Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sutarman
"Hasil-hasil investigasi epidemiologi akan sangat membantu para dokter hewan untukmemperoleh informasi dalam penanganan suatu penyakit. Demikian pula investigasi epidemiologi pada manajemen orangutan di Kebun Binatang Ragunan, akan sangat bermanfaat memberikan informasi dan data di dalam menyelenggarakan pengelolaan orangutan di Kebun Binatang Ragunan. Data tingkah laku orangutan di dalam kandang, sistem perkandangan, mutu dan jumlah pakan yang diberikan, catatan tentang status kesehatan, uji tuberkulinasi, hematologi normal, elektrokardiogram normal, kimia klinik normal, prosedur kontrasepsi, kesemuanya ini bisa dipakai di dalam pengelolaan kesehatan orangutan di Kebun Binatang Ragunan. Populasi orangutan kalimantan di alam makin lama makin menurun, antara lain disebabkan oleh perburuan liar. Oleh karena itu bagaimanapun juga usaha reintroduksi harus dilakukan secara berkesinambungan pula. Untuk tujuan itu diperlukan generasi orangutan yang memenuhi sarat untuk di reintroduksikan ke alam. Jadi Kebun Binatang harus mampu menghasilkan generasi orangutan yang sehat, tidak berpenyakit menular, tidak mengidap endoparasit, ektoparasit, serta tetap memiliki sifat-sifat alaminya. Orangutan termasuk anggota kera besar yang mempunyai kantung udara luas dan berkelok-kelok, sehingga memudahkan terjadinya infeksi yang bersifat kronis. Pada umumnya radang kantong udara pada orangutan kalimantan di Kebun Binatang Surabaya dart Kebun Binatang di Luar Negeri kesemuanya bersifat kronis. Dan eksudatnya dapat diisolasi bakteria Pseudomonas aerugenosa, Proteus vulganis, Escherechia coll. Bakteri-bakteri ini pada umurnnya bukan patogen juga terhadap manusia, tetapi pada isolasi kuman dari eksudat radang kantong udara pada orangutan jantan di Kebun Binatang Ragunan juga ditemukan bakteri Streptococcus pneumoniae yang sangat patogen terhadap manusia, satwa liar, hewan ternak dan hewan kesayangan. Bahkan Streptococcus pneumoniae ini bisa menular dari satwa kepada manusia yang disebut zoonosis dan dari manusia ke satwa yang disebut anthropozoonosis. Radang kantong udara pada orangutan Kalimantan di Kebun Binatang Ragunan dan Kebun Binatang Surabaya ini, baru pertama kali dilaporkan di Indonesia. Ditemukannya bakteri Streptococcus pneumoniae di eksudat radang kantong udara pada orangutan di Kebun Binatang Ragunan juga baru pertama kali dilaporkan.

Kalimantan orangutan ( Pongo pygmaeus pygmaeus, Hoppius, 1763) is member of the great ape group which is endemic in Kalimantan island of Indonesia. Its fur color is reddish, dark or light brown. The fur is quite long and dense, especially at the shoulders and arms. Its head rump length (HRL) is approximately 1.25 - 1.5 meters (exceptionally, the HRL might reach 1.8 meters). The average body weight of the female is about 40 kg and of the male is about 75 - 100 kg. The orangutans is highly adapted to an arboreal mode of life, therefore it is considered as the true arboreal member of the great ape group. It explores the jungle of Kalimantan by swinging from branch to another branch of the tree. Its swinging movement is supported by its arms, which are longer and stronger than the arms of the other great apes. Its arms spread is about 2.25 meters. Most of the males have large cheek flanges which consist of fibrous tissue, at the side of the face. The width and length of the cheek flanges mature male is about 10 centimeters and 20 centimeters respectively. It also has a throat sac, which is called "air sac". The sac is extremely developed and can take in several litters of air. Due to the drastic decrease of its in situ population, caused by illegal hunting and other reasons, the orangutan has been considered as an endangered species (IUCN - Appendix I) and its existence has been strictly protected by law (Fauna Protection Ordinance, 1931 - Stbl 134 and 226). Recently, reintroduction program has been considered as an effective approach to conserve the orangutan population in its in situ habitat. This program begins with the breeding program of the orangutan in the captive environment which is a simulated environment of its native habitat. The goal of captive breeding program is to bear the offspring of the orangutan which will be reintroduced to its native habitat later on, in healthy condition, free from infectious deseases, endo and ecto parasites and still bears its natural behavior. The Zoological Park would be the right institution to conduct the program. The captive (ex situ) breeding program of the orangutan has been being conducted by the Ragunan Zoological Park in Jakarta to study epidemiological, behavior, and other biological aspects of the orangutan in order to support the reintroduction program. Specifically, the study has examined and or investigated the medical records, feed and nutrition, behavior, tuberculin test, contraceptive procedure, normal electrocardiogram, normal hematology, clinical chemistry, caging contruction and management (include sanitation), preventive and curative disease treatment and raising procedure. The medical data, which has been collected for five years, indicated that the orangutan raised in the open cages was healthier than the one raised in the close cages. It was observed that the former group was rarely infected by any diseases. The investment of the open cage was more expensive than the close cage during construction period, but relatively very small cost was needed for maintenance in the long run. The air sacullitis case among the orangutan in Kalimantan has never been reported. This disease is a chronic disease. However, the case was reported among the orangutan raised in the foreign countries. It was reported that the case was caused by the Pseudomonas sp, Proteus sp and by Ischerechia call. These bacteria are not pathogen. The examination of air saculitis exudate derived from the orangutan raised in the Ragunan Zoo, has been sucsesful in isolating the Streptococcus pneumoniae. This bacteria is pathogen and anthropozoonosis to human and to other wild or domesticated animals.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Annisa
"Film Nocturnal Animals 2016 membuka perdebatan tentang keberadaan substansi dibalik mewahnya gaya yang diimplementasikan di film itu oleh sang sutradara yang juga seorang desainer terkemuka, Tom Ford. Salah satu bagian subtansi film tersebut adalah cerita bahwa dibalik modernitas dan kemewahan, kedua karakter utamanya, Edward dan Susan, adalah dua orang yang menderita trauma dan kehilangan. Disampaikan dengan dua struktur narasi yang berbeda yakni atemporal dan linear serta dikemas dalam dua dunia atau latar yang berbeda yaitu fiksional dan nyata, trauma dan kehilangan ternyata memiliki peran dalam pembentukan subjektivitas kedua karakter tersebut.
Menggunakan pendekatan psikoanalisa serta konsep yang diperkenalkan oleh Todd McGowan tentang atemporal cinema dan kehilangan sebagai pembentuk subjektivitas, skripsi ini bertujuan mencari fungsi sesungguhnya dari peradaban kontemporer dan kehilangan dalam pembentukan subjektivitas seseorang. Pada akhirnya, studi ini menyimpulkan bahwa dalam pembentukan subjektivitas, seseorang harus mengalami kehilangan dan menemukan kepuasaan dari pengalaman tersebut terlepas dari pengaruh peradaban kontemporer.

Nocturnal Animals 2016 opens a discussion on the existence of its substance underneath all the lavish style implemented by its fashion designer director, Tom Ford. One of the most pivotal substances in the movie is the story behind all the sophistication about the lead characters, Edward and Susan, who suffer from traumatic loss. Told through two different narrative structures, namely atemporal and linear as well as set in two different settings of fictional and reality, traumatic loss, in fact, has significance in constructing someone's subjectivity.
Using psychoanalytic approach and theories initiated by Todd McGowan on atemporal cinema and loss as an element of subjectivity, this study explores the function of loss in contemporary era in the construction of subjectivity. In the end, the study finds that in constructing subjectivity, one must embrace loss and find enjoyment in it regardless of the influence of civilized contemporary era.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S67704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maiere, Donald S.
"[The book's broader purpose is to use biodiversity as a lens through which to view the nature of natural value. This discussion cuts a very broad and detailed swath through the scientific, economic, and environmental literature. It concludes with a novel suggestion for framing natural value. This new proposal avoids the pitfalls of the ones that prevail in the promotion of biodiversity. And it exposes the goals of conservation biology, restoration biology, and the world's largest conservation organizations as badly ill-conceived.;The book's broader purpose is to use biodiversity as a lens through which to view the nature of natural value. This discussion cuts a very broad and detailed swath through the scientific, economic, and environmental literature. It concludes with a novel suggestion for framing natural value. This new proposal avoids the pitfalls of the ones that prevail in the promotion of biodiversity. And it exposes the goals of conservation biology, restoration biology, and the world's largest conservation organizations as badly ill-conceived., The book's broader purpose is to use biodiversity as a lens through which to view the nature of natural value. This discussion cuts a very broad and detailed swath through the scientific, economic, and environmental literature. It concludes with a novel suggestion for framing natural value. This new proposal avoids the pitfalls of the ones that prevail in the promotion of biodiversity. And it exposes the goals of conservation biology, restoration biology, and the world's largest conservation organizations as badly ill-conceived.]"
Dordrecht: [Springer, Springer], 2013
e20410675
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Ruf, editors
"This book summarises the newest information on seasonal adaptation in animals. Topics include animal hibernation, daily torpor, thermoregulation, heat production, metabolic depression, biochemical adaptations, neurophysiology and energy balance. The contributors to this book present interdisciplinary research at multiple levels ranging from the molecular to the ecophysiological, as well as evolutionary approaches. The chapters of this book provide original data not published elsewhere, which makes it the most up-to-date, comprehensive source of information on these fields. The book’s subchapters correspond to presentations given at the 14th International Hibernation Symposium in August 2012 in Austria. "
Berlin: [Springer, ], 2012
e20417752
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"Sungai Cikaniki merupakan anak Sungai Cisadane yang memiliki peran penting bagi sektor pertanian maupun sektor lainnya. Adanya aktivitas antropogenik (pertanian, domestik, dan penambangan emas) yang terjadi di Sungai Cikaniki ditengarai dapat mengganggu keseimbangan ekologi dari komunitas fauna makrobentik yang hidup di dalamya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji dampak aktivitas antropogenik yang terjadi di sekitar Sungai Cikaniki terhadap kondisi ekologi pada komunitas fauna makrobentik. Penelitian telah dilakukan selama 3 tahun dimulai bulan Mei 2006 hingga Agustus 2008. Pengambilan fauna makrobentik dengan menggunakan alai D-frame kick net dan renumerasi sampel menggunakan metode fix count 100 individu. Dari penelitian ini menunjukkan adanya aktivitas antropogenik yang terjadi di Sungai Cikaniki dapat mempengaruhi jumlah taxa, komposisi, dan kelimpahan dari fauna makrobentik. Di samping itu, penggunaan metrik biologi seperti EPT, kekayaan taxa, dan indek diversitas Shannon-Wiener relatif sensitif dalam mendeteksi tingginya kontaminasi logam merkuri di sedimen, konduktivitas, oksigen terlarut, dan suhu air. Dari ordinasi canonical correspondence analysis (CCA) menunjukkan larvae Trichoptera Glossosoma sp., Coleoptera Berosus sp., Nympha Odonata Diplebia coerulescens, Plecoptera Nemoura sp., Amphinemoura sp., Ephemeroptera Atalophlebia sp., Larva Diptera Hexatoma sp. dan Glutops sp. relatif sensitif dicirikan oleh rendahnya suhu, konduktivitas, debit, dan konsentrasi merkuri di air, dan sedimen. Larva Coleoptera Notriolus sp, Diptera Chironomidae Krenopelopia sp., Polypedilum flavum, Eukiefferiella sp., Cricotopus politus, Trichoptera Ceratopsyche sp., Lepidoptera Nymphulinae dan nympha Ephemeroptera Platybaetis sp relatif toleran terhadap peningkatan variabel suhu air, konduktivitas, debit air, konsentrasi merkuri di air dan sedimen yang relatif tinggi."
551 LIMNO 16:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Silvianita Timotius
"Pulau Rambut adalah salah satu pulau dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Sejak tahun 1937 telah berfungsi sebagai area konservasi yaitu cagar alam. Terhitung Mei 1999 statusnya diubah menjadi suaka marga pulau Rambut melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 275/Kpts-II/1999.
Baik sebagai cagar alam maupun suaka margasatwa, fungsi perlindungan dijalankan dengan pertimbangan utama adalah melindungi burung-burung yang tinggal di pulau tersebut. Pulau ini mendukung lebih dari 50 jenis burung, baik burung merandai maupun burung-burung lain. Beberapa jenis burung di antaranya masuk dalam kategori satwa yang dilindungi serta ada pula yang masuk dalam satwa yang terancam punah.
Salah satu pertimbangan penurunan status adalah pengembangan P. Rambut untuk wisata. Untuk mengelola pulau dari status cagar alam (sangat ketat) ke suaka margasatwa (menjadi lebih terbuka) berarti dibutuhkan pengelolaan yang tepat. Dengan fungsi yang besar namun berbagai kendala yang dihadapi dibutuhkan keterlibatan banyak pihak serta pengelolaan yang mempertimbangkan berbagai kendala tersebut. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dalam hal ini Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta sebagai pihak yang berkewajiban membuat rencana pengelolaan, belum menetapkan rencana pengelolaan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pihak (pelaku) yang terkait dengan P. Rambut, menganalisis skenario masa depan pulau yang diinginkan para pelaku, mengidentifikasi permasalahan dalam pencapaian masa depan, serta menetapkan prioritas kebijakan yang harus dibuat dan dijalankan untuk menyelesaikan masalah. Pada akhirnya mengajukan secara garis besar usulan pengelolaan P. Rambut.
Penelitian ini menggunakan proses hirarki analisis sejak tahap awal berupa identifikasi pelaku hingga tahap penentuan prioritas kebijakan. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner terbagi dalam dua tahapan (proses depan dan proses balik) yang disebar kepada lima kelompok responden yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, masyarakat, dan swasta.
Skenario atau masa depan P. Rambut diajukan dalam tiga alternatif, yaitu:
1. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata dengan pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan dengan melibatkan masyarakat di sekitar pulau sehingga diharapkan masyarakat juga ikut terlibat dalam pengelolaan P. Rambut. Masyarakat yang dimaksud adalah yang ada di P. Untung Jawa, Jakarta serta di Tanjung Pasir, Tangerang.
2. Perlindungan burung merandai serta menjalankan wisata tanpa pengelolaan pengunjung. Wisata dijalankan tanpa pengelolaan dengan pertimbangan meningkatkan pendapatan pemerintah secara maksimal. Selain itu, pengunjung yang datang ke pulau selama ini relatif tidak banyak sehingga dianggap tidak mengganggu kehidupan burung.
3. Perlindungan burung merandai tanpa menjalankan wisata. Dengan status suaka margasatwa maka campur tangan dalam pembinaan habitat diperkenankan. Dengan tujuan hanya melindungi burung, serta menghindari kemungkinan terjadinya kerusakan maka wisata sama sekali ditiadakan.
Analisis menghasilkan prioritas pertama pada skenario 1 yaitu perlindungan burung serta menjalankan wisata. Dalam skala 0-1, skenario ini mempunyai skor 0,621, hampir tiga kali lebih besar dari skenario 3 yang menempati prioritas kedua dengan skor 0,261. Skenario perlindungan tanpa pengelolaan pengunjung hanya memiliki skor 0,118. Skenario 1 menempati prioritas pertama kali di masa yang akan datang akan lebih baik bila masyarakat terlibat langsung. Keterlibatan masyarakat dapat terjadi bila masyarakat mendapatkan nilai lebih dari konservasi itu. Salah satu upaya untuk memberi nilai lebih itu adalah dengan wisata.
Dalam pengelolaan P. Rambut, pihak dengan kepentingan paling besar adalah pemerintah (0,278), diikuti oleh masyarakat P. Untung Jawa dan Tanjung Pasir (0,229). Sesuai dengan alasan yang dikemukakan dalam penentuan skenario, para pelaku menilai di masa depan masyarakat di sekitar Pulau Rambut yang sebaiknya memiliki peran paling besar dalam pengelolaan selain pemerintah. Pelaku berikutnya berturut-turut adalah perguruan tinggi, LSM, pengunjung, dan terakhir swasta.
Kendala yang harus diselesaikan dalam mencapai skenario pilihan meliputi kendala dari luar pulau, kendala dari dalam pulau, dan kendala pengelolaan. Kendala dari luar berupa (1) pencemaran, (2) berkurangnya area pakan, serta (3) gangguan dari pengunjung. Kendala dari dalam pulau adalah kerusakan hutan serta predator-kompetitor. Kendala pengelolaan terdiri dari (1) minimnya sarana, (2) kesadaran/kepedulian masyarakat yang rendah tentang pentingnya P. Rambut, serta (3) pengelola.
Para pelaku menilai permasalahan utama adalah kerusakan hutan (0,192). Pulau Rambut, tepatnya hutan mangrove dan hutan campuran, adalah habitat serta tempat berbiak burung-burung merandai. Kerusakan hutan (yang kini makin meluas) berarti kehilangan tempat tinggal terutama breeding site maka dikhawatirkan mengancam burung-burung di pulau tersebut. Permasalahan berikutnya adalah pencemaran (0,181), penurunan luas area pakan (0,175), rendahnya kepedulian masyarakat (0,143), pengelola (0,110), gangguan oleh pengunjung (0,094), minimnya sarana (0,063), dan terakhir predator kompetitor (0,043).
Dalam mengatasi berbagai kendala tersebut di atas, terdapat delapan kebijakan yang perlu dibuat dan diterapkan. Analisis menghasilkan dua kebijakan sebagai prioritas pertama dalam melakukan pengelolaan pulau adalah peningkatan kesadaran masyarakat (0,180) dan rehabilitasi hutan (0,176). Keduanya berkaitan dengan upaya mencegah pencemaran serta upaya rehabilitasi hutan. Kebijakan berikutnya adalah pemberdayaan masyarakat (0,149), penyediaan area pakan (0,117), pembentukan forum kerja sama (0,111), monitoring (0,097), peraturan pengunjung (0,085), dan pembuatan sarana (0,085).
Sesuai dengan skenario masa depan P. Rambut yang diharapkan, maka diajukan pengelolaan berupa melindungi burung merandai dengan wisata pengamatan burung. Untuk menjalankan perlindungan bagi burung serta menjalankan wisata maka diperlukan rencana pengelolaan (RP) yang mencakup aspek-aspek teknis. Rencana pengelolaan sebaiknya dibuat secara bersama oleh pihak-pihak terkait. Berarti pemerintah selaku institusi yang bertugas menyusun RP, harus melibatkan pihak-pihak tersebut sejak tahap awal hingga RP selesai. Pelibatan pihak terkait juga harus dilakukan ada dalam keseluruhan rangkaian pengelolaan.
Kesimpulan penelitian ini adalah:
1. Terdapat lima kelompok pelaku yang terkait dengan P. Rambut yaitu (1) pemerintah, (2) masyarakat [Tanjung Pasir, Tangerang dan P. Untung Jawa, Jakarta], (3) perguruan tinggi, (4) LSM, dan (5) swasta, secara berurutan menurut prioritas.
2. Para pelaku kebijakan mengharapkan di masa akan datang Pulau Rambut dapat dikelola dengan mempertahankan populasi burung merandai agar relatif stabil dengan kondisi saat ini serta menjalankan wisata dengan menerapkan peraturan kunjungan dan pengunjung.
3. Terdapat delapan kendala yang harus diatasi untuk mencapai masa depan P. Rambut yang diharapkan. Kedelapan kendala tersebut secara berurutan dari prioritas tinggi ke rendah adalah menurunnya luasan hutan habitat burung merandai, pencemaran dari teluk Jakarta, menurunnya area pakan burung merandai, rendahnya kepedulian masyarakat, pihak yang sebaiknya menjadi pengelola, gangguan pengunjung, minimnya sarana, serta predator kompetitor.
4. Kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah meliputi 8 kebijakan. Skala prioritas adalah (1) peningkatan kesadaran masyarakat, (2) rehabilitasi hutan, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) mempertahankan/menyediakan area pakan burung, (5) pembentukan forum kerjasama antar pihak terkait, (6) monitoring flora dan fauna, (7) Pengaturan kunjungan dan pengunjung, dan (8) penyediaan sarana.
5. Dalam upaya mempertahankan fungsi dan keberadaan Suaka Margasatwa P. Rambut, serta diperkenankannya wisata alam terbatas, maka pengelolaan yang sesuai adalah menjalankan kebijakan berdasar prioritas pilihan pelaku kebijakan serta wisata pengamatan burung.
Dari penelitian ini, saran yang diajukan adalah:
1. Pemerintah perlu melibatkan pihak-pihak terkait sejak tahap perencanaan, implementasi pengelolaan, dan evaluasi pengelolaan.
2. Membuat Rencana Pengelolaan P. Rambut, kemudian ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar memiliki kekuatan hukum.
3. Untuk menjalankan pengelolaan secara umum serta secara khusus pengembangan wisata pengamatan burung diperlukan kajian lebih lanjut untuk mendapatkan hal-hal teknis penerapan wisata.
4. Karena lingkup penelitian yang luas, maka studi dengan penerapan proses hirarki analisis perlu dibuat lebih lanjut hingga ke hal-hal teknis.

Rambut Island is one of Thousand islands, North Jakarta. It had been a Strict Nature Reserve since 1937. In May 1999 it has been changed to a Wildlife Sanctury based on Forestry and Aesthetic Crop Ministry Decree No 275/Kpts-II/1999.
Both as nature reserve or wildlife sanctuary, the main role of this island is to protect birds that live in. The island supports more than 50 species of birds, encompasses water bird and others. Some of them are categorized as protected animals based on Indonesian law and others as endangered species.
One consideration for the changing status was the idea to develop Rambut Island for tourism as well as conservation. it needs good management to manage the island from nature reserve (which is very strict in rule) to wildlife sanctuary that is more open. Rambut Island plays a big function; as a nesting site and a breeding site for birds, but also faces numerous problems. In order to manage the island along with those problems, many stakeholders are needed to take a part. Furthermore those problems become the main focus of the management plan. BKSDA Jakarta is the government's institution in charge and has a role to make the management plan. There is no management plan established so far.
The aims of this research are as follows
1. Identifying stakeholders/actors who are related to Rambut Island,
2. Analyzing future scenarios that are chosen by actors,
3. Identifying the problems in order to achieve the scenario,
4. Determining the policy priorities needed then carrying them out to solve problems
5. Proposing the outline of Rambut island wildlife sanctuary management plan.
This research uses analytical hierarchy process from first step (identification of the actors) until determination the policy priorities. Data were collected using questionnaire. The questionnaires were divided into two steps (forward scenario and backward scenario) and distributed into five groups of respondents. They were government, non government organization (NGO), university, community and private sector.
The following are the forward scenarios of Rambut Island:
1. Protecting water bird, carrying out the tourism and applying regulations for visiting. The tourism is carried out by involving community near the island, so that it becomes a part of the management for protecting the birds. The community encompasses people live in Untung Jawa Island, Jakarta and Tanjung Pasir, Tangerang.
2. Protecting water bird, carrying out the tourism without applying regulations for visiting. The scenario is offered in order to maximize the local income from tourism. The other reason is the number of visitors still low and has not disturbed bird activities.
3. Protecting water bird with no tourism activity. The opportunity for habitat management in wildlife sanctuary gives a better circumstance to full protection for birds and its habitat. Without tourism activity, any disturbance or damage could also be minimized.
Result of analysis shows the first priority is on scenario 1 i.e. protecting water bird and running the tourism activity. In scale of one, the score is 0,621. The second priority is scenario 3 with 0,261 and the last with score 0,118 is scenario 2. The first scenario has the highest score because the conservation also has to consider giving value for community, and one way to do that is the tourism activity.
The actor who has the biggest part for management of Rambut Island is the government (score 0,278), followed by Untung Jawa and Tanjung Pasir communities (0,229). In the future, the communities as well as the government should act as the main actors in management of Rambut Island. The subsequent actors are university, NGO, tourist and private sector, in respectively.
The problems which have to be solved cover the ones come from out of the island, inside the island, and management problem. The problems from out of the island are (1) pollution from Jakarta Bay, (2) decreasing size of feeding ground and (3) disturbance from visitors. The inside problems are (1) forest degradation and (2) predator-competitor. The management problems are (1) poor facilities, (2) lack of community awareness on important values of Rambut Island and (3) institutional problem.
The actors define that the main problem is forest degradation (0,192). It is due to the fact that the forest supports birds with nesting site and breeding site. The degradation threatens the life of birds which use the forest. The next problems priorities are pollution from Jakarta (0,181), followed by decreasing size of feeding ground (0,175), lack of community awareness (0,143), institutional problem (0,110), disturbance from visitors (0,094), poor facilities (0,063), and the last is predator-competitor (0,043).
The implementation of eight policies is needed as part of management of Rambut Island. The following are the priority given respectively, increasing public awareness (0,180), rehabilitating the forest (0,176), developing capacity of community (0,149), preserving or adding the feeding ground (0,117), making cooperation forum between stakeholders (0,111), monitoring biota (0,097), Appling rules for visitation (0,085) and developing facilities (0,085).
According to future scenario for Rambut Island, the ideal management is to protect birds and also to run bird watching activity as tourism part. A management plan should be made and applied, in order to synchronize both activities. The management plan itself, is better made together by stakeholders. This means the government as institution who has the authority to carry out the plan, ideally involves stakeholders from the beginning until the final process of management planning. All related stakeholders are involved in all of the management process.
The following are the conclusions of this study:
1. Five groups of stakeholders are involved in Rambut Island. They are government, local community, university, NGOs and private sector, respectively based on priority.
2. Future scenario chosen by all actors is protecting water bird and keeping the population stable with nowadays condition, also running tourism activity by applying visiting rules.
3. There are eight problems have to be solved in order to achieve the future scenario. In priority order are firstly: forest degradation, pollution from Jakarta, decreasing size of feeding area, lack of community awareness, institutional problem, disturbance from visitors, poor facilities, and lastly: predator - competitor.
4. There are eight policies needed to be implemented as part of management of Rambut Island. The priority given respectively to: increase public awareness, rehabilitate the forest, built capacity of community, preserve or add the feeding ground area, make cooperation forum between stakeholders, monitor biota, apply rules for the visiting and develop the facilities.
5. To keep the function and availability of Rambut island wildlife sanctuary, and also allow limited tourism, the appropriate management is to do policies based on actors choices and run bird watching activity.
The suggestions of this study are as follows:
1. Government should involve related stakeholders from the first step of planning, implementation and evaluation of the management process.
2. Government together with stakeholders makes the Management Planning for Rambut Island and bring it as a law.
3. Specific study on technical aspects of tourism is needed for implementing the overall management, especially bird watching activity.
4. This study is a big issue; there for a deep analytical hierarchy process study is needed, i.e. looking into technical aspects.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T9395
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffrey E. Green, editor
"Genetically-engineered mouse models for cancer research have become invaluable tools for studying cancer biology and evaluating novel therapeutic approaches. This volume focuses on state-of-the-art methods for generating, analyzing and validating such models for studying aspects of human cancer biology. Additionally, these models are emerging as important pre-clinical systems in which to test cancer prevention and therapeutic strategies in order to select compounds for testing in clinical trials."
New York: [, Springer], 2012
e20417619
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmaya Kinardi
"Gua Braholo adalah salah satu gua yang terdapat di Situs Prasejarah Pegunungan Seribu bagian barat yang kaya akan tinggalan budaya manusia. Sisa_-sisa. hewan yang ditemukan di daerah berasosiasi dengan artefak litik, abu pembakaran, dan sisa tumbuhan dalam lapisan human yang tebal. Salah satu hal yang menarik adalah dijumpainya sisa Cercopithecidae dalam jumiah yang melimpah. Sisa-sisa Cercopithecidae ini berasosiasi dengan sisa hewan lain, sisa flora, arang, lapisan abu pembakaran, dan juga dengan limbah industri baik dari bahan tulang, batu, maupun moluska. Dan penghitungan 472 gigi bawah yang sisanya ditemukan di Situs Gua Braholo, dapat diketahui jumlah minimal individu (NMIc) Cercopithecidae sebanyak 80 individu yang terdiri dari 4 individu foetus, 2 individu infanta, 29 individu juvenil, 22 individu adult 1, 16 individu adult 2, 6 individu adult 3, dan 1 individu adult age. Sedangkan dari bentuk gigi, dapat diketahui bahwa famili Cercopithecidae. terdiri dari 2 kelompok, yaitu Cercopithecidae 1 dengan bentuk gigi lebih ramping dan memanjang secara mesio-distal dan Cercopithecidae 2 dengan bentuk gigi lebih tambun dan bulat secara bucco-lingual dan mesio-distal. Pada permukaan tulang Cercopithecidae terdapat jejak-jejak kultural yang ditinggalkan berupa pangkasan, striasi, lubang, upaman (permukaan yang halus) pada permukaan kortikal, serta jejak bakar. Dari jejak-jejak tersebut, dapat diasumsikan bahwa Cercopithecidae digunakan sebagai sumber pangan berupa jejak-jejak potong yang diduga merupakan akibat dari kegiatan pemrosesan hewan seperti pengulitan, pemisahan anggota tubuh, penyayatan untuk tujuan konsumsi dan penyimpanan, dan konsumsi sumsum tulang belakang (Binford, 1981:106). Selain itu, tulang Cercopithecidae juga diduga sebagai bahan dasar pembuatan alat tulang dilihat dari jejak-jejak berupa daerah pukul, pelubangan tulang, penggosokan permukaan tulang, usaha penajaman dan peruncingan tulang, serta jejak bakar."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S11958
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 >>