Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 35 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eni Maryani
"Kajian kritis yang dilakukan terhadap penggunaan teknologi komunikasi ini berangkat dari suatu pengamatan terhadap keberadaan Internet sebagai sebuah media komunikasi yang cenderung akan makin meningkat penggunaannya. Peningkatan tersebut tidak saja dilatarbelakangi oleh berbagai manfaat teknik yang ditawarkan oleh sebuah teknologi, akan tetapi juga dikarenakan sebagai media baru, Internet menempatkan para penggunanya sebagai sentral kegiatan komunikasinya.
Hasil dari pengamatan tersebut memperlihatkan bahwa sebagai media Internet memiliki beberapa karakteristik yang sangat berbeda dengan media-media sebelumnya, yang mampu menempatkannya dalam posisi yang makin menguat di tengah khalayaknya. Sementara itu media-media sebelumnya surat kabar, majalah, radio dan televisi - sebagai sebuah institusi media, justru saat ini makin terpojok dalam berbagai konflik antara kepentingan khalayak, kepentingannya sebagai sebuah institusi, dan kepentingan pemerintah dalam menyuarakan kebenaran akan realitas disekitarnya.
Landasan teoritik yang digunakan untuk mengkaji fenomena tersebut adalah pemikiran Habermas yang berkaitan dengan public sphere (ruang publk). Adapun pemikiran Habermas yang dijadikan acuan adalah pemikirannya mengenai ideal speech situation dan theory of discourse. Seperti lazimnya para pemikir kritis, maka teori yang ditawarkan Habermas pun bersifat dan berfungsi kritis. Teori kritis ini bersifat normatif, dan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Oleh karena itu teori ini berfungsi emansipatoris dalam kehidupan manusia.
Pada tataran metodologis, secara onttologis melihat penggunaan Internet secara historis yang terbentuk melalui suatu proses sejarah, dan kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Berikutnya secara epistemologis dengan asumsi yang mengungkapkan sifat transaksional dan subjectivist, dimana hubungan antara peneliti dan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti melalui proses yang interaktif menggali makna-makna realitas yang tersembunyi. Terakhir adalah asumsi metodologis yang mensyaratkan suatu analisis yang komprehensif, kontekstual dan jenjang analisis yang bersifat multi-level analysis maka Analisis Wacana yang dilakukan adalah dengan menggunakan Critical Discourse Analysis.
Gagasan Teoritik lain yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah beberapa teori yang diperlukan untuk memberi kerangka pemahaman . terhadap analisis yang bersifat multi level yaitu mencakup level individu, kelompok dan masyarakat. Teori-teori tersebut adalah hegemony theory, cultivation theory, information seeking theory, dan the construction social of reality theory.
Berdasarkan analisa yang dilakukan pada data primer hasil dari wawancara mendalam dengan para ahli, praktisi, serta pengguna internet maupun data sekunder -berdasarkan studi literatur yang dilakukan- maka ditemukan bahwa potensi Internet menjadi sebuah media altematif memungkinkan sebuah ruang publik berkembang di dalamnya sebagai hasil dari suatu hubungan yang interaktif diantara penggunanya dan kebebasan yang dimiliki pengguna baik dalam proses produksi maupun konsumsi pesan. Selain itu penelitian ini menggambarkan adanya proses transformasi berkaitan dengan perubahan di level makro dan mikro. Di level makro dengan penggunaan Internet terjadi perubahan sistem komunikasi, sedangkan di level mikro proses transformasi mencakup perubahan kesadaran yang terjadi pada kelas menengah sebagai pengguna Internet.
Akhirnya berdasarkan berbagai temuan yang diperoleh, penelitian ini merekomendasikan bahwa munculnya sebuah ruang publik di Internet harus diantisipasi dengan keterbukaan pemerintah dalam menciptakan sistem komunikasi politik maupun sosial- yang tidak mengabaikan rasionalitas manusia sebagai sentral pemaknaan akan dirinya, masyarakatnya dan lingkungan dalam kehidupannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiya Dwi Madyananda
"ABSTRAK
Perubahan gaya hidup masyarakat kelas menengah-urban dipengaruhi oleh stimul visual-audio yang intens. Tayangan televisi, sebagai salah satu stimul, merupakan media representasi dunia nyata yang membentuk persepsi penonton melalui pengalaman visual. Penggambaran dunia tesebut dilakukan dengan menggunakan bahasa ruang yang dapat dilihat, dirasakan dan dimaknai oleh penonton. Ruang dibahasakan dengan menggunakan tanda-tanda berupa elemen-elemen ruang yang merujuk pada realita. Dengan desain set, tanda-tanda diorganisasikan sehingga dapat membangun dan memperkuat persepsi penonton terhadap representasi kelas menengah urban pada tayangan televisi.

ABSTRACT
The change of Urban-Middle class lifestyle is influenced by intentionally visual-auditory stimuls. The television shows, as one of the stimulation, is a media representation of the real world that create audience?s perception through the visual experience. The representation of that world using the language of space which can be seen, felt and interpreted by the audience. The language of space using signs like space elements which are refer to reality. With the set design, the signs are organized until could build and strengthen the audience's perception towards representation of the urban middle class on the telivision shows.
"
2016
S63450
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bernadette Kushartanti
"ABSTRAK
This study deals with the acquisition of Indonesian varieties used in Jakarta? the standard variety of Indonesian, the Bahasa Indonesia (BI) and the non-standard one, the Colloquial Jakarta Indonesian (CJI) ? by children of middle class families. Many today?s Jakarta Indonesian children learn Indonesian as their first language in informal settings, and generally they learn the informal variety first, namely Colloquial Jakarta Indonesian (CJI) (see also Wouk 1989, 1999). Yet, at very early age, before formal schooling, they are also confronted with the formal variety of Indonesian, the Bahasa Indonesia (BI) as they learned from children program in television or story-telling by parents. Children are also encouraged to speak BI as a means of politeness.
The focus in this study is on factors that influence choice of the language variety, capability of style-shifting, and morphological variation. The main research questions concern the following."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2015
909 UI-WACANA 16:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Maxensius Tri Sambodo
"This paper aims to assess the role of middle class in Indonesia?s democracy, with the particular focus of the last Indonesian Presidential election. This study uses econometric analyses to assess preferences of middle class in presidential election by exploring data at district/city and provincial. The main finding in this study strongly suggests that religious and personality are still important elements under the race of Indonesia president. This study also found that different group of middle class has different attitudes in selecting the presidential candidate and the upper group of middle class is more likely to select Joko Widodo. Finally, a fragile middle class and a relatively high number of abstainers could be a barrier toward more substantive democracy.
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis peran kelompok kelas menengah dalam proses demokrasi di Indonesia, secara khusus peran mereka difokuskan pada hasil pemilihan presiden yang terakhir. Studi ini menggunakan pendekatan ekonometrik untuk mengalisis preferensi kelompok kelas menengah dalam memilih calon presiden, dengan melakukan eksplorasi data pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Hasil studi menunjukkan, agama dan personalitas calon presiden menjadi faktor penting dalam pertarungan pemilihan presiden. Studi ini juga menunjukkan, berbagai kelompok dalam kelas menengah memiliki preferensi yang berbeda dalam memilih kandidat presiden dan kelompok kelas menengah atas cenderung memilih Joko Widodo. Akhirnya, kelas menengah yang rentan dan tingginya kelompok yang abstain, akan menjadi hambatan untuk menuju demokrasi yang lebih substantif."
2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Fuad Yusuf
"For the Indonesian people who are socio-historically well known as the religious society-, religion usually plays an important and central part of social life. In fact, even for decades, Islam as one of the living religions and the largest one in Indonesia was culturally perceived as the belief and normative system giving certain divine regulations for regulating various daily life activities of the followers. Consequently, the existence and function had structurally been placed on the pivotal and determinative position.
Religion (in the case, Islam), then, was seen systemically not only as any certain social institution that functions to manage or organize the ritual activities concerning with reverence and devotion to the God in the narrow sense, but it also gave life-orientation, "frame of reference?, motivation and life-ethos, "mode of conduct?, etc. in the broad dimension of daily life activities of the followers.
The presence and dynamic growth of modern humanistic thoughts and also the rapid development of science & technology as well as the waves of modernization and the globalization process that have powerfully been taking place in our country, in fact they bring about some through-going changes of the role of Islam as a revealed religion. Islam seems to be declined in its fundamental roles and social significance. Islam, then, is only to be operated as any system which is functionally not so determinative and decisive one in the social life process.
With respect to those phenomena, this thesis investigates how far the middle-class Moslem community of Bekasi Selatan plays the role of Islam as their religion in their real life. It strictly focuses on some basic issues or variables relating to the roles of (Islamic) religious institutions, implementation of religious norms, and the quality of religious experience or cognitive system amongst the middle class of the Moslems in the research-location.
Using the qualitative methodological approach or paradigm, it is founded out some important and basic findings. First, there is a discernable change of the role or function of the (Islamic) religious institution in the society. This process of changes is typically indicated by some soda-religious phenomena occurred in the sphere of every day?s activities of those middle-class Moslems, viz, decline of the power, authorities, credibility?s, and social significance of the religious leaders, decline of religious organizational authority, popularity, and influences, and also any phenomena relating to the decrease of social participation of the followers in religious activities. Second, the religious (Islamic) norms and values which are substantively rooted in the AL-Qur'an, As-Sunnah and the ljtihad--have not already been implemented proportionally in every aspect of life whether in the aspect of politic, economic, educational, social-relation, and the life style. Third, there is process of trivialization (pendangkaIan) of the religious values and knowledge. Those values and knowledge as basic elements are not coherently internalized with their real life performances.
Based on the above findings, some inductive conclusions--by using the theoretical paradigm of secularization explicated previously -can be drawn as follow:
First, the process of secularization has been taking place in the midst of life of middle-class Moslem in Bekasi Selatan until now. In the institutional dimension, processes of secularization are manifested in the form of decline of religion, routinization process, differentiation, and disengagement of religion. In the normative dimension, such process of secularization appears in the form of process of religious transformation and desacralization of religious norms and values. While, in the cognitive or experiential level, secularization is concretized in the shape of process of segmentation and trivialization of religious values or religious system in such community.
Second, the trend of the secularization process happened in the community tended to the process of rationalization toward Islam as a religion.
Third, some dominant factors causing secularization in the middle class of Moslem in Bekasi Selatan are the lack of knowledge and understanding towards Islam as their religion besides factors of modern culture resulted in the process of modernization and development of modern philosophical thoughts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T10243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Idawati
"ABSTRAK
Equal Rights Amendment (ERA) diajukan pada tahun 1970 oleh dan untuk kepentingan kaum wanita, sebagai suatu upaya untuk memperoleh jaminan persamaan hak di bawah hukum bagi pria dan wanita, tanpa perbedaan secara seksual. Tetapi ERA pada akhirnya digagalkan oleh kaum wanita itu sendiri. Berangkat dari kenyataan penelitian ini mengupas adanya konflik kepentingan di kalangan wanita, terutama dari kelas menengahnya. Perbedaan kepentingan itu bermula dan adanya ambivalensi mereka terhadap peran-peran mereka dalam masyarakat.
Ambivalensi didefinisikan sebagai keadaan sosial yang di dalamnya seseorang menghadapi harapan-harapan normatif yang saling berlawanan dalam hal sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, dan perilaku. Ambivalensi itu muncul lebih dikarenakan adanya ambivalensi struktural dalam masyarakat dan dualisme perubahan-perubahan sosial. Masyarakat kini menghargai peran-peran wanita dalam wilayah publik (nondomestik) dan perubahan-perubahan sosial itu sendiri memberi tekanan sekaligus peluang yang luas bagi kaum wanita untuk bekerja di luar rumah. Namun di sisi lain, perubahan-perubahan itu tidak memberi jalan keluar bagi kaum wanita dari beban yang dihadapi di wilayah domestik. Sementara itu masyarakat cenderung masih menekankan bahwa wanita adalah penanggung jawab utama pengurusan rumah tangga dan pengasuhan anak-anak.
Kontradiksi-kontradiksi ini menimbulkan dilema dan ambivalensi psikologis dalam individu-individu dan dalam beberapa derajat, konflik sosial antara kelompok-kelompok sosial yang berlawanan. Dalam upaya penyesuaian diri dalam struktur sosial yang ambivalen itu, ada kelompok wanita di satu sisi, menentang pemikiran-pemikiran dan pola-pola lama tentang peran-peran wanita. Dengan kata lain, mereka menuntut suatu perubahan sosial yang menyangkut status wanita. Kelompok wanita yang lain merespon dengan menegaskan kembali susunan tradisional dari hubungan gender. posisi-posisi yang saling bertentangan dengan tajam ini membentuk dua garis politik yang berlawanan. Dalamkonteks ERA, kelompok yang menghendaki perubahan sosial mendukung ERA, sebaliknya kelompok yang menginginkan status quo menentang ERA.
Melalui metode penelitian berupa kajian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dan teknik deskriptif interpretatif, penelitian ini hendak menjawab tesis bahwa ambivalensi wanita kelas menengah Amerika memiliki dampak terhadap ratifikasi ERA pada tahun 1972-1952.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ambivalensi wanita adalah mata rantai awal dari serangkaian mata rantai-mata ranlai berikutnya --yang merupakan implikasi dari mata rantai awal--di antarnnya polarisasi ideologi dan dikotomi kepentingan, yang menjadi penyebab kegagalan ratifikasi ERA. Dengan kata lain, ambivalensi wanita kelas menengah memiliki dampak dan pengaruh, melalui berbagai manifestasinya, terhadap kegagalan ratifikasi ERA.

ABSTRACT
Equal Rights Amendment (ERA) was proposed in 1970 by women and for women's concerns, as an effort to gain the equal rights under the law between the sexes. However, the ERA was eventually defeated by the women. Seeing that. fact, the research was carried out to study the conflict of interests especially among the middle class women. The different interests here emerged from their ambivalence toward their appropriate roles in the society.
Ambivalence was defined as a social state in which a person faced contradictory normative expectations of attitudes, beliefs, and behavior. This ambivalence was mostly caused by the structural ambivalence in the society and the dualism of social changes, The society now approved women's roles in public spheres, and the social changes themselves gave pressures and, at the same time, wide opportunities to the women to work out of the homes. But, on the other side, those changes did not provide any solutions for them from the burdens they faced in the domestic sphere. Meanwhile, the society kept thinking that women were primarily responsible for the cares of children and households.
These contradictions caused a dilemma and psychological ambivalence to the women, and to some extent, a social conflict between social groups, In order to adjust themselves in the ambivalent social structure, a group of women, on the one side, challenged old ideas and patterns of women's roles. In other words, they fought for a social change concerning women's status. The other group of women responded by reaffirming traditional arrangement of gender relationship. These sharply contrasting positions thus farmed two opposite lines along political constituencies. In the context of EFTA, the group who favored a social change, was likely to support the ERA, while the other group who wanted a status quo, tended to oppose it.
By using a method of book research with qualitative approach and descriptive-interpretative technique, this research was to answer the thesis that. the middle class women's ambivalence had the impact to the ERA's ratification in 1972-1982.
The result of the research showed that the women's ambivalence was a primary chain of linked chains - which were of the impacts of the primary chain - such as the ideological polarization and the dichotomy of interests, that made the ERA fail. In other words, the middle class women's ambivalence had the impact and influence, through its various manifestations, to the failure of the ERA's ratification.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artianti Kuntjorowati Soedjono
"LATAR BELAKANG MASALAH
Kata domestik berasal dari bahasa latin "domus" yang berarti rumah atau sesuatu yang berurusan dengan keluarga. Ideologi kerumahtanggaan "ideology of domesticity" yang muncul dalam abad kesembilanbelas di Amerika erat kaitannya dengan menurunnya jumlah anak yang lahir dalam satu keluarga. Fenomena tersebut diikuti juga dengan perubahan sikap orang tua terhadap masa kanak-kanak dari anak-anak mereka. Anak-anak harus dipelihara dan diasuh dengan baik daripada diharuskan bekerja. Orang tua mulai melihat anak-anak mereka sebagai objek yang bergantung pada pemeliharaan, kasih sayang dan hams dilindungi. Ini menandakan kemunculan kerumahtanggaan keluarga kelas menengah (lihat Tamara K. Harenven, dalam L.S. Luedtke, 1987:247). Ideologi kerumahtanggaan tidak saja menempatkan anak sebagai pusat keluarga, tapi secara bertahap lebih memisahkan peranan ayah dan ibu.
Michael Gordon (1978 : 3 - 4) mengutip pandangan Michael Novak mengenai pentingnya keluarga dalam satu masyarakat sebagai berikut "1. What strengthens the family strengthens society. 2. If things go well with the family, life is worth living, when the family falters, life falls apart." Dilihat dari pernyataan tersebut di atas, maka tampak bahwa masa depan keluarga ditentukan oleh keadaan domestiknya, dan keberhasilan satu keluarga akan merupakan satu kontribusi positif bagi masa depan satu bangsa. Dalam arti lain adalah bahwa keluarga merupakan inti (core) dari satu pembangunan bangsa atau kehidupan politik bangsa tersebut. Mark Lerner seperti dikutip oleh Le Masters dan John De Frain menyatakan dengan tepat "If the American family is sick, then the class system must also be sick, and the whole economy, the democratic idea, the passion for equality, the striving for happiness, ... the point is that the American family is part of the loyality and reflects its virtues as well as weakness" (Lihat Max Lerner, 1987, 1957: 551).
Merujuk pada pandangan Novak yang dikutip oleh Gordon tersebut, maka pembentukan suatu keluarga yang ideal bagi masyarakat tampaknya bukan suatu yang baru bagi para ahli sosiologi atau antropologi. Plato misalnya, melihat masyarakat utopia yang diinginkannya terdiri dari kelas, komunisme..."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tyka Rahman
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang konsumsi simbolis yang dilakukan oleh kelas menengah
dalam pemilikan rumah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk
menjelaskan bagaimana kelas menengah memaknai kelas sosial mereka melalui
pemilikan rumah. Data dikumpulkan melalui wawancara dan observasi dengan subjek
penelitian penghuni Greenland Forest Park Residence. Penelitian dilakukan sejak
bulan April hingga Juli 2015. Penelitian ini berangkat dari argumen Gerke (2000)
yang menjelaskan tentang lifestyling atau konsumsi simbolis kelas menengah
Indonesia. Pada saat itu, konsumsi simbolis dilakukan karena mereka tidak mampu
melakukan konsumsi riil untuk menandai kelas sosialnya. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan dalam tesis ini, kelas menengah (penghuni Greenland Residence) juga
melakukan konsumsi riil dan konsumsi simbolis untuk menandai kelas sosialnya. Hal
ini terlihat dari konsumsi rumah.

ABSTRACT
The thesis study about symbolic consumption of middle class in homeownership. The
qualitative approach is choosen because the purpose of study is to explain how
middle class give a meaning to their dwelling. Observation and depth interview used
as strategies of inquairy. Dweller of Greenland Forest Park Residence is the subject
of inquiry. Research was conducted from April to July 2015. Gerke (2002) explained
that lifestyling was Indonesian middle class strategy to show their social class without
real consumption. Based on the research homeownership show two aspects of middle
class (Greenland dweller) consumption. It reveals real and symbolic consumption at
the same time demonstrating their social class., The thesis study about symbolic consumption of middle class in homeownership. The
qualitative approach is choosen because the purpose of study is to explain how
middle class give a meaning to their dwelling. Observation and depth interview used
as strategies of inquairy. Dweller of Greenland Forest Park Residence is the subject
of inquiry. Research was conducted from April to July 2015. Gerke (2002) explained
that lifestyling was Indonesian middle class strategy to show their social class without
real consumption. Based on the research homeownership show two aspects of middle
class (Greenland dweller) consumption. It reveals real and symbolic consumption at
the same time demonstrating their social class.]"
2016
T45261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Krisna
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji ukuran yang telah ada untuk mengidentifikasi status kelas penduduk dan mengenali kelas menengah Indonesia menggunakan ukuran baru dalam bentuk indeks komposit tertimbang yang menggabungkan variabel ekonomi dan nonekonomi. Hasil penelitian menunjukkan jumlah kelas menengah Indonesia yang dihitung menggunakan Indeks lebih kecil daripada yang dihitung menggunakan ukuran pengeluaran per kapita yang mengindikasikan bahwa kelas menengah dapat dikenali tidak hanya dari tingkat pengeluarannya saja, tetapi juga dari kondisi perumahan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan gaya hidup. Kelas menengah Indonesia didominasi oleh penduduk berusia produktif dan lebih banyak tinggal di perkotaan. Selain itu penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar kepala rumah tangga kelas menengah masih berpendidikan di bawah SD/sederajat dengan mayoritas melakukan pekerjaan nonformal. Kelas menengah Indonesia diramalkan masih akan bertumbuh seiring dengan perbaikan pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan.

This research aims to test the competence of existing measurement in identifying class status and to identify Indonesian middle class using a new approachment that combines economic and noneconomic measurements. The result shows that the size of middle class that counted by composite index is smaller than the estimation produced by single economic variable measurement. It means that middle class can be identified not merely by its expenditure but also its accomplishment in housing, education, job, and lifestyle. Indonesian middle class is majority constituted by young people and lives in urban area. Most of head of middle class household are low educated and having informal job. The number of Indonesian middle class is predicted to still be expanding mainly driven by the improvement in income, education level, and jobs."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>