Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
Pandu Arlingga
"Penelitian ini tentang pengunaan narasi penyelamat kulit putih di produk media massa seperti film. Fokus riset ini adalah bagaimana naratif penyelamat kulit putih memperkuat whiteness-keputihan sebagai norma dan melakukan penandaan social terhadap minoritas di sebuah negara multikultural seperti Amerika Serikat. Sebagai riset kualitatatif sekunder, penelitian ini adalah sebuah analysis film terhadap Green Book (2018) melalui teknik perfilman yang digunakan seperti mise-en-scene yang membentuk gaya dan sosok film tersebut. Riset ini telah menemukan bahwa narasi white savior--penyelamat kulit putih memperkuat keputihan dengan menggambarkan rasisme melalui perspektif seorang kulit putih; menyampaikan bahwa rasisme adalah sebuah hasil dari ketidaksadaran dibanding sebuah ketidakadilan sistemis; dan membuatkan karakter minoritasnya diselamatkan oleh karakter utama yang kulit putih. Minoritas ditandai secara social dengan penggunaan stereotip dan cara lain. Salah satu rekomendasi untuk riset ini adalah riset primer tentang persepsi para penonton film dengan narasi penyelamat kulit putih.
This paper is about the use of white savior narratives in mass media products such as film. The focus of this research is to see how white savior narratives in film reinforce the whiteness as the norm and socially mark minorities in a multicultural society such as the United States. As a secondary qualitative research, this paper is a film analysis of Green Book (2018) through its chosen film techniques such as mise-en-scene that creates its form and style. The research has found that white savior narratives reinforce whiteness by presenting racism through the perspective of a white main character; presenting racism as a ignorance rather than a systemic injustice; and having the minority character saved by the white main character. Minorities are socially marked through the use of stereotypes and other ways. One of the recommendations for this paper is primary research towards audience perception of white savior narratives in film."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Parulian, Tigor
"
ABSTRAKPerspektif merupakan salah satu elemen terpenting dalam sebuah film. The Male Gaze, yang merupakan sudut pandang atau perspektif laki-laki terhadap elemen-elemen yang ada dalam film, telah menjadi hal yang lumrah dalam film-film Hollywood. Hal tersebut terjadi karena mayoritas orang-orang penting dibalik pembuatan film adalah laki-laki. Lebih jauh lagi, saat ini film adalah salah satu jenis media yang paling berpengaruh. Oleh karena itu, makalah ini mencoba untuk menganalisis penggambaran Male Gaze dalam The Wolf of Wall Street, sebuah film oleh Martin Scorsese yang dirilis pada tahun 2013, melalui pengansingan terhadap karakter-karakter wanitanya. Makalah ini menggunakan definisi Male Gaze dari Laura Mulvey sebagai landasan teori dalam menganalisis scene, karakter, monolog, dan dialog dalam film tersebut.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa The Wolf of Wall Street sangatlah dipengaruhi oleh Male Gaze karena karakter-karakter perempuan yang ada dalam film ini hanya berperan sebagai bawahan dari karakter laki-laki.
ABSTRACTPerspective is one of the most important elements of film. The Male Gaze, which is male perspective or point of view towards film?s elements, has become a common thing in Hollywood movie. It happens because film makers are disproportionately male. Furthermore, today film is one of the most influential forms of media. For this reason, this research attempts to analyze the depiction of the Male Gaze in The Wolf of Wall Street, a 2013 film by Martin Scorsese, trough the relegation of its female characters. This research is using Laura Mulvey?s definition of the Male Gaze as a theoretical framework in examining the scenes, characters, monologues, and dialogues of the film.The result of the research concludes that The Wolf of Wall Street is heavily influenced by the Male Gaze since the female characters role are diminished and they only serve as subordinate for the male characters."
2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Parulian, Tigor
"
ABSTRAKPerspektif merupakan salah satu elemen terpenting dalam sebuah film The Male Gaze yang merupakan sudut pandang atau perspektif laki laki terhadap elemen elemen yang ada dalam film telah menjadi hal yang lumrah dalam film film Hollywood Hal tersebut terjadi karena mayoritas orang orang penting dibalik pembuatan film adalah laki laki Lebih jauh lagi saat ini film adalah salah satu jenis media yang paling berpengaruh Oleh karena itu makalah ini mencoba untuk menganalisis penggambaran Male Gaze dalam The Wolf of Wall Street sebuah film oleh Martin Scorsese yang dirilis pada tahun 2013 melalui pengansingan terhadap karakter karakter wanitanya Makalah ini menggunakan definisi Male Gaze dari Laura Mulvey sebagai landasan teori dalam menganalisis scene karakter monolog dan dialog dalam film tersebut.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa The Wolf of Wall Street sangatlah dipengaruhi oleh Male Gaze karena karakter karakter perempuan yang ada dalam film ini hanya berperan sebagai bawahan dari karakter laki laki.
ABSTRACTPerspective is one of the most important elements of film The Male Gaze which is male perspective or point of view towards film rsquo s elements has become a common thing in Hollywood movie It happens because film makers are disproportionately male Furthermore today film is one of the most influential forms of media For this reason this research attempts to analyze the depiction of the Male Gaze in The Wolf of Wall Street a 2013 film by Martin Scorsese trough the relegation of its female characters This research is using Laura Mulvey rsquo s definition of the Male Gaze as a theoretical framework in examining the scenes characters monologues and dialogues of the filmThe result of the research concludes that The Wolf of Wall Street is heavily influenced by the Male Gaze since the female characters role are diminished and they only serve as subordinate for the male characters."
2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Yudistira Kurnia Ramadanu
"
ABSTRAKMemoirs of a Geisha 2005 adalah sebuah film drama romansa yang bercerita tentang kehidupan seorang gadis kecil yang tumbuh menjadi seorang geisha yang terkenal bernama Sayuri. Film ini menggambarkan perjuangan Sayuri dalam menjadi seorang geisha sejak pertama kali ia dijual ke okiya, sebutan untuk rumah geisha, sampai ia menjadi geisha yang paling terkenal. Film ini dapat dijadikan sumber analisis untuk mempelajari dikotomi dari geisha yang baik dan buruk dilihat melalui elemen visual dan naratif karakter-karakter dalam film. Khususnya, penelitian ini menganalisis beberapa bukti tekstual yang merepresentasikan dikotomi dari geisha yang baik dan buruk dengan menggunakan teori virgin/whore dichotomy oleh Bay-Cheng 2015 . Dalam menganalisis data, bukti-bukti tekstual tersebut kemnudian dibedakan menjadi dua kategori; penampilan fisik dan interaksi antarkarakter dalam film. Kategori-kategori tersebut kemudian digabungkan untuk menekankan dikotomi dari geisha yang baik dan buruk sepanjang film ini. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa dikotomi dari geisha yang baik dan buruk dari film Memoirs of a Geisha 2005 ditunjukkan dengan penampilan fisik dan karakteristik dari para karakter dari film ini.
ABSTRACTMemoirs of a Geisha 2005 is a romance drama film about the life of a little girl who became a well-known geisha, Sayuri. This movie portrays Sayuri rsquo;s struggle in becoming a geisha since the first time she was sold to an okiya, a geisha house, until she became the most popular geisha. This movie can be used as a source of analysis to study the dichotomy of good and bad geisha by looking at the visual and narrative elements of the characters throughout the movie. In particular, the research analyzes several textual evidences representing the dichotomy of good and bad geisha by using Bay-Cheng rsquo;s theory of virgin/whore dichotomy. In analyzing the data, the textual evidences are divided into two categories; the physical appearances and the interaction of each characters in the movie. These categories are then combined to highlight the dichotomy of good and bad geisha throughout the movie. From the result of the analysis, it can be concluded that the dichotomy of good and bad geisha in the movie Memoirs of a geisha 2005 is pointed out by the physical appearance and the characteristic of the characters throughout the movie. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Sabrina Hotulinii Elizabeth
"Brave adalah film fantasi animasi tahun 2012 yang diproduksi oleh Pixar Animation Studios. Film ini menyajikan penggambaran yang bernuansa dan kompleks dari protagonis wanita feminis pertama, Merida, melampaui narasi tingkat permukaan dan menantang norma gender tradisional. Studi ini menganggap bahwa metode Merida menangani konfliknya dapat diterapkan dalam menggambarkan perubahan masyarakat dalam peran perempuan saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana Pixar merepresentasikan tokoh protagonis perempuan dengan nilai feminis melalui tanda-tanda dan simbolisme dalam film animasi Brave (2012). Kajian ini menggunakan pendekatan analisis semiotik, yang mengacu pada metodologi analisis film David Bordwell dan kerangka analisis semiotik Roland Barthes. Analisis ini berfokus pada adegan signifikan, pengembangan karakter, dialog, dan citra visual untuk mengungkap cara bernuansa feminisme dikomunikasikan melalui tanda-tanda dan simbolisme. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Brave (2012) memasukkan rangkaian tanda-tanda dan simbolisme yang memperlihatkan prinsip-prinsip feminis, antara lain rambut merah Merida yang merepresentasikan simbol penting atas otonomi dirinya, kekuatan dan independensi Merida dalam menantang konsep tradisional feminitas diilustrasikan dengan busur dan panah sebagai motif utamanya, dan dialog serta interaksi antar karakter menyoroti diskusi feminis dengan menguraikan nilai tekad diri sendiri dan penghapusan harapan patriarkal.
Brave is a 2012 animated fantasy film produced by Pixar Animation Studios. The film presents a nuanced and complex portrayal of the first feminist female protagonist, Merida, going beyond surface-level narratives and challenges traditional gender norms. The study suggests that the methods in which Merida deals with such conflict can be applicable in illustrating societal shifts in women's roles today. This study aims to examine how Pixar represents female protagonists with feminist values through signs and symbolism in the animated film Brave (2012). The study employs a semiotic analysis approach, drawing on David Bordwell's film analysis methodologies and Roland Barthes' semiotic analysis framework. The analysis focuses on key scenes, character development, dialogue, and visual motifs to uncover the nuanced ways in which feminism is communicated through signs and symbolism. The results of the study reveal that Brave (2012) incorporated an array of symbols and signs that highlight feminist principles, including Merida's red hair, which represents a strong symbol of her autonomy, Merida's strength and agency are illustrated with archery as the key motive, challenging traditional concepts of femininity, and the dialogue and interactions between characters highlight feminist discourse by outlining the value of self-determination and the eradication of patriarchal expectations."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Salsabila Faidania
"Closer (2004) menunjukkan betapa mudahnya orang modern bertemu dengan orang asing, baik secara online maupun secara langsung. Terlepas dari kemudahan yang dimiliki orang modern, kemungkinan tergoda oleh orang asing juga besar. Untuk dapat melihat korelasi antara orang asing dan godaan, tulisan ini menganalisis unsur-unsur film Closer (2004) tentang bagaimana mereka menggambarkan tema godaan dan mengkaji bagaimana keempat karakter dalam film tersebut merepresentasikan perjuangan manusia modern dalam mencari cinta melalui orang asing. Dengan menggunakan analisis struktural dan model aktan oleh Greimas, penulis menyimpulkan bahwa semua tokoh utama memiliki godaan yang ditempatkan di sisi lawan aktan. Berdasarkan diagram, karakter utama termotivasi untuk membuat hidup mereka lebih baik. Tidak ada yang bermaksud menyakiti orang lain sejak awal. Namun, tergoda oleh orang asing membuat mereka berbohong dan mengkhianati pasangannya. Oleh karena itu, kebenaran menjadi penghancur koneksi mereka ketika terungkap. Terjatuh dalam godaan membuat karakter semakin jauh dari objeknya, yaitu cinta. Seperti yang dikatakan Alice, satu-satunya cara untuk keluar dari godaan adalah dengan memiliki 'deep inner strength'.
Closer (2004) shows how easy it is for modern people to meet strangers, whether it is online or in person. Despite the convenience that modern people have, the probability of being tempted by strangers is also big. To be able to see the correlation between strangers and temptation, this paper analyzes the elements of the film Closer (2004) on how they portray the theme of temptation and examines how the four characters in the film represent modern people's struggles in seeking love through strangers. Using structural analysis and the actantial model by Greimas, the writer concludes that all of the main characters have temptations placed on the opponent’s side of the actant. Based on the diagrams, the main characters are motivated to make their lives better. No one intended to hurt the other person in the first place. However, being tempted by strangers made them lie and betray their partners. Therefore, truth becomes the destroyer of their connections when it comes out. Falling into temptations has made the characters further away from their object, which is love. Just like what Alice said, the only way to be out of temptation is by having ‘deep inner strength’."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Shebby Kharisma Dewi
"Film merupakan salah satu temuan budaya inovatif yang merupakan bagian dari seni. Film dapat menggarap rangkaian subjek yang hampir tak terbatas. Éléonore Pourriat mengembangkan film dengan ide fiksi menggunakan inversi dalam dunia paralel melalui film Je ne suis pas un homme facile. Adaptasi dari film pendek Majorité Opprimée membawa tema di mana tokoh Damien, seorang seksis, membanggakan superioritasnya dengan menunjukkan seksismenya kepada kaum perempuan. Keberadaan Damien di dunia inversi menunjukkan adanya pergeseran karakter terhadap stigma gender yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa gender tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki dengan karakteristik maskulinitasnya, namun karakteristik ini dapat diperankan baik oleh tokoh laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang didukung menggunakan analisis film dengan struktur naratif dan sinematografi Boggs dan Petrie, teori gender oleh Giddens untuk menganalisis konsep identifikasi gender, dan teori stereotip gender oleh Hentschel, Heilman dan Peus untuk menganalisis konsep asosiasi maskulinitas dalam film. Hasil analisis menunjukan bahwa Pourriat membawa dunia inversi untuk menimbulkan kesadaran bahwa terdapat suatu keganjilan dalam sistem masyarakat yang meninggikan posisi kaum laki-laki sebagai kaum dominan, serta menunjukkan bahwa maskulinitas tidak bergantung pada jenis kelamin seseorang, tetapi peran sosial dalam masyarakat.
Film is an innovative culture that falls under the umbrella of art. Films work on a collection of almost infinite subjects. Éléonore Pourriat develops the film Je ne suis pas un homme facile with a fictional idea using inversion as a parallel world. The adaptation of the short film Majorité Opprimée brings up a theme in which Damien, a sexist, boasts his superiority by exhibiting sexism toward women. Damien’s existence in an inverted world shows a character shift regarding the stigma of gender that exists in society. This research aims to show that gender is not only dominated by men with their masculine characteristics, as these characteristics can be embodied by both male and female characters. This research uses a qualitative method supported by film analysis using Boggs and Petrie’s narrative and cinematographic structures, Giddens’ gender theory to analyse the concept of gender identification, and gender stereotype theory by Hentschel, Heilman, and Peus to analyse the concept of the association of masculinity in film. The analysis shows that the inverted world is used to raise awareness of an oddity in the system of society that uplifts the position of men as the dominating group. The analysis also shows that masculinity does not depend on one’s sex, but rather on the roles within society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).
The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Nuur Salsabilaa
"Persimpangan antara seni dan aktivisme mencapai puncaknya dalam Renaissance: A Film by Beyoncé (2023), di mana narasi budaya dirayakan sekaligus dikritik. Artikel ini meneliti bagaimana Beyoncé menciptakan ruang aman yang merepresentasikan suara-suara yang termarginalisasi dan melawan penindasan sistematis terhadap orang kulit hitam dalam budaya populer Amerika melalui konsep Black placemaking dan Performative Symbolic Resistance (PSR). Studi kualitatif ini menganalisis film tersebut secara tekstual dengan mengevaluasi elemen-elemen sinematik dan majas sastra untuk mengungkap dinamika identitas kulit hitam, perlawanan, praktik budaya, serta pentingnya mengatasi ketidakadilan sistemik yang berlangsung di Amerika. Temuan utama dari analisis ini meliputi lima peran penting yang dimainkan oleh film ini dalam aktivisme komunitas kulit hitam: (1) menciptakan ruang aman bagi komunitas termarginalisasi, (2) merayakan budaya Black Ballroom dan musik House, (3) memberikan penghormatan kepada para pionir budaya kulit hitam, (4) memperkuat rasa bangga akan identitas kulit hitam, dan (5) mengungkap ketidakadilan sistemik yang dihadapi perempuan kulit hitam. Studi ini menyoroti urgensi untuk menciptakan lanskap budaya yang inklusif dan mendorong solidaritas komunitas serta keadilan restoratif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karya Beyoncé tidak hanya memperlihatkan ketangguhan komunitas kulit hitam tetapi juga menetapkan preseden bagi produksi artistik di masa depan dalam mempromosikan inklusi dan keadilan sosial.
The intersection between art and activism reaches new heights in Renaissance: A Film by Beyoncé (2023), in which cultural narratives are celebrated and critiqued. This article reveals how Beyoncé creates safe spaces to represent marginalized voices and resist the systematic oppression of Black people in American popular culture through Black placemaking and Performative Symbolic Resistance (PSR). This qualitative study examines the film by textually analyzing the cinematic and literary devices to uncover the dynamics of Black identity, resistance, and cultural practices, deciphering meanings and emphasizing the importance of addressing systemic injustices. This analysis identifies five key findings in the form of crucial roles that the film plays in Black communities’ activism: (1) creating safe spaces for marginalized communities, (2) celebrating Black Ballroom culture and House music, (3) paying homage to Black cultural pioneers, (4) proudly embracing Black identity, and (5) revealing systemic inequities faced by Black women. This study highlights the need for an inclusive cultural landscape, community solidarity, and restorative justice. The implications suggest that her work evinces the resilience of Black communities and sets a precedent for future artistic efforts to promote inclusion and social justice."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).
The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library