Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 237 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Ely Sakti Panangian
"Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nila diagnostic kadar CEA serum sebagai indikator terjadinya metastasis hepar dari kanker kolorektal (KKR) pada usia dewasa muda Metode. Studi potong lintang dilakukan dengan menggunakan data sekunder berupa catatan pasien dalam rekam medis. Pasien berusia <50 tahun yang terdiagnosis kanker kolorektal primer secara histopatologis di Cipto Mangunkusumo Hospital direkrut dalam penelitian ini. Kami mengeksklusi pasien dengan riwayat keganasan lain, telah menjalani tatalaksana operatif untuk kanker kolorektal, dan memiliki komorbiditas penyakit hati. Luaran akhir dari penelitian ini adalah cut off nilai CEA yang didapat dengan kurva ROC, sensitivitas, dan spesifisitas nilai CEA dalam memprediksi metastasis hepar KKR. Hasil. Kami merekrut 181 pasien dengan proporsi 43.6% perempuan. 59 pasien (32.6%) diketahui memiliki metastasis hepar pada saat intraoperatif. Kadar CEA pasien metastasis ditemukan sebesar 208.1 (2.1–12503.2) ng/mL, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pasien non-metastasis 6.27 (0.8–1099.4) ng/mL (p<0.001). Nilai AUC tercatat sebesar 0,904, dan cut off optimal didapat pada kadar CEA ≥38,765 ng/mL (Indeks Youden = 1,718). Peneliti mencatat sensitivitas dan spesifisitas niali CEA serum ≥38,765 ng/mL, secara berturut-turut, sebesar 91,53% (IK 95%, 81,32%–97,19%) dan 80,3% (72,16%–86,97%). Rasio odds pasien kanker kolorektal usia muda untuk mengalami metastasis hepar adalah sebesar 44,10 (IK 95%, 15,92–122,20) bila nilai CEA serum pasien sebesar ≥38,765 ng/mL. Simpulan. Kadar CEA ≥38,765 ng/mL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, sehingga cukup efektif untuk digunakan sebagai prediktor metastasis hepar pada penderita KKR.

Introduction. This study aims to determine the diagnostic value of serum CEA levels as the liver metastases predictor of colorectal cancer (CRC) in young adults.. Method. A cross-sectional study was conducted using secondary data (patient medical records) from 2015–2021. Patients aged <50 years who were diagnosed histopathologically with primary colorectal cancer at Cipto Mangunkusumo General Hospital were recruited in this study. We excluded patients with a history of other malignancies, who had undergone operative management for colorectal cancer, and preexisting liver disease. The outcome of this study is the cut-off of the CEA value obtained by the ROC curve, the sensitivity and specificity of the CEA value in predicting CR liver metastases. Results. We recruited 181 patients with a proportion of 43.6% women. Fifty-nine patients (32.6%) had liver metastases. The CEA level of metastatic patients was 208.1 (2.1–12503.2) ng/mL; this was much higher than the non-metastatic group, which was recorded at 6.27 (0.8–1099.4) ng/mL (p<0.001). The AUC value was recorded at 0.904, and the optimal cut-off was obtained at CEA levels 38.765 ng/mL (Youden's Index = 1.718). We noted the sensitivity and specificity of serum CEA values 38.765 ng/mL, respectively, of 91.53% (91.5 CI, 81.32%–97.19%) and 80.3% (72.16%– 86.97%). The odds ratio of young colorectal cancer patients to have liver metastases was 44.10 (95% CI, 15.92–122.20) if the patient's serum CEA value was 38.765 ng/mL. Conclusion. CEA level ≥38,765 ng/mL has good sensitivity and specificity in predicting liver metastases among young adults with CRC."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mirvia Inggrini Z.
1998
S2520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Silvianti
"ABSTRAK
Perilaku seksual yang berkembang pada saat ini menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan, sosial, ekonomi dan psikologis. Perilaku seksual yang menimbulkan dampak negatif namun tetap diteruskan dan bahkan menjadi suatu kebiasaan disebut dengan kecanduan seks. Menurut Cames (dalam Cames & Adams, 2002), seseorang dikatakan memiliki kecanduan seksual jika perilaku tersebut bersifat kompulsif, tidak dapat dikendalikan dan terus berlanjut walaupun menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan. Faktor penting yang menjdai penyebab kecanduan seks adalah sejarah kegagalan mencapai intimacy dalam suatu hubungan. Hal ini merepresentasikan bahwa mereka memiliki kegagalan yang mendasar untuk mempercayai seseorang (Cames dalam Cames & Adams, 2002). Biasanya ditemui adanya intimacy dysfunction seperti kekerasan pada anak atau penolakan pada anak. Sebagai respon dari trauma tersebut, individu mengembangkan perasaan malu. Perasaan malu tersebut mengarah pada kepada rasa percaya diri yang rendah dan gangguan fungsi interpersonal yang memperkuat rasa kesepian pada diri individu. Untuk mengurangi rasa sakit psikologis tersebut, individu mencari agen perbaikan. Agen tersebut adalah perilaku seksual, namun agen tersebut hanya bersifat pembebas sementara, setelah itu rasa sakit psikologis tersebut kembali muncul. Sehingga perilaku seksual sebagai pembebasan tersebut kembali berulang. Penelitian ini lebih mengedepankan bagaimana pola perilaku kecanduan seksual terbentuk mulai dari masa anak-anak sampai dengan saat ini pada partisipan dewasa muda. Penelitian ini bertujuan untuk melihat penyebab munculnya kecanduan seksual, pola perilaku kecanduan seksual, gambaran perilaku seksual partisipan dan hubungan partisipan dengan keluarga, khususnya orangtua dan dengan pasangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partsipan memuaskan diri dengan berhubungan seks untuk mengatasi rasa sakit karena dikhianati dan ditinggalkan oleh pasangannya. Partisipan juga memiliki riwayat kekerasan dan penolakan pada masa kecil. Partisipan memiliki karakteristik kecanduan seksual dan perilaku seksual yang menyimpang. Partisipan memiliki hubungan yang tidak dekat dan intim dengan orangtuanya, begitu pula dengan pasangannya.

ABSTRACT
Sexual behaviour that expanding now, made a negative effect on several life sections, such as health, social, economy and psychology. When sexual behaviour is yet continues despite adverse consequences and even became a daily habit called by sexual addiction. Accorded to Cames (Cames & Adams, 2002), someone could be said had a sexual addiction if that behaviour became compulsive, loss of control and keep continues despite adverse consequences. Key factor that cause sexual addiction is there is a history of failure to sustain intimacy in relationship. This represents a fundamental failure to trust others enough to bond with them (Cames on Cames & Adams, 2002). Specifically, there is often a form of family intimacy dysfunction such as child abuse or neglect. In response to this trauma, the young person develops feelings of shame. These feelings are in part due to a belief that he/she was the cause of the abuse. Feelings of shame lead to low self-esteem and dysfunctional interpersonal functioning which intensify loneliness in the child. In order to alleviate this psychological pain, the child begins to search for a "fix" or some agent that has analgesic qualities. This agent is sexual behavior. While these agents provide temporary relief, the shame, low self-esteem, and loneliness retum. Consequently, there is a need to retum to the "fix," the behavior becomes repetitive. This research focused on how sexual addiction behaviour pattem built, since childhood until now on in young adult participants. This research had be done for found causes of sexual addiction, sexual addiction behaviour pattem, the figure of sexual behaviour from participants and the relationship between the participants and their family, especially with parents and partners. The result of this research show that participants satisfied theirself with sexual behavior to reducing the pain because of being betrayed ang left by their couple. Participants also had abused and neglected history in their childhood. Participants had less intimate relationship with their parents, also with their partners."
2009
S3604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmala Febriani
2010
S3690
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Turnip, Sherly Saragih
"Manusia sebagai mahluk sosial selalu membutuhkan satu sama lain dan dalam menjalin hubungan antar manusia selalu ditemui dinamika. Hubungan-hubungan terbentuk, mengalami perubahan dan bisa berakhir; rangkaian ini dapat menimbulkan penghayatan loneliness yang mungkin teijadi pada setiap tahap kehidupan (Perlman & Peplau, 1982). Apalagi dalam kehidupan modem seperti sekarang ini, muncul pula kecendemngan baru yang ditandai oleh banyaknya peran manusia yang sudah digantikan oleh mesin. Era komputerisasi dan komunikasi global menyebabkan seseorang tidak perlu lagi secara tatap muka bertemu dengan manusia lain untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa loneliness teijadi pada jutaan penduduknya (Cutrona dalam Perlman & Peplau, 1982). Loneliness ]\x%q. dapat membawa akibat yang tidak menyenangkan, bahkan berbahaya seperti alkoholisme, bunuh diri, dan berbagai gejala penyakit (Perlman &Peplau, 1982).
Namun demikian, menurut beberapa ahh, loneliness temyata bisa menimbulkan konsekuensi yang menyenangkan. Moustakas (1972), berpendapat bahwa loneliness membuat seseorang mengalami kesadaran terhadap keberadaan dirinya, melihat potensi diri yang selama ini terselubung dan akhimya bisa memacu kreativitas serta menghasilkan karya-karya yang indah dan artistik. Walaupun loneliness tidak hanya memiliki konsekuensi negatif, loneliness lebih sering dianggap sebagai hal yang buruk dan menghancurkan, sehingga masyarakat pada umumnya merasa bahwa orang yang kesepian harus ditolong sedini mungkin (Moustakas, 1996). Apalagi bila yang mengalami loneliness adalah individu dewasa muda, karena pada masa dewasa muda individu dituntut oleh masyarakat untuk aktif dan produktif. Mereka sehamsnya memiliki hidup yang sibuk, bergairah dan berbaur dengan orang-orang karena tuntutan perkembangan bagi dewasa muda banyak yang berkenaan dengan flingsi menjalin hubungan dengan orang lain (Havighurst dalam Turner & Helms, 1987). Tetapi masa dewasa muda adalah juga masa transisi yang sulit (Erikson dkk., 1950). Salah satu aspek yang penting dalam masa transisi tersebut adalah membangun hubungan sosial dengan sesama dewasa muda (Cutrona dalam Perlman & Peplau, 1982). Adanya tuntutan masyarakat terhadap individu dewasa muda dan tugas perkembangan yang diemban oleh individu dewasa muda, justru menyebabkan mereka rentan terhadap teijadinya penghayatan loneliness (Perlman & Peplau, 1982).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui psikodinatnika dewasa muda dalam menghayati loneliness yang dialami, dengan memperhatikan pada cara mereka menanggulangi penghayatan loneliness itu. Mengingat penelitian ini hendak mengetahui tentang pengalaman dan penghayatan pribadi, maka penelitian dilaksanakan dengan metode studi kasus melalui wawancara mendalam dan analisis kualitatif. Untuk itu peneliti membatasi tingkat pendidikan subyek yang diwawancara, yaitu dewasa muda berusia antara 20-30 tahun yang berpendidikan saijana, dengan asumsi bahwa orang yang pendidikannya cukup tinggi (tingkat SI dan S2) dapat lebih mahir mengeluarkan pendapat dan perasannya secara verbal.
Dari enam orang subyek yang berhasil diwawancarai, peneliti memperoleh hasil bahwa predisposisi penyebab. munculnya loneliness yang paling banyak teijadi pada subyek adalah existential loneliness dan nilai-nilai yang berlaku dalam lingkungan sosial. Hal ini menyebabkan loneliness yang banyak teijadi adalah anxiety loneliness. Fenomena ini teijadi karena subyek harus konform dengan lingkungannya; mereka harus menjalani peran yang disandangnya walaupun mereka tidak mau atau tidak mampu melaksanakannya.
Predisposisi dan loneliness yang dialami oleh semua subyek mempengaruhi coping (penanggulangan) yang dilakukan. Walaupun predisposisi, loneliness dan coping pada setiap subyek berbeda, tetapi semuanya memiliki dinamika yang sama, yaitu adanya hubungan antara predisposisi dan loneliness dengan coping yang dipilih oleh subyek; bila loneliness disebabkan karena teijadinya perubahan hubungan sosial yang dimiliki subyek, maka subyek akan melakukan coping dengan cara mencari hubungan sosial dengan orangorang disekitamya; bila loneliness yang dialami subyek sesuai dengan pendekatan anxiety loneliness maka coping yang dilakukan subyek adalah mencari kesibukan terus-menerus. Hal lain yang cukup menarik dalam penelitian ini adalah kemungkinan pemilihan jenis coping oleh subyek dipengaruhi kematangan subyek; subyek yang lebih matang kepribadiannya (menurut Allport, 1961) cenderung dapat mengatasi loneliness dengan cara yang lebih efektif daripada subyek yang kurang matang.
Melihat hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, peneliti berpendapat pengalaman masa kecil sangat berpengaruh terhadap kemampuan subyek melakukan coping terhadap loneliness. Dengan masa kecil yang bahagia, mendapatkan kasih sayang yang cukup dan perhatian yang memadai maka, seseorang diharapkan akan tumbuh menjadi individu yang mampu menghadapi loneliness secara efisien dan mampu menerima loneliness sebagai kenyataan yang tidak mungkin dihindari, serta sekaligus mampu memanfaatkan loneliness sebagai kesempatan untuk semakin mengenal diri sendiri dan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Penelitian ini juga dapat dikembangkan lebih lanjut, antara lain dengan meneliti perbedaan antara dewasa muda pria dan wanita dalam cara masing-masing menanggulangi loneliness, atau meneliti dinamika loneliness pada kelompok usia lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
S2451
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Ambarsari H.
"ABSTRAK
Keberhasilan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial berkaitan
erat dengan Iaju pertumbuhan penduduk. Saat ini jumlah penduduk indonesia
sudah mencapai 200 juta jiwa dan menempati urutan ke-empat terbesar di dunia.
Untuk menekan Iaju pertumbuhan penduduk sehingga mencapai kondisi Penduduk
Tumbuh Seimbang (PTS), maka pemerintah mencanangkan program nasional
gerakan Keluarga Berencana (KB). Usaha dari program KB tidak hanya ditekankan
pada cara-cara klinis saja, tetapi juga dengan memberi pengertian dengan harapan
terjadi perubahan sikap hidup masyarakat dari berkeluarga besar menjadi
berkeluarga kecil. Hasil survey menunjukkan bahwa jumlah akseptor KB dari tahun
ke tahun terus meningkat, bahkan kadang-kadang malahan melebihi jumlah yang
telah ditargetkan untuk suatu periode tertentu.
Walaupun program KB telah menunjukkan hasil nyata dalam menekan Iaju
perrtumbuhan penduduk dengan memasyarakatkan keiuarga kecil (keluarga
dengan 2 anak) sebagai ukuran keluarga ideal, namun masih terdapat masalah
dalam usaha-usaha untuk mencapai kondisi Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS).
Masalah tersebut adalah kenyataan bahwa penelitian-penelitian menunjukkan
masih banyak pasangan nikah di Indonesia yang cenderung menginginkan
keluarga besar yaitu keluarga dengan anak banyak, karena mereka berpandangan
bahwa ukuran keluarga ideal adalah keluarga dengan jumlah anak 4-5 orang.
Menurut para ahli, preferensi keluarga besar sebagai ukuran keluarga ideal
yang masih dianut oleh sebagian masyarakat disebabkan karena anak mempunyai
nilai tertentu bagi orangtua (value of children). Usaha untuk membentuk keluarga
kecil akan mengalami kesulitan seandainya anak bagi orangtua mempunyai nilai
atau arti yang tinggi. Secara teoritis, semakin tinggi nilai anak, makin besar
keinginan untuk punya anak banyak. Dengan kata Iain jumlah anak dalam suatu
keluarga dipengaruhi nilai anak bagi orang tua. Para ahli mengatakan mengatakan
bahwa nilai anak bagi orang tua bisa ?berharga" positif (positive values/
satisfactions), yaitu memberikan kepuasan atau manfaat, tetapi bisa juga
?berharga? negatif (negative valuesfcosts), yaitu merupakan biaya atau beban.
Dengan kata lain, nilai anak adalah kegunaan dan kepuasaan yang dapat
diberikan seorang anak kepada orang tuanya dan biaya atau beban yang harus
ditanggung orang tuanya dari konsekuensi memiliki anak.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimakah hubungan
sikap terhadap nilai anak dengan preferensi terhadap ukuran keluarga, karena
menurut para ahli, nilai anak dalam keluarga tergantung pada sikap orang tua
terhadap anak. Sedangkan jumlah anak dalam suatu keluarga dipengaruhi nilai
anak bagi orang tua. Penelitian tentang sikap ini, khususnya sikap individu yang
berada pada tahapan usia dewasa muda yang belum menikah, merupakan hal
penting karena diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
kecenderungan perilaku fertilitas individu tersebut. Dengan demikian, perilaku
fertilitas mereka di masa yang akan datang dapat diantisipasi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Zanden (1984) yang mengatakan bahwa dengan memahami
sikap seseorang maka dapat diperkirakan kecenderungan tingkah laku apa yang
akan muncul.
Penelitian ini bersifat deskriptif dan dilakukan pada 223 subyek. Dalam
penelitian ini, ada 2 instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data. lnstrumen
pertama untuk mengukur sikap terhadap nilai anak dan instrumen yang kedua
untuk mengukur preferensi terhadap ukuran keluarga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
sikap terhadap nilai anak dan preferensi terhadap ukuran keluarga, dimana subyek
yang cenderung bersikap negatif terhadap nilai anak mempunyai preferensi
keluarga kecil dan sebaliknya subyek yang cenderung bersikap positif mempunyai
preferensi keluarga besar.
Untuk penelitian lebih lanjut peneliti menyarankan untuk melakukan pada
sampel dengan karakteristik yang beragam misalnya pendidikan dan jenis kelamin
sehingga hasilnya bisa dibandingkan dan semakin jelas sasaran perubahan sikap
yang akan dilakukan. Menurut para ahli, sikap terbentuk dari pengalaman, melalui
proses belajar sehingga bisa dibentuk, dikembangkan dan diubah. Dengan
demikian pemerintah dapat merencanakan intervensi psikologis yang
memungkinkan, untuk mengubah sikap dewasa muda sehingga Iebih sesuai
dengan kondisi ideal, yang dapat menunjang program pemerintah dalam menekan
Iaju pertumbuhan penduduk sekaligus melembagakan norma keluarga kecil
bahagia dan sejahtera.
"
1997
S2458
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Ishariadi
"ABSTRAK
Globalisasi terjadi di segala bidang, termasuk institusi perkawinan terkena
era globalisasi ini. Bentuk perkawinan non-tradisional semakin berkembang dalam
masyarakat. Hal yang menarik untuk diteliti dalam hal ini adalah bagaimana
persepsi golongan usia dewasa muda terhadap bentuk perkawinan yang mereka
inginkan.
Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bersifat
eksploratif yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejaia
tertentu atau mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala itu dengan maksud untuk
merumuskan masalahnya secara lebih terperinci atau untuk mengembangkan
hipotesa. (Koentjaraningrat, 1985). Penelitian ini berusaha untuk mengetahui
bagaimana persepsi golongan usia dewasa muda terhadap bentuk perkawinan yang
diinginkan.
Beberapa tokoh membagi bentuk perkawinan ke dalam beberapa kategori,
seperti Turner & Helms (1982) membagi bentuk perkawinan ke dalam 3 kategori, yaitu tradisional marriage, companionship marriage dan collegial marriage.
Sementara Unger & Crawford (1992) menggambarkan bentuk perkawinan yang
berkembang saat ini menjadi 3 kategori, yaitu tradisional marriage, modern
marriage dan egalitarian marriage. Dalam penelitian bentuk perkawinan
dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu bentuk perkawinan Tradisional dan bentuk
perkawinan Non-Tradisional.
Melalui perhitungan dan analisa terhadap data-data yang diperoleh dari
para subyek penelitian, diperoleh hasil bahwa bentuk perkawinan yang diinginkan
adalah bentuk perkawinan non-tradisional dengan tidak ada perbedaan antara
subyek pria dan subyek wanita. Pada penelitian ini dapat dilihat tugas-tugas khas
suami, istri dan tugas-tugas yang diasosiasikan kepada suami dan istri. Selain itu
dapat diketahui juga alasan-alasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi subyek
penelitian dalam pemilihan bentuk perkawinan yang diinginkan. Hasil-hasil
penelitian tersebut memberikan suatu kesimpulan bahwa persepsi golongan usia
dewasa muda terhadap bentuk perkawinan non-tradisional, yang menekankan pada
kesetaraan (equity) dalam perkawinan, memiliki pengecualian terutama pada
pekerjaan rumah tangga (domestik), bekerja karir atau bekerja non-karir,
pengasuhan anak dan status pria sebagai suami dalam rumah tangga.
Penelitian ini diakui oleh penulis masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
masukan-masukan dan saran-saran yang konstruktif sangat dibutuhkan bagi
penelitian ini dan tentunya juga bagi perkembangan ilmu psikologi pada umumnya."
1998
S2579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Sara
"Holmes & Rahe (1967) pemah membuat sebuah tabel yang mengurutkan hal-hal apa saja yang dapat membuat orang menjadi stres. Pada tabel tersebut, perceraian merupakan urutan kedua setelah kematian pasangan hidup. Oleh karena itu orang yang bercerai harus segera menyesuaikan dirinya, sehingga orang tersebut dapat segera mengatasi rasa sedih, dan marah, menerima dirinya sendiri, anak-anak dan mantan suaminya, kembali bekeija dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada di lingkungan sekitar, dan Iain-lain masalah yang biasanya timbul setelah perceraian. Adapun masalah-masalah yang biasanya dialami oleh mereka yang bercerai adalah masalah secara psikologis/emosi, dalam mengasuh anak, pelaksanaan tugas-tugas rumah tangga, keuangan, sosial hingga seksual (Hurlock, 1980).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah apa saja yang dialami pada wanita dewasa muda yang berpisah/bercerai. Selain itu ingin dilihat pula gambaran dan dinamika penyesuaian diri mereka setelah berpisah/bercerai. Untuk menjawab tujuan penelitian di atas, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap empat orang subyek. Hasil wawancara yang diperoleh akan dianalisis dan diinterpretasi dengan menggunakan teori-teori yang sudah ada. Penyesuaian diri tidak selalu dilakukan setelah terjadi perceraian, mengingat adapula orang yang telah melakukan penyesuaian diri jauh sebelumnya, yaitu pada saat mereka berpisah dengan suaminya (Lasswell & Lasswell, 1987). Oleh karena itu penelitian ini akan menggali penyesuaian diri subyek setelah bercerai, maupun pada subyek yang berpisah lalu bercerai. Adapun subyek penelitian ini adalah wanita yang berpisah/bercerai pada usia dewasa muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah yang ditemukan pada keempat subyek penelitian adalah masalah secara psikologis/emosi, yaitu subyek merasa sedih dan kecewa karena rumah tangga mereka berakhir dengan perceraian. Selain itu mereka juga merasa kesepian dan kehilangan sejak berpisah bercerai dengan suami mereka. Masalah lain yang ditemukan pada subyek adalah masalah dalam mengasuh anak, masalah dalam hal keuangan, dan sosial. Subyek dalam penelitian ini tidak raengalami masalah dalam pelaksanaan tugas rumah tangga sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan seks. Waktu yang diperlukan subyek untuk dapat menyesuaikan diri mereka setelah berpisah^e^cerai adalah bervariasi, antara satu/dua sampai lima tahun, bahkan hingga saat subyek diwawancara. Hal ini disebabkan faktor-faktor tertentu seperti apakah subyek masih mencintai suaminya atau tidak, lama dan kualitas perkawinan subyek, siapakah yang berinisiatif untuk bercerai, pandangan subyek terhadap perceraian, jumlah anak yang dimiliki, apakah subyek bekeija dan mempunyai penghasilan sendiri, dan lain.lain."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2701
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Carla Meutia
"ABSTRAK
Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah memilih pasangan
hidup. Memilih pasangan hidup yang tepat sangat penting, karena akan
mempengaruhi kesuksesan dan kebahagiaan pernikahan dan kehidupan berumah
tangga kelak. Dalam memilih pasangan hidup, tiap individu mempunyai kriteria-
kriteria tertentu yang dianggap penting dan diharapkan ada pada calon pasangan
hidupnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah benar perbedaan jender
menyebabkan preferensi yang berbeda pada kriteria pasangan hidup yang
dianggap penting. lalu apakah perbedaan ideologi peran jender (tradisional atau
modern) yang dianut juga dapat menyebabkan perbedaan preferensi pada kriteria
pasangan hidup yang dianggap penting.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah 2 buah kuesioner, yang
mengukur ideologi peran jender seseorang dan preferensinya pada 13 kriteria
pasangan hidup. Alat ini disebarkan pada 150 responden dan hasilnya diolah
melalui SPSS 6.0 dengan tehnik perhitungan statistik ANOVA 1 dan 2 arah.
Dari hasil dan analisa yang diperoleh, ternyata memang benar kalau pria
dan wanita menunjukkan preferensi yang berbeda pada kriteria pasangan hidup
yang mereka anggap penting. Pria terbukti Iebih mementingkan kriteria daya tarik
fisik dibanding wanita, dan wanita Iebih mementingkan kriteria cerdas, berpotensi
sukses, mapan, berambisi, berpendidikan, beragama sama, serta belatar belakang
keluarga jelas dibanding wanita. Terbukti juga bahwa secara keseluruhan wanita lebih pemilih dibanding pria. Untuk ideologi peran jender, ternyata antara penganut
ideologi peran jender tradisional dan modern juga memperlihatkan perbedaan
preferensi pada kriteria pasangan hidup yang dianggap penting. Penganut ideologi
peran jender tradisional lebih mementingkan masih perawan/perjaka dan berlatar
belakang keluarga jelas, sedangkan penganut ideologi peran jender modern Iebih
mementingkan kriteria cerdas, berpotensi untuk sukses, berambisi untuk maju
berprestasi, mapan (mempunyai pekerjaan, kedudukan dan penghasilan) dan
berpendidikan. Ditemukan juga pengaruh yang signifikan untuk interaksi jender dan
ideologi peran jender tarhadap preferensi kriteria ekspresif dan terbuka, dimana
berdasarkan urutan kriteria ini paling dipentingkan oleh pria modern, kemudian
wanita tradisional lalu wanita modern dan terakhir oleh pria tradisional.
Kesimpulan dan penelitian ini adaiah ternyata perbedaan jender (pria dan
wanita) dan perbedaan ideologi peran jender (tradisional dan modern)
menyebahkan perbedaan preferensi kriteria pasangan hidup yang dianggap penting,
dan juga ditemukan ada perbedaan preferensi kriteria pasangan hidup yang
disebabkan oleh interaksi antara perbedaan jender dan perbedaan ideologi peran-
jender.
Saran dari penelitian ini, bila ingin dilakukan penelitian Ianjutan, bisa diteliti
variabel Iain yang mungkin berpengaruh pada preferensi kriteria pasangan hidup
seperti variabel : tingkat sosial ekonomi, agama, suku, pendidikan, generasi, dan
wilayah tempat tinggal. Untuk kriteria yang dibandingkanpun bisa ditambahkan
dengan kriteria seperti pandai memasak, mendapat persetujuan orang tua atau
berasal dari suku yang sama.
Diharapkan hasil penelitian ini bisa jadi masukan yang bermaanfaat
terutama untuk para dewasa muda yang sedang mencari atau memilih pasangan
hidup yang tepat, demi kebahagiaan dan kesuksesan pernikahan dan kehidupan
berumahtangganya kelak."
1998
S2711
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>