Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2008
343.072 PRO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sinar Grafika, 2003
342.039 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Sinar Grafika, 2010
342.02 JIM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Malang: Setara Press, 2016
347.012 PUT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Judicial review yang digagas oleh Muhammad Yamin dalam Rapat BPUPKI pada tahun 1945 namun hal itu tidak diterima. Judicial review merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), gagasan tersebut dapat dikatakan sebagai cikal bakal MK. Dalam KRIS 1949 judicial review mendapatkan wadah konstitusional namun dalam bentuk pengujian peraturan perundang-undangan tingkat daerah negara bagian terhadap konstitusi, sedangkan undang-undang Federal tidak dapat diganggu gugat dan dilanjtkan dalam UUDS 1950, sebagai cerminan sistem/paham supremasi parlementer. Gagasan tersebut muncul kembali di akhir pemerintahna Orde Lama namun dalam bentuk legislative review/political review namun MPRS gagal mewujudkannya. Barulah pada Era reformasi tahun 2000 legislative review tersebut terwujud melalui TAP MPR No. III/MPR/2000, kemudian dengan dibentuknya MK pada perubahan UUD 1945 tahun 2001-2002 mendapatkan bentuknya yang konkret dan dijabarkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu singkat MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tumbuh dan berkembang menjadi lembaga negara yang berwibawa dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan politik dan hukum ketatanegaraan antara lain penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara, sengketa pemilihan umum (legislatif dan pilpres/wapres), dan pengujian UU yang putusannya relatif dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa, karena dianggap cukup adil dan berimbang, dan tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik di masyarakat. Selain itu yang berkaitan dengan penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia yang merupakan hak dasar bagi warga Negara yang antara lain selama ini termatikan secara politik dan keperdataan."
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The problem of children outside of marriage recently is to be an interested conversation in the middle of discussion between legal norm, religion and human rights. In a religious perspective, the issue of children outside of marriage has been determined, which is related to civil matters with his mother. Meanwhile, civil relationship with her mother-in human rights perspective-will only cause distress to the child's him/herself because someone who has a lot of wealth and power over is husband. In addition to to civil relationship with the mother, it will only cause the husband abuse the mother. Therefore, the constitutional court's decision that states children outside of marriage also have a civil relationship with their father is also a new breakthrough that gives a sense of justice."
EDISMIKA 5:1 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lorita Fadianty
"Ketidakstabilan ekonomi terkadang menyebabkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi berdasarkan Pasal 164 ayat 3 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam rangka menyelamatkan perusahaan. Pemutusan hubungan kerja alasan efisiensi sebagaimana ketentuan Pasal 164 ayat 3 Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012 menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja alasan efisiensi dapat dilakukan apabila perusahaan tutup secara permanen. Sebaliknya, dalam beberapa putusan Mahkamah Agung serta praktek di beberapa perusahaan, pemutusan hubungan kerja alasan efisiensi dapat dilakukan tanpa harus menutup perusahaan secara permanen sepanjang pelaksanaannya tidak melanggar ketentuan perundang-undangan. Adanya dua putusan yang berbeda ini mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum serta ketidakadilan baik dari sisi pengusaha maupun pekerja sehingga penulis bermaksud untuk meneliti lebih dalam terkait penerapan pemutusan hubungan kerja alasan efisiensi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan kaitannya dengan hak pengusaha dan pekerja. Metode penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif berdasarkan bahan pustaka dan data sekunder. Hasil dari tulisan ini pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa efisiensi tanpa perusahaan tutup secara permanen dapat dilakukan dalam rangka menyelamatkan perusahaan, terlebih,efisiensi merupakan hak pengusaha dan pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi tidak dilarang oleh Undang-undang Ketenagakerjaan.

Economic instability sometimes causes companies to terminate employment for reasons of efficiency based on Article 164 paragraph 3 of Law No.13 of 2003 concerning Manpower in order to save the company. Termination of employment reasons for efficiency as stipulated in Article 164 paragraph 3 of Law No.13 of 2003 concerning Manpower has been made Judicial Review to the Constitutional Court. The Court Decision No.19/PUU-IX/2011 dated June 20, 2012 states that the termination of employmen with efficiency reason can be done if the company is closed permanently.Conversely,in several Supreme Court decisions and practices in several companies,termination of employment with efficiency reasons can be done without having to close the company permanently as long as the implementation does not violate statutory provisions.The existence of these two different decisions resulted in the emergence of legal uncertainty and injustice both from the employers and workers side so that the author intends to examine more deeply about application of termination for efficiency reason post- Constitutional Court Decision and its relation to the rights of employers and workers. The research method carried out in this paper is normative juridical based on library materials and secondary data.The results of this paper finally conclude that the efficiency without the company permanently closes can be done in order to save the company,especially,efficiency is the right of employers and termination of employment with reasons for efficiency are not prohibited by the Manpower Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Kurnia
"ABSTRAK
Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan (Constitutional Review)
dapat diuji melalui mekanisme uji materil di Mahkamah Konstitusi (judicial
review), di Dewan Perwakilan Rakyat (legislative review), dan oleh Eksekutif
(excecutive review). Untuk uji materil undang-undang dapat melalui 2 (dua)
mekanisme yakni melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi dan legislative
review di DPR meskipun hasilnya berbeda. Apabila Mahkamah Konstitusi
membatalkan norma sedangkan DPR menggantikan norma. Akhir-akhir ini ada
warga negara apabila ingin mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi
disarankan untuk ke DPR karena bukan wewenang Mahkamah
Konstitusi.Legislative review yang dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga
yang membentuk dan membahas serta menyetujui undang-undang. Bagi lembaga
yang menjalankan fungsi legislasi dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan presiden serta DPD (untuk Undang-undang tertentu) untuk menjadi masukan
yang bermanfaat untuk meningkatkan kinerja dan memperkuat fungsi legislasi.
Untuk itu kedudukan legislative review oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
merupakan mekanisme uji konstitusionalitas undang-undang untuk menerima uji
konstitusionalitas undang-undang terhadap terhadap Undang-Undang Dasar yang
diajukan oleh masyarakat. Checks and balances dalam pembentukan undangundang
sangat penting sebagai bagian dari pelaksanaan tugas wakil rakyat dan
peran DPR dalam pembentukan undang-undang merupakan sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada konstituen atau rakyat yang memilih.

ABSTRACT
Review the Constitutionality of Legislation (Constitutional Review) can be tested
through a mechanism of judicial review in the Constitutional Court (judicial
review), in the House of Representatives (legislative), and by the Executive
(excecutive review). For judicial legislation can in 2 (two) through the mechanism
of judicial review in the Constitutional Court and legislative review in the House
of Representatives although the results are different. If the Constitutional Court
annulled the norm while the House replace the norm. Lately there if citizens want
to file a judicial review to the Constitutional Court suggested to the House
because it was not authorized to Konstitusi.Legislative Court review done in the
capacity of institutions that make and review and approve legislation. For those
institutions that perform the function of legislation in this House of
Representatives (DPR) and the president and DPD (for specific legislation) to be a
useful input to improve performance and strengthen the legislative function. For
the position of legislative review by the House of Representatives (DPR) is a
testing mechanism constitutionality of laws to accept constitutionality of laws
against the Constitution proposed by the community. Checks and balances in the
legislation are very important as part of the implementation of the tasks and role
of the people's representatives in Parliament is law making as a form of
accountability to constituents or the people who choose."
2013
T35424
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafli Fadilah Achmad
"ABSTRAK
Pengujian undang-undang merupakan kewenangan yang paling dominan terjadi di Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi hingga empat belas tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai batas waktu penyelesaiannya. Tesis ini membahas sekaligus merumuskan urgensi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan perbandingan lima negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa telah terjadi standar ganda antara batas waktu pengujian undang-undang dengan sengketa yang lain dimana sengketa pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilihan umum dan impeachment memiliki batas waktu penyelesaian sedangkan pengujian undang-undang yang notabenenya adalah kewenangan dominan dari Mahkamah Konstitusi justru tidak memiliki batas waktu penyelesaiannya.Selain itu ketiadaan batas waktu penyelesaian juga terbukti menciptakan suatu kondisi yang dinamakan justice delayed is justice denied, dimana baik Pemohon, Masyarakat dan Mahkamah Agung tidak mengetahui kepastian waktu tentang putusan pengujian undang-undang akan memiliki kekuatan hukum tetap. Kasus korupsi mantan Hakim Konstitusi berinisial ldquo;PA rdquo; juga menjadi studi dalam penelitian ini yang membuktikan bahwa ketiadaan batas waktu menciptakan ruang negosiasi antara para pihak dan oknum pengadilan untuk melakukan tindakan koruptif. Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan menambahkan tiga formulasi batas waktu penyelesaian pengujian undang-undang dalam suatu rumusan norma. Ketiga rumusan tersebut adalah batas waktu pengujian undang-undang yang bersifat kerugian potensial terhadap peristiwa konkret, batas waktu penyelesaian terhadap PERPU, dan batas waktu secara umum. Apabila Mahkamah Konstitusi memutus lebih dari waktu yang telah ditentukan maka terdapat konsekuensi hukum yang harus dilakukan berupa melakukan notifikasi dan penjelasan yang rasional kepada Pemohon dan Masyarakat

ABSTRACT
Judicial Review represents the most dominant authority at the Constitutional Court. However, it has been fourteen years since the establishment of the Constitutional Court and the regulation to specifically determine a definite deadline for case resolution has yet to be issued. This theses discusses and also formulate the urgency to establish case resolution deadline for judicial review at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia. The research method applied utilizes normative research method improvised with comparative study from three countries. Research results revealed signs of double standards between the deadlines for judicial review with other judicial disputes, whereas political party dissolution dispute, general election results dispute and impeachment presented definite deadline for case resolution while judicial review which supposedly represents the domain jurisdiction of the Constitutional Court fails to submit any deadline for case resolution. In alternative, that the vacuum in such deadline has generated the condition known as rdquo justice delayed is justice denied rdquo , in which the Applicant, Public and the Supreme Court is shrouded concerning the definite deadline for the judicial review, to interpret any legal binding effect out of it. The corruption case of ldquo PA rdquo as former Constitutional Court was also investigated in this research as an evidence that the vacuum in the deadline has in turn created a negotiation room between parties and court officials to conduct corruptive actions. As such, the necessity to revised the Law on Constitutional Court is of paramount importance by adding three formula on deadline for case resolution within a normative framework. Those three formulations constitutes deadline in judicial review for laws with potential laws in nature to concrete events, deadline in judicial review to PERPU, and general deadline. In the event that the Constitutional Court issued a decision for such case beyond the agreed deadline, then such act will trigger mandatory legal consequences comprised of issuing notification and rational reasoning to the Applicant and Public at large. "
2018
T50182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firmansyah Arifin
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), 2008
342.02 FIR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>