Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dalam pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Presiden. Keterangan Presiden merupakan keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok permohonan yang merupakan hasil koordinasi dari menteri-menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait. Mengingat kesibukan Presiden yang sangat padat baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan, maka Presiden dapat menunjuk kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait. Oleh karena kedudukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku pembantu Presiden di bidang hukum dan hak asasi manusia, yang salah satu tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan, maka Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia secara permanen ditunjuk menjadi kuasa Presiden dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Judicial review yang digagas oleh Muhammad Yamin dalam Rapat BPUPKI pada tahun 1945 namun hal itu tidak diterima. Judicial review merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), gagasan tersebut dapat dikatakan sebagai cikal bakal MK. Dalam KRIS 1949 judicial review mendapatkan wadah konstitusional namun dalam bentuk pengujian peraturan perundang-undangan tingkat daerah negara bagian terhadap konstitusi, sedangkan undang-undang Federal tidak dapat diganggu gugat dan dilanjtkan dalam UUDS 1950, sebagai cerminan sistem/paham supremasi parlementer. Gagasan tersebut muncul kembali di akhir pemerintahna Orde Lama namun dalam bentuk legislative review/political review namun MPRS gagal mewujudkannya. Barulah pada Era reformasi tahun 2000 legislative review tersebut terwujud melalui TAP MPR No. III/MPR/2000, kemudian dengan dibentuknya MK pada perubahan UUD 1945 tahun 2001-2002 mendapatkan bentuknya yang konkret dan dijabarkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu singkat MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tumbuh dan berkembang menjadi lembaga negara yang berwibawa dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan politik dan hukum ketatanegaraan antara lain penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara, sengketa pemilihan umum (legislatif dan pilpres/wapres), dan pengujian UU yang putusannya relatif dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa, karena dianggap cukup adil dan berimbang, dan tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik di masyarakat. Selain itu yang berkaitan dengan penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia yang merupakan hak dasar bagi warga Negara yang antara lain selama ini termatikan secara politik dan keperdataan."
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai pengemban kuasa permanen Presiden dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Direktorat Litigasi Perundang-undangan sebagai unit esselon II pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, antara lain melakukan penyiapan penyusunan Keterangan Pemerintah dimulai dengan kegiatan analisis permohonan, pengumpulan bahan/data, melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait dengan pengujian undang-undang serta penyusunan konsep Keterangan Pemerintah dan Opening Statement. Oleh karena Keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok-pokok permohonan yang merupakan hasil koordinasi dari menteri-menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait, maka dalam penyusunan Keterangan pemerintah Direktorat Litigasi Perundang-undangan melakukan korrdinasi dengan Departemen, Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah Non Departemen, organisasi kemasyarakatan, organisasi agama, atau organisasi profesi serta mengundang narasumber baik dari lingkungan Akademisi, Praktisi, Profesional dan Lembaga Swadaya Masyarakat guna mencari masukan atau informasi terkait berbagai hal yang berhubungan dengan pokok-pokok permohonan."
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Metamorfosa konstitusi Indonesia selama usia Republik Indonesia (65 tahun) telah terjadi 5 kali. Metamorfosa Pertama merupakan perubahan dari negara jajahan menjadi negara merdeka yang berdaulat dengan konstitusi UUD 1945 yang menggantikan Indische Staatsregeling (IS 1925). Metamorfosa Kedua berupa penggantian juga dari UUD 1945 ke KRIS 1949. Metamorfosa Ketiga berupa perubahan sekaligus penggantian dari KRIS 1949 ke UUDS 1950. Metamorfosa Keempat berupa penggantian dari UUDS 1950 ke UUD 1945. Metamorfosa Kelima berupa perubahan pasal-pasal dan format dari UUD 1945. Metamorfosa ini berdampak sangat luas terhadap proses dan prosedur, jenis dan tata susunan, serta teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang kalau tidak disikapi dengan hati-hati dan konsisten sesuai dengan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum atau bertentangan dengan asas hierarki peraturan perundang-undangan yang akan bermuara di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung atau dibatalkan pemerintah pusat."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Judianti G. Isakayoga
Jakarta: Murai Kencana, 2011
323 JUD m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Mahrus Ali
"Pengujian norma konkret dalam putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya tidak menjadi kewenangan MK. Pengujian terhadap norma secara teoritis haruslah bertitiktolak dari norma abstrak sebagai implikasi kedudukan MK yang menjadi pengadilan norma dan mengujinya terhadap konstitusi. Untuk menilai konstitusionalitas norma undang-undang, maka norma abstraklah yang seharusnya ditafsirkan oleh MK. Sedangkan norma konkret lebih menitikberatkan implementasi atau penerapan dari norma itu sendiri. Penerapan norma tidak dapat dilepaskan dari legalitas norma, sedangkan konstitusionalitas norma adalah menguji kebersesuain norma tesebut dengan konstitusi. Apabila landasan pengujian norma adalah Undang-Undang Dasar 1945 maka norma abstrak yang seharusnya menjadi materi utama untuk diuji. Sebaliknya ketika norma konkret yang akan diuji, maka yang harus dipertimbangkan juga adalah penerapan dari norma tersebut yang sudah sudah masuk dalam kasus konkret yang terjadi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus (case approach) yaitu 15 (lima belas) putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang 2003-2013 dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 secara materiil yang memfokuskan pada ratio decidendi hakim konstitusi dalam menentukan konstitusionalitas norma. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa MK dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak memisahkan secara dikotomis antara norma abtrak dan norma konkret. Dalam upaya melindungai hak-hak konstitusional warga negara, tidak adanya upaya hukum lanjutan yang akan ditempuh oleh Pemohon, serta untuk memberikan kepastian hukum yang adil, MK mengabulkan pengujian norma konkret. Meskipun MK tetap tegas menyatakan bahwa hal tersebut adalah norma konkret, sehingga permohonan pemohon hanya dikabulkan sebagian pada pengujian norma abstraknya saja. Sedangkan dalam hal putusan MK yang menolak pengujian norma konkret karena norma yang diujikan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan norma dan permintaan putusan provisi (putusan sela) yang tidak relevan dengan pokok perkara. Pengujian norma konkret dalam putusan menolak adalah bentuk kehatian-hatian MK agar tidak mengadili perkara yang menjadi kewenangan peradilan lain yaitu Mahkamah Agung serta peradilan di bawahnya. Adapun terkait putusan yang menyatakan tidak dapat diterima, MK menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum serta MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji norma tersebut. Akhirnya, ke depan MK dalam perlu menegaskan perihal kedudukan norma sebelum melakukan pemeriksaan lebih mendalam terhadap permohonan yang diajukan. Di samping itu MK perlu diberikan kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atau pertanyaan konstittusional (constitutional question) sehingga terciptanya harmonisasi penafsiran berdasarkan konstitusi.

The review of conrete norms in the decision of judicial review of laws against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia basically does not constitute authority of the Constitutional Court. Theoretically, norms review should be starting from abstract norms as the implications of the Constitutional Court authority. In order to review the constitutionality of laws, norms and abstract norms should be interpreted by the Constitutional Court. While concrete norms focuse more on the implementation or application of the norm itself. The application of norms cannot be separated from the legality of the norms, while constitutionality of norms is related to its coherence with with the Constitution. If the basis of norms review is the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia then abstract norms should be the main subject matter to be reviewed. Otherwise, when concrete norms are the subject matters to be reviewed, then the implementation of the norms that have been applied in concrete cases. This research is using normative juridical method with case approach in which 15 (fifteen) verdicts of the Constitutional Court of Republic of Indonesia over the period of 2003-2013 in judicial review of laws against the 1945 Constitution are analyzed. The focus is on the ratio decidendi of the Constitutional Court judges in determining the constitutionality of norms. The result of this research shows that, the Constitutional Court, in the judicial review of laws against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia does not separate abstract norms and concrete norms dichotomously. In an attempt to protect the constitutional rights of citizens, the absence of legal remedies that can be further pursued by the applicant, as well as to provide legal certainty, the Constitutional Court, granted, in its decision, the review of concrete norms. Even though the Constitutional Court remains firm in satting that it is a concrete norm, the applicant's petition is granted in part which is concerning the review the abstract norms only. Whereas, with respect to the verdict of the constitutional court that rejected the review of concrete norms, it is because the review is not on the constitutionality of norms but the application of the norms and also concerns a petition for an interlocutory decision which is irrelevant to the subject matter of the case. The review of concrete norms in a rejecting ruling is a form of prudence by the Constitutional Court in order not to prosecute the matters which constitute the authority the other judicial bodies, namely the Supreme Court and the lower courts. As for the ruling which declared a petition inadmissible, the Constitutional Court stated that the applicant has no legal standing and the Constitutional Court does not have the authority to test these norms. Finally, in the future, the Constitutional Court needs to affirm the status of norms before further examining in depth the petition filed. In addition, the Constitutional Court should be conferred with the authority to hear constitutional complaint and constitutional question in order to create the harmonization of interpretation based on the Constitution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Soemantri Martosoewignjo
Bandung: Alumni, 1986
342.02 SRI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Soemantri Martosoewignjo
Jakarta: Rajawali, 1984
342.02 SRI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>