Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 49 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Susan Heruanto Susilo
"ABSTRAK
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi ketiga merupakan bentuk peg'anjian yang memberikan kewenangan kepada pengusaha atau kontraktor untuk melakukan usaha pertambangan dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam perkembangan lebih lanjut, Undang-Undang Nomor I I Tahun 1967 diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuan peralihannya, pemegang PKP2B harus menyesuaikan Pe{anjian dalam waktu 1 (satu) tahun. Salah satu penyesuaian yang dilakukan adalah penambahan klausula bea keluar dalam amandemen.
Permasahan yang timbul dalam penulisan ini adalah posisi PT XXX dengan Pemerintah dalam renegosiasi terkait penambahan klausula bea keluar dan bagaimana agar renegosiasi dapat dicapai dengan musyawarah mufakat.
Metode dalam penulisan ini adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Tipe penelitian dalam penelitian ini bersifat preskriptif dan alat pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen atau studi kepustakaan. Pendekatan yang ditempuh dalam penulisan ini adalah pendekatan kualitatif.
Dalam kajian ini, Penulis mengambil kesimpulan bahwa bea keluar dapat dimasukkan dalam amandemen apabila ada kesepakatan dan para pihak menghargai dan menghormati isi PKP2B yang telah ditandatangani. Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dan pemegang PKP2B generasi ketiga untuk menemukan solusi sehingga amandemen yang telah tertunda enam (tahun) dapat segera ditandatansani.

ABSTRACT
The 3rd generation of Work Agreement on Coal Mining Exploitation (PIG2B) is a form of agreement which granting authorization to the employer or contractor to engage in mining exploitation work in accordance with Law Number 11 of 1967 on Basic Mining Regulation. Law Number I I of 1967 was later amended by Law Number 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining. Under the transitory provisions, the holder of PKP2B is required to amend the Agreement within a period of I (one) year. One of such amendments is to supplement the clause of export duty set forth in an amendment.
The subject matter which arises in this paper is the position of PT XXX with the Government in the renegotiation on the addition of clause of export duty and how such renegotiation can be concluded deliberately.
The method applied in the process of completing this paper is juridical normative literature study. The type of research is prescriptive and data collection instrument used in this research is documentary study or literary study. The approach taken in this paper is qualitative approach.
In this study, the writer has drawn conclusion that the clause of export duty can be incorporated into the amendment upon mutual agreement and honor of the parties of the substance of upon which PKP2B is signed. This study is expected to provide input for the govemment and holders PKP2B third generation to find a solution so that the amendments that had been delayed six (years) could be signed soon.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melissa Grace Juliyanti
"ABSTRAK
Dalam Konstitusi Jepang 1947 terdapat pasal 9 yang isinya berkaitan dengan kebijakan luar negeri Jepang dan masalah demiliterisasi. Perdana Menteri Abe berencana untuk melakukan amandemen terhadap pasal 9 karena pasal tersebut membatasi Jepang dalam penggunaan kekuatan militer dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik internasional sehingga pergerakan Jepang menjadi terbatas khususnya dalam bidang keamanan. Rencana tersebut menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Jepang. Tulisan ini mencoba menjelaskan bagaimana pandangan masyarakat Jepang mengenai rencana amandemen pasal 9 dalam Konstitusi Jepang 1947 yang ingin dilakukan oleh Perdana Menteri Abe. Hasil analisis menunjukan bahwa mayoritas masyarakat Jepang menolak rencana tersebut. Sampai saat ini Jepang menolak untuk ikut serta dalam segala bentuk peperangan maupun memperkuat kekuatan militernya, dengan alasan rakyat Jepang takut akan terulang kekelaman masa lalu di PD II jika Jepang memperkuat pasukan militernya. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian sejarah dan studi pustaka. Analisis dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan teknik deskriptif analisis.

ABSTRACT
In Japan rsquo;s 1947 constitution article 9, Japan rsquo;s foreign policy and demilitarization is discussed. Prime Minister Abe planned to make an amendment on article 9 because it limits the military power usage in order to resolve the dispute or international conflict with the result that restrain Japan especially in the national security field. The plan raises pros and cons in Japanese society. This paper will try to explain the Japanese society rsquo;s view on the article 9 amendment plan by Prime Minister Abe. The result shows that the majority of the society objects the plan proposed. To date, Japan has refused to participate in all forms of war as well as strengthening its military strength arguing that the society is afraid of recurring the past World War II if Japan strengthens its military forces. This research was conducted with history research methods and literature studies. This is a qualitative research with descriptive analysis. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Pan Mohamad Faiz
Depok: Rajawali Press, 2020
342.02 PAN a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhil Virgiawan
"Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah banyak hal. Hal yang amat jelas terlihat terkait kekuasaan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam bidang legislasi.  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar sebelum amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sementara setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah berganti menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sebelum Amandemen juga mengalami perubahan yakni yang sebelumnya menyatakan tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini menunjukan kekuasaan Presiden setelah perubahan UUD Tahun 1945 di bidang legislasi mengalami pengurangan secara signifikan. Ini memperlihatkan perubahan aturan yang berkenaan dengan kekuasaan Presiden oleh semua kalangan dianggap telah terjadi pergeseran dari executive heavy ke arah legislative heavy. Pasal 20 ayat (2) menyatakan setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama dan tercapainya checks and balances system dalam bidang legislasi pada Undang-Undang Dasar setelah amandemen. Walaupun telah tercapai nya prinsip checks and balances setelah amandemen UUD 1945, nyatanya pada prakteknya terdapat perselisihan/konflik yang terjadi antara Presiden dan DPR dalam bidang legislasi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Permasalahan ini ditinjau dari perbandingan hukum dengan metode penelitian yuridis normatif dan penulisan bersifat deskriptif.

Checs and Balances Mechanism of the President and the House of Representatives in Indonesia in the Function of Legislation Based on the 1945 Constitution Before and After the Amendment Amendments to the 1945 Constitution have changed many things. This is very clearly seen related to the power of the President and the House of Representatives in the field of legislation. Article 5 paragraph (1) of the Constitution before the amendment states that the President holds the power to form laws with the approval of the temporary House of Representatives after the amendment to the 1945 Constitution has changed to the President has the right to submit draft laws to the House of Representatives. In addition, Article 20 paragraph 1 of the Constitution Before the Amendment also underwent changes, namely that previously stated that each law required the approval of the House of Representatives to change to the House of Representatives holding the power to form laws. This shows that the power of the President after the amendment to the 1945 Constitution in the field of legislation has decreased significantly. This shows that changes in the rules relating to the power of the President by all groups are considered to have occurred a shift from executive heavy to legislative heavy. Article 20 paragraph (2) states that each draft law is discussed by the House of Representatives and the President for mutual approval and the achievement of a checks and balances system in the field of legislation in the Constitution after the amendment. Although the principle of checks and balances has been achieved after the amendment to the 1945 Constitution, in practice there are disputes/conflicts between the President and the DPR in the field of legislation. This research is a qualitative research with descriptive analysis design. This problem is viewed from a legal comparison with normative juridical research methods and descriptive writing."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Basroni
"Sejak Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia hingga saat ini kita telah menggunakan tiga buah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku itu meliputi UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950. UUD 1945 yang berlaku pada awalnya merupakan hasil konstruksi dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali hingga saat ini. Pemberlakuan kembali UUD 1945 setelah gagalnya lembaga kontituante hasil Pemilihan Umum 1955 yang dibentuk dan ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar yang baru.
Pemberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) di dalam praktek ketatanegaraan pada pelaksanaannya ternyata sangat menguntungkan Presiden sebagai lembaga eksekutif yang merupakan pihak penyelenggara pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dimana pasal-pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kewenangan Presiden selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan terlalu besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Kondisi seperti ini menyebabkan Check and Balances itu tidak berjalan secara baik.
Oleh karena hal yang demikian, maka pengaturan terhadap peran dan fungsi lembaga lembaga negara yang ada pada UUD 1945 sudah saatnya untuk ditinjau kembali. Peninjauan kembali tugas dan fungsi tersebut dengan melakukan amendemen atau revisi terhadap UUD 1945. Amendemen terhadap UUD 1945 sebelurnnya pada masa lalu merupakan sesuatu yang sakral dan tidak dapat disentuh atau merupakan suatu hal yang tabu. Penapsiran yang keliru tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek politis, tanpa memahami makna historis dibuatnya konstitusi. Ketentuan perubahan terhadap UUD 1945 di atur pada pasal 37 UUD 1945.
Munculnya pasal tersebut merupakan suatu konsekuensi atau jawaban dari perumusan UUD 1945 yang terasa tergesa-gesa dalam waktu yang begitu singkat. Disamping itu proses pembuatan Undang-Undang Dasar 1945 dirancang oleh mereka yang bukan ahli dibidang ketatanegaraan.
Soekarno sebagai Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 mengutarakan :
"Bahwa UUD 1945 yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara, kalau boleh saya memakai perkataan lain adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Soekarno lebih lanjut kemudian mengatakan bahwa dalam suasana yang damai dan tenteram nanti akan dikumpulkan kembali anggota MPR untuk membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap".
Perkembangan kondisi ketatanegaraan yang begitu cepat saat ini ternyata tidak mampu diakomodir oleh UUD 1945. Untuk itu perubahan atau amendemen terhadap UUD 1945 merupakan suatu hal yang logis dan keharusan dalam upaya menanggulangi perkembangan kondisi ketatanegaraan yang begitu pesat. Pencantuman pasal 37 UUD 1945 meng-isyaratkan kepada kita bahwa UUD 1945 dapat diamendemen atau dirubah.
Dalam melakukan amendemen atau perubahan dapat ditempuh dengan cara formal amendemen yang tertera di pasal 37 UUD 1945. Perubahan atau amendemen terhadap UUD 1945 dapat meniru cara amendemen yang dilakukan oleh Amerika Serikat dimana AS mengunakan konstitusi yang lama dan diperbaharui sehingga menjadi satu kesatuan.
Perubahan konstiutusi di beberapa negara dapat ditempuh dengan melakukan perubahan secara keseluruhan terhadap pasal-pasal yang ada sehingga konstitusi yang digunakan adalah konstitusi yang baru sama sekali. Cara berikutnya adalah dengan melakukan perubahan pada beberapa pasal saja, sehingga konstitusi yang digunakan bukanlah konstitusi yang baru. Pasal-pasal yang diubah dijadikan satu kesatuan yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam melakukan perubahan terhadap suatu konstitusi di beberapa negara juga ada batasan-batasan yang dijadikan pegangan. Di Indonesia perubahan atau amendemen dilakukan tidak untuk menghasilkan Undang-Undang Dasar yang baru. Amendemen terhadap UUD 1945 dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap beberapa pasal yang ada di Batang Tubuh UUD 1945 tersebut. Disamping itu dalam melakukan perubahan juga di berikan batasan-batasan yang dijadikan sebagai acuan. Batasan yang dijadikan acuan dalam melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengacu pada pengalaman di beberapa negara dalam melakukan perubahan atau amendemen terhadap konstitusi. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sesuatu kondisi yang tidak perlu untuk disentuh serta beberapa pasal lainnya seperti bentuk negara dll.
Dalam melakukan amendemen menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu untuk diamendemen yakni meliputi hal-hal sbb : pengaturan mengenai Hak Asasi manusia, Kedudukan, tugas dan wewenang MPR, kedudukan dan pertanggungjawaban Presiden, kedudukan tugas dan wewenang DPR, hal-hal lain. Dengan adanya amendemen diharapkan Check and Balances dapat berjalan dengan baik."
Universitas Indonesia, 2000
T980
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumardi
"Sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945 wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ada empat, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD), menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden, wakil Presiden, dan mengubah UUD. Setelah perubahan, wewenang MPR tinggal dua yaitu menetapkan dan mengubah UUD. Merupakan kekuasaan menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar yang dijalankan oleh MPR, selain itu MPR bertugas melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 UUD 1945). Sebelum perubahan, MPR memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden namun saat ini peran MPR hanya melantik. Oleh karena itu MPR bukan lagi sebagai majelis pemilih namun hanya majelis pelantik presiden dan wakil presiden.
Menurut M, Solly Lubis, kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR (Die Gesamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des VW/ens des Staatvolkes), Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN), Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil kepala Negara (Wakil presiden), Majelis inilah yang memegang kekuasaan tertinggi sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis, ia adalah "mandataris" dari Majelis, ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak "neben", akan tetapi "untergeordnet? kepada Majelis.
Di sinilah terjelmanya pokok pikiran kedaulatan rakyat yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai memegang kekuasaan yang tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalannya Negara dan bangsa, yaitu berupa ;
1. menetapkan Undang-undang Dasar
2. menetapkan garis-garis besar dari haluan Negara
3. mengangkat Presiden dan Wakil Presiden
Dengan kewenangan yang demikian itu, menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara maka kekuasaan MPR luas sekali. Ini adalah logis karena MPR adalah pemegang kedaulatan Negara. Sebagai badan yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat maka segala keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keinginan dan aspirasi seluruh rakyat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Schawartz, Bernard
New York: Oxford University Press, 1977
973.23 SCH g (1);973.23 SCH g (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Toha
"Artikel ini membahas mengenai seberapa besar kepentingan untuk diadakannya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau yang dikenal dengan UU Persaingan Usaha. Sejak berlaku effektif tahun 2000, Undang-Undang Persaingan Usaha telah banyak member manfaat pada perkembangan perekonomian Indonesia. Namun demikian, terdapat juga banyak kritikan baik dari akademisi, praktisi maupun dari komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan berbagai kekurangan yang ada dalam UU tersebut. Penelitian ini termasuk penelitian normative atau kepustakaan dengan menggunakan data sekunder. Disamping itu merupakan penelitian lapangan melalui wawancara dan diskusi terfokus dengan pemangku kepentingan. Hasil penelitian menemukan adanya kepentingan yang sangat mendesak bagi amandemen UU No. 5 tahun 1999."
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2019
340 JHP 49:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Dewi Kartika
"ABSTRAK
Pasal 41 Ayat (8) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis mengatur pengalihan hak atas merek yang dapat dilakukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek. Kebijakan ini ditujukan sebagai bentuk penyesuaian terhadap Trademark Law Treaty. Akan tetapi, di dalam proses pelaksanaannya terjadi banyak kerancuan dan pertentangan, khususnya dengan Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2016. Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2016, mengatur mengenai hak eksklusif atas merek, dimana hak atas merek baru muncul atau terbit ketika suatu merek terdaftar, bukan pada saat proses permohonan pendaftaran merek. Terhadap hal ini, perlu dilakukan amandemen terhadap Pasal 41 ayat (8) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geogafis.

ABSTRACT
Article 41 Paragraph 8 of Law No. 20 Year 2016 Regarding Trademark and Geographical Indications regulates the transfer of trademark right at the application of trademark registration process. This rule is intended as a form of adjustment to the Trademark Law Treaty. However, in the process of implementation there has been a lot of confusion and conflict, especially with Article 1 paragraph 5 jo. Article 3 of Law No. 20 of 2016. Article 1 paragraph 5 of Law No. 20 of 2016, regulates the exclusive rights of the brand, where the rights to a new brand appear or are issued when a brand is registered, not when the process of applying for a trademark registration. Regarding this, amendments to Article 41 paragraph (8) of Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications
"
2019
T54956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>