2004, so it still causes many errors in its application. One of them is related to the application of the principle of stay to creditors holding guarantees of treasury rights or to separatist creditors. Referring to civil law, separatist creditors should have the right of precedence to carry out their own executions. Meanwhile, in Law Number 37 of 2004, this right must be suspended first as long as the bankruptcy property is in a state of stay, also known as the stay period, which is regulated in Article 56 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004. This study will examine the panel of judges' error in applying the principle of stay in the case of Decision No. 494 K / Pdt.Sus-Pailit / 2013 and the legal consequences for creditors holding treasury rights guarantees or separatist creditors. The research method used in this study is to use normative juridical research methods by analyzing how the panel of judges applies the principle of stay and its application and legal consequences based on Decision Number 494 K / Pdt.Sus-Pailit/ 2013. In the analysis, it was found that the judges in the case of Decision No. 494 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 had misapplied the law by setting aside the provisions of the period of stay regulated in Article 56 paragraph (1) of Law Number 37 of 2004."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Azmi Syahrani
"Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah metode penyelesaian sengketa yang terkenal dan sudah lama ada. Namun pada nyatanya dalam dunia bisnis masih banyak yang akan memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriterianya lebih terpercaya dan sesuai dengan bisnisnya dan memiliki risiko yang relatif kecil terhadap kegiatan usahanya yaitu salah satunya merupakan Arbitrase. Kepailitan adalah penyitaan umum semua harta kekayaan debitur pailit, dengan Kurator yang mengurus dan menyelesaikan harta kekayaan itu di bawah  pengawasan Hakim Pengawas. Berdasarkan hal tersebut, Penulis mengangkat tiga pokok permasalahan yaitu bagaimana pengaturan dan praktik permohonan pengajuan pailit di Indonesia berdasarkan putusan pengadilan arbitrase asing beserta analisa terhadap putusan permohonan pengajuan pailit di Indonesia. Bentuk penelitian pada skripsi ini Bentuk penelitian pada skripsi ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penelitian eksplanatori preskriptif. Kesimpulan yang didapat adalah: 1) Secara keseluruhan, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban memiliki pengaturan yang mengatur permohonan pailit yang diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah tetap dan mengikat; 2) Pengaturan Undang-Undang Kepailitan, tidak secara spesifik mengatur mengenai pengajuan pailit yang berdasarkan putusan pengadilan arbitrase asing. Namun, dalam praktiknya, beberapa kasus mengenai pengajuan pailit berdasarkan putusan pengadilan arbitrase asing telah muncul di Indonesia, dan 3) Dalam Putusan Nomor 46/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst., penerapan ketentuan Undang-undang Kepailitan tentang pengambilan putusan Pengadilan Arbitrase Asing sebagai dasar permohonan pengajuan pailit di Indonesia dinyatakan tidak tepat.

Dispute resolution through general courts is a well-known and long-standing method of dispute resolution. But in fact, in the business world there are still many who will choose a dispute resolution forum which according to the criteria is more reliable and in accordance with their business and has a relatively small risk to their business activities, one of which is Arbitration. Bankruptcy is a general confiscation of all the assets of the bankrupt debtor, with the Curator managing and settling the assets under the supervision of the Supervisory Judge. Based on this, the author of this thesis raises three main issues, inter alia the regulations and practice of bankruptcy filings in Indonesia based on decisions of foreign arbitration courts along with an analysis of the decisions on filing for bankruptcy in Indonesia. The form of research in this thesis is juridical-normative with a prescriptive explanatory research typology. The conclusions drawn are: 1) Overall, Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Obligations has provisions governing bankruptcy applications filed based on court decisions that are final and binding; 2) Bankruptcy Law Regulations, do not specifically regulate bankruptcy filings based on decisions of foreign arbitration courts. However, in practice, several cases regarding filing for bankruptcy based on decisions of foreign arbitration courts have appeared in Indonesia, and 3) In Decision No. 46/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst., the application of the provisions of the Bankruptcy Law regarding making decisions The Foreign Arbitration Court as the basis for the application for bankruptcy in Indonesia was declared inappropriate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mikael Jose Martin
"Pandemi COVID-19 yang terjadi pada tahun 2020 silam telah menyebabkan gejolak terhadap keadaan ekonomi dunia. Pandemi COVID-19 tersebut diikuti dengan kejadian-kejadian tak terduga lainnya seperti perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan keadaan ekonomi global tidak kunjung stabil. Tingkat kepailitan di berbagai belahan dunia dan tidak terkecuali di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan, perusahaan-perusahaan besar bangkrut akibat gejolak ekonomi global ini. Dewasa ini, Hak Kekayaan Intelektual semakin diperhitungkan sebagai sebuah kekayaan atau aset perusahaan yang memiliki nilai. Hal tersebut ditunjukan dalam keseriusan pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan mengenai Hak Kekayaan Intelektual sebagai objek jaminan utang. Perusahaan-perusahaan yang memiliki hak kekayaan intelektual sebagai asetnya tentu tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi global yang mungkin akan semakin parah di tahun-tahun kedepan. Hal ini menimbulkan masalah apabila perusahaan-perusahaan tersebut pada akhirnya mengalami Kepailitan. Bagaimana jika ada lisensi terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang mereka miliki sedangkan Hak Kekayaan Intelektual tersebut menjadi Harta Pailit dan berstatus objek sengketa. Apa akibatnya terhadap pihak-pihak yang memiliki lisensi atas Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Melalui penelitian ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang akan timbul jika benar hal tersebut terjadi.

The COVID-19 pandemic that occurred in 2020 has caused turmoil in the world economy. The COVID-19 pandemic was followed by other unexpected events such as the Russia-Ukraine war which caused the global economy to remain unstable. Bankruptcy rates in various parts of the world including Indonesia has experienced a significant increase, large companies went bankrupt as a result of this global economic turmoil. Today, Intellectual Property Rights are increasingly considered as a company's property or assets that have value. This is shown in the seriousness of Indonesian government in implementing policies regarding Intellectual Property Rights as objects of debt guarantees. Companies that have intellectual property rights as their assets are certainly not free from the effects of the global economic crisis which could get worse in the coming years. This creates a problem if these companies eventually go bankrupt. What if there is a license to their Intellectual Property Rights while the Intellectual Property Rights becomes a Bankruptcy Asset and in a status of dispute object. What are the consequences for the parties who have licenses for these Intellectual Property Rights. Through this research, these problems will be analized should this matter eventually occur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rivaldi Rizqianda Pratama
"Actio pauliana dalam kepailitan adalah suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk membatalkan tindakan debitor yang dilakukan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sebelum tanggal putusan peryataan pailit, yang mengakibatkan kerugian bagi harta pailit dan kreditor pada umumnya. Actio pauliana termasuk dalam tuntutan kepailitan lainnya. Hal tersebut mengakibatkan, mekanisme dan pembuktian di persidangan harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memiliki 2 (dua) aspek yang penting yaitu pertama, asas integrasi, dan kedua, sifat pembuktian sederhana. Namun, kedua hal tersebut tidak dapat serta merta dilaksanakan dengan baik di lapangan. Ada masalah mengenai sifat gugatan kontentiosa, teknis persidangan, jangka waktu,  hingga aplikasinya. Oleh karena itu, penelitian ini akan meneliti mengenai permasalahan seputar gugatan actio pauliana dalam kepailitan dari segi pembuktian sederhana dan asas integrasi sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia dengan penyelesaian yang solutif dari studi pustaka maupun pandangan para praktisi.

Actio pauliana is a bankruptcy institution formed to cancel the debtor's actions that occurred at least 1 (one) year prior to the date of the decision and resulted in losses to the bankrupt's assets and creditors in general. Actio pauliana is included in other bankruptcy lawsuits under the Indonesian Bankruptcy and Suspension of Payments Law. As a result, the trial procedure and evidence are consistent with the Indonesian Bankruptcy and Suspension of Payments Law. The Indonesian Bankruptcy and Suspension of Payment Law is significant in two aspects: first, it is based on the principle of integration, and second, it is based on simple evidence. However, these 2 (two) tasks cannot be accomplished easily in the field. There are issues with the contentious lawsuit's character, the technical aspects of the trial, the timeline, and its application. Thus, this research will delve deeper into the issues surrounding the actio pauliana lawsuit in bankruptcy in terms of simple evidence and the principle of integration under Indonesia's Bankruptcy and Suspension of Payments Law and propose a solution based on both a literature review and practitioner opinion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Hiphanna
"Sejumlah studi menunjukkan peningkatan jumlah perusahaan yang masuk dalam kategori zombie firm dalam satu dekade terakhir terutama pada masa pandemi COVID-19. Perusahaan-perusahaan zombi memenuhi ciri-ciri perusahaan yang memenuhi kriteria kebangkrutan. Hal ini mengindikasikan bahwa para investor perlu memperhitungkan kondisi ini sebelum melakukan strategi investasinya. Begitu pula, para manajemen perusahaan perlu untuk waspada akan kemungkinan perusahaan yang dipimpinnya masuk dalam kategori zombi sebelum mengambil langkah-langkah jenis pendanaan untuk pengembangan bisnisnya. Saat ini ada beberapa model identifikasi kebangkrutan yang lazim digunakan seperti Altman Z-score dan Merton Naïve Model. Kedua model tersebut memiliki keterbatasan dalam penggunaannya terutama adanya asumsi-asumsi dan kondisi yang melekat pada setiap model. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis model zombie firm untuk kasus di Indonesia. Pertanyaan penelitian utama yang diajukan adalah apakah model zombie firm dapat menjadi alternatif untuk mengukur risiko kebangkrutan suatu perusahaan. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang tersedia terhadap perusahaan-perusahaan non-finansial yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia sejak tahun 2011 hingga 2020. Penelitian ini juga dilakukan untuk menganalisis dinamika risiko kebangkrutan berdasarkan model zombie firm serta untuk mengetahui kemungkinan sebuah perusahaan apakah akan keluar dari status zombi-nya di tahun-tahun mendatang. Hasil penelitian menunjukkan adanya konsistensi antara hasil perhitungan indikasi perusahaan yang memiliki risiko kebangkrutan zombie firm dengan model kebangkrutan Altman Z-score atau Merton Naïve Model. Hasil penelitian juga menggambarkan dinamika tren hubungan antara variabel zombie firm model terhadap kenaikan atau penurunan jumlah perusahaan yang terindikasi sebagai zombi. Pada akhir bagian pembahasan, dengan menggunakan Wilcoxon Sum Rank Test, hasil penelitian menunjukkan kecenderungan perusahaan keluar dari status zombi untuk tahun-tahun tertentu.

Some studies show increment in terms of numbers of companies that entered the status of zombie firm in last decade, especially during COVID Period. Zombie firms fit all the criteria for a company that has a high risk of bankruptcy. This indicates that investors need to consider a company’s zombie status before doing their investment strategy in such a company. Company management also needs to be aware of their company to not fall to this status before doing a funding strategy type to expand their business. Currently, there are several models that can be used as default risk identification, such as Altman Z-score and Merton Naïve Model. However, both models have its own limitations and assumptions that are attached to each model. This research aims to analyze zombie firms’ model for Indonesia case. Main research question is whether zombie firm model can be used as alternative for identification of a company default risk. This research uses secondary data that is available for all non-financial sector companies, traded on Indonesian Stock Exchange since 2011 – 2020. In this research, we also analyze the dynamic of default risk based on zombie firms and the probability of whether a company can recover from its zombie status in future years. Result show that there are consistencies between zombie firm models against its comparing model: Altman Z-score or Merton Naïve Model. The results also show trend dynamic between zombie firm variables regarding increase or decrease numbers of identified zombies. At the end of discussion, by using Wilcoxon Sum Rank Test, results show some tendencies that companies recover in certain years."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Syamirah
"Penulisan skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum kreditor separatis dalam kepailitan debitor dengan studi kasus kepailitan PT Kertas Leces. Dengan dipailitkannya debitor berakibat pada pemenuhan piutang kreditor yang akan dilakukan berdasarkan kedudukan kreditor tersebut. Kreditor pemegang jaminan hak tanggungan merupakan kreditor separatis yang memiliki kedudukan yang didahulukan dan terpisah di antara kreditor lain, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Kreditor separatis dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap benda jaminan yang dipegangnya sebagaimana diakomodir dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) serta Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT). Namun demikian, tidak selamanya hak kreditor separatis tersebut terlaksana dengan baik yang mana terkadang terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap hak kreditor separatis. Dalam tulisan ini, permasalahan tersebut diteliti dengan bentuk penelitian yuridis normatif dengan menggunakan studi kepustakan yaitu mengkaji serta menganalisis putusan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa selain kreditor separatis berkedudukan didahulukan dan terpisah dari kreditor lain, kreditor separatis berhak untuk melaksanakan haknya dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah masa insolvensi. Jangka waktu 2 (dua) bulan di sini merupakan jangka waktu kreditor separatis untuk memulai melakukan upaya-upaya untuk mengeksekusi benda jaminan yang dipegangnya.

The writing of this thesis discusses the legal protection of separatist creditors in debtor bankruptcy with a case study of the bankruptcy of PT Kertas Leces. With the bankruptcy of the debtor, it will result in the fulfillment of the creditors receivables which will be carried out based on the creditor's position. Creditors whom holding security rights are one of separatist creditors who have precedence and are separate from other creditors, unless otherwise stipulated by law. Separatist creditors can carry out their own execution of collateral in their possession as accommodated in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment Act (UUK-PKPU) and the Law No. 4 of 1986 on Mortgage Rights Law (UUHT). However, the rights of separatist creditors are not always carried out properly, which sometimes there are deviations to the rights of separatist creditors. In this paper, this problem is examined by means of normative juridical research using a librarian study, namely examining and analyzing decisions using the relevant laws and regulations. From this research, it can be concluded that although the separatist creditors having priority and separate from other creditors, the separatist creditors are entitled to exercise their rights within a period of 2 (two) months after the insolvency period. The period of 2 (two) months here is the period in which the separatist creditors begin to make efforts to execute the collateral in their possession."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niniek Suparni
Jakarta: Rineka Cipta, 1990
346.078 NIN k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Niniek Suparni
Jakarta: Rineka Cipta, 1992
346.078 NIN k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Suyudi
Jakarta: Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, 2003
346.078 ARI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
<<   3 4 5 6 7 8 9 10 11 12   >>