Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agatha Kaulika Rahadiyanti
"Moratorium penempatan TKI informal diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia ke negara-negara di Kawasan Timur Tengah sejak Tahun 2015 dalam rangka meminimalisir permasalahan yang terjadi kepada TKI di Luar Negeri. Tujuan dari pemberlakuan moratorium tersebut adalah agar tercipta suatu sistem perlindungan baru antara Indonesia dengan Negara-negara yang diberlakukan penghentian sementara penempatan itu. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya kebijakan moratorium TKI membawa dampak yang cukup signifikan yaitu meningkatnya jumlah TKI ilegal. Pada skripsi ini dijelaskan mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi implementasi moratorium penempatan TKI informal di Kawasan Timur Tengah untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan dan apa yang penyebab permasalahan meningkatnya TKI ilegal setelah diberlakukan moratorium. Skripsi ini merupakan penelitian dengan pendekatan positivist menggunakan teori Grindle yaitu dilihat dari segi konten dan konteks dari kebijakan. Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa pada implementasinya, masih ditemui beberapa kendala yang kemudian menyebabkan jumlah TKI ilegal meningkat. Berdasarkan 9 faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, hanya 6 yang memenuhi indikator faktor yang menunjang pelaksanaan implementasi. 3 faktor yang mengalami kendala diantaranya dari sisi jangkauan perubahan yang diharapkan, sumber daya yang memadai, dan adanya kepentingan serta tumpang tindih kekuasaan antar pihak. Rekomendasi pada penelitian ini adalah bahwa pemerintah perlu segera melakukan evaluasi dan membuat sistem perlindungan baru bagi TKI, memperbanyak sumber daya yang berkualitas untuk mendukung pelaksanaan moratorium, dan meninjau ulang undang-undang agar tidak terjadi tumpang tindih antar pihak, serta meningkatkan pengawasan pada pelaksanaan kebijakan.

The moratorium on placement of informal migrant workers in middle east region has been enforced by the government of Indonesia since 2015 in order to minimalize problems which has happened to Indonesia migrant workers abroad. The purpose of moratorium enforcement is so that it can form a new protection system between Indonesia and the countries that is being given temporary placement dismissal. However, in the implementation, migrant workers moratorium policy brought such adverse impact that it made the number of illegal migrant workers increasing. This thesis explains about the factors which affecting the implementation of moratorium on placement of informal migrant workers in the middle east region to find out how those factors affect the policy and the cause of illegal migrant workers increasement after the moratorium being applied. This thesis is a research with positivist approach with Grindle theory which seen from context and content side of the policy. The conclusion of this thesis is that in the implementation, there are hindrances which cause the increasing of illegal migrant workers. Based on 9 factors that affect policy implementation, only 6 factors that fulfill the indicators which support them. 3 factors that facing problems are from the range of expected changes side, adequate resources, and the existence of interest and also overlapping powers between parties. The recommendation in this research are that the government needs to do an evaluation immediately and formulate a new protection system for migrant workers, incerase qualified resources to support the implementation of moratorium, and review the related policy so that there is no overlapping authority between parties, and also increase supervision on the implementation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Newton, Charles Thomas
"Charles Thomas Newton (1816–1894) was a British archaeologist specialising in Greek and Roman artefacts. He studied at Christ Church, Oxford before joining the British Museum as an assistant in the Antiquities Department. Newton left the Museum in 1852 to explore the coasts and islands of Asia Minor. In 1856 he discovered the remains of the Mausoleum of Helicarnassus, one of the seven ancient wonders of the world. He was appointed Keeper of Greek and Roman Antiquities in 1860 and remained in the position until 1880. First published in 1880, this volume is a compilation of lectures on archaeology and classical art which he delivered over the course of his career. They are arranged chronologically and cover topics as diverse as the study of archaeology, Greek sculptures and the arrangement of antiquities in the British Museum, providing valuable information on early methods of archaeology and the study of classical art."
New York: Cambridge University Press, 2011
e20528833
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Khaled El-Rouayheb
"For much of the twentieth century, the intellectual life of the Ottoman and Arabic-Islamic world in the seventeenth century was ignored or mischaracterized by historians. Ottomanists typically saw the seventeenth century as marking the end of Ottoman cultural florescence, while modern Arab nationalist historians tended to see it as yet another century of intellectual darkness under Ottoman rule. This book is the first sustained effort at investigating some of the intellectual currents among Ottoman and North African scholars of the early modern period. Examining the intellectual production of the ranks of learned ulema (scholars) through close readings of various treatises, commentaries, and marginalia, Khaled El-Rouayheb argues for a more textured - and text-centered - understanding of the vibrant exchange of ideas and transmission of knowledge across a vast expanse of Ottoman-controlled territory."
New York: Cambridge University Press, 2015
e20528853
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Smith, Charles Roach
"Charles Roach Smith (1806–90) had a prosperous career as a druggist. His shop was in the City of London, then undergoing major excavation and redevelopment, and he began to collect the artefacts being uncovered around him. With a widening interest in all aspects of the past, Smith began to publish notes on his collection as well as antiquarian observations. (His Illustrations of Roman London is also reissued in this series.) This three-volume work, published 1883–91, reviews his activities as an excavator, collector, and co-founder of the British Archaeological Association. Pen-portraits of fellow enthusiasts and descriptions of ancient buildings and ruins are interspersed with accounts of infighting in the Association, and biting criticism of local and national authorities who refused to take on responsibility for Britain's archaeological heritage. Volume 2 contains anecdotes including an archaeological excavation conducted by Darwin's mentor Henslow on a tumulus in his parish."
United Kingdom: Cambridge University Press, 2015
e20528888
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Arief
"Perjanjian Camp David yang ditandatangani oleh Mesir dan Israel menyebabkan terjadinya perubahan kondisi politik di kawasan Timur Tengah. Negara-negara Arab yang tidak menyetujui perjanjian tersebut memboikot dan memutuskan hubungannya dengan Mesir. Mesir yang mengharapkan bahwa dengan perjanjian damainya dengan Israel dapat menciptakan stabilitas politik di kawasan ini melalui kesediaan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah Arab yang didudukinya, sampai saat ini belum terwujud.
Permasalahan yang dihadapi oleh Mesir untuk melanjutkan proses perdamaian khususnya setelah perjanjian tersebut adalah mengembalikan kepercayaan bangsa-bangsa di kawasan yang rawan konflik ini terhadap Mesir, di samping menjalin hubungan dengan negara-negara besar Iainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Sovyet.
Dengan menggunakan teori Willian D Coplin yang menyatakan bahwa politik luar negeri ditentukan oleh konteks internasional,perilaku pengambil keputusan, dampak kondisi ekonomi dan militer terhadap suatu negara dan peran politik dalam negeri dan teori dari Dale J.Hekhuis dkk yang menyatakan bahwa terdapat dua indikator menyangkut stabilitas yaitu pecahnya perang dengan daya hancur yang tinggi dan penaklukan atas orang-orang yang telah merdeka, serta pendapat dari Robert Gilpin yang menyatakan bahwa jika variabel kualitatif dalam determinan domestik berubah maka kepentingan dan kekuatan negara tersebut juga berubah, maka dengan menggunakan metode eksplanatif, penulis ingin mengetahui bagaimana peran Mesir di Timur Tengah sebagai upaya untuk mewujudkan stabilitas politik di kawasan.
Proses perdamaian yang tidak mengalami kemajuan khususnya selama tahun 1980-an, menuntut Mesir untuk lebih banyak mengarahkan politik Iuar negerinya ke negara-negara di kawasan Timur Tengah di samping tetap mempertahankan hubungan baiknya dengan Amerika. Sedangkan selama tahun 1990-an, Mesir aktif sebagai mediator dan fasilitator dengan terlibat Iangsung sebagai "Full Partner" dalam berbagai perundingan di tingkat bilateral dan multilateral. Amerika Serikat sebagai mitra Mesir masih mempunyai peran yang dominan dalam membantu kelangsungan proses perdamaian. Sementara Israel yang berkonflik dengan negara-negara Arab, kerap kali dapat mempengaruhi kebijaksanaan luar negeri AS terhadap negara-negara di Timur Tengah yang cenderung merugikan.
Oleh karena itu, agar Mesir tetap berperan dalam proses perdamaian untuk mewujudkan stabilitas politik di Timur Tengah maka Mesir harus menggali potensi (ekonomi) dalam negeri sendiri disamping dari luar negeri kecuali AS, dan tetap menjaga hubungan baiknya dengan negara-negara tetangga. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Emilia Sari Sutikno
"Tesis ini memfokuskan perhatian pada penggunaan sanksi ekonomi sebagai instrumen kebijakan luar negeri AS terhadap Irak dalam kurun waktu 1993-1998 (masa Pemerintahan Presiden Bill Clinton), serta menjelaskan pentingnya interaksi antara faktor-faktor domestik (internal) dengan faktor-faktor internasional (eksternal) dalam dihasilkannya keputusan perpanjangan penggunaan sanksi ekonomi terhadap Irak.
Keputusan tersebut, dipicu juga oleh serangkaian perilaku atau tindakan Irak di bawah rejim Saddam Hussein, yang bersifat agresif dan dianggap cenderung melanggar norma-norma internasional serta mengancam kestabilan dan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Presiden dan Kongres pada masa ini, masih mengaggap perlu perpanjangan sanksi ekonomi terhadap Irak berdasarkan sejumlah alasan. Namun pada dasarnya, AS tetap menganggap Irak sebagai negara yang mengancam kepentingan (nasional) AS, khususnya di kawasan Timur Tengah (berkaitan dengan masalah Israel dan minyak). Lobi pro-Israel, AIPAC, dalam hal ini juga memainkan peran cukup signifikan dalam mempengaruhi kebijakan perpanjangan sanksi ini. Dunia internasional, melalui PBB, juga mengeluarkan sejumlah resolusi yang berkaitan dengan pelaksanaan sanksi ekonomi terhadap rejim Saddam Hussein.
Pembahasan mengenai kasus ini, dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran/teori sebagai alat analitis. Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai keterkaitan antara faktor-faktor domestik dan internasional yang mempengaruhi keluarnya kebijakan perpanjangan sanksi ekonomi atas Irak, 1993-1998.
Konsep Rosenau mengenai linkage theory digunakan untuk membahas interaksi dan keterkaitan antara faktor-faktor domestik dengan internasional. Konsep-konsep lain yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri juga digunakan untuk menganalisa kasus yang diajukan.
Tesis ini menyimpulkan bahwa tetap dipertahankannya penggunaan sanksi ekonomi terhadap Irak bertujuan agar terjadi pergantian rejim pemerintahan di Irak. Namun seperti diketahui, tujuan ini tidak berhasil karena Saddam Hussein masih berkuasa di Irak. Selain itu, tulisan ini juga melihat adanya kerjasama antara Presiden Clinton dan Kongres (yang dipengaruhi oleh lobi pro-Israel, AIPAC) dalam keputusan perpanjangan penggunaan sanksi ekonomi terhadap Irak, 1993-1998."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zis Muzahid
"Konflik Palestina-Israel, yang telah berlangsung lebih dari setengah abad, telah menimbulkan pengaruh luas dalam konstelasi politik internasional. Getarannya, tak hanya terasa di kawasan Timur Tengah, tetapi juga di Barat dan seluruh dunia Islam. Dalam sepanjang sejarahnya sejak pecah pada tahun 1948 hingga sekarang, konflik tersebut tampaknya tengah mengarah pada perbenturan kepentingan antara negaranegara Timur Tengah khususnya Palestina versus Israel, dan bahkan membenturkan antara dunia Islam vis a vis dunia Barat.
Pada awalnya, konflik itu disulut oleh perebutan sejengkal tanah di Yerusalem yang menjadi kota penting bagi agama-agama besar dunia; Islam, Kristen dan Yahudi. Namun, di balik itu sesungguhnya konflik tersebut menyimpan sebuah agenda besar kaum Yahudi (kaum zionis internasional) untuk mendirikan national home-nya yang disebut dengan negara Israel. Negara idaman tersebut akhirnya dideklarasikan oleh David Ben Gurion, pada 14 Mei 1948.
Negara Israel terbentuk tidak dengan serta merta melainkan dengan perjuangan panjang dan pergumulan Reims selama berpuluh abad, dan tidak jarang disertai dengan langkah-langkah picik. Pengalaman pengembaraan kaum Yahudi ke setiap penjuru dunia secara naluriah telah mematangkan semangat mereka untuk memiliki tempat tinggal permanen. Sedikitnya dalam masa 2.000 tahun kaum Yahudi mengalami diaspora, terbuang dari tanah kelahirannya. Diaspora itu terjadi pertama kali ketika Ibrahim beserta pengikutnya menjadi kafilah pengembara setelah diusir oleh penguasa Babilonia menuju Kanaan yang sekarang disebut Palestina.
Pada generasi Yusuf, kaum Yahudi berpindah dari Kanaan ke Mesir atas undangan Raja Mesir, Ramses I, yang meminta bantuan Yusuf untuk menyelamatkan Mesir dari ancaman kelaparan. Namun, setelah Yusuf berhasil mengatasi bahaya kelaparan, penguasa Mesir tak berterimakasih kepada kaum Yahudi. Sebaliknya, Ramses II - yang meneruskan kekuasaan pendahulunya -- memberikan perlakukan kejam. Kaum Yahudi laki-laki dibantai, sedangkan yang perempuan dan anak-anak dibiarkan hidup dan diperlakukan sebagai budak.
Perbudakan ini berakhir, setelah Musa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga kerajaan memimpin kaum Yahudi melakukan aksi pembangkangan dan perlawanan terhadap Ramses II. Musa meminta Ramses II membebaskan kaum Yahudi dari jerat perbudakan, Selanjutnya, Musa memimpin kaum Yahudi pulang ke Palestina yang ternyata sudah dikuasai kaum Kanaan yang perkasa dan kejam, sehingga kaum Yahudi harus berperang lagi.
Diaspora kaum Yahudi selama berabad-abad terus terjadi secara generasi demi generasi, turun-temurun mulai dari Ibrahim, Yusuf, Musa, Sulaiman hingga keturunan Yahudi membentuk sebuah organisasi yang bergerak untuk mewujudkan cita-cita, memiliki sebuah negara Yahudi di muka bumi. Seiring dentum gerakannya, organisasi yang meliputi berbagai aspek yang menyeluruh, baik ditinjau dari sudut politik, ekonomi dan sosial-budaya, mendapatkan dukungan dan simpati yang semakin luas. Maka, gerakan tersebut berkembang secara terarah sejak tampilnya tokoh Yahudi bernama Theodore Herzl dan Meyer Amschel Rothschild, masing-masing sebagai penggerak politik dan penopang ekonomi bagi organisasi zionis internasional. Kemudian, gerakan tersebut semakin menemukan momentum sangat berarti dengan terselenggaranya Konperensi Zionis Internasional, di Basle, Swiss.
Momentum tersebut berlanjut dengan tampilnya sejumlah tokoh Yahudi yang menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan negara - khususnya di Eropa - mereka berpijak. Perjuangan pada sektor politik kian menampakkan hasilnya ketika mereka secara nyata mendapatkan jaminan dukungan politik dari Inggris dan Prancis sebagaimana kedua negara tersebut mengikat perjanjian Sykes-Picot yang menyepakati rencana pendirian sebuah negara Yahudi di tanah yang dijanjikan (promised land) di atas wilayah mandat, Palestina.
Konsep negara Yahudi seperti dirumuskan Herzl diperkenalkan melalui jalur diplomasi ke berbagai pihak untuk meyakinkan "niat baik" itu. Pihak yang menyambut secara positif gagasan negara Yahudi itu adalah Inggris dan Prancis yang pada waktu menjadi Ujung tombak era kolonisasi dan imperialisme Barat. Kedua negara tersebut memang menjadi target kaum Yahudi karena melalui keduanya mereka bisa mendomplengkan langkah-langkah perjuangannya dengan menggunakan sarana sentimen Kristen yang anti-Islam. Pada pasca-Perang Dunia II, kaum Yahudi mendapatkan dukungan penuh dari negara adi daya, Amerika Serikat.
Faktor dukungan Inggris, Prancis dan Amerika Serikat itulah yang memungkinkan terbukanya jalan bagi kemerdekaan Israel. Dengan berdirinya negara Israel, kaum Yahudi yang terdiaspora di negeri asing dapat kembali ke Palestina. Dalam pandangan Prancis, dengan mendukung pendirian negara Israel di Palestina, hal itu bisa membantu melanggengkan agenda imperialismenya di Timur Tengah. Demikian juga Inggris, yang malah memfasilitasi semua keperluan untuk eksodus kaum Yahudi ke Palestina dan bahkan ikut mendesak warga Arab Palestina agar menerima imigrasi kaum Yahudi. Keberpihakan Amerika Serikat tercermin dalam kebijakan politik luar negerinya yang secara gamblang mendukung pendirian negara Israel.
Meski pada awalnya bangsa Arab terpaksa harus menerima eksodus kaum Yahudi, namun membengkaknya para emigran Yahudi di Palestina ternyata telah mendorong timbulnya berbagai masalah baru yang kian menyakitkan bagi warga Arab. Apalagi setelah kemerdekaan Israel, kekuatan negara dengan milisi sipil dan kelompok gangster Yahudi gencar melakukan aksi teror dan pengusiran terhadap warga Arab, yang pada gilirannya tak dapat mengelakkan pecahnya konflik terbuka antara Arab dan Yahudi, bukan hanya pada tingkat warga melainkan bahkan sampai ke tingkat negara.
Konflik itu kemudian melahirkan pecahnya enam kali perang besar antara Israel dan negara-negara Arab, sejak 1948 hingga 1982, yang menelan ribuan korban jiwa dan harta benda. Dukungan luas dan penuh yang diberikan negara-negara tersebut tidak terbatas pada bantuan ekonomi dan politik saja, melainkan juga pada bantuan militer. Bahkan di medang perang sekalipun, negara-negara Barat itu - khususnya Amerika Serikat - pun menerjunkan bala pasukannya. Hal ini terjadi misalnya pada perang Mesir - Israel pada tahun 1967, sehingga Arab selalu mengalami kekalahan.
Nafsu mengenyahkan bangsa Arab dari Palestina dipenuhi Israel bukan hanya di medan perang melainkan pada suasana damai pun Israel terus melakukan praktik ethnic cleansing terhadap warga Arab Palestina seperti tragedi Shabra dan Shatila. Proses perdamaian pun ditempuh, mulai dari Camp David I tahun I979, kemudian Ice Oslo tahun 1993 dan 1995, dan Wye River 1997, terakhir Camp David II tahun 2000. Kendati demikian, proses perdamaian tersebut tidak menelorkan hasil yang signifikan bagi terwujudnya perdamaian yang langgeng hingga kini.
Melihat latar belakang masalah tersebut, penelitian ini dimulai dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut; (1) apa saja varian konflik Palestina-Israel, (2) apa setiap varian konflik terdapat aktor dan kepentingannya, (3) mengapa Israel begitu kuat ingin menaklukkan Palestina, dan (4) apakah terdapat konspirasi antara Israel dengan AS, (5) proses damai apa saja yang sudah ditempuh untuk meredakan konflik. Kemudian, disusun tujuan penelitian yaitu, bahwa penelitian ini bertujuan; pertama, mengurai akar-akar konflik Palestina-Israel dan menyingkap para aktor di balik konflik serta apa kepentingannya. Kedua, menjelaskan dugaan konspirasi antara Israel dengan Amerika dan antara Amerika Serikat dengan anasir Arab, yang dirancang untuk melumpuhkan kekuatan Arab Palestina. Ketiga, mengurai proses damai yang dirintis sejak Camp David I hingga Camp David II, yang semua berakhir dengan kegagalan. Keempat, memberi sumbangan dalam pengembangan ilmu terutama dalam disiplin hubungan internasional, khususnya menyangkut masalah Timur Tengah.
Sedangkan kegunaan penelitian ini diharapkan paling tidak bisa menjadi pelengkap alternatif untuk memahami masalah Timur Tengah, terutama konflik Palestina-Israel. Memang, telah cukup banyak buku mengulas konflik Palestina-Israel, tetapi kerap uraiannya terjebak ke arena emosi antara pemihakan dan pengutukan. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya menempatkan perhatian pada realitas obyektif berdasarkan prosedur ilmiah dan fakta-fakta empiris untuk memahami konflik Palestina-Israel secara proporsional. Pada akhirnya, penelitian ini pun diharapkan dapat menambah khazanah rumusan teoretik tentang konflik Palestina-Israel dan perkelindanan dalam proses perdamaiannya yang perlu diketahui khalayak, terutama kalangan akademisi dan praktisi hubungan internasional Indonesia.
Sebelum membahas lebih jauh tentang konflik Palestina-Israel, kajian ini dimulai dengan suatu rumusan asumsi dan kerangka teori untuk menjawab bangunan asumsi tentang konflik yang paling lama dalam kancah konflik global ini. Diasumsikan bahwa (1) konflik Palestina-Israel tidak bersifat by accident, melainkan disengaja dan direncanakan secara sistematis sebagai suatu paket strategis, (2) untuk mencapai tujuan kepentingan nasional Israel, (3) proses damai tidak dijadikan tujuan penyelesaian konflik melainkan untuk mengukuhkan dan mengabsahkan capaiancapaian kepentingan Israel maupun kepentingan Barat yang didominasi Amerika Serikat, (4) Israel berkonspirasi dengan Barat (Kristen) untuk melakukan pengusiran warga Arab (Islam) Palestina.
Atas dasar asumsi tersebut, permasalahan kemudian diklarifikasi dengan teori-teori yang dalam hal ini lebih banyak memanfaatkan disiplin sosiologi dengan teori konfliknya. John H Davis (1968:1-3) menengarai bahwa konflik Palestina-Israel ini berawal dan gerakan Zionisme Internasional. Gerakan ini mengusung inisiatif untuk mewujudkan tempat kembali kaum Yahudi yang terdiaspora, yang pada gilirannya mengarah pada gerakan politik bersenjata dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Dari sudut pandang teoretis ini, kalangan akademisi memetakan konflik Palestina-Israel ke dalam tiga hal; (I) pergolakan perebutan sejengkal tanah, yaitu Yerusalem, (2) terkait dengan masalah agama, yaitu status kota suci Yerusalem yang diperebutkan tiga agama besar - Islam, Kristen dan Yahudi, (3) terkait dengan perbenturan kepentingan strategis yang lebih banyak didominasi Barat yang kerap dipresentasikan oleh Amerika Serikat.
Joseph S Nye (1993:147-148) menyimpulkan konflik Palestina-Israel ke dalam tiga hal; masalah agama, nasionalisme dan politik keseimbangan global. Sedangkan James Turner Johnson (2002:9-41) menyorot keterlibatan Barat dalam konflik Timur Tengah yang tidak hanya sekadar untuk tujuan mempertahankan hegemoni imperialismenya, melainkan lebih jauh lagi untuk mengalahkan gerakan Jihad, karena Jihad menyimpan konflik peradaban yaitu pertentangan nilai-nilai Jihad dengan peradaban Barat. Dalam konteks kekinian, Jihad lebih diidentikkan oleh Barat sebagai gerakan terorisme yang menyerang Barat.
Persoalannya, ternyata konflik Palestina-lsrael cenderung berlama-lama atau seperti `dilestarikan'. Dari sudut teoretis, ternyata konflik bisa juga digunakan sebagai instrumen perjuangan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, konflik memang dirancang sebagai bagian dari paket strategi untuk mencapai tujuan. Setidaknya hal itu diakui oleh Morris Janowitz (1970:vii) yang menganggap konflik timbal akibat benturan kepentingan baik yang bersifat personal maupun sosial, bahkan konflik merupakan sebuah bentuk perjuangan.
Pendapat senada juga diungkapkan Lewis A. Coser (1956:8) yang melihat konflik sebagai sarana perjuangan atas nilai dan tuntutan untuk mencapai status, kekuasaan dan sumber daya. Dalam perspektif itu, konflik tidak selalu diartikan sebagai malapetaka, alih-alih malah dianggap sebagai hikmah. Setidaknya dari segi teoretis, konflik dalam makna ini pun diakui oleh Alfred Whitehead sebagai bukan musibah melainkan peluang untuk mencapai tujuan akhir. Dalam eskalasinya, konflik juga mengarah kepada pola kerusuhan, dalam konteks ini pun kerusuhan bisa dianggap sebagai bagian dari paket strategi untuk mencapai tujuan perjuangan atau tujuan luhur dari pihak yang berkonflik (Lewis A Coser, I956:10). Karena alasan itu, Ralf Dahrendorf (1959:212) pun berpendapat bahwa kerusuhan hanya merupakan instrumen yang dipilih oleh kelompok yang bertikai untuk mengekspresikan permusuhannya.
Dalam berkonflik, untuk memenangkan pertarungan kerap ditempuh dengan jalan konspirasi. Konspirasi adalah upaya satu pihak dengan pihak lain yang bersepakat tanpa diketahui pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan tertentu, hal ini sangat wajar dilakukan dalam berbagai medan sosial terutama dalam berkonflik (baca Mathias Brockers, 2002:75). Dengan demikian konflik dapat dikatakan bisa menjadi instrumen strategi untuk pencapaian tujuan perjuangan seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestine. Kerap kali upaya pencanaian tujuan tersebut ditempuh melalui konspirasi. Itulah sebabnya, bisa jadi konflik kedua bangsa ini memang sengaja `dilestarikan' agar tujuan-tujuan atau kepentingan nasional strategis jangka panjang pihak yang bertikai dan berkepentingan bisa terwujud secara sistematis. Fenomena ini dapat dilihat secara jelas antara lain dari upaya-upaya perdamaian yang selalu gagal atau mengahadapi jalan buntu.
Karena penelitian ini hendak menyingkap masalah yang rumit, maka harus dipilih metodologi penelitian yang memadai. Penelitian konflik Palestina-Israel ini memakai format studi kasus (case study), dengan memakai metode ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengkaji subject matter (materi) penelitian secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif Fokus studi ini adalah menelaah secara mendalam materi penelitian dari sudut teoretik yang diklarifikasi dengan data-data dam temuan-temuan dari sumber sekunder. Studi terutama menyorot konflik terbuka yang dimulai sejak tahun 1948, ketika Israel memproklamasikan kemerdekaannya. Jalinan peristiwa demi peristiwa, momen demi momen, disorot secara ketat. Dalam berbagai peristiwa dan momen itulah peneliti melihat berbagai varian dan memprediksi para aktor dan kepentingannya serta motif yang ingin dicapai sebagaimana layaknya fenomena dalam sebuah permainan. Untuk memahami momen yang akan disorot, sebelumnya peneliti memahami secara mendalam berbagai teori konflik dalam disiplin sosiologi.
Penelitian ini banyak mengandalkan data sekunder, karena keterbatasan untuk menjangkau lokasi penelitian. Kendati demikian, diharapkan tak mengurangi makna komprehensif dan keluasan penelaahan studi. Selain faktor ketakterjangkauan lokasi penelitian, sebab lainnya adalah sumber sekunder tentang Palestina-Israel dan Timur Tengah sudah banyak dipublikasikan dan dapat diperoleh dengan mudah. Sumber-sumber ini, misalnya didapatkan dari buku-buku teks, jurnal ilmiah, dan sejumlah publikasi lainnya. Karena sumber sekunder merupakan hasil pikiran orang lain yang tidak jarang disertai maksud tertentu, maka peneliti melakukan pencarian sumber-sumber yang sesuai dengan materi penelitian. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pemerhati dan penghimpunan dokumen. Untuk menguji validitas data, dilakukan beberapa cara, yaitu dengan melakukan diskusi dengan peneliti lain yang menaruh minat pada bidang perhatian yang sama, dan melakukan triangulasi, yaitu mengecek kebenaran informasi dengan sejumlah pakar dan pemerhati. Proses selanjutnya adalah merekonstruksi data mentah, dari bentuk awalnya menjadi bentuk yang dapat memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena yang diamati. Fase ini meliputi pemeriksaan data mentah, membuat tabel, baik secara manual maupun dalam komputer. Setelah data disusun dalam kelompokkelompok serta hubungan-hubungan yang dapat diurai, maka dilakukan pengolahan data dengan analisis dan interpretasi serta komparasi antara hubungan-hubungan dengan fenomena lain yang terkait untuk menjawab masalah-masalah yang diteliti.
Dalam pembahasan masalah, berbagai gambaran mengenai diaspora bangsa Yahudi diuraikan. Begitu juga, dinamika konflik dalam hubungannya dengan konspirasi AS-Israel serta proses perdamaian dalam konflik Palestina-Israel, Jika dilihat dari sekian banyak faktor yang menyebabkan konflik Timur Tengah yang berkepanjangan ini, setidaknya ada tiga faktor dominan: masalah agama, politik dan .peradaban. Dalam faktanya, ketiga faktor itu tidak selalu berdiri sendiri, melainkan terkait erat satu sama lain, meski juga di antara ketiganya ada yang paling dominan.
Konflik di Timur Tengah, kalau dirunut dari akar historisnya berawal dari kisah pengembaraan Ibrahim yang melahirkan Ismail (Bapak Bangsa Arab) dan Ishak (Bapak Bangsa Israel). Lamanya masa diaspora kaum Yahudi seolah telah meninggalkan kesan historis hilangnya klaim sejarah Yahudi atas tanah Kanaan (Palestina) yang telah ditinggalkan selama berpuluh-puluh abad. Sejak kejayaan kekhilafahan Islam, Palestina menjadi bagian dari wilayah integral dalam kekuasaan Islam. Penderitaan kaum Yahudi selama diaspora yang lebih banyak ditimbulkan oleh perilaku penguasa yang mendzalimi mereka sehingga mereka terbuang dan mengembara di negeri-negeri asing. Pengalaman pahit ini telah mendorong mereka untuk mewujudkan kembali negara Israel.
Pengembaraan yang dimulai dari Babilonia ke Palestina, dan kemudian berlanjut ke Semenanjung Arab, Afrika Utara, Eropa dan seluruh belahan dunia telah mengilhami kaum Yahudi untuk menggunakan segala cars termasuk merangkul penguasa negara mereka berpijak untuk memberikan dukungan terhadap cita-citanya Babakan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita tersebut dapat dibagi dalam tiga babakan, yaitu (I) babakan Pra-Perang Dunia I sampai Perang Dunia I dengan memberikan dedikasi kepada penguasa negara kolonialis-imperialis; (2) babakan Pasca-Perang Dunia I sampai Perang Dunia II dengan mendompleng pada misi kolonialisme-imperialisme; (3) babakan pasca-Perang Dunia II dengan menempuh langkah-langkah konspiratif dan memanfaatkan keadidayaan Amerika Serikat. Semua langkah perjuangan ini dilaksanakan di bawah payung dan koordinasi organisasi zionisme internasional.
Berdirinya negara Israel merupakan hasil perjuangan mereka. Namun, sejak masa emigrasi ke Palestina hingga proklamasi kemerdekaan Israel, negara Yahudi ini terlibat dalam gejolak konflik berkepanjangan sebagai akibat penolakan Arab terhadap pencaplokan negara Israel di atas tanah sah Arab. Titik pergolakan konflik ini bertolak dari kepentingan sejarah masa lalu, klaim agama dan kepentingan politik yang lebih luas. Pencaplokan negara Israel yang difasilitasi Inggris ini kemudian menjadi titik api yang meletuskan konflik berskala regional dan menarik peran internasional. PBB yang merupakan lembaga penegak perdamaian dunia telah menangai konflik ini dengan mengeluarkan Resolusi No 181 yang membagi wilayah Palestina sebagian untuk Israel dan sebagian besar untuk Palestina.
Ketakrelaan Arab menerima konflik tersebut telah membuatnya lengah dan terlambat memproklamasikan negara Palestina, dan malah menghabiskan tenaga dan biaya untuk melancarkan peperangan melawan Israel. Negara-negara Arab belum pernah memperoleh kemenangan dalam enam kali peperangan karena Israel didukung habis-habisan oleh negara sekutunya, khususnya Amerika Serikat. Sejak itu, PBB berkali-kali mengeluarkan resolusi tentang konflik Israel-Palestina, tetapi semua itu hingga kini belum mampu mewujudkan perdamaian sebagaimana mestinya. Seiring dengan berlanjutnya emigrasi Yahudi ke Israel, Israel pun semakin giat memenuhi nafsu ekspansionistisnya dengan mencaplok tanah Palestina melebihi tapal batas yang ditentukan Resolusi 181.
Selama bertahun-tahun, proses perdamaian telah ditempuh sejak Camp David I hingga Camp David II, temyata hanya menghasilkan kerugian relatif belaka bagi Arab. Hal ini disebabkan semakin lemahnya posisi Arab yang ditandai dengan pudarnya persatuan Arab dan semakin kuatnya lobi Yahudi di Amerika Serikat yang kerap merancang berbagai upaya konspirasi untuk membela kepentingan nasional Israel. Yang lebih mengenaskan, bukan saja Palestina terancam oleh berkurangnya wilayah sahnya melainkan juga terusirnya warga Palestina yang mengungsi ke sejumlah negara tetangga.
Dalam konstelasi konflik ini, salah satu faktor politik yang membuat Israel berada di atas angin adalah adanya dugaan konspirasi antara Israel dan Amerika Serikat untuk melestarikan konflik ini bagi kepentingan strategis kedua negara tersebut. Bukti-bukti empiris tentang hal ini dapat ditemukan dari kukuhnya Israel untuk mempertahankan wilayah pendudukan dan sejumlah klaim koersif Israel terhadap penguasaan secara permanen wilayah yang lebih luas, serta sulitnya lembaga-lembaga dunia termasuk PBB sendiri untuk memaksa Israel kembali ke posisi wilayah kedaulatan semula dan lambannya proses-proses perdamaian yang telah berlangsung selama ini.
Pengamatan dan penelitian secara seksama terhadap perkembangan konflik Timur Tengah dengan mengarahkan perhatian pada perilaku politik Israel baik yang didemonstrasikan di dalam negeri Israel oleh para petinggi Israel dan di luar negeri oleh para pelobi Israel di Washington secara eksplisit menegaskan adanya konspirasi jangka panjang. Inilah yang menjadi faktor penghambat bagi terwujudnya perdamaian abadi di Timur Tengah dan sekaligus faktor pelancar bagi tercapainya kepentingan regional dan global Israel plus Amerika Serikat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demi mengukuhkan eksistensi negara Israel dan memantapkan agenda-agenda konspiratifnya bersama Amerika Serikat untuk kepentingan strategis sepihak, konflik ini digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Implikasinya, konflik ini sulit diselesaikan kecuali jika terbangun kembali semangat persatuan Arab atau timbulnya kesadaran Israel dan Amerika Serikat untuk menghentikan langkah-langkah konspirasinya demi kehidupan yang damai dan sejahtera di Timur Tengah.

Middle East Conflict As a Strategy to Enforce the Existence of Israel State (A Case Study on the Conflict and Peace Process in The Palestine-Israel Conflict)This thesis discusses the Jewish diaspora which has in such an extent inspired the Jews to settle a national home (Jewish state) in Palestine. This phenomenon has one at a time prompted them to make a long conflict with the Arab in the Middle East region. The dynamics of the conflict and its relation with the Israel - US conspiracy and the Middle East peace process are seriously elaborated, as well.
Judged from umpteen factors, the conflict that has flashed six wars are broken out by three dominant factors namely religion, politics and power. Based on this research, the objective facts proved that the three factors do not stand separately but overlap one another, though among the three factors there is a most dominant one.
Traced from its history, the Middle East conflict is broken out by the descendants of Abraham who produced offspring of Ismael (offspring of the Arab nation) and Isaac (offspring of the Israeli nation) who lived in Kanaan (currently called Palestine). The Jewish diaspora which began from Babylonia to Palestine, then proceeded to the Arab gulf areas, North Africa, Europe and the other parts of the earth for thousand years left a historical claim on Palestine where the Jews occupy. Since the glory of Islamic caliphates till the fall of Ottoman empire, Palestine was an integral part of the caliphates, and defended by Arab till nowadays. As long as the diaspora, the Jews experienced such cruel treatments by the emperors of the countries where they stay. This experienced pushed them to go back to Palestine by fighting the Arab. In fighting the Arab, the Jews have used all means including raid and conspiracy supported by Western countries to achieve the ends.
The struggle of the Jews to set up a Jewish state can be divided in three phases: (1) the Pre-World War I till World War I Phase, by demonstrating dedication to the colonial-imperial powers, (2) the Post-World War 1 till World War II, by hitchhiking on the colonial-imperial missions, (3) the Post World War II, by taking conspiracy steps and making use of the US power. All these struggling exertions were taken under the umbrella and coordination of international Zionist organization. The set-up of the state of Israel constitutes the end result of their struggle.
However, since the Jewish emigration to Palestine till the proclamation of the Israel, the Jewish state deeply involved in a troubled conflict with the Arab countries as a consequence of their rejection against the existence. The sparkling point of this conflict was drawn from the historical interest and further political interests. The inclusion of the state of Israel in Palestine was at that period forced by the British government that controlled the mandate of Palestine. Alternately, this pulled the international role of the United Nations as the world peace settler to mediate the conflict. The United Nations then issued a resolution number 181 that divides the territory partly for Israel and most part for Palestine. Corresponding to the resolution, the Israel government enhanced the emigration of the Jews to Israel progressively and intensified its expansionistic program by seizing the Palestinian territory far beyond the boundary defined by the United Nations under resolution number 181.
Unfortunately, the issuance of the resolution has made the Arab countries ignorant and inertial in responding the opportunity to proclaim a Palestine country like that executed by Israel. Instead of proclaiming a state of Palestine, the Arab countries were occupied by a strong desire to crush Israel, using huge energies and uncountable costs to launch wars against Israel.
Within the six wars ever fired, the Arab countries never gained any victory now that Israel was extremely backed by its alliances, especially the US. Since then, the United Nations issued several resolutions on the Israel - Palestine conflict, but implementation of all the resolutions was blocked by the US.
For years, the two countries have come to the table to seek peace mediated by the US, starting from Camp David I in 1979 to Camp David II in 2000, but these peace processes resulted nothing but relative losses for the Arab countries. This was made happen due to ever weakening position of Arab in facing Israel backed by the Jewish lobbyists in the US Congress. Here they persistently make a conspiracy plan to defeat Arab through the conflict and strengthen the existence of Israel. In the meantime, it's very fearing that the Palestinian territory is further grabbed hold of by Israel and its people driven away from there to flew to the surrounding neighbor countries.
In the conflict constellation, a political factor that makes Israel in a far better position is the progressively advanced conspiracy between the Jewish state and the United States in order to achieve a strategic national interest of both countries. The empirical evidences obviously show the truth of this case, as it can be judged from the stronger will of Israel to defend and expand the occupied territory and to control and possess the territory permanently. In meantime, the United Nations is factually not so powerful to compel Israel to get away from there and return to the former position as defined by the UN resolution, whilst at the same time the peace processes have been running so leisurely so far.
Through meticulous research and close observation over the Middle East conflict, we finally could find a judgment on the Israel's political behavior both demonstrated domestically by the Israel's authorities at home and externally by the Israel's lobbyists in Washington, that the conspiracy between the two countries explicitly asserts the hidden agenda of strategic national interests of theirs. It is this that remains a blocking factor for the achievement of an eternal peace in the Middle East, and a smoothening factor for the attainment of both regional and global interests of Israel and the US.
Hence, it is obvious that both Israel and the US are keen on maintaining this conflict in order to strengthen the existence of the state of Israel, in addition to attain their broader strategic interests. This problem brings about an implication that the conflict is rather difficult to solve but if the Arab countries revive their unitary spirit and the US and Israel halt their conspiracy.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Welya Safitri
"Penelitian dalam Tesis ini bertujuan untuk mengetahui peran perempuan dalam politik di Timur Tengah pada umumnya dan secara khusus di Mesir, karena Mesir sebagai yang terdepan terhadap adanya pemberian peran politik perempuan di kawasan negara Timur Tengah, hal ini disebabkan adanya undang-udang yang mensupport kegiatan politik perempuan. Penulis berusaha menganalisa mengapa peran politik perempuan khususnya di Mesir dan di wilayah Timur Tengah umumnya masih menjadi kontroversi dan faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kontroversi mengenai peran politik perempuan tersebut, serta bagaimana prospek dan permasalahannya pada masa mendatang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai metode studi Kasus. Temuan penelitian ini antara lain berdasarkan fakta historis, keikutsertaan perempuan dalam lapangan politik di kawasan Timur Tengah merupakan suatu realita bahwa peran politik mengalami indikasi peningkatan. Selain ditemukan juga bahwa gerakan Feminis di Timur Tengah diwakili oleh Mesir.
Penelitian ini menjelaskan juga tentang peran politik perempuan, walaupun masih ada sebagian kelompok yang tidak menyetujui terhadap peran politik perempuan. Akan tetapi, Gerakan kelompok/iindividu yang memperjuangkan hak-hak politik perempuan semakin mengalami peningkatan, beberapa nama yang patut disebut adalah diantaranya: Nawal el-Shadawi, Huda Sya'rawi, dan yang saat ini sedang mengemuka adalah Lady First Mesir, yakni :Suzan Mubarak. Pada intinya, kehadiran peran politik perempuan dalam Parlemen Mesir masih sangat minim sekali, hal ini terbukti belum terpenuhinya kuota yang diberikan oleh pemerintah Mesir bagi perempuan. Tentu saja minimnya peran tersebut dikarenakan ada sejumlah kendala yang menghadang bagi keberhasilan peran politik perempuan tersebut. Sehingga untuk mengatasinya diperlukan mekanisme-mekanisme tertentu.
Keberhasilan peran politik perempuan di Mesir dan kawasan Timur Tengah diantaranya ditandai dengan turut berpartisipasinya para perempuan untuk ikut ambil bagian dalam pemilu di Mesir, serta ditandai pula adanya keterwakilan peran perempuan dalam memainkan politiknya tidak hanya sebatas di parlemen saja, akan tetapi juga di lembaga eksekutif dan bidang lainnya. Sementara, masa depan peran politik perempuan sangat tergantung kepada kaum perempuan itu sendiri, mengingat masih banyaknya agenda permasalahan yang terkait erat dengan peran dan partisipasi politik perempuan, oleh karenanya perlu ada peningkatan secara simultan terhadap sumber daya kaum perempuan dalam segala bidang, tanpa terkecuali pemberdayaan di bidang politik.

The study in this thesis is aiming at knowing women roles in politics in Middle East in general and in particular in Egypt, as Egypt as is the frontline in giving woman political roles in the Middle East countries, it is because there legislations supporting the woman political activities. The writer tries to analyze why woman political roles especially in Egypt and in Middle East region generally have been in controversies and what factors causing the controversies concerning the woman political roles, and how the prospect and the problems in the future.
This study uses the qualitative approach by using case study method. The findings of this study among them is that based on the historical facts, the woman participation in political filed in the Middle East region represents a reality that the political roles are experiencing an improved indication. In addition, the finding also that the feminist movement in Middle East represented by Egypt.
This study also explains concerning political roles of woman. though still there is a part of groups who disagree to woman political roles. However, the group/individual movement in struggle for the woman political rights is increasingly improved, some name worth to mention among them such as Nawal el-Shadawi, Huda Sya'rawi, and at present the outstanding one is Egypt Lady First, Suzan Mubarak. The point is, the presence of woman political roles in Egypt Parliament is still very minimum, it is proven by the unmeet quota given by Egypt administration for woman. Certainly the minimum roles caused by several constraints deter for the success of woman political roles. So in order to solve it requires certain mechanism.
The success of woman politics in Egypt and Middle East region among them is indicated by the participation of women to take part in the election in Egypt, and also indicated by the representation of woman roles in playing their political roles not limited only in parliament, but also in executives and other areas. Whereas, the future of political roles of woman is highly depend on the women themselves, considering many agenda of issues closely related to the roles and participation of woman politics, therefore it demands the simultaneous improvement to the woman resources in all respects, without exception to the empowerment in politics.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16846
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Malik Fatoni
"Fundamentalisme bukanlah sebuah fenomena yang tunggal dan berdiri sendiri tetapi lebih dari itu, ia merupakan sebuah konsep atau ideologi yang berakar dari gejala-gejala sosial dan keagamaan. Fenomena fundamentalisme adalah sebuah konsep atau ideologi yang dibangun dan berakar pada teologi. Teologi disini berlaku secara umum, baik itu Islam, Kristen dan Yahudi.
Timbulnya gejala teologis ini di sebabkan oleh aspek yang menyangkut kehidupan masyarakat daiam menyikapi sisi keberagamaan masyarakat dunia. Tak dapat di pungkiri juga dalam konteks pemahaman dan pembahasan ini adalah fenomena yang menyangkut kebangkitan Islam (fundamentalisme Islam) di Timur Tengah. Fundamentalisme Islam hadir dan tumbuh di negara Timur Tengah sebagai reaksi akibat produk modernitas yang terjadi di negara-negara Arab, ini yang telah menyebabkan situasi hidup manusia benibah.
Di sinilah akhirnya fenomena munculnya fundamentalisme terkait erat dengan upaya kelompok atau masyarakat tertentu dalam upaya pencarian identitas diri. Karena fenomena munculnya fundamentalisme ini terkait erat dengan kelompok atau masyarakat tertentu dalam upaya pencarian identitas diri. Disisi lain fenomena ini adalah merupakan fenomena multidimensional yang ia merupakan produk lingkungan sosial, budaya, politik dan, ekonomi yang secara khas perwujudan dan spesifiksinya yang ditandai dengan faktor-faktor psikologis, kultural, religius, ekonomi, politik dan sejarah.
Fenomena Hamas merupakan salah satu dimensi gerakan yang terkait dengan wacana ideologi dan fenomena yang ada dan berlangsung di sebagian besar negara Timur Tengah tersebut. Berdasarkan perspektif inilah dapatlah di ambil kesimpulan bahwa fenomena kemunculan dan gerakan Hamas sebagai gerakan fundamentalisme Islam yang ada di Palestina terkait dan terinspirasi oleh adanya sejumlah faktor yang melatarbelakanginya. Di antara beberapa faktor itu adalah :
1. Adanya kekecewaan yang sangat dalam dari rakyat Palestina terhadap pemerintah, dalam hal ini otoritas pemerintahan Palestina (PLO). Atas segala tindakan yang pernah dilakukan sehingga rakyat semakin diliputi rasa ketakutan, kelaparan, kesengsaraan dan bahkan penindasan. Terutama mereka yang hidup dibawah tenda-tenda pengungsian
2. Situasi dan kondisi kehidupan rakyat Palestina yang tidak menentu dan tidak jelas, diliputi rasa kebimbangan dan adanya rasa tidak aman yang wring muncul.
3. Penolakan rakyat Palestina terhadap keberadaan pendudukan bangsa Israel di bumi Palestina. Tindakan pendudukan ini merupakan sebagai bentuk imperialisme dan kolonialisme jenis baru yang hadir pada abad 20 ini
4. Hamas dan gerakannya merupakan altematif baru dari sebuah sistem gerakan yang telah ada sebelumnya sebagai implementasi gerakan perjuangan rakyat Palestina untuk membebaskan belenggu penjajahan dari bangsa Israel.
Sedangkan faktor-faktor yang menimbulkan gerakan Hamas diidentikkan sebagai gerakan fundamentalisme Islam disebabkan oleh hal berikut ini yaitu faktor internal; meliputi masalah dalam negeri Palestina dan adanya kebangkitan Islam di Palestina. Sedangkan faktor eksternal meliputi adanya kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat, permasalahan internasionalisasi Yerusalem dan adanya ketegangan dan konflik dengan Zionisme. Demikianlah gambaran awal sementara serta kesimpulannya tentang fenomena gerakan fundamentalis Islam di Palestina, dan itu tercermin pada gerakan Hamas.

Fundamentalism is not a self supporting and single phenomenon, but rather from that, he represent a ideology or concept taking root from religious and social symptom. Fundamentalism phenomenon is an ideology woke up or concept and take root [at] theology. Theology here goes into effect in general, that goodness of Islam, Christian and Jew
Incidence of this theology symptom caused by aspect which concerning to the life of society in side attitude believed in world society. Cannot be denied also in understanding context and this solution is phenomenon which concerning Islam evocation (Islam is fundamentalism) in the Middle East The Islamic Fundamentalism attends and grows in the Middle East state as reaction of effect of modernity product that happened in Arabic nations, this case has caused human life situation change.
Here, finally appearance fundamental phenomenon related to group effort or certain society in the effort of seeking x'self identity. Because the appearance of fundamentalism with certain society or group in the effort seeking of x'self identity. In the other hand this phenomenon is multidimensional phenomenon which product of social, cultural, economic and politic which characteriscally, materialization and its of specification marked with psychological factors, cultural, religion, economic, political and history.
Phenomenon Hamas represent one of the movement dimensions which related to ideology discourse and existing phenomenon and take place in this part of in the Mid-East state. Based on perspective can be taken conclusion that appearance and Hamas movement as Islam fundamentalism movement exists in Palestine and inspirationally caused by existence of a number of factor. Some of the factor:
1. Existence of very disappointment from Palestinian government, in this case Palestinian Liberalation Authority ( PLO). To the all action which have been done so that people progressively in a condition of feel fear, hunger, miserable and even grind. Especially for them that live in evacuation tents.
2. Situation and condition of Palestinian life which uncertain and is ill defined, in a condition of feel anxiety and existence of feeling unpeaceful which often emerge.
3. Palestinian denied to the existence Israel nation under the sun Palestinian. Occupying Israel nation represents as imperialism form and new type colonialism attending this century
4. Hamas and movement represent new alternative from a movement system which have preexisted as Palestinian struggle movement implementation to free colonization shackle from Israel nation.
While factors generating Hamas movement identifies as Islam fundamentalism movement caused by some factor that is internal factor, covering Palestinian country internal issue and existence of Islam evocation in Palestinian. While external factor cover the political policy existence abroad United States; problems of Yerussalem internationalization and existence of conflict and stress with Zionism. This is the description a conclusion about fundamentalism movement phenomena is Palestine. And this appears to Hamas Movement in Palestine.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istanbul : Istanbul Sabahattin Zaim University, 2018
337 RES
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>