Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Soeparna
"Nothing in the Uruguay Round mentions directly about rights of private economic actors. It seems that the relationship to private economic actors (or may be individual) does not exist within the WTO Agreements, because as a general rule, private parties are not legal subjects of the international legal order. However, this article will prevail upon this situation, by looking closer at the essence of the WTO Agreements to discern the rights of private economic actors that derive from the WTO. The main question of this article is to what extent then Indonesia is dealing with the rights of private economic actors under the WTO Agreements? The background of this questionis because four years after ratifying the WTO Agreements, Indonesia has been facing what is arguably the most serious multidimensional crisis in 1997, some difficult situations have arisen from the crisis; therefore, the society hesitated to accept the open world trading system. The society seemed look askance to the implementation of the WTO Agreements. But Indonesian Government took major step to reduce the skepticism of society toward liberalization, by readjusting its national laws conform to the WTO Agreements with the intention to support the rights of national economic actors under the WTO Agreements in order to achieve total benefits of the WTO rules."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Sunarty
"Berbagai mekanisme perlindungan global safeguards dalam WTO Agreement dan Free Trade Agreement (FTA) seperti pada Bilateral Trade Agreements (BTA) dan Regional Trade Agreements (RTA) didasarkan pada alasan-alasan yang berbeda, fungsi yang berbeda, juga memiliki mekanisme safeguards yang berbeda. Fungsi utama global safeguards sebagai instrumen sementara untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius disebabkan adanya lonjakan impor, sebagai akibat disepakatinya tingkat tarif liberalisasi perdagangan diantara Negara-negara Anggota WTO. Sehingga Negara-negara anggota WTO dapat menikmati fleksibilitas kebijakan tingkat tarif tertentu atas liberalisasi perdagangan. Pembebasan penerapan global safeguards antar pihak FTA tidak konsisten dengan WTO Agreement khususnya tidak sejalan dengan prinsip non-diskriminasi (Most-Favoured-Nation). Namun, pada prakteknya dibenarkan asalkan kondisi paralelisme terpenuhi. Pihak FTA juga dapat mengambil perlindungan bilateral safeguards dan regional safeguards terhadap pihak lain asalkan tingkat pembatasan tarif tidak membahayakan persyaratan yang terkait dengan menghilangkan hambatan sehubungan dengan substansial semua perdagangan. Mekanisme Bilateral safeguards dan regional safeguards di bawah FTA dirancang menyesuaikan laju liberalisasi lebih lanjut setelah pihak FTA melaksanakan rencana penghapusan tarif sebagaimana kesepakatan dalam BTA dan RTA. Karena fungsi mendasar ini, persyaratan substansial semua perdagangan berdasarkan ketentuan FTA dalam Pasal XXIV GATT 1994 merupakan satu-satunya ketentuan yang relevan terkait ketentuan bilateral safeguards dan regional safeguards. Diterapkan di FTA selama periode penghapusan tarif dan dalam batas tingkat tarif MFN, yang konsisten dengan aturan WTO. Pemberlakuan ketentuan global safeguards, bilateral safeguards, dan regional safeguards memiliki mekanisme persyaratan substantif dan prosedural dalam penerapannya. Mengingat kemungkinan banyak bentuk penerapan safeguards yang tumpang tindih, negosiator FTA dapat mengambil solusi legislatif yang efektif yang memasukkan ketentuan FTA yang secara eksplisit melarang bentuk-bentuk tertentu jika terjadi penerapan tumpang tindih yang tidak diinginkan. Tesis ini mengungkapkan bagaimana penerapan global safeguards dibandingkan dengan bilateral safeguards dan regional safeguards tersebut, juga akan memberikan preskripsi tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam menerapkan ketentuan bilateral safeguards dan regional safeguards antar negara-negara anggota BTA dan RTA yang juga merupakan Negara-negara anggota WTO yang menerapkan ketentuan global safeguards.

Various mechanisms of global safeguards in the WTO Agreements and the Free Trade Agreement (FTA) such as the Bilateral Trade Agreements (BTA) and Regional Trade Agreements (RTA) is based on different reasons, different functions, also has a different mechanism of safeguards. The main function of global safeguards as a temporary instrument to protect domestic industry from serious injury or threat of serious injury caused by a surge in imports, as a result of the agreement on the level of tariff liberalization of trade between Member States of the WTO. So WTO member countries enjoy a certain level of policy flexibility tariff on trade liberalization. The mutual exemption of the global safeguards application among FTA parties is not inconsistent with the WTO Agreement in particular are not in line with the principle of non-discrimination (Most-Favored-Nation), provided that the parallelism condition is met. An FTA party may also take safeguards against another party as long as the restriction level from those safeguards does not harm the requirement associated with eliminating barriers with respect to substantially all trade. Bilateral and regional safeguards under the FTA are designed to be mechanism for adjusting the pace of further liberalization once FTA parties implement the tariff elimination plan as an agreement in BTA and RTA. Because of this fundamental function, the substantially all trade requirement under FTA provisions in the Article XXIV of GATT 1994 represent was the only relevant provisions of the relevant provisions under which bilateral and regional safeguards measures are disciplined. Any bilateral safeguards, which are applied to sector subject to FTA tariff elimination during the tariff elimination period and within the limits of the MFN tariff rate, which is consistent with WTO Agreement. Enforcement of global safeguards provisions, bilateral safeguards, and regional safeguards have substantive and procedural requirements mechanism in its application. Given the many possibilities for the application of safeguards, which forms overlap, FTA negotiators can take effective legislative solutions that incorporate the provisions of the FTA, which explicitly prohibits certain forms in case of adoption of unwanted overlap.
This thesis reveals how the global application of safeguards in comparison with bilateral and regional safeguards such safeguards, will also provide prescriptions about things to do in implementing the provisions of bilateral and regional safeguards between countries BTA and RTA member who is also the Member States WTO provisions which apply global safeguards.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Nathasya Nauli
"Praktek perjanjian nominee masih seringkali dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) untuk memperoleh objek tanah Indonesia, yaitu perjanjian tersembunyi dengan meminjam nama Warga Negara Indonesia (WNI) untuk perolehan Hak Milik. Perjanjian nominee dapat dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan pranata hukum nasional, dan sejauh ini belum ada pengaturan hukum Indonesia yang mengatur mengenai pencegahan nominee. Tesis ini mengangkat Putusan Mahkamah Agung Nomor 391/K/Pdt/2020 yang meliputi seorang WNA menggunakan nominee tidak langsung dengan menguasakan kepada WNI untuk melakukan PPJB untuk memperoleh tanah yang akan dipergunakan untuk investasi usaha. Sehingga PPJB sebagai salah satu bentuk pranata hukum nasional dibuat dengan unsur nominee. Penerima kuasa WNI lalu membuat pembatalan sepihak, dan WNA menganggap hal tersebut sebagai wanprestasi dan mengajukan kasus ini ke Pengadilan. Dalam kasus ini tercontoh bahwa bentuk pranata hukum nasional dapat digunakan sebagai perjanjian nominee secara tidak langsung, yang mempertanyakan status keabsahan perjanjian tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian doktrinal dengan analisis berupa pendekatan kualitatif. Penelitian memiliki hasil bahwa terdapat beberapa bentuk pranata hukum nasional yang dapat digunakan dengan unsur nominee sehingga keabsahannya adalah batal demi hukum karena kausa pembuatannya tidak halal sehingga pemulihan hak seakan perjanjian tersebut pernah terlahir tetap harus terlaksana. Pencegahan dapat dilakukan untuk meminimalisir penggunaan nominee dengan mencatatkan PPJB ke kantor pertanahan sehingga jelas bahwa proses kepemilikan sedang dalam peralihan.

Foreign nationals (WNA) often want to invest in Indonesia, but when acquiring land they enter into a nominee agreement, namely a hidden agreement by borrowing the name of an Indonesian citizen (WNI) to obtain ownership rights. Nominee agreements can be carried out indirectly using national legal institutions, and by far there are no Indonesian legal regulations that regulate the prevention of nominees. The research raises the Supreme Court Decision Number 391/K/Pdt/2020 which includes a foreigner using an indirect nominee by authorizing the Indonesian citizen to carry out a PPJB to obtain land that will be used for business investment. So PPJB as a form of national legal institution is made with nominee elements. The Indonesian citizen's proxy then made a unilateral cancellation, and the foreigner considered this to be a breach of contract and submitted the case to the court. In this case, it is demonstrated that the form of a national legal institution can be used as a nominee agreement indirectly, which questions the legal status of the agreement. This research was conducted using a doctrinal research method with analysis in the form of a qualitative approach. Research has shown that there are several forms of national legal institutions that can be used with nominee elements so that their validity is null and void because the cause of its creation is non-halal so that the restoration of rights as if the agreement had never been born must still be implemented. Prevention can be done to minimize the use of nominees by registering the PPJB with the land office so that it is clear that the ownership process is being transferred."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pelealu, Cinthya Melissa Vina
"Tesis ini membahas mengenai permasalahan perjanjian kawin yang tidak didaftarkan. Yang menjadi permasalahan adalah apakah perjanjian kawin yang tidak didaftarkan berlaku efektif kepada pihak ketiga dan bagaimanakah kedudukan harta benda dalam perkawinan tersebut apabila perjanjian kawin yang dibuat tidak didaftarkan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dalam penulisan ini. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dan mengikat kedua belah pihak dan calon mempelai yang akan menikah. Banyaknya angka perceraian yang berujung masalah dalam harta perkawinan dirasakan perlu dibuatnya perjanjian perkawinan. Tidak hanya harta perkawinan, hutang - hutang yang timbul sepanjang perkawinan juga sering dipermasalahkan apalagi jika perjanjian perkawinan mengikat pihak ketiga.Tentunya pembuatan perjanjian perkawinan haruslah dengan prosedur yang berlaku seperti harus dibuat dengan akta notaris dan harus didaftarkan. Undang - Undang mengatur bahwa perjanjian perkawinan haruslah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Penulis dalam penulisan ini mencoba menganalisa perjanjian kawin yang tidak didaftarkan apakah dapat melindungi kepentingan pihak ketiga atau dianggap tidak berlaku sama sekali untuk pihak ketiga serta kedudukan harta benda dalam perkawinan itu sendiri apakah berlaku harta bersama atau berlaku pemisahan harta seperti yang tercantum dalam Perjanjian Perkawinan. Pihak Ketiga akan dirugikan apabila tidak dilakukan pendaftaran, karena Perjanjian Perkawinan dianggap tidak berlaku kepada pihak ketiga apabila tidak diaftarkan. Harta Benda dalam perkawinan dianggap tidak ada pemisahan harta dalam perkawinan tersebut. Pendaftaran perjanjian perkawinan dianggap syarat mutlak sehingga notaris juga bertanggung jawab untuk menjelaskan kepada kedua belah pihak sebelum pembuatan perjanjian mengenai akibat - akibat yang akan timbul jika perjanjian perkawinan tidak didaftarkan. Penulis ini menyarankan agar notaris memberikan penyuluhan hukum terlebih dahulu kepada klien yang akan membuat perjanjian kawin.

This research talking about prenuptial agreements that not been registered. The problems are whether the unregistered prenuptial agreements can be effective to third party and how the marital property position in unregistered prenuptial agreements. Juridical normative approach was used as method in this research. Prenuptial agreements is a contract entered into prior to marriage by the people intending to marry or contract with each other. Many problems occurs in divorce events, especially about marital property and financial rights. That is why prenuptial agreements is needed, to establishes the property and financial rights of each spouse and also third party, in the event of divorce.Prenuptial agreements should be made with notary deed to be registered. According to laws, prenuptial agreements should be registered to local district court.In this research, writer want to analyze the absent of prenuptial agreements, whether it can protect the third party's interests and also determine how property is handled during marriage based on marital agreement.Third party will be disadvantaged if prenuptials agreement is not been registered because marital agreement considered not valid to third party. It also affect to marital property where it can be considered no separation of property in that marriage. Thus, prenuptial agreement is a must before marriage and notary has responsibility to explain to both parties, the result that can be happened if the prenuptial agreements not been registered."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Anugra Pratama
"Kegiatan ekonomi sewa-menyewa Virtual Office di Indonesia merupakan suatu fenomena baru di Indonesia. Sewa-menyewa Virtual Office ini memungkinkan sebuah badan hukum hanya memiliki kantor virtual tanpa perlu menyediakan kantor fisik dalam menjalankan aktifitasnya. Keberadaan Virtual Office itu sendiri memiliki beberapa tantangan dari segi hukum, mulai dari objek Virtual Office itu sendiri sebagai suatu kebendaan yang dapat dijadikan objek suatu perjanjian dalam hukum Indonesia, soal-soal perjanjian sesuai dengan hukum negara, dan praktiknya didalam masyarakat. Menariknya, sejumlah isu hukum ditemukan diluar perjanjian namun terkait dengan objek Virtual Office itu sendiri. Permasalahan tersebut muncul mulai dari penggunaan Virtual Office tanpa didasari perjanjian sewa-menyewa, Penyewaan ulang Virtual Office tanpa hak dan kendala pengawasan dan administrasi pemerintahan.

Economic activities on rental of virtual office are a new phenomenon in Indonesia. Rental of virtual office allow a legal entity to provide only virtual office without having a physical office. There are some legal challanges for virtual office ranging from object of virtual office itself as property that can be applied as an object of contract in Indonesian law, contract law in Indonesia and its practicability in society. interestingly, a number of legal issues are found outside the agreement but are related to the Virtual Office object itself. These problems arise from the use of Virtual Office without a rental agreement, Virtual Office redeployment without rights, and administrative constraints. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50602
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Rina
"Waralaba merupakan salah satu bentuk distribusi yang memiliki peran penting
dalam perluasan pasar, termasuk perluasan pasar ke luar negeri. Waralaba menjadi
salah satu subsektor yang termasuk dalam sektor distribusi yang diatur dalam
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yaitu dalam General Agreement of Trade
in Services (GATS). Masing-masing negara memiliki hak untuk membentuk
regulasi domestik terkait dengan perdagangan jasa untuk diterapkan di negaranya
masing-masing. Namun, setiap negara anggota WTO memiliki kewajiban untuk
menyesuaikan aturan-aturan terkait perdagangan jasa sesuai dengan komitmenya
dalam prinsip-prinsip perdagangan jasa yang telah disepakati dalam GATS.
Sehingga, sebagai salah satu negara anggota WTO, Indonesia juga diwajibkan
untuk menyesuaikan aturan domestiknya agar sesuai atau tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip perdagangan jasa yang diatur dalam GATS. Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki aturan khusus mengenai waralaba
dalam bentuk peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007 tentang Waralaba dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Waralaba. Perlu diperhatikan bahwa untuk menentukan apakah suatu negara telah
menerapkan prinsip-prinsip perdagangan jasa, harus pula mengacu pada
komitmen spesifik masing-masing negara anggota. Sehingga, untuk menilai
bagaimana pengaturan penyelenggaraan waralaba di Indonesia dikaitkan dengan
prinsip-prinsip yang diatur dalam GATS, harus tetap mengacu pada komitmen
spesifik Indonesia dalam sektor-sektor perdagangan jasa.

A franchise is one of the distributions methods that have an important role in
expanding markets, including expanding markets overseas. A franchise is one of
the subsectors that is classified in the distribution sector stipulated in the World
Trade Organizations (WTO), namely in General Agreement of Trade in Services
(GATS). Each country has the right to form domestic regulations related to trade
in services to be implemented in their respective countries. However, each WTO
member country has an obligation to adjust any domestic regulations relating to
trade in services with the principles of trade in services agreed in the GATS.
Therefore, as a member of the WTO, Indonesia is also required to adjust any
domestic regulation relating to trade in services with the principles of trade in
services set out in the GATS. Indonesia is one of the countries that have specific
regulation regarding franchising in the form of government regulations, namely
Government Regulation No. 42 of 2007 concerning Franchising and regulated
further in the Minister of Trade Regulation (Permendag) No. 71 of 2019
concerning the Implementation of Franchising. It should be noted that to
determine whether a country has applied the principles of trade in services, it
must also refer to the specific commitments of each member country. Therefore, in
order to assess the regulation of the implementation of franchising in Indonesia
related to the principles set out in the GATS, it must still refer to Indonesia's
specific commitments in the service trade sectors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54439
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Emmanuel Megalih
"

Pasal 1 Angka (1) Jo. Angka (10) Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bahwa OJK berwenang untuk mengawasi Lembaga jasa keuangan lainnya di Indonesia, yang salah satunya adalah Penyelenggara Peer to Peer lending (P2P lending) sebagaimana yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 77 / POJK.01 / 2016 (POJK 77/2016). Dalam penelitian ini Penulis menggunakan contoh praktek bisnis Penyelenggara P2P lending untuk menentukan apakah POJK 77/2016 telah cukup untuk mengatur penyelenggaraan P2P lending di Indonesia, khususnya terkait hubungan hukum antara Penyelenggara, Pemberi Pinjaman, dan Penerima Pinjaman, serta peran dan tanggung jawab Penyelenggara sebagai perantara terhadap investor dan peminjam. Dalam penelitian ini Penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Adapun penelitian ini telah menghasilkan kesimpulan bahwa POJK 77/2016 sebagai salah satu instrumen hukum yang khusus ditujukan untuk mengatur penyelenggaraan P2P lending di Indonesia hanya mengatur perihal pihak yang terlibat dalam perjanjian, yakni pemberi & penerima pinjaman, serta penyelenggara. Dengan demikian, masih diperlukan aturan yang mengatur secara lebih spesifik P2P lending di Indonesia, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum akibat adanya “kekosongan hukum” dalam aturan yang ada.

 


Article 1 Number (1) Jo. Number (10) of Law Number 21 of 2011 concerning the Financial Services Authority (OJK) stipulates that the OJK has the authority to supervise other financial service institutions in Indonesia, one of which is the Operator of Peer to Peer Lending (P2P lending) as regulated under the provisions of Article 2 paragraph ( 1) Financial Services Authority Regulation (POJK) number 77 / POJK.01 / 2016 (POJK 77/2016). In this research, the Author uses examples of P2P lending Operator business practices to determine whether POJK 77/2016 is sufficient to regulate the implementation of P2P lending in Indonesia, specifically related to the legal relationship between the Operator, Lenders, and Loan Recipients, as well as the roles and responsibilities of the Operator as an intermediary against investors and borrowers. In this research the Author uses juridical-normative research methods. The research has concluded that POJK 77/2016 as one of the legal instruments specifically intended to regulate the implementation of P2P lending in Indonesia only regulates the parties involved in the agreement, namely the lender & recipient of the loan, as well as the organizer. Thus, rules are still needed that govern more specifically P2P lending in Indonesia, so that it can prevent possible violations of the law due to the "legal vacuum" in the existing rules.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Cahaya Sistanry
"Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang menjanjikan dalam membuka transaksi elektronik. Tingginya angka partisipasi masyarakat di Indonesia atas penggunaan transaksi elektronik (e-commerce), sehubungan dengan perkembangan dari fitur transaksi elektronik yang memungkinkan memberi perlindungan bagi pengguna layanannya, dengan adanya fitur e-wallet dan perkembangan fitur lainnya. Namun seiring dengan perkembangan teknologi tersebut, tidak hanya menghasilkan peningkatan peradaban, namun juga menghasilkan itikad buruk dengan memanfaatkan celah yang terdapat dalam teknologi tersebut. Dalam rangka menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban bagi pelaku usaha dan konsumen, selain dengan mengandalkan fitur-fitur yang telah memberikan perlindungan bagi pengguna layanan pada transaksi elektronik, perlindungan hukum menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjamin pelaksanaan transaksi elektronik. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan transaksi elektronik menurut peraturan perundang- undangan, permasalahan yang sering dijumpai dengan berkembangnya transaksi elektronik, dan bagaimana perlindungan hukum apabila terjadi permasalahan dalam transaksi elektronik. Peraturan perundang-undangan menjadi salah satu sarana yang penting dalam menjamin perlindungan hukum. Perlindungan hukum atas terselenggaranya perjanjian jual beli terwujud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun dengan adanya perbedaan antara perjanjian jual beli konvensional dengan transaksi elektronik, membuat KUHPerdata dan UUPK saja dirasa tidak cukup untuk mengikuti perkembangan Transaksi Elektronik. Hasil dari penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap para pihak dalam transaksi elektronik, tertera dalam peraturan tersendiri dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, yang terwujud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, dan untuk pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).

Indonesia is one of the countries that promises to electronic commerce. The high number of people's participation in Indonesia in the use of electronic commerce (e-commerce), is due to the development of electronic commerce features that allow protection for service users, with the e-wallet feature and the development of other features. However, along with the development of this technology, it not only resulted in an increase in civilization, but also resulted in bad faith by exploiting the loopholes contained in the technology. In order to guarantee the fulfillment of rights and obligations for business actors and consumers, in addition to relying on features that have provided protection for service users in electronic commerce, legal protection is an important matter to be able to guarantee the implementation of electronic commerce. This research is intended to find out how electronic commerce are carried out according to laws and regulations, problems that are often encountered with the development of electronic commerce, and how legal protection is when problems occur in electronic commerce. Legislation is one of the important means of guaranteeing legal protection. Legal protection for the sale and purchase agreement is embodied in the Civil Code (KUHPerdata) and Law of Consumer Protection. However, with the difference between conventional buying and selling agreements and electronic commerce, it is felt that the Civil Code and UUPK are not enough to keep up with the development of electronic commerce. The results of this study are legal protection for parties in electronic commerce, stated in separate regulations in the implementation of electronic commerce, which are embodied in Law of Information and Electronic Transactions (UU ITE) which has been updated, and its implementation is regulated in Government Regulation of Implementation of Electronic Systems and Transactions (PP PSTE)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Yulhamzah Arif
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S8226
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldi Eka Raditya Putra
"Tesis ini membahas tentang Pengaturan ketentuan persaingan didalam Regional Trade Agreements yang dilatarbelakangi oleh eksistensi praktik anti persaingan lintas negara. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa globalisasi dan liberalisasi perdagangan telah memicu terjadinya praktik anti persaingan lintas negara dan oleh karena itu pengaturan persaingan di dalam Regional Trade Agreements merupakan jalan keluar yang tepat dalam membendung terjadinya distorsi terhadap pasar global. Dari adanya ketentuan persaingan ini , penelitian ini mengambil kesimpulan bahwa: Pertama, Kebijakan Perdagangan dan Kebijakan Persaingan merupakan komplementer satu sama lain, Kedua, memasukkan ketentuan persaingan di dalam Regional Trade Agreements untuk memastikan bahwa manfaat yang diharapkan dari liberalisasi perdagangan tidak dirusak oleh praktik anti kompetitif, dan Ketiga, Soft harmonisation dan Soft Law merupakan pendekatan yang paling sesuai dengan negara berkembang dalam menerapkan pengaturan persaingan.

This thesis discusses the arrangement of competition provisions in Regional Trade Agreements which is motivated by the existence of anti-competitive practices across countries. This research is normative juridical research by using secondary data. The results of this study indicate that globalization and trade liberalization have triggered anti-competitive practices across countries and therefore the regulation of competition within the Regional Trade Agreements is an appropriate way to stem the occurrence of distortions to global markets. From this competition stipulation, the study concludes that: First, the Trade Policy and Competition Policy are complementary to one another; Secondly, Incorporating competition provisions within the Regional Trade Agreements is to ensure that the expected benefits of trade liberalization are not undermined by anti-competitive practices, And Third, Soft harmonization and Soft Law are the most appropriate approaches to developing countries in applying competition arrangements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48590
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>