"Kondisi migrasi dan mengungsi merupakan isu yang masih dihadapi segelintir orang hingga memaksa mereka untuk berstatus sebagai pencari suaka. Perubahan situasi dan lingkungan menjadi faktor dan alasan bagi pencari suaka untuk menyesuaikan diri. Status pencari suaka dapat dialami oleh semua kalangan, seperti para orang tua dan anak-anak. Orang tua berstatus pencari suaka dituntut oleh keadaan untuk dapat mengasuh anaknya lebih ekstra, khususnya Ibu yang disorot lebih signifikan. Motherhood dalam keadaan ini tentunya berbeda dengan motherhood pada umumnya. Salah satu penggambaran motherhood pada keluarga pencari suaka terdapat dalam film Als Hitler das Rosa Kaninchen Stahl (2019) karya Caroline Link yang berlatar sebelum pemerintahan Nazi di Jerman. Penggambaran motherhood dalam film diteliti menggunakan Teori Pola Asuh oleh Diana Baumrind dan didukung dengan teori-teori penunjang. Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif dengan korpus data yang diambil secara kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya dualisme motherhood beserta pergeseran motherhood seiring dengan perubahan situasi dan lingkungan yang dialami keluarga pencari suaka dalam film. Motherhood pada keluarga refugee di dalam film yang semula bersifat Permisif kemudian berubah menjadi Autoritatif.Migration and evacuating are issues that are still faced by a few people, and forcing them to become refugees / asylum seekers. Changes in the situation and environment are factors and reasons for refugee to adjust. Refugee as status can be experienced by all people, such as parents and children. Parents who are refugees are forced by situation to be able to take care of their children more, especially mothers who is significantly seen more. Motherhood in this situation is certainly different from motherhood in general. One of the representations of motherhood in refugee-families is in Caroline Link's Als Hitler das Rosa Kaninchen Stahl (2019), which is set before the Nazi’s regime in Germany. The representation of motherhood in the film is analyzed with Diana Baumrind’s Parenting Styles along with supporting theories. This research uses a descriptive methodology with data that taken qualitatively. The result shows that there is a dualism and a shift in motherhood that caused by situation and environment changes, experienced by refugee-family in the film. Motherhood in refugee-family in the film which was originally Permissive, then turned into Authoritative."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
"Penelitian ini berjutuan untuk menggali keberdayaan perempuan pekerja VCS dalam berelasi dengan klien dan pihak lainnya. Terdapat banyak studi yang membahas bahwa prostitusi online menyediakan ruang yang lebih aman dimana pekerja seks dianggap lebih mampu meminimalisir resiko (Jones, 2016; NSWP, 2016; Cunningham, 2019). Namun studi-studi sebelumnya lebih berfokus pada manfaat internet terhadap profesi pekerja seks ataupun alasan pekerja seks memanfaatkan media sosial. Terdapat hal menarik lain yang dapat diteliti lebih lanjut, yaitu mengenai upaya yang dilakukan oleh pekerja seks dengan memanfaatkan ruang virtual yang tersedia untuk menciptakan posisi yang berdaya selama berelasi dengan pihak lain seperti klien dan mucikari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus terhadap 4 perempuan pekerja VCS yang mempromosikan dirinya melalui media sosial Twitter. Studi ini menggunakan konsep power, otonomi tubuh, dan teori pertukaran sosial sebagai pisau analisis. Temuan studi melalui wawancara mendalam secara virtual kepada ke-4 informan menyimpulkan pekerja VCS mampu untuk memiliki kontrol pada profesinya, kontrol atas tubuhnya, hingga kemampuan menciptakan posisi tawar yang baik. Hal ini menciptakan keberdayaan yang ditunjukan pada beberapa hal, seperti 1) Kemampuan untuk menolak dan menerima klien melalui penseleksian dan penyortiran klien yang mengacu pada kriteria klien serta kesepakatan kerja dengan klien; 2) Kemampuan dalam merespon dan menciptakan strategi untuk terhindar dari resiko capping, doxing, penipuan, online sexual harassement, hingga keberadaan faker; 3) Kemampuan pekerja VCS untuk dapat benegosiasi dengan klien selama proses transaksi seksual. Kemampuan pekerja VCS untuk dapat memproduksi kekuasaan dan menciptakan relasi kerja yang sejajar dengan klien disebabkan karena adanya pengetahuan terkait kondisi kerja, kesadaran kritis, keterampilan digital yang dimiliki, serta kemampuan untuk menciptakan sumberdaya alternatif yang dibutuhkan lainnya, yaitu uang, dengan menjaga dan memperluas pasarnya. Ruang digital juga seakan menjadi tembok pembatas antara pekerja VCS dan klien sehingga memudahkan pekerja VCS untuk menciptakan dan mengunakan kekuasaanya.This study aims to explore the empowerment of women VCS workers in relating to clients and other parties. There are many studies that discuss that online prostitution provides a safer space where sex workers are considered to be better able to minimize risk (Jones, 2016; NSWP, 2016; Cunningham, 2019). However, previous studies have focused more on the benefits of the internet for the sex worker profession or the reasons sex workers use social media. There is another interesting thing that can be investigated further, namely the efforts made by sex workers by utilizing the available virtual space to create a position of power while dealing with clients. This study uses a qualitative approach with a case study method on 4 female VCS workers who promote themselves through social media Twitter. This study will use the concept of power, body autonomy, and social exchange theory as an analytical knife. The study findings through virtual in-depth interviews with the 4 informants concluded that VCS workers are able to have control over their profession, control over their bodies, to the ability to create a good bargaining position. This can be shown in several things that are done by VCS workers, such as 1) The ability to reject and accept clients through the selection and sorting of clients based on client criteria and work agreements with clients; 2) Ability to respond and create strategies to avoid the risk of capping, doxing, fraud, online sexual harassment, and the presence of fakers; 3) The ability of VCS workers to be able to negotiate with clients during the sexual transaction process. The ability of VCS workers to be able to produce power and create equal working relationships with clients is due to their knowledge of working conditions, critical awareness, digital skills, and the ability to create alternative resources needed, namely money, by maintaining and expanding the market. The digital space also seems to be a dividing wall between VCS workers and clients, making it easier for VCS workers to create and use their power."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Dalam berbisnis biasanya para pelaku usaha akan mencari kandidat pekerja yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Berbeda dengan di perusahaan tempat magang penulis, dimana melihat fenomena suatu atribut identitas yang melekat pada individu merupakan salah satu kriteria mutlak yang dibutuhkan oleh perusahaan. Tentunya fenomena ini menjadi sangat menarik bagi penulis lantaran isu identitas merupakan salah satu subjek yang dipelajari penulis. Makalah ini merupakan suatu bentuk refleksi penulis selama magang dengan fokus pada fenomena identitas dalam keberlangsungan suatu bisnis untuk mencapai kesuksesan. Selain itu, penulis juga mengidentifikasi mengenai bagaimana dari identitas sosial tersebut memunculkan hubungan relasi sosial yang kuat terhadap para stakeholder bisnis yang terkait sebagai upaya meningkatkan engagement bisnis yang jangka panjang. Sebagai pendukung keabsahan tulisan ini, penulis memaparkan data melalui cara pengamatan observasi partisipasi dan wawancara selama mengikuti magang di perusahaan tersebut.In doing business, usually, business actors will look for candidate workers who have the competence and experience in accordance with the company's needs. It is different from the company where the writer is apprenticed, where seeing the phenomenon of an identity attribute attached to an individual is one of the absolute criteria needed by the company. Of course, this phenomenon becomes very interesting for the author because the issue of identity is one of the subjects studied by the author. This paper is a form of reflection of the author during his internship with a focus on the phenomenon of identity in the continuity of a business to achieve success. In addition, the author also identifies how social identity creates strong social relations with related business stakeholders as an effort to increase long-term business engagement. As a supporter of the validity of this paper, the author presents the data through observation, participation, observation and interviews during an internship at the company."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
"Penelitian ini membahas kesejahteraan sosial bagi pekerja perempuan agar tetap menjalankan keberfungsian sosialnya di masyarakat selama kebijakan (WFH) berlangsung dilihat dari Ilmu Kesejahteraan Sosial. Penelitian dilatarbelakangi dengan perubahan dalam dunia kerja yaitu tingginya jumlah perempuan yang bekerja yang telah menikah dan memiliki anak. Namun terdapat permasalahan tersendiri bagi perempuan yaitu mengalami peran ganda, tuntutan pada pekerjaan dan keluarga secara bersamaan sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik peran ganda. Adapun kebijakan WFH yang memberikan implikasi bagi pekerja perempuan. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran mengenai konflik peran ganda yang dialami oleh pekerja perempuan yang memiliki peran ganda selama WFH pada pekerja perempuan di Human Initiative. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif serta menggunakan teknik studi literatur dan wawancara mendalam yang dilakukan secara daring/online pada bulan September 2021 hingga Juli 2022. Penelitian ini melibatkan 6 orang pekerja perempuan dengan rentang usia 21-49 tahun yang memiliki anak dengan usia dini 0-6 tahun, 3 orang pasangan/suami dari pekerja perempuan, dan 1 orang Manajer People Care. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pekerja perempuan sebagai individu mengalami gangguan terhadap keberfungsian sosialnya selama WFH dikarenakan mengalami konflik peran ganda, baik dilihat dalam dimensi work-family conflict yang ditunjukkan dengan melakukan pembagian waktu antara pekerjaan dengan urusan rumah, kendala dalam urusan anak ketika bekerja, mengalami burnout dengan masalah pekerjaan, mengalami perdebatan batin yang memicu keinginan untuk resign, dan adanya perdebatan batin dengan alasan anak. Kesimpulan dari penelitian ini ditemukan bahwa pekerja perempuan di Human Initiative mengalami konflik peran ganda yaitu dilihat dalam dimensi work-family conflict terlihat dari faktor penyebab yaitu time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict. Namun, selama kebijakan WFH berlangsung pekerja perempuan melakukan upaya untuk menyeimbangkan peran gandanya baik dilakukan secara individu, bersama pasangan, dan bantuan dari keluarga yang dilakukan dengan pembagian peran dan cara mengatasi konflik peran ganda agar tetap bisa menjalankan keberfungsian sosialnya di masyarakat selama WFH berlangsung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengembangan kontribusi pada konsep mengenai deskripsi konflik peran ganda pada mata kuliah Kesejahteraan Sosial Industri serta Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi Pelayanan Kemanusiaan khususnya dalam pembahasan mengenai masalah kesehatan dan keselamatan kerja yang didalamnya terdapat aspek work-family conflict.This study discusses social welfare for female workers in order to continue to carry out their social functions in the community during the Work From Home (WFH) policy seen from Social Welfare Science. This research is motivated by changes in the world of work, namely the high number of working women who are married and have children. However, there are separate problems for women, namely experiencing multiple roles, demands on work and family simultaneously, causing tension and dual role conflicts. The WFH policy has implications for women workers. This study aims to provide an overview of the dual role conflict experienced by female workers who have multiple roles during WFH among female workers in the Human Initiative. This type of research is a qualitative research with a descriptive design and uses literature study techniques and in-depth interviews conducted online from September 2021 to July 2022. This study involved 6 female workers with an age range of 21-49 years who have children aged 0-6 years old, 3 spouses/husbands of female workers, and 1 People Care Manager. The results of the study explain that female workers as individuals experience interference with their social functioning during WFH due to multiple role conflicts, both seen in the dimensions of work-family conflict as indicated by dividing time between work and home affairs, problems with children's affairs at work, experiencing burnout. with work problems, experiencing inner debates that trigger the desire to resign, and inner debates with children's reasons. The conclusion of this study is that female workers in the Human Initiative experience dual role conflict, which is seen in the dimensions of work-family conflict as seen from the causative factors, namely time-based conflict, strain-based conflict, and behavior-based conflict. However, during the WFH policy, women workers made efforts to balance their dual roles, both individually, with their partners, and with assistance from their families, by dividing roles and overcoming dual role conflicts so that they could continue to carry out their social functions in the community during WFH. The results of this study are expected to add to the development of contributions to the concept of dual role conflict description in Industrial Social Welfare and Human Resource Management courses in Human Services Organizations, especially in the discussion of occupational health and safety issues in which there are aspects of work-family conflict."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Perdebatan yang berlangsung lama tentang ibu yang bekerja dengan ibu rumah tangga telah mewarnai persepsi tentang pengaruh status kerja ibu pada pencapaian pendidikan anak-anak di Indonesia. Dengan menggunakan data dari IFLS 5, studi ini menyajikan pemeriksaan implikasi status kerja ibu pada nilai ujian nasional anak-anak dan mengamati apakah ada dampak asimetris pada gender antara anak laki-laki dan perempuan. Dengan ukuran sampel 1.935 penelitian ini menemukan bahwa status kerja ibu tidak bisa menjelaskan capaian pendidikan anak dan tidak ada indikasi dampak asimetris gender. Hasil ini berbeda dengan literatur yang lebih besar yang menyarankan efek positif atau negatif dari pekerjaan ibu pada kinerja akademik anak-anak.A long-running debate on motherhood vs womanhood has embroidered nation-wide perceptions of maternal employment effects on children’s educational attainment in Indonesia. Using IFLS 5, this paper presents an examination of maternal working status implication on their children's national exam scores and tries to observe whether there exists a gender-asymmetric impact between sons and daughters. With a sample size of 1,935 mother-child pairs, this study indicates neither benefits nor drawbacks of maternal employment status and no indication of gender-asymmetric impacts. This is in contrast to larger literature which suggested either positive or negative effects of maternal employment on children’s academic performance. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Kota Pekanbaru merupakan salah satu kota di Pulau Sumatera yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat. Berawal dari kota yang berukuran kecil, Kota Pekanbaru berkembang menjadi kota besar dan bersama-sama dengan tiga kabupaten tetangganya, akan dibentuk menjadi kawasan metropolitan pertama di Riau. Pembentukan “Pekansikawan” pada tahun 2019 dilakukan karena perkembangan dan pertumbuhan Kota Pekanbaru yang sudah mencapai daerah pinggir Kota Pekanbaru. Perkembangan dan pertumbuhan yang pesat ini tentu mempengaruhi bagaimana pusat pelayanan yang terdapat di Kota Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pusat pelayanan yang terdapat di Kota Pekanbaru pada tahun 2019 serta ingin mengetahui hubungannya dengan empat faktor pembentuk pusat pelayanan berdasarkan kemampuan yang dimiliki oleh Kota Pekanbaru yaitu faktor lokasi strategis, faktor aglomerasi, faktor sumber daya alam, dan faktor investasi pemerintah daerah. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis keruangan dan analisis statistik Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pusat pelayanan di Kota Pekanbaru pada tahun 2019 terletak pada kepadatan penduduk sedang dengan jumlah penduduk yang tergolong tinggi, yang meliputi enam kelurahan yaitu Kelurahan Air Dingin, Kelurahan Tangkerang Utara, Kelurahan Tangkerang Tengah, Kelurahan Sidomulyo Timur, Kelurahan Tuah Karya, dan Kelurahan Labuh Baru Timur. Hasil statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan yang terjadi antara pusat pelayanan dengan faktor lokasi strategis, faktor aglomerasi, faktor sumber daya alam, dan faktor investasi pemerintah daerah.Kota Pekanbaru is one of the cities of the Sumatera Island, that is experiencing rapid growth and development. Started as a small city, Kota Pekanbaru developed into a large city and together with the three neighboring districts, will become the first metropolitan area in Riau. The formation of "Pekansikawan" in 2019 was carried out due to the development and growth of Kota Pekanbaru, which has reached the outskirts of Kota Pekanbaru. This rapid development and growth has affected the service centers of Kota Pekanbaru. This study aims to find out how service centers of Kota Pekanbaru in 2019 are and want to know their relationships between the four factors forming service centers based on the capabilities possessed by Kota Pekanbaru, strategic location factors, agglomeration factors, natural resource factors, and local government investment factors. The analytical methods used in this research are spatial analysis and Chi square statistical analysis. The results showed that service centers of Kota Pekanbaru in 2019 are located in Kelurahan Air Dingin, Kelurahan Tangkerang Utara, Kelurahan Tangkerang Tengah, Kelurahan Sidomulyo Timur, Kelurahan Tuah Karya, and Kelurahan Labuh Baru Timur that have moderate populations density with high populations. Statistical results showed that there are no significant relationships between service centers with strategic location factors, agglomeration factors, natural resource factors, and local government investment factors."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Nelayan tradisional di Indonesia merupakan salah satu profesi dengan kecenderungan kemiskinan yang tinggi. Walaupun begitu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka memiliki wellbeing yang lebih baik dibandingkan dengan profesi informal lainnya seperti petani dan wiraswasta. Studi-studi sebelumnya menjelaskan bahwa wellbeing yang baik pada nelayan dipengaruhi oleh adanya subjective wellbeing, misalnya aktualisasi dan kepuasan diri seperti kepuasan kerja yang dimilikinya. Untuk memperkaya studi-studi tersebut, peneliti berpendapat bahwa terdapat aspek lain yang mempengaruhi pada baiknya wellbeing nelayan tradisional, yaitu dukungan sosial dan agama. Bentuk dukungan yang diperoleh dari pihak keluarga dan teman yang dimiliki nelayan dinilai dapat meningkatkan wellbeing mereka. Selain itu, agama juga dinilai dapat mempengaruhi wellbeing nelayan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan sosial dan agama dengan wellbeing nelayan. Hubungan relasional yang baik merefleksikan seberapa besar tingkat dukungan sosial dan wellbeing pada nelayan. Selain itu, ritual keagamaan yang dilakukan oleh nelayan turut memengaruhi wellbeing pada nelayan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan studi kasus pada nelayan tradisional di Pesisir, Kec. Besuki, Situbondo. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah mixed method melalui survei kepada 70 nelayan tradisional, wawancara mendalam dengan 4 informan, serta observasi lingkungan dan kegiatan nelayan tradisional di Pesisir, Kec. Besuki, Situbondo.Traditional fishing in Indonesia is a profession with a high tendency toward poverty. However, several studies have shown that fishermen have better well-being compared to other informal professions such as farmers and self-employed. Previous studies explained that good well-being in fishermen is influenced by subjective wellbeing. For example, actualization and self-satisfaction such as job contentment. To enrich these studies, researchers argue that another influential aspect of the traditional fisherman's well-being is social support and religion. The kind of support obtained from family and friends is considered able to enhance the wellbeing of fishermen. In addition, religion is also considered to be able to influence fishermen's wellbeing. The result of this study indicate there is a relationship between social support and religion with fishermen’s wellbeing. Good relationship reflect the level of sosial support and fisherman’s wellbeing. In addition ritual practices influence fishermen’s wellbeing. The research approach in this study is a quantitative oncoming with the case study on traditional fishermen in Pesisir, Besuki Sub district, Situbondo Regency. Data assemblage will be carried out using a mixed-method technique tough surveys to 70 fishermen’s, depth interviews with 4 informants, and environtmental observations and fishing activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap tindakan mom-shaming yang dialami ibu muda yang bekerja di sektor formal dan dukungan sosial yang diterimanya. Mom-shaming merupakan fenomena yang dialami para ibu yang dihakimi atau dikritik oleh orang lain terkait identitasnya sebagai seorang ibu atau cara mereka mengasuh anak. Dengan itu, fokus penelitian ini adalah pada ibu muda yang mengalami mom-shaming di tempat kerja. Metode penelitian kualitatif digunakan dengan wawancara mendalam terhadap empat ibu yang memiliki pengalaman mom-shaming di tempat kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman mom-shaming turut berdampak negatif terhadap well-being ibu, di samping role overload dan parenting guilt, yang merupakan dimensi dari pengalaman parenting. Mom-shaming pun dalam kasus ini juga berkontribusi pada rasa bersalah yang dirasakan oleh ibu yang bekerja. Untuk itu, dukungan sosial, terutama dari keluarga dan teman, dilihat sebagai salah satu strategi penting dalam menjaga well-being perempuan yang mengalami mom-shaming. Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pemahaman tentang mom-shaming yang dialami ibu yang bekerja di tempat kerja, kaitannya dengan kondisi well-being ibu, dan pentingnya dukungan sosial dalam menghadapi tantangan tersebut.This study aims to uncover acts of mom-shaming experienced by young mothers working in the formal sector and the social support they receive. Mom-shaming is a phenomenon where mothers are judged or criticized by others regarding their identity as mothers or their parenting style. Accordingly, the focus of this research is on young mothers who experience mom-shaming in the workplace. A qualitative research method was employed, with in-depth interviews conducted with four mothers who have experienced mom-shaming at work. The findings indicate that mom-shaming negatively impacts the well-being of mothers, alongside role overload and parenting guilt, which are dimensions of the parenting experience. In these cases, mom-shaming also contributes to the guilt felt by working mothers. Therefore, social support, particularly from family and friends, is seen as a crucial strategy in maintaining the well-being of women experiencing mom-shaming. This study contributes to the understanding of mom-shaming experienced by working mothers in the workplace, its relation to maternal well-being, and the importance of social support in addressing these challenges."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Pemikiran Al-Ghazali sangat relevan untuk dicoba diterapkan di Indonesia, yang secara gamblang menawarkan pendidikan akhlak yang paling diutamakan. Dengan akhlak yang baik, berkarakter keislaman yang tinggi, betapapun parahnya kondisi sosial."
Tulungagung: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 2012