Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Sigit Santoso
"Fenomena 'penghakiman massal', sebagai tindakan pengeroyokan yang dilakukan sebagian warga masyarakat terhadap penjahat mulai marak sejak awal tahun 1999-an. Fenomena itu dengan sendirinya mengundang banyak perhatian dan memunculkan berbagai opini dari berbagai pihak yang berkepentingan. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T7630
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Siswadi
"Tesis ini adalah tentang tindakan penyidik dalam proses penyidikan tindakan pidana pencurian di. Polsek Metro Kebayoran Baru. Perhatian utama dalam kajian ini adalah pada tindakan-tindakan penyidik dan penyidik pembantu dalam melakukan proses penyidikan tindakan pidana pencurian yang cenderung menyalahgunakan wewenang yang memang diberikan begitu besar kepada Polri, bahkan menjurus pada tindakan korupsi. Tujuan kajian dalam tesis ini berupaya mencermati dan menunjukkan tindakan anggota penyidik/penyidik pembantu pada unit reserse kriminal.
Masalah penelitian dalam tesis ini adalah; tindakan-tindakan anggota penyidik/penyidik pembantu dalam proses penyidikan tindak pidana pencurian sehingga timbul penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelesaian perkara senantiasa dipengaruhi kewenangan yang sedemikian besar diperoleh oleh Polri.
Dalam mengkaji tindakan penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana pencurian di Polsek Kebayoran Baru digunakan pendekatan kualitatif dengan metodologi etnografi yang dilakukan dengan cara pengamatan terlibat, pengamatan dan wawancara dengan pedoman.
Kajian dari hasil penelitian ini ditemukan adanya tindakan-tindakan penyidik/penyidik pembantu yang menyalahgunakan wewenangnya, sebagai akibat lemahnya sistem kontrol dan kendali yang antara lain ditunjukkan dengan adanya tindakan-tindakan korupsi oleh penyidik dan penyidik pembantu dengan pihak tersangka, pihak kejaksaan atau pihak pengadilan. Disamping itu juga ditemukan ada tindakan penyuapan yang dilakukan oleh pihak tersangka kepada penyidik atau penyidik pembantu untuk menangguhkan penahanan atau menghentikan penyidikan.
Tindakan penyidik/penyidik pembantu yang cenderung korupsi tersebut diakibatkan lemahnya sistem kontrol dan kendali, kurangnya anggaran untuk operasional, adanya tuntutan atau kewajiban yang harus dipenuhi baik untuk pribadi anggota atau kepentingan dalam unit, kemudian juga kurangnya jaminan kesejahteraan dari pemerintah terhadap aparat penegak hukum, khususnya Polri."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Rahman S.
"Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang cukup besar diluar minyak dan gas bumi. Reformasi-reformasi sistem perpajakan terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya adalah Sistem self assesment yang merupakan satu reformasi sistem perpajakan, dengan pilar penyangganya adalah penegakan hukum (Law-enforcement). Salah satu upaya penegakan hukum tersebut adalah pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempunyai peranan penting dalam upaya penegakan hukum. Oleh karena pentingnya kebijakan-kebijakan tersebut membuat penulis mempunyai ide untuk melakukan penelitian dengan pokok permasalahan: " Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah dalam bidang pemeriksaan pajak pada Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak ?".
Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sejumlah kebijakan dalam bidang pemeriksaan pajak guna mengetahui sejauh mana implementasinya terhadap kegiatan pemeriksaan yang dilakukan pada Kantor Pemeriksaan dan penyidikan Pajak. Beberapa kebijakan yang dianalisis tersebut antara lain:
Surat Keputusan Menteri Keuangan RI, Nomor : KEP-625/KMK.04/1994 tanggal 17 Desember 1994, tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak, Nomor : KEP-01/PJ.7/1990 tanggal 15 Nopember 1990, tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyak terdapat kebijakan pemerintah dalam bida.ng pemeriksaan pajak yang tumpang tindih bahkan bertentangan satu sama lain. Saran yang diusulkan penulis dalam tesis ini adalah agar kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pemeriksaan pajak dapat diimplementasikan dengan baik, perlu dilakukan penataan kembali kebijakan-kebijakan tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan pada Kantor Pemeriksaan dan penyidikan Pajak, Surabaya Tiga, sejak bulan Mei 1997 s.d Desember 1997, melalui metode deskriptif analistis."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ciceu Cahyati Dwimeilawati
"Pasal 6 UULH menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 5 ayat (1) UULH dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang atau badan hukum. Dengan demikian bank sebagai salah satu bentuk badan hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan kata lain Bank pun harus menegakkan hukum lingkungan. Namun, pada kenyataannya dunia perbankan sampai saat ini masih belum sepenuhnya pada kepedulian yang memadai tentang aspek lingkungan. Antara lain, masih banyak bank yang belum memasukkan pertimbangan lingkungan dalam pemberian kreditnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana peran dan tanggung jawab Bank dalam penegakan hukum lingkungan, bagaimana Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat (Bank Jabar) Cabang Tangerang menegakkan hukum lingkungan dan kendala apa Baja yang dihadapi Bank Pembangunan Daerah Jawab Barat (Bank Jabar) Cabang Tangerang dalam rangka menegakkan hukum lingkungan. Adapun penelitian ini bersifat eksplanatoris dengan melakukan pendekatan normatif empiris. Tahap penelitian yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Selanjutnya, data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulan bahwa: 1. Peran dan tanggung jawab perbankan dalam penegakan hukum lingkungan sangat strategis karena melalul merekalah para pengusaha memperoleh dana yang dibutuhkan untuk menjalankan usahanya. 2. Di dalam praktek Bank Jabar Cabang Tangerang belum memperhatikan aspek lingkungan dalam menjalankan usahanya sebagaimana diterapkan oleh UULH sebagai Undangundang payung (umbrella act). Dengan demikian Bank Jabar Cabang Tangerang belum menegakkan hukum lingkungan. 3. Di samping itu Bank Jabar Cabang Tangerang masih menghadapi kendala dalam menegakkan hukum lingkungan, antara lain, karena kurangnya pengetahuan tentang tata lingkungan atau hukum lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan usaha perbankan.
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan perbankan Indonesia untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam menjalankan usahanya, khusus Bank Indonesia yang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam rangka mencapai pemangunan yang berkelanjutan, misalnya dengan cara membuat peraturan atau pedoman/acuan yang jelas dan lengkap yang dapat dijadikan acuan perbankan dalam rangka penegakan hukum lingkungan. 2. Agar Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat (Bank Jabar) Cabang Tangerang memperhatikan aspek lingkungan dalam menjalankan usahanya, seperti menerapkan persyaratan AMDAL bagi para ppemohon kreditnya. 3. Di samping itu, Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat (Bank Jabar) agar lebih meningkatkan pengetahuan mengenai masalah lingkungan, khususnya aspek lingkungan yang harus diterapkan bank dalam menjalankan usahanya, misalnya dengan mengikuti kursus, seminar, penyuluhan, dan lain-lain."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T1381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andries Hermanto
"Seiring dengan perubahan paradigma Polri untuk lebih dekat dan mengabdi kepada kepentingan masyarakat, maka Polri melakukan reformasi baik di bidang struktural maupun instrumental serta kultural. Berdasarkan pasal 13, Undang-Undang No.2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri mempunyai tugas pokok: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; (b) menegakkan hukum; dan (c) melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Tugas pokok Polri tersebut dijabarkan menjadi tugas-tugas kepolisian yang tercantum dalam pasal 14 pada Undang-Undang yang sama.
Secara universal, Polisi mempunyai dua tugas utama yaitu: memelihara keamanan ketertiban masyarakat, dan menegakkan hukum. Selain itu Polisi dalam melaksanakan tugasnya harus memiliki sifat yang berorientasi pada "melayani dan melindungi" masyarakat. Sehingga tugas pokok Polri untuk "melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat" sebagaimana tercantum dalam butir (c) pasal 13 Undang-Undang No.2/2002, sebenarnya merupakan roh dan jiwa serta karakter Polisi yang harus menjadi budaya dalam setiap pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri.
Tugas pokok dan tugas-tugas Polri tersebut dilaksanakan oleh Polisi-Polisi yang berada mulai pada tingkat Mabes Polri, Polda, Polwil/Polwiltabes/Poltabes, Polres, Polsek, hingga Pos Polisi. Pos Polisi merupakan kesatuan kepolisian terkecil kepanjangan dari Polsek yang mempunyai peranan sangat penting dan terdepan dalam melaksanakan peran Polri, khususnya dalam rangka memelihara Kamtibmas di wilayah kerjanya.
Masalah penelitian yang penulis kemukakan adalah tentang pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri pada Pos Polisi, studi kasus di Polsek Metro Gambir-Polres Metro Jakarta Pusat-Polda Metropolitan Jakarta Raya. Fokus penelitian adalah tentang kegiatan polisi yang bertugas pada Pos-pos Polisi di wilayah Polsek Metro Gambir dalam melaksanakan tugas pokok dan tugas-tugas Polri di wilayah kerjan.
Ruang lingkup dalam penelitian ini adatah mencakup Pos Polisi dilihat dari perspektif organisasi dan manajemen yang meliputi tentang sumberdaya manusia, metode kerja, sarana dan prasarana, anggaran, dan interaksi sosiai antara Polisi dengan masyarakat, serta hubungan kerja dengan Babinkamtibmas.
Tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah untuk mengetahui sampai sejauhmana pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri pada Pos Polisi di wilayah Polsek Metro Gambir. Di samping itu, studi ini juga bertujuan untuk menggali dan menemukan segala bentuk kekurangan yang selanjutnya mampu memberikan masukan guna memperbaiki serta memberdayakan Pos Polisi agar lebih efektif dan efesien dalam melaksanakan tugasnya.
Mengacu pada permasalahan tersebut di atas, maka dalam hal ini peneliti menentukan hipotesa kerja, yaitu: "Pelaksanaan tugas pokok dan tugas-tugas Polri pada Pos Polisi belum dapat dilaksanakan secara optimal sebagaimana diharapkan masyarakat. Hal ini dikarenakan oleh sangat terbatasnya sumberdaya yang tersedia sebagai unsur penting dalam organisasi guna mendukung terlaksananya operasionalisasi Pos Polisi. Selain itu, buruknya manajemen organisasi juga menjadi faktor penyebab kurang berdayanya Pos Polisi dalam menjalankan fungsi kepolisian yang diembannya."
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Metode utama dalam penelitian kualitatif adalah metode etnografi, yaitu suatu metode penelitian dengan dasar untuk mendapatkan pemahaman (verstehen), dengan cara mengamati gejala-gejala yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari dari obyek yang diteliti. Peneliti mendapatkan data primer dengan cara melakukan pengamatan terlibat dan melakukan wawancara terhadap sasaran penelitian. Selanjutnya, data maupun bahan-bahan keterangan yang sudah dikumpulkan dalam penelitian ini, diproses menggunakan konsep Trianggulasi, yaitu dengan cara memadukan, mengolah, serta menganalisa antara teori, data, dan fakta yang ada.
Berdasarkan Surat Keputusan Kapolda Metropolitan Jakarta Raya, No. Pol.: Skep/521/XII/2004 tanggal 1 Desember 2004 tentang Petunjuk Administrasi Pengembangan Pos Polisi di Polsek-polsek Jajaran Polda Metropolitan Jakarta Raya dan Jabaran Tugas Pos Polisi, hasil penelitian mengatakan bahwa anggota Polri yang bertugas di Pos Polisi masih belum menunjukkan kinerja seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Mereka masih bekerja dengan prinsip yang minimalis. Sarana dan prasarana yang tersedia di Pospol masih sangat terbatas, bahkan untuk alat tulis dan kantor saja, Polisi yang bertugas di sana harus mengusahakannya sendiri. Tidak ada anggaran khusus dari Polri untuk biaya operasionalisasi Pospol, sehingga petugas di Pospol tidak dapat melaksanakan tugasnya secara optimal. Rendahnya tingkat kesejahteraan anggota Pospol mengakibatkan mereka masih mencari penghasilan tambahan dan mengharapkan imbalan dari masyarakat yang dilayaninya.
Pospol mengemban tugas-tugas Polisi secara umum atau menjalankan fungsi Sabhara. Sejak adanya program pemberdayaan Pospol di jajaran Polda Metropolitan Jakarta Raya, Pospol juga dibebani tugas untuk melakukan kunjungan atau sambang ke masyarakat untuk menjalin hubungan kemitraan dengan warga masyarakat. Jabatan Kapospol yang semula dijabat oleh Polisi berpangkat Bintara Tinggi berubah dijabat oleh Perwira Pertama. Namun demikian, karena keterbatasan jumlah Perwira, sampai sekarang masih ada Kapospol yang dijabat oleh Bintara Tinggi. Jumlah anggota Pospol yang semula hanya tiga orang, sekarang bertambah menjadi rata-rata sembilan personil. Berkaitan dengan program ini, kedudukan Babinkamtibmas diletakkan dibawah koordinasi Kapospol. Sehingga tugas-tugas pembinaan masyarakat dilakukan oleh Pospol dan Babinkamtibmas. Masalahnya, wilayah kerja Pospol di wilayah Polsek Metro Gambir tidak ada yang sama dengan wilayah kerja Kelurahan, sedangkan Babinkamtibmas mempunyai wilayah kerja yang identik dengan wilayah kerja Kelurahan.
Masih kurang memadainya rasio anggota Polri terhadap jumlah penduduk di Indonesia, sangat mempengaruhi kualitas pelayanan kepolisian kepada masyarakat. Dalam rangka mengatasi kendala keterbatasan kuantitas anggota Polri tersebut, strategi penerapan program kemitraan antara Polisi dengan masyarakat merupakan solusi yang terbaik. Berkaitan dengan itu, kegiatan pemolisian komuniti sangat perlu ditingkatkan, yaitu melalui pemberdayaan Pospol dan Babinkamtibmas yang merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan tugas-tugas pembinaan kamtibmas.
Untuk meningkatkan kinerja Pospol dan Babinkamtibmas, perlu dilakukan perubahan terhadap Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002. Yaitu, lebih terperinci dalam menjelaskan tentang organisasi dan tugas pokok Pospol, termasuk penetapan wilayah Pospol yang sama dengan Kelurahan dan penyediaan anggaran operasionalnya. Begitu juga mengenai perlunya diadakan kembali jabatan Kanit Binmas di Polsek yang melakukan tugas pengendalian terhadap Babinkamtibmas. Selain itu, perlu pengaturan yang jelas tentang hubungan tata Cara kerja antara Pospol dengan Babinkamtibmas dan sebaliknya, dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan kamtibmas. Sehingga harus ada perumusan kembali terhadap tugas pokok Babinkamtibmas yang tercantum dalam Petunjuk Pelaksanaan No. Pol. Juklak/10/III/1992 dan Buku Petunjuk Lapangan No. Pol. Bujuklap/17/VII/1997 tentang Bintara Polsek Pembina Kamtibmas di Desa/Kelurahan. Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas kerja Pospol dan Babinkamtibmas, sebaiknya minimal terdapat 12 (dua belas) personil yang bertugas pada Pospol dan terdapat 2 (dua) Babinkamtibmas di setiap Kelurahan.

Along with the change of the Indonesian National Police (INP) paradigm in order to be closer and serve the interests of its society, therefore INP has conducted some reforms in its structure and instrument as well as its culture. According to Article 13 of Law No. 2, 2002 regarding the Indonesian National Police, there are three main tasks of INP as follows: (a) maintaining security and public order; (b) enforcing the laws: and (c) protecting and serving the society. Such main tasks are spelled out into the tasks of police and stated in Article 14 of the same law.
Universally, INP has two main tasks: to maintain security and public order and to enforce the laws. Besides, in conducting its tasks INP is oriented to "protecting and serving people". Hence, the main tasks of INP to protect and to serve people as stated in subtitle (c) of Article 13 of Law No. 2, 2002 above, are actually the spirit and the soul as well as the character of the police that must become the culture in every implementation of the main tasks of INP.
The INP Headquarters, Police Regions, Police Districts/Police Cities, Police Resorts, Police Sectors and Police Posts implement such main tasks of INP. Police Posts is the smallest unit of INP in Police Sectors. However, they have the most important roles in performing the roles of INP, especially in maintaining the security and public order in each region.
The problem of the research is about the implementation of the main tasks of INP in Police Posts. This is a case study conducted in Gambir Metropolitan Police Sector-Central Jakarta Metropolitan Police Resort-Jakarta Metropolitan Police Region. The focus of the research is the activities of police personnel who are posted in police posts belonging to Gambir Metropolitan Police Sector. The scope of the research is the organizational perspective and management comprising the men, structures and infrastructures (material), budget (money), working method, and social interactions between the police and the society as well as the working relationship with Babinkamtibmas (a non-commissioned officer who has the duty to guide people in maintaining the security and public order). The aims of the research are to find out how far is the implementation of the main tasks and operational tasks of INP in Police Posts belonging to Gambir Metropolitan Police Sector. Besides, the study aims at finding out all disadvantages of such activities in order to give input that can be used in improving and empowering the Police Posts in conducting their tasks more effectively and efficiently.
Referring to the problem above, the writer decides that the working hypothesis is "The implementation of the main tasks and operational tasks of 1NP in Police Posts has been optimally conducted as expected by the society due to the limited resources available as the important element in organization in order to support the implementation of the operation of Police Posts. Besides, the bad management of the organization is one of the causes of the weaknesses of Police Posts in conducting the police functions."
The researcher employs the qualitative method with ethnographic approach. The main method in qualitative research is the ethnographic method. It is a research method that can get comprehension (verstehen), by observing the phenomenon in daily life from the object researched. The researcher obtains the primary data by conducting involved observation or passive participation and interview with informants. Then, such data and other explanation are collected and processed using Triangle Concept, that is, by combining, processing and analyzing theories, data and the available facts.
According to the Decree of the Chief of Jakarta Metropolitan Police, No. Pol.: Skep/521/XII/2004, dated December 1st, 2004 regarding the Guidance of Administration of Police Post Development among Police Sectors in Jakarta Metropolitan Police and Job Description of Police Post and based on the result of the research, the researcher finds out that the police personnel posted in Police Posts have not showed the expected performance by the society. They still work with minimal principle. The structure and infrastructure in that Police Posts are still limited. They have to even look for the utensils by themselves. There is no special budget for police operations so that the police personnel in that Police Posts cannot do their tasks optimally. Besides, they still look for side income and hope something from the people they serve and protect.
Police Posts carry out general police duties or Sabhara functions. Since the program of police Posts empowerment has been conducted in Jakarta Metropolitan Police Region, Police Posts also carry out the duties to visit the community in order to work out a closer relationship with them. A high non-commissioned officer firstly occupies the position of the chief of Police Posts, but it is now occupied by a first police officer. However, due to the limitation of the number of police officers, until now some of the positions are still occupied by high non-commissioned officers, The number of personnel of a Police Post used to be three police officers. Now, every Police Posts has nine police officers. Related to this program, the position of Babinkamtibmas is placed under the coordination of the chief of a Police Post. This causes the tasks of guiding people are done by Police Posts and Babinkamtibmas. A Police Posts has some problems in doing the tasks because the working area of a Police Posts is not the same with the working are of a political district (Kelurahan), meanwhile the area of a Babinkamtibmas is identical with the working area of the political district.
The insufficient ratio of police personnel to the number of Indonesian people they serve absolutely influences the quality of police service to the people. In order to overcome the obstacles of the limitation of such personnel, the strategy of the application of partnership program between police and community is the best solution. Regarding the case, the activity of policing community needs to be improved, through the empowerment of Police Posts and Babinkamtibmas as the first line institutions in implementing the duties of guiding the security and public order.
In improving the performance of Police Posts and Babinkamtibmas, the writer recommend that the decree of INP Chief, No. Pol.: Kep 154/X/2002 dated 17 October 2002 regarding INP Organization and its Job Description is necessary to be reviewed and revised. The decree should give further explanation of the organization and main duties of a Police Post, including the establishment that Police Post working area is identical with a political district working area as well as its operational budget. The writer also recommends reactivating the position of Chief of Community Police Unit in a Police Sector whose duty to control Babinkamtibmas. In addition, it needs to have a clear regulation on the working relationship between Police Posts and Babinkamtibmas or vice versa in conducting the main duties of guiding security and public order. Therefore, it is necessary to reform the main duties of Babinkamtibmas stated in the Guidance of Implementation No. Pol.: Juklak/10/III/1992 and the Book of Guidance of Implementation on the Field, No. Pol.: Bujuklap/17/VII/1997, regarding Babinkamtibmas in Villages or Political Districts. Moreover, in improving the effectiveness of duty of Police Post and Babinkamtibmas, the writer suggests that the number of a Police Post personnel is at least 12 (twelve) officers and the number of Babinkamtibmas for each political district is 2 (two) personnel or officers.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. M. Resad
"ABSTRAK
Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda sampai dengan saat sekarang ini Hukum Adat telah dikenal dan berlaku di kalangan orang-orang Indonesia asli. Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis terus berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Soepomo, S.H., menyatakan bahwa "Hukum Adat adalah suatu Hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan filtratnya sendiri, Hukum Adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri". Hukum Adat yang dimaksudkan di atas tidak saja Hukum Perdata Adat, tetapi juga Hukum Pidana Adat. Hukum Pidana Adat ini sebagai hukum yang tidak tertulis juga terus berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat tempat hukum itu berlaku. Berkembang di sini berarti tidak saja bertambahnya aturan-aturan hukum yang dibutuhkan untuk mengatur kehidupan masyarakat, tetapi juga berarti ada aturan-aturan yang ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat kita sendiri. Hukum Pidana Adat ini sudah berlaku jauh sebelum penjajahan Belanda, meskipun penerapannya tidak dilakukan oleh badan pengadilan seperti yang kita kenal kemudian. Penerapan Hukum Pidana Adat dilakukan oleh kepala suku kampung, desa . Di Lombok Penerapan Hukum Pidana Adat ini dilaksanakan oleh suatu lembaga yang disebut "Kramadesa", yang terdiri dari Kepala Desa dan Pemuka-pemuka adat, yang bertugas menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut hukum adat.
Di dalam Hukum Adat kita tidak mengenal pemisahan antara perdata adat dan Pidana adat atau pemisahan antara perkara sipil dan kriminal. Tetapi dengan mengambil perbandingan antara Hukum Perdata Barat dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)maka pemisahan antara pidana adat dan perdata adat dapat menjadi jelas.
Dikatakan menjadi jelas karena di dalam KUHP banyak kita lihat pasal-pasal yang merupakan bandingan (equivalent) daripada Hukum Pidana Adat. Di samping yang ada bandingannya dengan KUHP juga ada aturan-aturan Hukum Pidana Adat yang tidak ada bandingannya dengan pasal-pasal KUHP, yang kadang-kadang bagi masyarakat setempat merupakan hal yang sangat tercela dan di ancam hukuman yang cukup berat oleh ketentuan Hukum Adat setempat.
"
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soerjono Soekanto
"Menurut hasil pengamatan, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengkaitkan proses pembangunan dengan pandangan-pandangan ataupun cita-cita yang optimistis sifatnya. Pandangan-pandangan atau cita-cita tersebut biasanya hendak diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencapai taraf kehidupan materiil dan spirituil yang lebih baik daripada keadaan yang telah atau pernah dicapai. Motivasi untuk membangun timbul antara lain karena para warga masyarakat beserta pemimpin-pemimpin negara-negara yang merdeka dan berdaulat penuh sesudah Perang Dunia ke II, cenderung untuk mempunyai keinginan-keinginan yang sangat kuat agar dapat mencapai tataf kehidupan yang sederajat dengan masyarakat-masyarakat dari negara-negara yang dikualifisir sebagai negara-negara industri yang kompleks dan modern. Akan tetapi usaha-usaha untuk mengadakan pembangunan tersebut tidaklah semudah yang diduga. Semula ada dugaan kuat bahwa pembangunan secara materiil-ekonomis sudah cukup, terutama apabila disertai dengan tersedianya modal, bahan-bahan mentah, alat-alat produksi, tenaga-tenaga terampil dan terlatih, maupun pelbagai kecakapan untuk mengelola suatu organisasi kedalam proses yang sinkron. Salah satu kelemahan daripada ideologi-ideologi pembangunan kontemporer adalah bahwa pendukung-pendukungnya mempunyai gambaran yang jelas mengenai pembangunan materiil-ekonomis, akan tetapi belum ada suatu arah yang nyata mengenai pembangunan spirituil-sosial. Pembangunan materiil-ekonomis di negara-negara Barat antara lain merupakan suatu hasil perkembangan dari proses diferensiasi strukturil-fungsionil dan peningkatan adaptif daripada bidang-bidang kehidupan secara evolusioner, seperti misalnya bidang politik, administrasi, agama, hukum, dan seterusnya. Keinginan dan motivasi yang kuat untuk meniru hasil proses evolusi yang mempunyai taraf ekonomis dan teknologi tinggi, dapat mengakibatkan terjadinya keragu-raguan untuk mengikuti tahap-tahap yang mantap kearah itu (R. Kintner and H. Sicherman 1975: 91). Disatu pihak hal itu kemungkinan besar disebabkan adanya kekhawatiran akan kehilangan identitas, dan di lain pihak ada pula kecemasan bahwa nilai-nilai perikemanusiaan harus dikorbankan. Maka, ada pemimpin-pemimpin negara-negara yang cenderung untuk mempertahankan identitas tradisionil didalam kerangka modernisasi ekonomis, seperti yang dilakukan oleh Nyerere di Tanzania. Ada pula yang sangat cemas akan pengaruh individualisme Barat sehingga berusaha untuk mengubah manusia menjadi makhluk yang tidak mencari kemajuan dan perkembangan, akan tetapi menempatkannya pada kerangka tugas dan kewajiban sebagaimana halnya yang terjadi di Kuba (A.M.I. Hoogvelt 1976: 150, 151).
Nyatalah dari konstatasi-konstatasi diatas bahwa pembangunan secara materiil-ekonomis belaka tidaklah cukup apabila yang diinginkan dan dicita-citakan adalah suatu taraf kehidupan yang lebih baik, oleh sebab "taraf kehidupan" merupakan pengertian serta paham yang mengandung pelbagai segi dan hakekat. Secara sederhana maka didalam proses pembangunan terlebih dahulu perlu diidentifisir dengan seksama apa yang tidak ada atau belum ada, apa yang rusak atau salah, apa yang macet dan apa yang mundur ataupun telah mengalami kemerosotan. Menurut kerangka pemikiran dan tindakan yang sangat disimplifikasikan, maka hal-hal tersebut memerlukan pengadaan, pembetulan atau perbaikan, penambahan, pelancaran dan peningkatan secara proporsionil. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, maka pembangunan dapat merupakan proses yang menghambat atau bahkan mungkin menghentikan kelangsungan atau kehidupan unsur-unsur kemasyarakatan tertentu, oleh karena praktek kehidupan suatu masyarakat biasanya rumit dan penuh dengan liku-liku yang sulit diperhitungkan secara pasti dan akurat. Proses tersebut kemudian diikuti oleh kegiatan-kegiatan penyesuaian diri terhadap cara-cara kehidupan yang baru, hal mana tidak jarang merupakan usaha-usaha yang penuh dengan ketegangan, keresahan maupun penderitaan. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1977
D321
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Arnold
"Upaya hukum pengajuan keberatan merupakan hak dari setiap pelaku usaha yang tidak menerima Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat secara sederhana mengatur pengajuan keberatan bagi pelaku usaha yang tidak dapat menerima sanksi yang dijatuhkan oleh KPPU. Karenanya, pada tanggal 18 Juli 2005, Mahkamah Agung Republik Indonesia menetapkan sebuah peraturan yang sangat penting bagi perkembangan dan penegakan hukum persaingan di Indonesia. Peraturan tersebut adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU. Lahimya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2005 ini setidaknya dapat mengatasi ketidakjelasan mengenai tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap Putusan KPPU yang selama ini memang masih menimbulkan polemik dan ketidakseragaman dari setiap Pengadilan Negeri yang rrmenangani kasus keberatan terhadap putusan KPPU. Namun demikian, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 ini tidak seluruhnya dapat dikatakan sempuma dari segi substansi yang diaturnya, karena masih terdapat beberapa kelemahan, seperti: kurang komprehensifnya aturan-aturan hukum yang ada di dalamnya, perbedaan interpretasi antara Majelis Hakim Pengadilan Negeri dengan KPPU, dan kurangnya pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Negeri mengenai hukum persaingan usaha. Dari paparan di atas, dapat dilihat bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 masih memerlukan perbaikan lebih lanjut, karena ternyata terdapat beberapa permasalahan yang timbul akibat undang-undang tidak mengatur upaya hukum apa yang seharusnya ditempuh oleh pelaku usaha yang diperiksa oleh KPPU, dan bagaimana proses beracara untuk kasus persaingan usaha di Pengadilan Negeri."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arman Achdiat
"Salah satu tugas kepolisian yang dijadikan oleh sebagian warga masyarakat sebagai tolak ukur keberhasilan kepolisian pada saat ini adalah tugas polisi sebagai penegak hukum (law enforcement). Penegakan hukum sebagai salah satu tugas dari kepolisian dilakukan dilaksanakan oleh seluruh organisasi kepolisian, mulai dari tingkat Mabes Polri sampai dengan tingkat Polsek. Permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat, kadang-kadang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak memikirkan dampaknya. Kebijakan yang saya maksudkan disini adalah pernyataan yang disampaikan oleh seorang pimpinan pemerintahan yang dijadikan yurisprudensi oleh sebagian warga masyarakat.
Kampung Sawah Baru Kelurahan Tanjung Duren Selatan Kecamatan Grogol Pertamburan Jakarta Barat merupakan lahan tidur termasuk dalam wilayah Polsek Tanjung Duren. Penguasaan tanah di Kampung Sawah Baru oleh sekelompok warga masyarakat karena Iamanya lahan tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Sehingga sebagian warga masyarakat memanfaatkan untuk bercocok tanam dengan memanfaatkan lahan tidur untuk meningkatkan taraf hidupnya. Masalah baru muncul ketika pada tahun 2003 pemilik tanah yang sebenarnya meminta pengadilan untuk mengosongkan tanah yang menjadi hak miliknya.
Dari hasil penelitian yang saya lakukan, bahwa ada 4 (empat kelompok yang mengaku pemilik dari lahan tersebut, yang salah satunya adalah kelompok pemukim liar. Keempat kelompok tersebut dengan berbagai upaya berusaha untuk mendapatkan tanah tersebut. Penanganan Polsek Metro Tanjung Duren terhadap pihak-pihak yang berkonflik terdiri dari tiga tahap yaitu berupa tindakan preemtif, preventif dan represif. Preemtif berupa pengarahanpengarahan dari Polsek Metro Tanjung Duren yang berkaitan dengan penyelesaian konflik; preventif berupa patroli-patroli, penjagaan-penjagaan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya benturan fisik antara pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh aparat pemerintah balk dari kepolisian, kecamatan, pengadilan, pertanahan dan DPR, serta pihak-pihak Iainnya terkesan ada keberpihakan terhadap salah satu yang bersengketa. Menurut pandangan saya, hal ini terjadi disebabkan adanya keberpihakan dalam konflik tersebut, di mana munculnya permasalahan itu diakibatkan karena adanya ketidakseimbangan dalam penanganannya sehingga muncul rasa tidak puas bagi warga yang terkena gusuran."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T18438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khunaifi Alhumami
"Dalam struktur ketatanegaraan, Kejaksaan merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif (executif power) yang melaksanakan sistem peradilan pidana yang ada dalam ruang Iingkup kekuasaan kehakiman (judiciary power). Sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, Kejaksaan mengikuti politik penegakan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, Jaksa tidak boleh diintervensi oleh siapa pun ketika menangani suatu perkara, agar pelaksanaan penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Dalam dua periode, yaitu sebelum dan sesudah tahun 1959, terdapat perbedaan penting dilihat dari sisi pelaksanaan penegakan hukum seiring dengan perubahan status Jaksa Agung dan Struktur Organisasi Kejaksaan. Sebelum tahun 1959, Jaksa Agung disebut Jaksa Agung pada Mahkamah Agung dan secara administartif menjadi bawahan Menteri Kehakiman karena Kejaksaan berada dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Walaupun begitu Jaksa Agung punya kemandirian karena ia diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara sampai usia pensiun, sehingga dapat melaksanakan penegakan hukum dengan baik, bahkan terhadap Menteri Kehakiman sekalipun. Setelah tahun 1959, Presiden Soekarno manjadikan Jaksa Agung sebagai Menteri/Pembantu Presiden disusul dipisahkannya Kejaksaan dari Departemen Kehakiman menjadi lembaga yang mandiri. Kebijakan itu diikuti oleh para Presiden penggantinya dengan sedikit modifikasi yaitu sebagai pejabat setingkat menteri, namun tetap menjadi anggota kabinet/Pembantu Presiden. Kedua perubahan itu, justru membuat pelaksanaan penegakan hukum semakin merosot. Kejaksaan mudah disalahgunakan oleh penguasa untuk memukul lawan-lawan politiknya. Secara kelembagaan, Kejaksaan mandiri namun independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya menjadi pudar karena ia Pembantu Presiden yang dapat diberhentikan kapan saja oleh Presiden. Jaksa yang semula ada dalam korsa pegawai kehakiman (judicial service), berubah menjadi korsa pangreh praja (civil service), bahkan semi militery service. Otonomi individual Jaksa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum menjadi hilang.

In the constitucional structure, prosecution service represents the part of executive power which enforce the criminal justice system in scope of judiciary power. As a part of executive power, prosecution service follows the law enforcement politic is specified by government. Prosecutor is the part of judiciary power; he can not intervene by everyone even when handling a case, so that law enforcement is ambulatory better. In two periods, that is before 1959 and after it there are important difference seen from law enforcement along with change of status of Attorney General and organization structure of prosecution service. Before 1959, Attorney General is referred as Attorney General of the Supreme Court of Justice and administratively become the subordinate of Minister of Justice because Prosecution Service stays in Department of Justice. Nevertheless, Attorney General has independence because he is appointed by president as a chief nation until retired age, so that they can execute law enforcement better, even to Minister of Justice. After 1959, Soekarno made Attorney General as Minister/auxiliary of President, and then Prosecution Service is dissociated from Department of Justice become independence institute. This policy followed by presidents after him by little modification that is as official in the level of minister, but remains to be cabinet member/auxiliary of President. These changes exactly make law enforcement more declines. Prosecution service is misused by the government to fight against the political enemy. In institute, prosecution service is independent but the independence of Attorney General in enforce the task and the authority become faded away because he just auxiliary of president which can be riffed any time by president. At the first, the prosecutor is in the Judicial Service then change into the Civil Service, even become the Semi Military Service. Individual autonomy of prosecutor in executing the task of law enforcement become loses.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>