Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Azis Thaba
Jakarta: Gema Insani Press, 1996
297.632 ABD i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
A. Suryana Sudrajat
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000
297.6 SUR t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifullah
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
297.272 SYA g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Cahyono
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992
297.636 HER p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Halliday, Fred
London: I.B. Tauris, 1995
297.272 HAL i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Palingei Hasyim
"Muhammadiyah di Sulawesi Selatan yang berdiri pada tahun 1926 dengan ketua pertamanya adalah Haji Muhammad Yusuf Daeng Maittiro dibantu oleh beberapa orang pengurus antara lain K.H.Abdullah, Mansyur Al Yantani, Haji Muhammad tahir Cambang, Haji Jaka dan lain-lain sebagainya dengan daerah operasinya hampir seluruh daerah pedalaman di Sulawesi Selatan.
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan modernisasi yang dimaksudkan disini adalah timbulnya gagasan dan cita-cita baru untuk memperbaiki cara hidup dan kehidupan beragama, maupun dalam kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, pendidikan-pengajaran dan politik memerlukan pembaharuan yang sesuai dengan kehendak dan kemajuan zaman.
Muhammadiyah dengan motivasi dan pendekatan pendidikan-pengajaran, sosial dan dakwah, mengembang misi untuk memurnikan ajaran Islam dari pengaruh kepercayaan tradisionil seperti tahyul, bid'ah dan khurafat yang berakar kuat di dalam masyarakat Bugis Makassar di Sulawesi Selatan.
Gambaran dari pada kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan awal abad ke-20 merupakan tantangan bagi pemuka-pemuka agama dan ulama yang perlu segera di atasi. Agama Islam yang mereka anut sejak abad ke 17 telah banyak diliputi oleh berbagai tafsir yang telah banyak menyimpang dari sumbernya yang asli, begitu pula kehidupan umat Islam telah banyak bercampur baur dengan perbuatan syirik, bid'ah dan khurafat yang membahayaakan kesucian agama Islam. Karena itu umat Islam perlu diajuk untuk kembali kepada kemurnian cita-cita ajaran Islam yang langsung bersumber pada AI-Qur'an dan Hadits.
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan melalui pendidikan baik formal maupun non formal dapat dikatakan secara bertahap berhasil merobah pola pikir dan tindakan masyarakat muslim terutama yang menyangkut aqidah, ibadah, muamalat dan perbuatan-perbuatan yang banyak di warnai oleh tahyul, dan kemusyrikitan. Upaya tersebut dilakukan Sebagai berikut :
Pertama, gerakan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan berupaya untuk mengembalikan citra umat Islam kepada kemurnian cita-cita ajaran Islam dengan memerangi kepercayaan tradisionil berupa tahyul, bid'ah, khurafat dan lain-lain sebagainya.
Kedua, gerakan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan berusaha merobah pandangan dan sikap hidup masyarakat yang usang, kemudian menciptakan sistem berpikir yang bebas dari ikatan-ikatan tradisionil, kolonialisme, feodalisme dan konservatisme.
Ketiga, Muhammadiyah sebagai organisasi sosial yang bertujuan untuk mengadakan pembaharuan dan modernisasi dalam bidang dakwah, pendidikan-pengajaran dan kemasyarakatan sesuai dengan tuntutan dan kehendak zamannya.
Keempat, usaha-usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan yang berfokus di Makassar menjadi model di daerah-daerah lain di Indonesia bagian Timur pada umumnya dan Sulawesi Selatan khususnya. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T2296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamarudin
"Liberalisasi politik yang melanda Indonesia di era reformasi ternyata berdampak pula terhadap eksistensi kekuatan politik Islam, yakni dengan hadirnya sejumlah besar partai politik Islam. Dari fenomena ini ada dua pertanyaan elementer yang mengemuka. Pertama, faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi kemunculan partai politik Islam di era reformasi ini? Kedua, bagaimana aksi partai politik Islam itu dalam menghadapi pemilu 1999 dan Sidang Umum MPR 1999?
Domestikasi Islam di dua rezim terdahulu melatarbelakangi lahirnya kehendak kolektif untuk memperkuat posisi politik Islam di era reformasi ini. Ketika kehidupan politik terbuka, kaum muslimin berkesempatan berpartisipasi di dalam sistem yang baru itu. Konteks semacam ini tidak bisa hadir jika eksistensi Soeharto sebagai lambang otoritarianisme Orde Baru masih bercokol. Di sisi lain, liberalisasi politik itu juga membuat kekuatan politik Islam melakukan perubahan strategi perjuangan, dari "Islam kultural" menjadi "Islam struktural."
Namun bukan berarti kehadiran partai politik Islam itu sepi polemik, terutama dilihat dari tiga hal berikut: kebangkitan kembali politik aliran, perlu tidaknya kehadiran partai politik Islam, serta jumlah partai politik Islam yang tepat bagi wadah aspirasi politik kalangan Islam. Di tengah-tengah polemik itulah, partai-partai politik Islam menghadapi pemilu 1999 yang secara kualitatif berbeda dengan pemilu-pemilu Orde Baru. Hasilnya, kekuatan politik non Islam berhasil memporakporandakan mitos mayoritas angka.
Kekalahan elektoral kekuatan politik Islam itu tentu menghentak kesadaran kolektif para aktivis partai politik Islam. Hanya saja mereka diuntungkan dengan sistem politik Indonesia yang tidak menempatkan pemilu sebagai penentu segala-galanya. Terlebih lagi jika perolehan suara PDI Perjuangan selaku pemenang pemilu 1999 tidak mencukupi untuk meraih posisi mayoritas mutlak di parlemen (single majority) atau sekalipun dengan simple majority. PDI Perjuangan yang memperoleh 153 kursi di DPR dan Partai Golkar 120 kursi, ternyata lebih kecil dari perolehan total kursi yang diraup partai-partai Islam, yakni 172 kursi.
Dalam menghadapi pertarungan politik di SU MPR, muncul inisiatif untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik Islam dalam sebuah barisan politik, yang dikenal dengan nama Poros Tengah. Sebelum ide di atas mengemuka, benih-benih penyatuan kekuatan politik Islam sebenarnya telah muncul. Pertama, pembentukan Forum Silaturahmi Partai-partai Politik Islam pada pra pemilu 1999. Kedua, Stembus Accord delapan partai politik Islam setelah pemilu 1999. Hasilnya, Poros Tengah yang bertumpu pada kekuatan lobi ternyata tampil mengesankan dengan merebut sejumlah posisi strategis. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aay Muhammad Furkon
"Pemikiran al-Ikhwan al-Muslimun yang diwakili Hasan al-Fianna dan Sayyid Quthub di Mesir ternyata diadopsi ke dalam gerakan sosial politik Islam di berbagai negara, tanpa terkecuali di Indonesia. Salimat al-Agldcrlr al-Islamiyah yang jadi tema pemikiran Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub merupakan fondasi bagi munculnya berbagai gerakan Islam. Dan implikasi dari salimat al-Agidah al-Islamiyah adalah terjadinya pengokohan terhadap Islam dan kenegaraan yang tidak memiliki keterpisahan. Sungguhpun demikian, pada tataran praktis ketidakterpisahan Islam dan politik acapkali diwarnai oleh kekacauan konsepsional, sehingga penyatuan Islam dan politik yang dianggap aksiomatik itu dalam pratiknya tidak serta merta menimbulkan kemaslahatan. Disinilah lalu, pentingnya konsep tarbiyah sebagaimana digagas al-Ikhwan al-Muslimun. Sebab tarbiyah dalam konsepsi al-Ikhwan al-Muslimun adalah upaya substansiasi untuk tujuan kemaslahatan dalam konteks hubungan yang tak terpisahkan antara Islam dan politik.
Terjemahan karya-karya Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub ke dalam bahasa Indonesia dan besarnya animo mahasiswa Indonesia belajar keislaman ke Timur Tengah merupakan faktor terjadinya transmisi di Indonesia. Di dalamnya termasuk juga tersedianya sarana masjid kampus untuk mempermudah para aktifis dakwah kampus untuk melakukan segala aktifitas keislaman. Seiring dengan berlangsungnya proses demokratisasi, maka gerakan Islam di kampus-kampus perguruan tinggi semakin leluasa mengembangkan kiprahnya. Kenyataan ini mengkondisikan berlangsungnya transmisi pemikiran Hasan al-Banna dengan intensitas yang tinggi.
Menarik menelaah kenyataan di atas dalam kaitannya dengan eksistensi Partai Keadilan. Karena pemikiran al-Ikhwan al-Muslimun yang diwakili Hasan al-Banna dan Sayyid Quthub ketika diadopsi Partai Keadilan sebagai bagian pemikiran politik terjadi modifikasi. Bahkan beberapa demon tentang hubungan Islam dan politik berada pada posisi yang kontradiktif dibandingkan dengan hubungan Islam dan politik dalam perspektif Partai Keadilan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11557
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ubedilah
"Tesis ini meneliti mengenai radikalisasi gerakan mahasiswa dengan studi kasus HMI MPO tahun 1998 hingga 2001. Rentang waktu ini merupakan rentang waktu dimana aksi-aksi HMI MPO menunjukkan radikalisasinya, misalnya terlihat pada penolakan HMI MPO terhadap pemerintahan Habibie, menolak sidang istimewa MPR, menuntut empat elit politik (Abdurrahman Wahid, Megawati, Amin Rais dan Akbar Tanjung) untuk mundur dari jabatannya, hingga munculnya pemikiran tentang perlu dibentuknya Dewan Presidium Nasional. Realitas ini memunculkan suatu pertanyaan bagi penulis, mengapa terjadi radikalisasi gerakan pada HMI MPO?
Penulis menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan multilevel analysis untuk menjawab pokok pennasalahan tersebut. Sebuah metode penelitian yang berusaha melukiskan realitas sosial yang komplek melalui penyederhanaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-konsep yang bisa menjelaskan suatu gejala sosial secara analitis. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka/dokumen dan wawancara. Sementara teori yang digunakan untuk menelusuri radikalisasi pemikiran politik HMI MPO adalah teori radikalisasi yang dikemukakan oleh Horace M Kallen yang mengemukakan bahwa radikalisasi ditandai oleh tiga kecendenmgan, pertama; radikalisasi merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, kedua; adanya upaya mengganti tatanan yang ada dengan tatanan lain yang digagasnya, dan ketika; kuatnya keyakinan kaum radikal terhadap program atau ideologinya. Untuk membantu menelusuri radikalisasi gerakan HMI MPO yang merupakan organisasi Islam, penulis memberi porsi bagi penggunaan teori pemikiran politik Islam khususnya yang berdekatan dengan pemildran politik Islam yang radikai. Hal ini terdapat pada Khomaini, Ali Syariati, dan Murthadha Muthahari yang pemikirannya mengilhami revolusi Islam Iran 1979.
Berdasarkan teori dan metode yang digunakan tersebut, serta data-data yang di lapangan ditemukan bahwa radikalisasi gerakan HMI MPO merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung ini ditemukan ketika penulis menelusuri sejarah munculnya HMI MPO maupun konteks perkembangan HMI MPO selanjutnya sebagaimana rentang waktu studi ini (tahun 1998 hingga 2001). Ini menunjukkan teori Horace M Kellen yang mengemukakan bahwa radikalisasi merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung, masih cukup relevan. Berdasarkan hal tersebut, ditemukan ada tiga faktor kondisi yang mempengaruhi terjadinya radikalisasi gerakan HMI MPO; Pertama, kondisi perkembangan dunia Islam pads akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, khususnya persentuhan HMI MPO dengan kondisi dunia Islam pada saat itu, yakni adanya peristiwa Revolusi Islam Iran tahun 1979. Dimana pemikir Islam seperti Khomaeni, Ali Syariati, dan Murthadha Muthahari yang sedikit banyak telah mengilhami revolusi Islam Iran, pemikirannnya telah jugs di baca kalangan aktifis HMI MPO hingga kemudian mempengaruhi lahimya Khirtah Perjuangan HMI MPO sebagai paradigma perjuangannya. Dalam Khiltah Perjuangan inilah terlihat persentuhan pemikiran antara HMI MPO dengan ketiga pemikir Iran tersebut, antara lain misalnya mengenai keyakinan HMI MPO terhadap ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, terrnasuk dalam hal politik. Dalam konteks ini, nampaknya pengaruh All Syariati lebih dominan dibanding Khomeini dan Murthadha Muthahari. Khittah Perjuangan tersebut digunakan sebagai materi utama atau materi pokok dalam perkaderan HMI MPO hingga saat ini, sehingga radikalisasi gerakan HMI MPO yang terjadi pada 1998-2001 sesungguhnya merupakan produk dari perkaderan HMI MPO yang menggunakan Khirtah Perjuangan tersebut sebagai hasil persentuhan HMI MPO dengan revolusi Islam Iran 1979.
Kedua, realitas kebijakan orde bani yang represif juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya radikalisasi gerakan HMI MPO. Hal ini terjadi ketiga Orde Baru mengeluarkan kebijakan Azar. Tunggal Pancasila melalui UU No.8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan dan HMI MPO menolak kebijakan tersebut (merujuk Horace M Kallen,ini menunjukkan kuatnya HMI MPO terhadap idiologi atau program yang dianutnya). HMI MPO kemudian muncul sebagai salah satu kelompok gerakan mahasiswa yang radikal yang melawan Orde Baru bersama kelompok radikal lainnya hingga jatuhnya Orde Baru tahun 1998. Kedge', realitas perkembangan reformasi yang dinilai oleh HMI MPO diwarnai kegagalan dengan adanya penghianatan terhadap agenda reformasi yang dilakukan elit politik pasca reformasi Mei 1998 adalah juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap munculnya radikalisasi gerakan HMI MPO. Hal ini terjadi hingga munculnya kehendak HMI MPO tentang perlu dibentuknya Dewan Presidium Nasional (DPN).
Merujuk pada teori Horace M Kallen, kehendak HMI MPO tentang DPN ini menunjukkan adanya upaya untuk menggantikan tatanan yang ada. Artinya terdapat relevansi teoritis atas realitas radikalisasi gerakan HMI MPO.
Selain itu, penulis menemukan bahwa radikalisasi yang terjadi pada HMI MPO tidak hanya sebagai respons terhadap kondisi yang ada, misalnya faktor persentuhan dengan perkembangan dunia Islam, represifnya Orde Baru, gagalnya reformasi, tetapi jugs terbentuk karena peran aktor atau tepatnya peran para pengader dan alumni HMI yang mendukung perjuangan HMI MPO. Tetapi justru karena peran itulah independensi HMI MPO sebagai sebuah organisasi menjadi berkurang, bahkan diragukan."
2001
T12251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library