Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 403 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Grisham, John
"Summary:
Lacy Stoltz is an investigator for the Florida Board on Judicial Conduct. She is a lawyer, not a cop, and it is her job to respond to complaints dealing with judicial misconduct. After nine years with the Board, she knows that most problems are caused by incompetence, not corruption. But a corruption case eventually crosses her desk. A previously disbarred lawyer is back in business with a new identity. He now goes by the name Greg Myers, and he claims to know of a Florida judge who has stolen more money than all other crooked judges combined. And not just crooked judges in Florida. All judges, from all states, and throughout U.S. history. What the source of the ill-gotten gains? It seems the judge was secretly involved with the construction of a large casino on Native American land. The Coast Mafia financed the casino and is now helping itself to a sizable skim of each month's cash. The judge is getting a cut and looking the other way. It's a sweet deal: Everyone is making money. But now Greg wants to put a stop to it. His only client is a person who knows the truth and wants to blow the whistle and collect millions under Florida law. Greg files a complaint with the Board on Judicial Conduct, and the case is assigned to Lacy Stoltz, who immediately suspects that this one could be dangerous. Dangerous is one thing. Deadly is something els"
New York : Dell Books, 2016
813 GRI w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"This timely and insightful book provides the key elements needed to understand the nature and prevalence of corruption in public governance, as well as the devastating public policy consequences."
United Kingdom: Emerald, 2017
e20469456
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Heru Suyatmiko
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitinjak, Robert Parlindungan
"Konsensus nasional Political Will dari DPR untuk penyelenggaran negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme, telah diundangkan melalui TAP XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1998 dan diatur lebih lanjut dengan UU No. 28/1999 tanggal 19 Mei 1999 dan UU No. 31/1999 tanggal 16 Agustus tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggantikan UU No. 3/1971 yang lama. Hal ini merupakan babak baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dengan memanfaatkan momentum era reformasi.
Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) secara sistematis di Indonesia_ telah sejak lama dilakukan, karena dirasakan korupsi sudah sangat membahayakan pembangunan. yaitu sejak tahun 1957 mulai dengan peraturan penguasa militer, penguasa perang pusat, TPK, Komisi 4, Opstib, sampai era reformasi dengan dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada tanggal 13 Oktober 1999 dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada tanggal 23 Mei 2000.
Kejaksaan Agung sebagai lembaga penuntutan satu-satunya di Indonesia (legal monopoly) mempunyai tanggung-jawab moral dan hukum untuk berjuang memberantas korupsi dan menegakkan supremasi hukum yang responsif dengan rasa keadilan masyarakat. Tuntutan dan harapan masyarakat sangat besar diletakkan di pundak Kejaksaan Agung, untuk mengusut tuntas dugaan adanya korupsi yang merugikan keuangan negara, dan mulai mengadili kasus-kasus korupsi besar, dan yang menarik perhatian masyarakat (catchs some big fishes) seperti Kasus Soeharto mantan Presiden RI berkuasa 32 tahun, yang mulai disidangkan tanggal 31-8-2000.
Kinerja Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi selama 5 tahun (1993/1994 s/d 1997/1998) pada tahap penyelidikan penyelesaiannya hanya 40% (34 kasus) dan sisa tunggakan 60% (50 kasus), tahap penyidikan penyelesaiannya hanya 38% (9 kasus) dan sisa tunggakan 62% (15 kasus), dan tahap penuntutan untuk seluruh Indonesia tingkat penyelesaiannya hanya 19% (115 kasus) dan sisa tunggakan 81% (479 kasus). Rata-rata sisa tunggakan kasus sekitar 60%-81%.
Pendapat para ahli tentang sebab-sebab terjadinya korupsi dan hambatan pemberantasan korupsi, dijadikan sasaran analisis yang mendasari perumusan strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) selanjutnya. Strategi secara sistematis itu diharapkan dapat mengendalikan faktor-faktor penyebab korupsi tersebut.
Bertolak dari kenyataan tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan Agung, sejauh mana tingkat efektifitas Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, (apakah telah memberikan hasil/akibat yang maksimal, taxis dari pertimbangan efisiensi) dan berupaya untuk dapat memberikan strategi alternatif/prioritas yang dapat meningkatkan efektifitas pemberantasan korupsi (anti corruption strategy).
Hasil penelitian penulis ini menunjukkan, bahwa Kejaksaan Agung berada pada kondisi di dua lingkungan yaitu lingkungan internal dan eksternal. Hal mana telah memberikan pengaruh terhadap kinerjanya. Pengaruh sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat bisa berasal dari internal maupun eksternal. Yang berasal dari faktor internal berupa faktor kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), dan yang berasal dari faktor eksternal berupa faktor peluang (opportunity) dan ancaman (threat). Pendekatan analisis SWOT berupaya untuk merumuskan strategi yang sesuai (best solution) untuk diterapkan dalam upaya mencapai sasaran dan goal yang diinginkan. Ada beberapa strategi alternatif yang dirumuskan, namun berdasarkan urgensi penanganannyalskala prioritas kepentingannya, maka direkomendasikan untuk memakai strategi WO untuk strategi jangka pendek dan strategi SO untuk strategi jangka panjang.
Dari hasil perumusan alternatif strategi SWOT tersebut dengan pendekatan ternyata untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka pendek adalah memanfaatkan TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) (0.408), memperbaiki sarana prasarana/penggajian/fas. kesejahteraan SDM kejaksaan (0,239), melakukan pengawasan intensif terhadap moralitas, etika profesi/sikap perilaku terhadap SDM kejaksaan (0,130), mengusulkan independensi kejaksaan/ (Independent Prosecution System) (0,116), dan memperbaiki/reorientasi sistem manajemen pembinaan (rekrutmen, promosi dan penempatan) SDM kejaksaan yang profesional dan rasional (0,106). Untuk sasaran strategi kebijakan prioritas jangka panjang adalah memanfaatkan lembaga ICAC (Independent Commission Anti Corruption)/ Komisi Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KGPTPK) (0,415), menetapkan target penyidikan dan penuntutan (0,366) dan mengusulkan independensi kejaksaan/(Independent Prosecution System) (0,219).
Dalam penelitian ini, ternyata dalam strategi jangka pendek maupun strategi jangka panjang memiliki sensitifitas yang sangat kecil. Artinya, walaupun terjadi perubahan dalam urutan prioritas, temyata urutan prioritas faktor endogen (strategi kebijakan) tidak mengalami perubahan, hanya perubahan dalam bobot prioritasnya.
Strategi Kebijakan periode jangka pendek dan jangka panjang yang dominan adalah dengan memanfaatkan keberadaan TGPTPK dan lembaga baru ICAC (Independent Commission Anti Corruption)IKGPTPK, sehingga diharapkan tercapainya peningkatan efektifitas strategi pemberantasan korupsi (anti corruption strategy) di Indonesia. Untuk ICAC, disarankan agar konsistensi terhadap sifat komisi yang harus independenlmandiri kepas dari carnpur tangan pemerintah, melibatkan peranan LSM/masyarakat dalam penanganan pemberantasan korupsi di Indonesia. Disarankan, ICAC mempunyai kewenangan terbatas hanya pada tahap penyelidikan dan penyidikan korupsi saja, sedangkan tahap penuntutan tetap sebagai wewenang Kejaksaan Agung. Perlu dirumuskan sinkronisasi susunan perundang-undangannya, agar tidak tumpang-tindih atau menabrak tata tertib hukum positif yang sudah ada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T7939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Lowryanta
"Ketika Indonesia ditahbiskan menjadi negara ketiga paling korupsi didunia, mengherankan tidak ada yang heran sama sekali. Seakan semua fenomena ini sudah being firr granted yang tidak perlu di perdebatkan lagi di negara yang "berdasar pada hrrkum dan bukan pada kekuasaan" seperti yang diamanatkan oleh Konstitusinya. Ketidakherananan publik pada tingkat korupsi, oleh karenanya seringkali diikuti oleh apatisnie akan kemainpuan sistem hukum dan budaya yang ada untuk memberantas korupsi. Apatisme ini tidaklah berlebihan apabila dititik dari track record penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi, sehingga muncullah sarkas bahwa "Indonesia adalah negara yang sangat tinggi korupsinya namrm tidak ada koruptornya". r Korupsi di Indonesia yang tetjadi dalam 30 tahun keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat tercengang: Setelah Orde Baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa "disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sarnpai tahap rnenyedihkan Korupsi juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem perekonomian dan macyarakat dalam skala besar. Pelaku perbuatan yang dipandang koruptif itu tidak ierjangkau oleh undang-undang yang ada dan selalu berlindung dibalik asas Iegalitas karena pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan oleh mereka yang memiliki karekateristik high level educated dan status dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman terhadap masalah tersebut diatas, pemerintah dan Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat} telah membentuk dan mensahkan Undang-Undang No: 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Kebijakan ini merupakan "political will" dari pemcrintah dengan suatu tekad dengan membentuk suatu badan anti korupsi untuk meinberantas segala bentak penyelewengan dan korupsi yang terjadi selama 3 dasawarsa ini, demi menyelamatkan kcuangan dan pcrekonomian negara guna mewujudkan aparatur pemerintah dan aparat penegak kukum yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhi Herdi Susianto
"ABSTRAK
Tesis ini adalah tentang birokrasi penyidikan, mekanisme kontrol dan penyidikan internal KPK. Perhatian utama dalam tesis ini adalah pada tindakan¬tindakan yang dilakukan oleh penyidik KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di KPK dikaitkan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK yang berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh penegak hukum lain. Selain itu, dalam tesis ini juga membahas mekanisme kontrol dan pengawasan internal yang ada di KPK khususnya saat terjadinya korupsi yang dilakukan oleh Sup yang saat itu menjadi penyidik KPK.
Tujuan dalam tesis ini adalah untuk menunjukkan birokrasi penyidikan yang ada di KPK serta mekanisme kontrol dan pengawasan internal yang belum berjalan secara maksimal sehingga peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh Sup selaku penyidik KPK untuk melakukan korupsi.
Masalah dalam tesis ini adalah tindak pidana korupsi penyidik KPK dan penyidikannya. Korupsi yang dilakukan oleh Sup merupakan perbuatan pemerasan terhadap saksi yang sedang berperkara di KPK. Dengan memanfaatkan jabatan dan kewenangannya, Sup melakukan pemerasan guna keuntungan pribadi.
Hasil dari penelitian ini ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi yang dilakukan oleh Sup yang memanfaatkan kelemahan mekanisme kontrol dan pengawasan internal. Pengaruh KPK sebagai lembaga baru yang belum memiliki organ yang lengkap dimanfaatkan oleh Sup untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan tergolong sebagai perbuatan korupsi. Dengan berdalih untuk kepentingan dinas, Sup melakukan hubungan dengan orang atau pihak yang sedang dalam proses pemeriksaan.
Perbuatan yang dilakukan oleh Sup merupakan cermin budaya organisasi lama tempat Sup berdinas sebelum di KPK. Budaya organisasi tersebut dibawa dan terus dilakukan oleh Sup di KPK yang sebenarnya memiliki budaya organisasi yang berbeda. Perbuatan korupsi yang dilakukan oleh Sup sangat
bertentangan dengan jiwa pendirian KPK dimana dengan berdirinya KPK diharapkan hadir suatu lembaga penegak hukum yang bebas dari KKN.
Dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK terhadap penyidiknya yang melakukan korupsi sangat cepat dan profesional. Penyidikan
berjaian sesuai dengan aturan yang ada dan penerapan sanksinya pun diselaraskan dengan aturan yang ada pula. Persangkaan pasal terhadap Sup ditambah dengan pasal pemberatan yang diberikan kepada penyidik KPK yang melakukan korupsi menunjukkan bahwa KPK tidak segan-segan menindak tegas pegawai atau penyidiknya yang melakukan pelanggaran."
2007
T 20511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratna Ningrum
"Korupsi diakui sebagai ancaman terhadap pembangunan ekonomi, demokrasi dan martabat manusia, yang tentu juga memberikan dampak negatif yang dapat merusak seluruh elemen dalam suatu negara, baik di bidang ekonomi pembangunan, sosial dan politik, pertahanan dan keamanan, hingga lingkungan. Fenomena yang terjadi pada akhir tahun 2018 cukup menuai perdebatan baik dikalangan masyarakat maupun para pakar hukum. KPU mengeluarkan PKPU (revisi) yang memperbolehkan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri pada pemilihan legislatif dengan dua poin persyaratan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan peneliti untuk melakukan analisis potensi ancaman atas pencalonan mantan narapidana korupsi dalam pemilihan legislatif, sehingga dapat ditemukan upaya antisipasi ancaman dan minimalisasi resiko terhadap ketahanan nasional. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif serta studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukan peringkat ancaman yang tinggi serta peringkat risiko yang extrem. Analisis pola terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kalangan legislatif digunakan untuk menemukan upaya dalam mengantisipasi ancaman dan meminimalisir risiko. Berdasarkan analisis pola, terdapat dua opsi upaya yang dapat dilakukan, yaitu: meningkatkan sumber pendanaan partai sebesar 50 % dan membangun platform kampanye berbasis media sosial sebagai wadah bagi calon legislatif sehingga dapat menekan tingginya biaya kampanye sekaligus informasi untuk masyarakat menyangkut reputasi dari calon legislatif.

Corruption is recognized as a threat to economic development, democracy, and human dignity, which of course also has a negative impact that can damage all elements in a country, both in the fields of economic development, social and political, defense and security, to the environment. It was enough to reap debate both among the public and legal experts. The KPU issued a PKPU (revision) that allowed former corruption to run for legislative elections with two points of requirements. This is a consideration for researchers to analyze the potential threats to the nomination of corruption in legislative elections, so that efforts can be found to anticipate threats and minimize risks to national security. The method used is a qualitative method with a descriptive approach and literature study.
The results of the study showed high threat ratings and extreme risk ratings. The process of criminal acts of corruption is committed to the efforts of anticipating threats and minimizing risks. Based on pattern analysis, there are two options for efforts that can be made, namely: increasing party funding sources by 50% and building a social media-based campaign platform as a forum for legislative candidates so they can reduce campaign costs as well as information about the reputation of legislative candidates.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Fitrotul Mu Arofah
"ABSTRAK
Permasalahan korupsi menjadi hambatan serius di tengah kondisi perekonomian yang sedang melaju pesat di negara-negara ASEAN. Oleh sebab itu sangat penting untuk mendeteksi faktor apa saja yang berpengaruh terhadap korupsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabel yang menjadi determinan korupsi Indeks Persepsi Korupsi . Variabel ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pertumbuhan Produk Domestik Bruto PDB , Pendapatan Per Kapita, Globalisasi dan Keterbukaan Perdagangan, sedangkan variabel kontrol yang digunakan berasal dari dimensi politik yakni Stabilitas Politik dan Demokrasi. Penelitian ini menggunakan data panel negara ASEAN pada 2012-2015 dengan menggunakan model Pooling Least Square PLS atau Common Effect sebagai alat analisisnya. Hasil penelitian menemukan bahwa seluruh variabel memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Indeks Persepsi Korupsi, artinya Pertumbuhan Produk Domestik Bruto PDB , Pendapatan Per Kapita, Globalisasi, Keterbukaan Perdagangan, Stabilitas Politik dan Demokrasi dapat digunakan sebagai determinan korupsi.

ABSTRACT
Corruption becomes a serious obstacle in the midst of conditions are being developed rapidly in ASEAN countries. Therefore, detecting what factors are affecting corruption is very important. This study aims to analyze the variables that become determinant of corruption Corruption Perceptions Index . Economic variables used are growth rate of gross domestic product GDP , income per capita, globalization and trade openness, while the control variables used from the political dimension are political stability and democracy. This study uses data panel of ASEAN countries in 2012 2015 by using Pooling Least Square PLS model or Common Effect as its analysis tool. The results of the study found that all variables had significant influence on CPI, meaning that growth rate of gross domestic product GDP , income per capita, globalization, trade openness, political stability and democracy can be used as a determinant of corruption."
2018
T51481
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12 13   >>