Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
Tara Nadianti Kasih
"Perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan belum diatur dalam Statuta Roma. Dalam praktiknya, Mahkamah Pidana Internasional telah memutus perkawinan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa other inhumane acts dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menuntut perkawinan paksa sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil yurisprudensi di berbagai pengadilan internasional yang telah menangani terkait perkawinan paksa, penuntutan atas tindakan perkawinan paksa telah dilakukan dengan menerapkan ketentuan terkait tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbeda. Beberapa hasil putusan beranggapan bahwa perkawinan paksa lebih tepat untuk dituntut sebagai perbudakan seksual. Namun, dalam perkembangan terkini terkait penuntutan perkawinan paksa dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa perkawinan paksa dapat dituntut secara tersendiri di bawah Pasal 7(1)(k) terkait other inhumane acts. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perlindungan hukum yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menghukum tindakan perkawinan paksa dan meneliti terkait alasan hukum yang mendasari penentuan elements of crime dari perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu bagaimana kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen dapat menuntut perkawinan paksa secara tersendiri sebagai other inhumane acts. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan perkawinan paksa dan perbudakan seksual seringkali bersinggungan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh majelis hakim dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, perkawinan paksa pada umumnya terjadi dalam situasi yang juga mencakup perbudakan seksual. Namun, ketika pemaksaan status perkawinan mengakibatkan penderitaan yang melebihi dan berbeda dari perbudakan seksual, maka perkawinan paksa patut untuk dituntut secara tersendiri agar dapat mencakup keseluruhan tindakan, dampak yang diakibatkan, serta kepentingan yang dilindungi dari tindakan kejahatan yang dilakukan.
Forced marriage as a crime against humanity has not been regulated in the Rome Statute. In practice, the Court has prosecuted forced marriage as the crime against humanity of an other inhumane act and adopted the existing provisions to prosecute forced marriage as a crime against humanity. The jurisprudence from various international courts dealing with forced marriage has adopted different provisions regarding the crime against humanity to prosecute forced marriage. Some considers that forced marriage is more adequately prosecuted as sexual slavery, but recent developments regarding forced marriage in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen shows that the Court views forced marriage as a crime that needs to be charged separately under Article 7(1)(k) of the Rome Statute as an other inhumane act. Therefore, this study aims to determine the legal protections under the Rome Statute to protect victims from forced marriage and examine the judicial reasonings in determining the elements of crime of forced marriage as a crime against humanity, particularly in prosecuting forced marriage as a separate crime against humanity in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen. The results of this study found that the act of forced marriage and sexual slavery often intersect and are not mutually exclusive. As stated by the Trial Chamber in the case of Prosecutor v. Dominic Ongwen, forced marriages generally occur in situations in which women are sexually enslaved. However, when the imposition of marital status results in suffering that goes beyond sexual slavery, forced marriage should be prosecuted separately to warrant full responsibility of the perpetrator and to adequately represent the conduct, ensuing harm, and protected interests from the crime committed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Oxford: Oxford Univesity Press, 2015
345.01 LAW
Buku Teks Universitas Indonesia Library
McCarthy, Conor
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2014
341.66 MCC r
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Muladi, 1943-
"Membandingkan Konvesi Roma mengenai ICC (International Criminal Court) dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan sualu langkah awal yang harm dilakukan apabila ada niat pemerintah unluk meratifikasi Kovensi Roma. Sebagai syarat utama meratifikasi Konvensi Roma adalah menghindari adanya sualu ketidaksesuaian antara hukum nasional yang berlaku dengan Kovensi Roma Negara mempunyai tanggung jawab untuk melakukan penuntutan dan menyelaraskan hukum pidana dan hukum acara pidananya sesuai dengan konvensi. Konvensi Roma menyatakan "No reservations may be made to this Statute". Namun dalam UU No. 26/2000 penyelasaran yang dilakukan secara parsial telah menimbulkan suatu permasalahan dalam praktiknya, Komunilas hukum di Indonesia sangat mengerti kosekuensi dan meratifikasi Konvesi Roma seperti melakukan kerjasama dengan ICC dalam hal penyelidikan, penangkapan, dan pemindahan tersangka. Akan tetapi harusjuga dipikirkan foktor lain seperti dimungkinkannya ekstradiksi terhadap warga negara sendiri, menjamin berlakunya yurisdiksi universal. Dengan demikian beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan ratifikasi terhadap Konvesi Roma, agar tidak terjadi kesalahan dalam mengabil kebijakan."
2004
JHII-1-4-Juli2004-659
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
"Corruption and money laundering are two of many criminal acts conducted by state official. Realizing this, United Nations creates a convention that can handle such problem. The convention, UNCAC, took into action in the year of 2003. In Indonesia, the corruption conducted by Neloe, the director of a state owned bank, can't easily be solved. General attorney can hardly going back and forth to Switzerland where money put at, and bring the case to international criminal court in Denhaag. Indonesia has reformed its law system just like suggested by UNCAC, but there are so many domestic problems that cause the difficulties of bringing back the asset. The Indonesian law system seems doesn't support the effort, human resources are not so good, and Indonesian state official lack of technical skills. In the other side, there's no good coordination among Indonesian Law apparatus which also can be regarded as the main factor of the failure for taking back the asset."
PARADIGMA 15:2 (2011)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Hiariej, Eddy O.S., 1973-
Jakarta: Erlagga, 2010
341.48 EDD p
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Eddy Djunaedi Karnasudirdja
Jakarta: Tatanusa, 2003
343.014 3 EDD d
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Eddy Djunaedi Karnasudirdja
Jakarta: Tatanusa, 2006
323.4 EDD t
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Gultom, Erikson Hasiholan
Jakarta: Tatanusa, 2006
345.01 GUL k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Pangaribuan, Aristo Marisi Adiputra
Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
341.77 PAN m (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library