Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astrid Citra Padmita
"Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit akut di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada kelompok balita. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa barat dengan kasus ISPA yang tinggi. RW1 Desa Ciampea, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor merupakan lokasi pemukiman sekaligus lokasi industri pengolahan batu kapur. Keberadaan industri pengolahan batu kapur di sekitar area pemukiman merupakan sumber pencemaran udara yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Ciampea, ISPA merupakan penyakit dengan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor lingkungan (PM10 udara ambien, jarak rumah ke pabrik pengolahan batu kapur, suhu dan kelembaban udara rumah, ventilasi rumah, kepadatan hunian rumah, ada atau tidak anggota keluarga serumah yang terkena ISPA, ada atau tidak anggota keluarga serumah yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk, jenis bahan bakar memasak, dan letak dapur) dengan kejadian ISPA pada balita di RW1 Desa Ciampea, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor tahun 2013. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan menggunakan data primer yang mana jumlah sampel sebanyak 106 orang balita.
Hasil analisis bivariat diperoleh bahwa faktor lingkungan yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada balita adalah PM10 udara ambien (7,40; 2,02-27,10) dan kepadatan hunian rumah (3,39; 1,39-8,32). Adapun karakteristik individu balita yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita berdasarkan hasil uji statistik dengan analisis bivariat adalah jenis kelamin (2,61; 1,08-6,34). Faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian ISPA pada balita adalah PM10 udara ambien (9,62; 2,39-38,71). Kerjasama lintas sektoral diperlukan untuk menurunkan angka kejadian ISPA.

Acute Respiratory Infection (ARI) is a major cause of acute illness in the worldwide. In Indonesia, the prevalence of ARI is highest in the group of children under five years. Bogor district is one of region in West Java with high ARI case. Hamlet 1 of Ciampea Village is both settlement location and limestone processing industry location. The existence of limestone processing industry around the settlement area is source of air pollution that can affect people’s health. In the working area of Health Center of Ciampea Sub District, ARI is the disease with the highest case on 2012.
This study aims to determine the relationship between environmental factors (ambient PM10, distance from house to limestone processing plant, the temperature and the humidity of house, house ventilation, residential density of house, whether or not the family members at home who got acute respiratory infection, whether or not a family member at home who smoke, the use of mosquito repellent, type of cooking fuel, and the location of the kitchen) with the occurrence of ARI. This study uses cross-sectional study design and primary data with sample of 106 toddlers.
Result bivariate analysis shows that environmental factors which significantly associated with ARI among children under five years are ambient air PM10 (7.40; 2.02-27.10) and residential density of house (3.39; 1.39-8.32). The individual characteristic of a toddler who has a significant association with the occurrence of ARI among children under five years based on the results of statistical test with bivariate analysis is gender (2.61; 1.08-6.34). The most dominant factor associated with the occurrence of ARI among children under five years is ambient air PM10 (9,62; 2,39-38,71). Cross-sectoral cooperation is needed to reduce the number of ARI.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremiah Purwoto
"Ketidakpuasan bentuk tubuh merupakan evaluasi negatif yang dilakukan pada satu atau beberapa bagian tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor individu dan faktor lingkungan dengan ketidakpuasan bentuk tubuh yang dilakukan dengan studi cross-sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 48,3% siswi mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh. Beberapa variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan ketidakpuasan bentuk tubuh adalah status gizi, diet penurunan berat badan, rasa percaya diri, pengaruh kritik orang tua, dan pengaruh teman sebaya. Penulis menyarankan agar orang tua dan sekolah dapat sama-sama mendidik siswi melalui penyuluhan dan promosi gizi agar siswi mengetahui bentuk tubuh ideal, menerapkan gaya hidup sehat, dan memiliki rasa percaya diri.

Body dissatisfaction is a negative evaluation towards one or several body parts. This study aims to determine the relationship of both individual factors and environmental factors with body dissatisfaction of female high school students. The result of this study shows that 48,3% of female students are dissatisfied with their body. Variables which are related to body dissatisfaction are nutritional status, weight-loss diet, self-esteem, critics from parents, and critics from peer group. The researcher suggests for both parents and school to educate female student through counseling and nutritional promotion, thus female student would acknowledge the ideal body shape, to live a healthy lifestyle, and have a good self-esteem.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Afni
"Penyakit kulit saat ini masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, menurut Riskesdas (2007) prevalensi penyakit kulit di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 67,8 %. Di Provinsi DKI Jakarta, prevalensi dermatitis cukup tinggi yaitu sebesar 99,9 %. Di Jakarta Utara penyakit kulit termasuk ke dalam sepuluh penyakit terbanyak dengan prevalensi sebesar 6% (33.025) orang. Di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Cilincing II penyakit kulit termasuk dalam 10 penyakit terbesar dan berada pada urutan ketiga. Jumlah penderita penyakit kulit pada tahun 2010 sebanyak 1354 orang. Resiko terjadinya penyakit kulit dapat disebabkan oleh kurangnya jumlah air bersih, faktor lingkungan dan hygiene perorangan.
Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara kondisi sarana air bersih, kuantitas dan kualitas air bersih secara fisik, faktor lingkungan dan hygiene perorangan dengan kejadian penyakit kulit pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas kelurahan Cilincing II Jakarta Utara Tahun 2011.
Metode penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol perbandingan 1:1 dengan 46 kasus menderita penyakit kulit infeksi dan 46 kontrol tidak menderita penyakit kulit infeksi. Kasus dan kontrol diperoleh dari Puskesmas Kelurahan Cilincing II.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kuantitas dan kualitas air bersih secara fisik, faktor lingkungan dan hygiene perorangan dengan kejadian penyakit kulit infeksi dengan nilai p>0,05.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada hubungan antara kuantitas dan kualitas air bersih secara fisik, faktor lingkungan dan hygiene perorangan dengan kejadian penyakit kulit infeksi.

Dermatitis still becomes a health problem in Indonesia. According to Riskesdas (2007), the prevalence of the disease in Indonesia is quite high that is 67,8 %. In DKI Jakarta province, the prevalence is 99,9 %. In North Jakarta, the disease is one of the most ten diseases with prevalence 6 % (33.025) infected people. In the work area of community health center in Cilincing II district, the disease is the third of ten 10 biggest diseases. The number of victims in 2010 is 1354. The risk of the skin disease occurance can be caused by the lackness of fresh water, environmental factors and individual hygiene.
The aim of this study is to find out the relationship between fresh water facility condition, phisical quantity and quality of fresh water, environmental factors and individual hygiene and dermatitis occurances in society of community health center work area in Cilincing II district, North Jakarta, in 2011.
The method used is a control 1:1 comparison case study design with 46 dermatitis victim cases and 46 control of uninfected people. The control case is obtained from Cilincing II community health center.
The result of bivariat analysis indicates that there isn't any relationship between the physical fresh water quality and quantity, environmental factors and individual hygiene and the disease occurances with p>0,05.
The conclusion drawn is that there isn't any relationship between the physical fresh water quality and quantity, environmental factors and individual hygiene and the dermatitis occurances.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah kelainan metabolisme bawaan pada sel darah merah akibat defisiensi enzim yang paling sering ditemui. Defisiensi enzim ini diperkirakan mengenai kurang Iebih 400 juta orang di dunia dengan prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika, Timur Tengah, daerah tropis dan subtropis Asia, beberapa daerah di Mediteranea dan Papua Nugini. Insiden defisiensi G-6-PD berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tertinggi pada bangsa Yahudi yaitu 70%, diikuti daerah Afrika 26%, China 1,9-16% dan Italia 0-7%.2.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada defisiensi enzim G-6-PD berupa anemia hemolitik akut dan ikterus yang menetap pada neonatus. Terdapatnya anemia ringan, morfologi sel darah merah yang abnormal dan peningkatan kadar retikulosit sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolitik yang dapat terjadi balk pada bayi prematur atau cukup bulan dengan defisiensi enzim G-6-PD. Antara bulan September 1975 sampai dengan bulan Oktober 1976, Suradi telah memeriksa adanya defisiensi enzim G-6-PD, menggunakan uji tapis dengan metode Bernstein pada 3200 neonatus yang lahir di RSCM. Pada penelitian ini didapatkan 85 neonatus (2,66%) menderita defisiensi enzim tersebut dan 35 neonatus diantaranya menjadi ikterus. Pada beberapa kasus, ikterus neonatorum dapat sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan otak permanent bahkan sampai meninggal. Munculnya manifestasi klinik pada anemia hemolitik dapat dicetuskan oleh obat-obatan, infeksi atau favism.
Ikterus neonatorum yang disebabkan oleh defisiensi G-6-PD mempunyai banyak variasi pada berbagai populasi baik mengenai frekuensi maupun beratnya penyakit. Secara biokimia ditemukan kurang lebih 400 varian yang berbeda. Pada daerah Afrika Banat dan Asia Tenggara, defisiensi enzim G-6-PD ditemukan pada 30% ikterus neonatorum. Penyebab variasi ini tidak sepenuhnya diketahui, yang jelas berperan adalah faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik yang mendasari variasi ini diduga karena terdapat mutasi pada gen G-6-PD. Analisis molekular untuk melihat adanya mutasi ini telah dilakukan dan didapatkan kurang lebih 122 varian. WHO membagi varian-varian ini menjadi 5 kelas dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Di Indonesia defisiensi enzim G-6-PD secara biokimia pertama kali diteliti oleh Kirkman dan Lie Injo pada tahun 1969, kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain. Secara analisis molekuler juga telah dilakukan penelitian pada orang dewasa normal dengan hasil mutasi terbanyak terdapat pada ekson 5,6,11 dan 12. Sumantri dkk pada tahun 1995 melakukan penelitian defisiensi enzim G-6-PD dengan subyek orang dewasa normal dan melaporkan bahwa varian G-6-PD Mahidol (ekson 5), Taipe Hakka (ekson 5), Mediteranean (ekson 6), dan Kaiping (ekson 12) terdapat pada suku Jawa. Iwai dkk pada tahun 2001 melakukan skrining pemeriksaan enzim G-6-PD pada berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan subyek laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis anemia hemolitik akut. Pada penelitian ini ditemukan varian Vanua Lava (ekson 5) terdapat pada suku Ambon, dan varian Coimbran (ekson 6) pada suku Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Tati Sumiati
"Data statistik menunjukkan bahwa tindak kriminal dengan kekerasan yang mematikan (pembunuhan) yang dilakukan wanita mengalami peningkatan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan mengungkapkan bahwa wanita yang melakukan yang membunuh suaminya adalah mereka yang telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya. Data tersebut, tampak berlawanan dengan asumsi stereotip tentang wanita. Wanita dipercaya memiliki sifat ramah, penuh kasih sayang, sensitif, hangat dan ekspresif serta seringkali digambarkan lebih toleran dan lebih mampu menghadapi masalah tanpa perlu menunjukkan tingkah laku - tingkah laku delinquency.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap kondisi tersebut hanya mengungkapkan data statistik deskriptif, tidak menggambarkan dinamika terjadinya serta faktor-faktor yang mendasari tindak kekerasan. Oleh karena itu, pembunuhan yang dilakukan wanita terhadap suaminya, menjadi hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika dan faktor-faktor yang melatarbelangi pembunuhan yang dilakukan wanita terhadap suaminya.
Menurut Feldman (1993) pembunuhan termasuk ke dalam tindak kriminal terhadap orang. Pembunuhan merupakan bentuk agresi yang paling ekstrim (Krahe, 2005). Pembunuhan termasuk dalam tindak kriminal dengan kekerasan atau kekerasan kriminal yang mencakup tingkah laku melukai yang secara langsung melanggar hukum (Rollin, 1993), Teori yang digunakan untuk menjelaskan tingkah laku tersebut adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurut teori tersebut, suatu tingkah laku, termasuk tindak kriminal, dapat dijelaskan melalui model resiprokal triadik di mana tingkah Iaku, kognitif, dan faktor-faktor personal lainnya serta kejadian-kejadian di dalam lingkungan, keseluruhannya beroperasi sebagai hasil interaksi yang saling mempengaruhi sate sama lainnya (Feldman, 1993).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara dan observasi. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita T'angerang. Di Lapas ini tercatat 12 orang narapidana dengan kasus pembunuhan, namun hanya dua orang narapidana yang melakukan pembunuhan terhadap suami.
Dengan demikian, jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan yang dilakukan subjek terjadi melalui suatu proses pembelajaran di salah satu atau keseluruhan lingkungan yang dimasuki subjek, baik lingkungan keluarga, teman, maupun lingkungan sosial yang lebih luas. Kondisi-kondisi di lingkungan ini mempengaruhi personal subjek, baik dalam pemikiran, maupun tingkah laku subjek. Faktor lingkungan dan personal yang dimiliki subjek tersebut mendasari subjek dalam mengambil keputusan ketika subjek berada dalam kondisi konflik dan frustrasi. Penelitian ini menamukan bahwa subjek yang mengalami frustrasi dalam menghadapi konflik perkawinan dan suami yang biasa melakukan tindak kekerasan terhadapnya, cenderung menyelesaikan konflik dengan tindak kekerasan lagi dalam hal ini pembunuhan terhadap suami.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan wanita melakukan pembunuhan terhadap suami selain adanya faktor kesempatan, insentif dan penilaian subjektif, juga adanya keterbangkitan emosi marah. Keterbangkitan emosi marah ini bersumber dari akumulasi terhadap ketidakpuasan dalam perkawinan, dan dipicu oleh kecemburuan. Konflik perkawinan yang dialaminya menimbulkan frustasi. Kondisi tersebut merupakan faktor kriminogenik, yang dapat menimbulkan suatu tindak kriminal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wanita dan pria memiliki kesamaan dalam melakukan agresi, baik ekspresi kemarahan maupun pengendaliannya memiliki kesamaan. Namun, wanita tetap menyadari secara fisik mereka lebih lemah dani pria sehingga dalam mengembangkan strategi-strategi yang memungkinkan untuk dilakukan, mereka (wanita) menunggu korbannya lengah.
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran yang dapat dilakukan baik bagi subjek penelitan, masyarakat, Lembaga Pemasyarakatan maupun bagi peneliti lain yang tertarik untuk mendalami masalah-masalah tindak kriminal yang dilakukan wanita."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T17945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sischa Andriani Alimin Sihe
"Penelitian ini membahas mengenai analisis kebijakan berbasis fakta lingkungan suhu, curah hujan, rumah sehat, transportasi/kemacetan, dan kepadatan penduduk terhadap kasus pneumonia pada balita di Kota Bekasi tahun 2016. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain studi ekologi dan menggunakan analisis spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus pneumonia yang tertinggi berada di Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Barat, dan Jati Asih, suhu rata-rata yang tertinggi berada di bulan oktober yaitu 330C, curah hujan yang paling sering terjadi berada di bulan desember yaitu 3.484mm, cakupan rumah sehat yang tinggi berada di kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Barat, Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Rawa Lumbu, Jati Asih, dan Pondok Gede, wilayah kecamatan yang dikategorikan tidak macet adalah Jati Asih, Mustika Jaya, dan Bantar Gebang, dan kepadatan penduduk di Kota Bekasi semuanya masuk dalam kategori padat yaitu >200 jiwa/km2. Kebijakan pengendalian pneumonia pada balita di Kota Bekasi dilakukan melalui pendekatan kesehatan masyarakat. Pelaksanaan program dimulai dengan mendefinisikan sasaran masyarakat yang beresiko,beroriantasi pencegahan tanpa melupakan pengobatan, ada unsur keterlibatan masyarakat menyebabkan kerja sama lintas sektor serta pengorganisasian kegiatan.

This study discusses the impact of changes in pneumonia conditions in toddlers in the city of Bekasi in 2016. This research is a descriptive study with ecological study design and using spatial analysis. The results showed that the highest cases of pneumonia were in Bekasi Utara, West Bekasi, and Jati Asih sub districts, the highest average temperature was in October at 330C, the most frequent rainfall was in December of 3,484mm, healthy people are located in Bekasi Utara, West Bekasi, Bekasi Selatan, Rawa Lumbu, Jati Asih, and Pondok Gede subdistricts which are categorized as non jammed are Jati Asih, Mustika Jaya, and Bantar Gebang, and population density in Kota Bekasi all fall into the solid category that is 200 soul km2. The policy of controlling pneumonia in toddlers in Kota Bekasi is done through a public health approach. Implementation of the program begins by defining the target community at risk, beroriantasi prevention without forgetting treatment, there is an element of community involvement led to cross sector cooperation and organizing activities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T49517
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Kurniasari
"Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit akut di seluruh dunia. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat dengan kasus ISPA yang tinggi. Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor merupakan lokasi 25 industri pemotongan keramik dan granit. Proses produksi di industri pemotongan keramik dan granit menghasilkan partikulat debu yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan pekerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pajanan faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada pekerja di industri pemotongan keramik dan granit Desa Wanaherang, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 103 pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja (2,90; 1,08-7,77). Faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian ISPA pada pekerja adalah PM10 dalam ruang kerja (2,90; 1,08-7,77). Himbauan penggunaan APD perlu diterapkan pada pekerja industri pemotongan keramik dan granit.

Acute Respiratory Infection (ARI) is a major cause of acute illness in the worldwide. Bogor district is one of region in West Java with high ARI case. There is 25 ceramic and granite cutting industry location located in Wanaherang Village that can affect worker’s health.
This study aims to analyze the relationship between environmental factors and the incidence of respiratory infection in ceramic and granite cutting industry workers at Wanaherang village, Gunung Putri, Bogor. This study uses cross sectional study design with sample of 103 workers.
Result shows that environmental factors which significantly associated with ARI among workers is indoor PM10 concentration (2,90; 1,08-7,77). The most dominant factor associated with the occurrence of ARI among workers is indoor PM10 concentration (2,90; 1,08-7,77). PPE usage should be applied by ceramic and granite cutter workers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54988
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliyya Maitsaa Iffat
"Kualitas udara mikrobiologis di dalam lift gedung perlu diperhatikan karena sebagian besar orang lebih memilih untuk menggunakan lift daripada tangga. Banyaknya orang berlalu-lalang memungkinkan mikroorganisme untuk masuk dan mengalami pertumbuhan pada lingkungan yang ideal di dalam lift. Studi literatur mengenai keberadaan bioaerosol di dalam lift masih tergolong sedikit. Oleh sebab itu, penelitian kualitas udara mikrobiologis penting dilakukan di salah satu ruangan pada lingkungan kampus, yaitu lift gedung kuliah saat masa libur dan aktif perkuliahan. Penelitian ini dilakukan di lift pada Gedung S, K dan EC di Fakultas Teknik Universitas Indonesia dengan tujuan untuk mengetahui serta membandingkan hasil konsentrasi bakteri pada masa libur dan aktif perkuliahan, menganalisis pengaruh faktor lingkungan dan potensi sumber pencemar mikrobiologis potensial di sekitar lift gedung perkuliahan. Metode pengambilan sampel pasif digunakan untuk mengambil sampel udara selama 15 menit agar bakteri terdeposisi secara alami ke media Tryptone Soya Agar. Pengambilan sampel permukaan dengan dry swab dilakukan untuk mengetahui apakah tombol panel lift termasuk ke dalam salah satu sumber pencemar mikrobiologis potensial. Dari hasil penelitian dapat diketahui konsentrasi bakteri pada ketiga lift gedung tidak memenuhi baku mutu, yaitu 500 CFU/m3 dan 700 CFU/m3. Pada masa libur, konsentrasi tertinggi sebesar 1.330 CFU/m3 terdapat di lift Gedung EC dan terendah sebesar 608 CFU/m3 terdapat di lift Gedung S. Sedangkan pada masa aktif,  konsentrasi tertinggi sebesar 2.084 CFU/m3 terdapat di lift Gedung S dan terendah sebesar 1.081 CFU/m3 terdapat di lift Gedung K. Hasil uji komparatif menunjukkan bahwa hanya lift Gedung S yang memiliki perbedaan konsentrasi bakteri pada kedua masa perkuliahan. Uji korelasi antara konsentrasi bakteri dengan faktor lingkungan bervariasi tergantung pada kondisi cuaca selama pengambilan sampel. Hanya kecepatan angin yang tidak mempengaruhi karena menyebabkan tidak adanya dispersi mikroorganisme. Sumber indoor bioaerosol seperti keberadaan manusia sebagai pengguna lift sangat berpengaruh sangat kuat terhadap konsentrasi bakteri di dalam lift gedung. Perlu dilakukan pemeliharaan kebersihan secara rutin terhadap pendingin ruangan beserta filter, tombol panel lift, serta lingkungan di sekitar lift gedung agar dapat menurunkan konsentrasi bakteri.

Microbiological air quality in the building elevator needs to be considered because most people prefer to use elevators rather than stairs. The number of people passing by allows microorganisms to enter and grow in the ideal environment of elevator. Literature studies regarding the presence of bioaerosol in elevators are still relatively small. Therefore, microbiological air quality research is important in one of the rooms on the campus environment, the college building elevator during holidays and active periods of lectures. This research was carried out in the elevators of the S, K and EC Buildings at the Faculty of Engineering, University of Indonesia with the air of knowing and comparing the results of bacterial concentration during holidays and active periods of lectures, analyzing the influence of environmental factors and potential sources of potential microbiological pollutants around elevators. The passive sampling method is used to take air samples for 15 minutes so that bacteria are naturally deposited into the Tryptone Soya Agar medium. The surface samples taken by dry swab is done to find out whether the elevator panel button is included in one of the potential microbiological pollutant sources. From the results of research, it can be seen that bacterial concentrations in the three building elevators did not meet the quality standards, 500 CFU/m3 and 700 CFU/m3. During the holidays, the highest concentration of 1.330 CFU/m3 is found in the EC Building elevator and the lowest is 608 CFU/m3 in the S Building. While the active period, the highest concentrations of 2.084 CFU/m3 is found in the S building elevator and the lowest is 1.081 CFU/m3 in the K Building elevator. The comparative test results show that only the S Building elevator has a difference in bacterial concentration in the two lecture periods. Correlation test between bacterial concentration and environmental factors varies depending on weather conditions during sampling Only the wind speed does not affect because it causes no dispersion of microorganisms. Indoor bioaerosol sources such as the presence of humans as elevator users have a very strong influence on the concentration of bacteria in the building elevator. Routine hygiene maintenance needs to be done on air conditioners along with filters, elevator panel buttons, and the environment around the building elevators to reduce the concentration of bacteria."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 >>