Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 260 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yani Pratomo
"Perkembangan industri televisi yang pesat di Indonesia telah mengakibatkan timbulnya persaingan antarstasiun. Sinetron merupakan program yang paling diandalkan oleh stasiun-stasiun untuk meraih pemirsa. Ini ditunjukkan dengan adanya frekuensi penayangan sinetron yang sangat tinggi. Sinetron pun mendominasi peringkat atas perolehan rating.
Permasalahan muncul ketika rumah produksi dan stasiun hanya berfikir untuk memenuhi target kejar-tayang. Dalam kondisi demikian, mutu sinetron tidak membaik. Tema-tema yang dimunculkan berkutat pada masalah perebutan harta, tahta, dan perselingkuhan. Intrik-intrik dendam, fitnah, dan kekerasan menjadi warna dominan sinetron kita. Sebagian lagi menyebutkan bahwa sinetron kita hanya menjual mimpi.
Untuk memahami permasalahan di atas, peneliti menggunakan dua konsep psikologi-sosial, yaitu konsep prososial dan antisosial. Konsep prososial dioperasionalisasikan ke dalam sejumlah indikator, seperti berkasih-sayang, tolong-menolong, dan bekerjasama. Sedangkan konsep antisosial dioperasionalisasikan ke dalam indikator-indikator seperti, penganiayaan, kekerasan, dan ucapan kasar.
Dengan teknik analisis isi, peneliti mengamati adegan-adegan di 229 episode sinetron yang ditayangkan di delapan stasiun nasional mulai tanggal 13 April sampai 10 Mei 2003. Koding dilakukan untuk mernperoleh deskripsi sinetron berdasarkan konsep prososial dan antisosial. Selanjutnya, uji korelasi dibuat untuk menjelaskan kuat/lemahnya hubungan antara frekuensi pemunculan adegan-adegan prososial dan antisosial dengan rating.
Hasil olahan data menunjukkan bahwa adegan-adegan antisosial lebih sering muncul, yaitu sebanyak 45,40%. Sebaliknya, persentase prososial adalah sebesar 41,73%. Meskipun selisihnya tidak terlalu besar, namun angka di atas menunjukkan bahwa adegan-adegan antisosial dalam sinetron kita bukan sekedar "bumbu" untuk menciptakan konflik ini menjauhkan fungsi sinetron sebagai "cermin" budi-pekerti luhur bangsa.
Sedangkan uji korelasi menunjukkan hubungan yang lemah antara pemunculan indikator antisosial dengan rating, yaitu 0,157 pada signifikansi 0,05. Begitu juga korelasi antara pemunculan indicator prososial dengan rating menunjukkan hubungan negatif yang sangat lemah, yaitu -0,039 pada signifikansi 0,05.
Angka di atas menjelaskan bahwa sinetron yang penuh adegan antisosial ternyata belum tentu digemari pemirsa (memiliki rating yang tinggi) seperti yang diasumsikan oleh beberapa ahli dan sebagian masyarakat. Umumnya sinetron yang memiliki rating tinggi adalah sinetron-sinetron yang menampilkan tema-tema yang "ringan" dan mudah dipahami.

A fast growth of television industry in Indonesia has affected a critical competition among television stations. TV cinema becomes a top-ranking program, which is relied on obtaining viewers by stations. A high quantity of TV cinema that is presented on screen and a significant top-ranking domination of TV rating has been evidence.
A question appears by the time a limited deadline goes to Production House and TV stations presenting a TV cinema. Quality does not become a priority. Idea creativity has been stuck on the theme of wealth-power struggle and dishonest relationship. Conspiracy, enmity, grudge, slander, and violence color TV cinema dominantly. Some people deem it as only a dreams peddler.
Order to understand the question, we applied a social-psychology concept that names prosocial and antisocial behaviors. We could operationalize the concept of prosocial behaviors in to a number of indicators, such as love and affection, giving mutual aid/assistance, and cooperation. On the other hand, the concept of antisocial behaviors could be applied in to a number of indicators, such as violence, mistreatment, and dirty talking.
By using a content analysis technique, researcher observed all scenes inside 229 episodes of TV cinema, which were aired on eight national TV stations starting on April 13 up to May 10, 2003. Researcher did a coding in order to understand a description of TV Cinema based on those two concepts. Moreover, researcher tried to explain a correlation between incoming prosocial and antisocial scenes and television viewers rating survey.
The findings shows that the frequency of incoming antisocial scenes is higher than the frequency of incoming prosocial one (45.40% : 41.73%). Even though it doesn't show a big discrepancy, but it shows that antisocial scene has not anymore been a tool in building a story conflicts. It has been a main color on screen. This condition keeps growing the TV cinema away from its ideal function: educative, informative, and the look of our national personality.
the other hand, correlation research found that there is a weak-positive relationship between the frequency of incoming antisocial scenes and television viewers rating survey (coefficient 0.157 at the level of significant 0.05). Then, the correlation between the frequency of incoming prosocial scenes and television viewers rating survey showed a very weak-negative relationship as well (coefficient -0.039 at the level of significant 0.05).
Findings explain that viewers do not always prefer a cinema, which shows high antisocial frequent scenes as being assumed by some experts and observers. Generally, viewers choose an easy-light theme of TV cinema as their preference."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T 11562
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Ariane
"Segmen anak menempati posisi nomor dua setelah ibu-ibu. Tetapi sayangnya kualitas tayangan anak sangatlah tidak memadai. Sebagian besar tayangan anak bahkan sebenarnya tidak cocok ditonton oleh anak-anak. Ini merupakan masalah besar dalam industri televisi. Sebenarnya pihak pengelola televisi memiliki peranan besar dalam hal ini, khususnya kebijakan penayangan. Hal ini terkait bagaimana pengelola televisi melihat segmen anak. Kini, sebagian besar pengelola televisi melihat anak sebagai peluang mendapatkan keuntungan. Padahal, anak merupakan segmen yang khusus karena mereka memiliki kebutuhan yang khusus.
Penelitian ini menggambarkan bahwa pengelola televisi masih kurang kepeduliannya terhadap hak anak untuk mendapatkan tayangan yang berkualitas. Anak harus mendapatkan tayangan yang berkualitas yang ditayangkan pada waktu yang tepat tanpa diselingi iklan-iklan yang membuat mereka konsumtif. Unsur-unsur tersebut seharusnya tercantum pada kebijakan tayang di setiap stasiun televisi.
Dalam kebijakannya, pengelola televisi tidak memikirkan bahwa kualitas tayangan adalah diatas segalanya dalam hal pemilihan suatu program. Mereka lebih menggunakan rating sebagai penentu kualitas suatu tayangan. Padahal seharusnya untuk tayangan anak, rating tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya alat ukur kualitas suatu program. Hal ini karena anak merupakan pemirsa yang khusus.
Kondisi tayangan anak seperti sejalan dengan apa yang diungkapkan Oliver Boyd-Barret yang menyatakan bahwa media komersial harus memenuhi kebutuhan pengiklannya serta sebagai audience-maximizing product (seperti seks dan kekerasan). Fairclough juga mengatakan bahwa media komersial merupakan profit making organization, dimana mereka menjual pemirsanya kepada pengiklan. Pengelola televisi cenderung menayangkan tayangan yang menguntungkan. Mereka memilih tayangan dengan rating tinggi walaupun secara kualitas isi buruk. Rating bagaikan dewa dalam dunia pertelevisian.
Kebijakan televisi swasta tidak mencerminkan kepedulian mereka terhadap anak. Dalam prakteknya pun banyak tayangan yang secara isi tidak sesuai untuk anak serta ditayangkan pada waktu yang tidak tepat untuk anak menonton. Banyaknya iklan yang menyisipi setiap tayangan juga merupakan hal yang memprihatinkan.

The segment of children is placed in the second after the women. But, unfortunately, the quality of the television programs for children is bad. Most of the television programs for children actually are not suitable for them. This is a big problem in television industry. Broadcasters' policy have big role. It is depend on, how they take the segment of children. Now, all broadcasters think that children are money. Actually, broadcaster should think that children are different from other segments. They have special need.
This research tells us that broadcasters do not care about children right. Children have right to get good quality of program in the right time and without any commercials that make them consumptive. That is a must. Broadcasters should provide children good quality of program.
In their policy, broadcasters do not think that the quality of the program is the most important than anything. They always use ratings as a tool to decide the quality of the program. It should not like that, because children are different.
The children's television program condition likes what Oliver Boyd-Barret in Media, Power and Knowledge said that commercial media organizations must cater to the needs of advertisers and produce audience-maximizing product (hence the heavy doses of sex and violence content). Fairclough said that the commercial broadcasting are pre-eminently profit making' organization, they make their profits by selling audiences to advertisers. Broadcasters make only profitable program. They choose only high ratings program, although the quality is bad. Rating is a god in television industry.
Broadcasters' policies tell us that they do not care that the quality is bad or the program is in a wrong time. Broadcaster should think that the programs have to be displayed in the right time and the commercials too.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parantean, Lisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mendalami dan meneliti level interaktifitas program-program televisi yang ada di Indonesia dengan menggali terlebih dahulu konsep dari interaktifitas dan definisi dari televisi interaktif. Kemudian penelitian ini mencoba rnengembangkan atau mengusulkan suatu cara untuk mengukur interaktifitas program-program televisi tersebut.
Penelitian ini didasari oleh kesadaran akan pentingnya pengetahuan terhadap teknologi yang terus berkembang dan berevolusi, dimana sejalan dengan perkembangan tersebut, teknologi informasi semakin lama semakin melaju pada ciri interaktif antara medium dan pemakainya seiring dengan konvergensi yang terjadi pada industri telekomunikasi, media dan komputer. Sehingga dapat dipastikan bahwa interaktif akan menjadi suatu ciri penting bagi media masa depan.
Penggunaan kata interaktif pada program-program televisi yang ada di Indonesia sudah sangat menjamur, sedangkan definisi terhadap kedua konsep diatas masih belum terangkat dengan jelas ke permukaan. Sehingga penelitian ini ingin melihat dan mendalami apakah benar konsep interaktif tersebut telah diterapkan di Indonesia dengan meneliti beberapa program televisi yang dipilih berdasarkan fitur-fitur interaktif yang dimiliki.
Beberapa program televisi Indonesia yang setidaknya sudah mengandung ciri-ciri interaktif tersebut adalah: AFI (Akaderni Fantasi Indosiar), SMS TV yang sebenarnya merupakan salah satu saluran dari Kabelvision, MTV Start (Play), Power Points Mandiri Visa yang disiarkan oleh Metro TV, sebuah games interactive yang pernah disiarkan oleh Indosiar yaitu dan Dara dan layanan interaktif Electronic Programme Guides milik Indovision. Semua program atau layanan tersebut memiliki level interaktifitas-nya masing-masing.
Analisis data yang berupa data hasil wawancara dengan para key-informant, menunjukkan adanya 3 dimensi interaktifitas yang memiliki signifikansi dalam menentukan level interaktifitas sebuah program atau layanan televisi interaktif, ketiga dimensi tersebut adalah: dimensi waktu, dimensi kontrol dan dimensi responsivitas. Dengan merujukkan analisa dari wawancara dengan para key-informant dan bahan kepustakaan yang telah dibahas oleh penulis dalam penelitian ini, maka dari ketiga dimensi tersebut, indikator-indikator yang membentuk pengukuran terhadap level interaktifitas dimensi-dirnensi tersebut dapat terdefinisikan dengan jelas disini.
Dengan terbentuknya sebuah ukuran yang bersifat kualitatif ini, maka pemetaan level interaktifitas program-program televisi interaktif di Indonesia dapat dilaksanakan. Maka pengukuran interaktifitas yang sebenamya pada konteksnya di Indonesia dapat tergambarkan dengan jelas dimana melalui pengukuran ini dapat di-analisa potensialitas dari teknologi yang sudah ada sekarang dalam mengembangkan layanan interaktif televisi ke tingkatnya yang lebih jauh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13826
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Junaedi
"Kehadiran televisi baru di tanah air semakin menambah keberadaan stasiun televisi, baik swasta maupun TVRI yang sudah terlebih dahulu ada Kebangkitan jurnalisme di televisi, yang dimulai dengan kemunculan Seputar Indonesia di RCTI dan Liputan 6 SCTV kini diikuti dengan kehadiran program berita sejenis di berbagai televisi.
Tidak sedikit gaya manajemen pemberitaan di media cetak diterapkan begitu saja di dunia televisi karena ketiadaan pengalaman para wartawan televisi, yang sebelumnya memang bergiat di media cetak. Terus terang saja, dunia jurnalistik televisi swasta tergolong lahan baru bagi jurnalis Indonesia untuk berkarya.
Demikian pula halnya dengan pendirian televisi swasta tidak terlepas dari alokasi sumber-sumber ekonomi di seputaran lingkaran rezim Soeharto. Gaya-gaya patronisasi dan nepotisme kerap melekat dalam pengelolaan televisi di Indonesia. Latar belakang pemilik dan pendiri stasiun televisi swasta pun juga beragam. Sebagian besar malah berasal dari pengusaha.
Dengan latar belakang sebagai pengusaha, maka ukuran untung rugi selalu menjadi dasar utama bagi penyiaran program-program di televisi. Terkadang karena alasan penghematan dan efisiensi, sebuah program direposisi atau dipindahkan tanpa ada parameter yang baku atau periodisasi tertentu. Jika sebuah program direposisi tanpa ada parameter yang jelas maka hal tersebut sangat berpengaruh terhadap minat pemasang iklan dan pemirsa untuk menonton. Pemasang iklan akan dirugikan karena strategi segmentasi dan sasaran khalayak akan mengalami perubahan jika sebuah program tayangan direposisi tanpa ada periodisasi. Pemirsa akan kebingungan dengan program acara yang mulai digemarinya, karena perubahan jam tayang yang mendadak.
Penelitian ini lebih memfokuskan kepada metode penelitian analisis deskriptif dengan menitikberatkan kepada pengamatan di lapangan serta wawancara secara mendalam dengan narasumber yang berkompeten.
Dan pendekatan ekonomi media, gaya pengelolaan manajemen televisi di Lativi ditelaah dengan kajian ilmu komunikasi maupun dari aspek-aspek ekonomi. Seharusnya, gaya pengelolaan manajemen televisi bersifat fleksibel dengan menerapkan azas-azas organisasi yang modern. Penguasaan manajemen secara terpusat atau komando jelas sangat tidak cocok diterapkan di stasiun televisi swasta. Gaya otoriter yang tidak mau mendengarkan saran saran dari pekerja profesional jelas suatu kemunduran dalam pengelolaan manajemen media televisi.
Oleh karena itu dengan memahami pengelolaan manajemen media diharapkan carut marut pengelolaan televisi di Indonesia bisa berkembang ke arah penyempurnaan. Diharapkan pula, hasil penelitian ini menjadi masukan yang berharga bagi pengembangan dan pengelolaan program berita di televisi swasta."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Haniza
"Menonton siaran televisi dapat dipandang sebagai aktivitas mempergunakan media televisi dalam rangka pemenuhan kepuasan pemirsa. Terbentuknya pola menonton siaran televisi seperti terjadi pada pemirsa pemilik antena parabola di Kota Madya Padang pada dasarnya berhubungan dengan pola penggunaan media televisi.
Analisis mengenai pola penggunaan media televisi yang ditinjau dari aspek pilihan stasiun televisi, pilihan program siaran televisi, jam menonton siaran televisi, dan durasi menonton siaran televisi menemukan bahwa pemirsa siaran televisi, baik domestik maupun asing, memiliki pola menonton yang secara dominan mengarah pada pemenuhan kepuasan akan hiburan dan pola menonton demikian terutama berasai dari kalangan pemirsa yang berusia remaja dan berpendidikan sekolah menengah atau lebih rendah.
Analisis mengenai kepuasan pemirsa menonton siaran televisi, balk domestik maupun asing, melalui pemanfaatan antena parabola berdasarkan faktor-faktor karakteristik individual pemirsa seperti umur, pekerjaan, dan pendidikan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan sehingga muncul kecenderungan bahwa responden pemirsa yang paling banyak menonton siaran televisi, baik domestik maupun asing, adalah responden pemirsa yang berusia remaja dan berpendidikan sekolah menengah atau lebih rendah.
Analisis mengenai pola penggunaan media televisi, baik domestik maupun asing, melalui antena parabola dalam rangka pemenuhan kepuasan pemirsa ini secara umum menunjukkan bahwa responden pemirsa lebih mempercayai televisi sebagai sumber informasi, balk untuk masalah-masalah politik, ekonomi, dan sosial-budaya maupun untuk masalah-masalah nasional dan internasional. Di samping itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa media televisi domestik ternyata masih dapat diandalkan sebagai sarana penyebarluasan informasi khususnya untuk masalah-masalah nasional, baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T2793
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Adona
Padang: Andalas University Press, 2006
659.1 Ado c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Thamita Awaliah Sumarna
"ABSTRAK
Representasi perempuan Afrika-Amerika di media selalu digambarkan dari sudut pandang yang cenderung negatif. Tulisan ini menganalisis keberadaan stereotipe perempuan Afrika-Amerika di televisi Amerika dalam serial Riverdale 2017 , yang diadaptasi dari komik berjudul ldquo;Archie rdquo;. Serial ini menyajikan tokoh dari berbagai macam ras, namun tulisan ini fokus pada tokoh Josie McCoy, vokalis utama dari band Josie and the Pussycats. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana tokoh Josie and the Pussycats menghadirkan representasi perempuan Afrika-Amerika yang baru di media melalui analsis tekstual dan pendekatan Black Feminism dari Hill Collins

ABSTRACT
The representation of African-American women in media tends to enforce negative stereotypes. This paper analyses the presence of stereotypes of African American women in the American television series Riverdale 2017 , which is adapted from ldquo;Archie Comics rdquo;. The series present a racially diverse cast, but this paper will focus on Josie McCoy, the lead singer of Josie and the Pussycats. This paper aims to examine how Josie and the Pussycats show a different way of portraying African-American women in media by using textual analysis and Black feminism approach by Hill Collins. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Simon, Anne
New York: Simon & Schuster, 1999
570 SIM r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Damayanti Darmadji
"Iklan Layanan Masyarakat "AIDS. Kita Bisa Kena, Kita Juga Bisa Cegah, yang terdiri atas 4 versi, yaitu: Transmission, Confession, Friendship dan Prevention (Domino), merupakan proyek kerjasama Menko Kesra Taskin dengan AusAID. Penayangkan dilakukan sepanjang tahun 1999/2000 melalui RCTI, SCTV, Indosiar, ANTV dan TPI.
Penelitian mengenai "Pengaruh Iklan `AIDS. Kita Bisa Kena, Kita Juga Bisa Cegah' Terhadap Pemahaman dan Sikap" dilakukan untuk rnengetahui apakah pesan iklan tersebut berpengaruh terhadap pemahaman dan sikap remaja tentang HIV/AIDS. Selain itu, diteliti pula variabel-variabel yang diduga turut mempengaruhi persepsi remaja dalam menonton iklan.
Penelitian ini dilakukan atas dasar pentingnya bagaimana menyampaikan pesan persuasif tentang HIV/AIDS melalui iklan di televisi. Melalui pengertian yang baik, diharapkan muncul sebuah pemahaman tentang HIV/AIDS yang benar, yang akan melahirkan sikap positif pemirsa dalam menghadapi issu-issu HIV/AIDS di sekitar lingkungannya.
Subjek penelitian berjumlah 114 orang, terdiri atas remaja putra dan putri kelas II yang dipilih secara acak dari empat SMU di Jakarta. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner pretest posttest. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen "before-crier control group design" untuk melihat apakah ada perubahan pemahaman dan sikap pada diri subjek setelah menonton iklan. Dan yang digunakan adalah versi Prevention dan versi Confession. Sementara teori tentang perubahan pemahaman dan sikap berpijak pada hasil penelitian Petty dan Cacioppo serta berbagai hasil penelitian para ahli mengenai message learning approach.
Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang HIV/AIDS cukup memadai. Selain masih cukup banyak remaja yang menganggap AIDS adalah penyakit kaum homoseksual, mereka juga membutuhkan informasi cara pencegahan agar tidak tertular HIV. Perubahan pemahaman dan sikap yang signifikan ditunjukkan oleh Iklan Layanan Masyarakat "AIDS. Kita Bisa Kena, Kita Bisa Cegah" versi Prevention. Sementara variabel-variabel yang berpengaruh pada persepsi menonton iklan versi Prevention terhadap pemahaman adalah pertemanan mandiri dan punya pengalaman terpapar iklan. Melalui analisa data diketahui bahwa iklan versi Prevention dipersepsikan lebih baik daripada iklan versi Confession. Atas dasar temuan ini, disarankan untuk menerapkan model penjadwalan fighting dengan berpijak pada teori "sleeper effect" dan "delayed action effect" pada program televisi yang disukai remaja, yakni: film dan musik melalui stasiun-stasiun televisi swasta favorit remaja."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Hermawan
"Sinetron tidak hanya dapat dipandang sebagai karya seni budaya tapi juga produk komunikasi di mana keduanya memiliki hubungan timbal balik. Artinya sinetron mencakup pengoperan simbol yang mengandung arti, sedangkan arti dari setiap lambang tersebut merupakan produk kebudayaan dari setiap sistem nilai. Sebab itu sinetron dapat dikategorikan sebagai suatu proses sosial. Konsekuensinya, keberhasilan sinetron tak hanya diukur dari ada tidaknya keterpaduan antara unsur komersial dengan kualitas tapi juga dari ada tidaknya faktor-faktor yang dapat menumbuhkan Berta rnendorong partisipasi sosial masyarakat dalam setiap proses perubahan ke arah yang lebih baik.
Kendati demikian dari data-data yang ditunjukkan oleh SRI dan FSI memperlihatkan bahwa karya-karya sinetron yang bisa di klasifikasikan sebagai sinetron menengah - yang mampu memadukan unsur komersial dengan kualitas - hampir tidak ada atau sulit didapat, apalagi sinetron menengah yang memuat pesan-pesan pembangunan. Ironinya justru sebagian menyuguhkan sinetron atas, yang mementingkan segi estetika dan sebagian lain sinetron bawah yang mengutamakan sisi komersial saja. Kenyataan ini dapat dilihat dari munculnya perbedaan apresiasi yang mencolok antara khalayak dengan Dewan Juri FSI.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa timbulnya perbedaan tersebut mencermin kan adanya perbedaan dalam tolak ukur serta motivasi antara khalayak dengan Dewan Juri FSI Barangkali perbedaan ini lebih bersifat `kodrati'. Tetapi tidak demikian jika kita melirik kepada karyanya, karena ia lah yang sebetulnya menjadi ajang pertemuan keduanya.
Dengan demikian perbedaan penilaian tersebut, secara umum, juga mencerminkan bahwa hasil rating SRI lebih merujuk kepada kegagalan para sineas kita dalam konsepsinya namun berhasil dalam eksekusinya Sedangkan program unggulan FSI lebih menunjukkan keberhasilan para sineas dalam segi konsepsi tetapi gagal dalam eksekusinya.
Di samping itu, ternyata pula, peranan stasiun televisi dalam menyeleksi karya karya sinetron serta para produser tuna menentukan tinggi rendahnya kualitas sinetron Indonesia. Dari hasil temuan dapat dikemukakan bahwa bagian terbesar produsen lebih menelaankan pada pencapaian basil rating atau lebih menekankan kepada kepentingan bisnis. Begitu juga selektivitas yang dilakukan stasiun stasiun televisi masih kurang.
Tentu saja semua ini tak dapat dilepaskan dari faktor lingkungan. Artinya perbedaan penilaian ini juga mengindikasikan lingkungan masyarakat yang belum dapat sepenuhnya melahirkan atau menciptakan kreator-kreator sinetron yang handal. Di samping itu adanya regulasi pemerintah yang sangat ketat turut memasung kreativitas para sineas Indonesia.
Berdasarkan penelaahan yang dilakukan dapatlah dikemukakan beberapa proposisi sebagai berikut :
Jika suatu sinetron mampu memadukan antara unsur komersial dengan kualitas maka di samping akan diminati khalayak juga akan masuk nominasi unggulan Dewan Juri serta Komite Seleksi FS1.
Suatu sinetron yang marnpu memadukan antara unsure komersial dengan kualitas akan dapat menjangkau khalayak lebih luas dibandingkan jika menekankan pada salah satu aspek saja, komersial atau kualitas.
Suatu sinetron yang dapat memadukan kedua unsur, komersial dan kualitas, jika diberi muatan atau pecan-pecan yang konsiruktif akan mampu menumbuhkan serta mendorong partisipasi sosial masyarakat dalam proses pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library