Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edwin Ligasetiawan
"Metode persidangan pidana dengan menggunakan alat elektronik baru digunakan luas setelah terjadinya pandemi Covid-19 yang berdampak pada sistem peradilan pidana berbagai negara di dunia. Perubahan ini berdampak pada hak terdakwa untuk hadir di muka pengadilan yang diatur dalam KUHAP. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan merupakan salah satu hak dasar bagi terdakwa dan sebagai jaminan dalam pelaksanaan peradilan yang adil (fair trial) karena berkaitan dengan proses pembuktian. Dalam pembahasan ini metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat. Penelitian ini menunjukkan, sidang pidana elektronik di Indonesia hanya diatur dalam peraturan Mahkamah Agung dan ini berbenturan dengan KUHAP; sedangkan di Belanda, sekalipun telah dituangkan dalam KUHAP, penggunaan videoconference dianggap melanggar ketentuan dalam European Convention on Human Rights; di Amerika Serikat penggunaan videoconference diatur dengan cukup ketat dalam CARES Act. Penelitian ini berpendapat, persetujuan terdakwa dalam persidangan pidana online diperlukan karena hal ini sebagai persetujuan mengenyampingkan hak untuk hadir di muka sidang. Oleh karena itu, penggunaan videoconferece tidak melanggar fair trial dan tetap dapat imparsial sepanjang terdapat persetujuan dari terdakwa atau ketentuan yang mengatur tersebut menjamin bahwa seluruh hak-hak terdakwa dapat dipenuhi.

The criminal trial method using electronic devices has only been widely used after the Covid-19 pandemic which has impacted the criminal justice system of various countries in the world. This change has an impact on the right of the accused to presence before the court as regulated in the Indonesia Criminal Procedure Code. The right of the accused's presence before the court is one of the basic rights for the accused and as a guarantee in the implementation of a fair trial because it is related to the evidentiary process. In this thesis the research method used is normative juridical with a comparative approach to the laws of Indonesia, the Netherlands, and the United States. This thesis shows that electronic criminal courts in Indonesia are only regulated in the Supreme Court regulations and this is in conflict with the Indonesia Criminal Procedure Code; whereas in the Netherlands, even though it has been stated in the Dutch Criminal Procedure Code, the use of videoconferencing is considered a violation of the provisions of the European Convention on Human Rights; in the United States the use of videoconference is regulated quite strictly in the CARES Act. This thesis argues that the accused’s approval to conduct a criminal trial via videoconferencing is necessary because this is an agreement that overrides the right to presence before the court. Therefore, the use of videoconferencing does not violate the fair trial and can still be impartial as long as there is agreement from the accused or the stipulations that regulate it ensure that all the rights of the accused can be fulfilled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restri Rahmawati
"Skripsi ini membahas tentang kekerasan yang dialami oleh lesbian yang berada di masyarakat patriarki. Skripsi ini juga membahas tentang resistensi seorang lesbian 'pelaku' ketika ia berhadapan dengan Sistem Peradilan Pidana di dalam konteks budaya patriarki. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan perspektif feminis. Lesbian juga rentan untuk dipenjara terkait dengan orientasi seksualnya. Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan masyarakat dan Sistem Peradilan Pidana terdiri dari kekerasan fisik berupa pemukulan, disetrum, hingga dimasukkan ke dalam sel tikus pada saat berada di dalam rumah tahanan. Sedangkan kekerasan mental yang dialami subyek berupa penghinaan hingga ancaman diperkosa beramai-ramai oleh penduduk di kampungnya.

This thesis is trying to describe about violence against lesbian in patriarchal society. It also examines lesbian's resistance in dealing with criminal justice system in patriarchal context. This research is a qualitative research with feminist perspective. The researcher found that lesbian also vulnerable to be jailed in prison related to her sexual orientation. The violence from public and Criminal Justice System against lesbian consists of physic violence such as beating, electrocuted during investigation, and isolated in a mouse cell. Subject has also gotten mental violence such as humiliation and threatened to rape by society in her neighborhood."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Feronica
"Hingga saat ini belum ada kompilasi aturan hukum dan etika bagi pers ketika memberitakan proses peradilan pidana. Aturan yang tersebar menyulitkan pers mengetahui hal-hal yang menjadi hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, hal utama yang dibahas dalam tesis ini ialah hukum dan etika tersebut kemudian membuat kompilasinya. Pembahasan selanjutnya lebih fokus pada hukum dan etika pers ketika memberitakan privasi pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana, serta hukum dan etika pers dalam siaran langsung sidang pengadilan. Penelitian ini berbentuk deskriptif analitis dengan menggunakan metode kepustakaan dan wawancara mendalam dengan narasumber. Peneliti menggunakan data sekunder dengan alat pengumpul data berupa studi kepustakaan dan data primer melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara terhadap wartawan, perusahaan pers, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, ahli hukum, penasihat hukum, dan keluarga korban. Hasil penelitian menyarankan adanya penelitian sosiologis lebih lanjut mengenai penerapan asas praduga tak bersalah yang dihubungkan dengan penyebutan identitas tersangka dan terdakwa; saran bagi Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia agar menyusun aturan yang lebih rinci mengenai privasi yang boleh diberitakan dan kepentingan umum yang menjadi pengecualian dari penghormatan terhadap privasi seseorang; saran bagi para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana, juga pers, agar saling bekerja sama (kooperatif) dengan tetap memahami hukum dan etika profesi satu sama lain; dan saran bagi pers agar diwajibkan untuk mengikuti pendidikan profesi yang mengikutsertakan materi pemberitaan proses peradilan pidana secara khusus.

Until now there is not a compilation of laws and ethics for the Indonesian press in reporting the criminal justice process. So the scattered laws have given some problems for the press in knowing their rights and duties. Therefore the main problem which is discussed in this thesis is about the press laws and ethics with their compilation. The further discussion is more focused on the laws and ethics for the press in reporting the privacy of the persons who are involved in the criminal justice process, and the laws and ethics for the press in making the direct broadcasting from the criminal court. This research used analytic descriptive interpretation by using the library books and sincere interviews with the resource persons. The researcher collected the primary data through the literary study and got the secondary data by a sincere interview with the journalists, the press company, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, the law experts, the lawyers and the family of the victim. The result of this research suggests a further sociological research about the application of the principle for the innocent presumption which deals with the identity of the accused. The other suggestions are directed to the Dewan Pers and Komisi Penyiaran Indonesia to arrange the more detailed rules about the privacy which are allowed to be broadcasted for the respect of privacy and the criteria which can be excluded for the public interest. The persons who are concerned with the criminal justice process, including the journalists are suggested to be more understanding and cooperative with each other in dealing with their laws and ethics professions. Finally the journalists are suggested to follow a professional education which includes particularly about the broadcasting of the criminal justice process as one of the subjects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27940
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Margareta Dewi Lusiana
"Melalui penyusunan penelitian kemasyakatan (Litmas) sebagai salah core businessnya, Bapas membawa Pemasyarakatan hadir dan bertugas mulai dari tahapan pra ajudikasi hingga purna ajudikasi. Hadirnya RUU KUHP yang di dalamnya memuat pedoman pemidanaan dan pidana alternatif membuka kemungkinan semakin bertambahnya ruang lingkup Litmas terutama sebagai pre-sentenced report bagi tersangka dewasa. Guna mempersiapkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terkait pengaturan Litmas dalam peraturan perundang-undangan, pandangan aparat penegak hukum terhadap Litmas serta konsep terbaik yang dapat direkomendasikan agar pelaksanaan Litmas dapat berkontribusi dalam pencapaian tujuan pemidanaan. Penulisan tesis ini akan menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis empiris. Penelitian ini memiliki tiga kesimpulan. Pertama, sejak pertama kali dipraktikan Litmas telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan meskipu mayoritas bersifat internal Pemasyarakatan. Eksistensi Litmas tidak terlepas dari falsafah pemidanaan Indonesia yang dipengaruhi prinsip utilitarian. Kedua, pembuatan dan pelaksanaan Litmas memperoleh respon yang positif dari aparat penegak hukum lain. Untuk mengantisipasi bertambahnya ruang lingkup Litmas ketika RUU KUHP diberlakukan maka perlu adanya dasar hukum yang mengikat aparat penegak hukum di lain dan penguatan sumber daya manusia pembimbing kemasyarakatan. Ketiga, pembaruan hukum pidana Indonesia melalui penyusunan RUU KUHP membuat sejumlah kebaruan. Untuk itu perlu dipersiapkan konsep pelaksanaan Litmas yang mengakomodir perubahan-perubahan yang akan terjadi ketika RUU KUHP diberlakukan seperti pembuatan Litmas yang dimulai sejak pelaku kejahatan masih berstatus tersangka dan juga optimalisasi perlibatan masyarakat serta institusi privat dalam pelaksanaan tugas Pemasyarakatan seperti halnya
yang diterapkan dalam praktek probation service di Belanda.

Correctional Institution works in a system through several agencies in it, one of which is the Correctional Center. Through the probation officer’s report as one of its core businesses, the Correctional Center will carry out its duties from the pre-adjudication to post-adjudication stages. The presence of the Draft Criminal Code which contains guidelines for punishment and criminal alternatives may increase the scope of probation officer’s report, especially as a pre-sentence report for adult suspects. In order to prepare for this, it is necessary to conduct research related to probation officer’s report arrangement in laws and regulations, find out the views of law enforcement officers towards probation officer’s report and the best concept that can be recommended to support the implementation of probation officer’s report. This thesis will use research methods with an empirical juridical approach. This study has three conclusions. First, since it was first put into practice, probation officer’s report have been regulated in various laws and regulations. The existence of probation officer’s report in the criminal justice system in Indonesia is inseparable from the Indonesian philosophy of punishment which is influenced by utilitarian principles. Second, the implementation of probation officer’s report received a positive response from other law enforcement officials. However, to anticipate the increasing scope of probation officer’s report when the Draft Criminal Code is enacted, it is necessary to have a clear legal basis and strengthen human resources for probation officer.Third, the reform of Indonesian criminal law through the drafting of the Criminal Code Bill has created a number of novelties, including formulating of the puspose of the punishment and also the presence concept of criminal individualization. For this reason, it is necessary to prepare a concept for the implementation of probation officer’s report which accommodates the changes that will occur when the Draft Criminal Code is enacted, such as the creation of probation officer’s report which begins when the perpetrators are still suspects and also the involvement of private institutions in carrying out correctional tasks as is applied in the practice of probation service in the Netherlands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Kayana
"Proses penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat tempat hukum tersebut diterapkan. Partisipasi dan dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum semakin nyata saat rasa keadilan di dalam masyarakat terusik ditambah dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dalam menangani perkara pidana. Salah satu wujud dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum adalah munculnya opini publik baik melalui media massa maupun media sosial. Tesis ini membahas mengenai bentuk peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum, sikap para penegak hukum dalam mengakomodir opini publik yang muncul dalam proses penegakan hukum serta pengaruh opini publik dalam proses penegakan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia telah membuka peluang peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum. Secara umum peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum lebih banyak diarahkan pada upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menunjukkan bahwa para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya telah berusaha mengakomodasi opini publik yang disampaikan oleh masyarakat namun dalam prakteknya tidak semua opini publik yang berhubungan dengan proses penegakan hukum berpengaruh terhadap hasil akhir proses penegakan hukum. Profesionalitas para penegak hukum sangat diperlukan untuk memilah opini publik tanpa harus mengganggu pelaksanaan tugasnya dalam upaya melaksanakan penegakan hukum.

Law enforcement process is inseparable from the role of the community wherein the law is applied. The participation and support from the community in the enforcement of law become more evident when something disturbs their sense of justice and when their trust towards the law enforcement officers efforts in handling criminal cases has decreased. One example of community's support towards law enforcement is the emergence of public opinion in mass and social media. This thesis discusses the forms of public participation in the law enforcement process, the stance of law enforcement officers in accommodating the public opinion emerging in the law enforcement process, and the effect of such public opinion. The research applies a legal normative method which is supported by empirical studies. Meanwhile, the analysis in this research is made by using the secondary data as the main data and using the primary data as the supporting data.
The result of the research shows that the Indonesian laws and regulations have opened up an opportunity for the community to participate in the law enforcement process. In general, the public participation in the law enforcement process focuses more on the criminal acts prevention. This research shows that in doing their duties, the law enforcement officers have attempted to accommodate public opinion. However, in the practice, not all of the public opinion related to the law enforcement process can have any effect on the final result of the law enforcement process. Professionalism of the law enforcement officers is necessary to sort out public opinion without disrupting the performance of their duties in enforcing the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kharina Triananda
"ABSTRAK
Tugas Karya Akhir (TKA) ini membahas mengenai viktimisasi sekunder oleh sistem peradilan pidana terhadap perempuan korban kekerasan. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk melihat apa saja bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan yang dilakukan oleh sistem peradilan pidana. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus dari hasil wawancara 2 informan pendamping perempuan korban kekerasan dan data-data sekunder. Terdapat beberapa temuan penting dari penelitian ini, yaitu adanya viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan oleh sistem peradilan pidana melalui institusi, aparatur negara, dan prosedur persidangan. Hasil penelitian menyarankan perlunya objektivitas dari sistem peradilan pidana dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

Abstract
This study focus on secondary victimisation by the criminal justice system against women victims of violence. The goal is to analyze what are the forms of secondary victimisation by the criminal justice system against women victims of violence. Using qualitative method, this study collected data from short interview with 2 accompanying victims to court and secondary data. This study found that there are secondary victimisation against women victims of violence by criminal justice system through the institution, state apparatus, and trial procedure. The result suggest that criminal justice system need an objectivity when handle the case of violence against women."
2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Daniel Tulus Marulitua
"Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang ditujukan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Sistem peradilan pidana diwujudkan melalui suatu ketentuan yang disebut dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejatinya KUHAP ditujukan untuk melindungi hak-hak seorang tersangka dan/atau terdakwa serta mengatur tugas masing-masing dari sub-sub sistem peradilan pidana guna menciptakan suatu keterpaduan sistem peradilan pidana. Namun demikian, implementasi KUHAP masih jauh dari tujuan sebenarnya sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembaharuan terhadap KUHAP. Pembaharuan tersebut diwujudkan dalam Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). Dalam R-KUHAP, terdapat nilai-nilai yang diadopsi di negara common law, salah satu dari nilai tersebut adalah lembaga plea bargaining. Akan tetapi R-KUHAP tidak secara mutlak mengadopsi nilai lembaga plea bargaining yang ada di negara common law. R-KUHAP hanya mengambil nilai plea guilty (pengakuan bersalah) yang merupakan salah satu nilai dari lembaga plea bargaining. Kedudukan lembaga plea bargaining (plea guilty) yang diatur dalam R-KUHAP melalui suatu klausul Jalur Khusus terdapat dalam tahap adjudikasi. Diadopsinya lembaga plea bargaining (plea guilty) dalam RKUHAP disebabkan adanya manfaat dari lembaga ini. Salah satu manfaat tersebut terlihat dalam perwujudan suatu peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty). Disamping manfaat yang diperoleh, terdapat juga suatu potensi kerugian apabila implementasi dari lembaga plea bargaining (plea guilty) tidak berjalan dengan baik sehingga dapat menyebabkan miscarriage of justice (peradilan sesat). Oleh sebab itu dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty) nantinya diperlukan keterpaduan dari 3 (nilai) dasar hukum sebagimana dikemukakan oleh Friedman yaitu substansi hukum (perwujudan peraturan perundang-undangan yang terkait plea bargaining), struktur hukum (keterpaduan antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana), dan budaya hukum (kesadaran dari aparat penegak hukum terhadap kewenangan yang dimilikinya) guna mencegah timbulnya miscarriage of justice (peradilan sesat).

The criminal justice system is a process that is intended to solve crimes through judicial proceedings conducted against criminal offence. The criminal justice system is realized through a provision called the Criminal Procedure Code (KUHAP). Indeed the Criminal Codeaimed at protecting the rights of accused and/or defendant sand set tasks for each of the sub-systems of criminal justice in order to create an integration of the criminal justice system. However, the implementation of the Criminal Procedure Code is still far from the goal and thus potentially give rise to violations against the rights of accused/defendant. Therefore, the need for a reform of the Criminal Procedure Code. The reform embodied in the draft Criminal Procedure Code (R-KUHAP). In draft Criminal Procedure Code, there are values that are adopted in common law. One of these values is plea bargaining. However ,the draft Criminal Procedure Code does not ultimately adopted the values of plea bargaining that exist in common law. The draft Criminal Procedure Code is only take a guilty plea which is one of the values of the plea bargaining. The position of plea bargaining (plea guilty) is regulated int he draft Criminal Procedure Code through a “Special Track” clause contained in the adjudication stage. Adoption of plea bargaining (guilty plea) in the draft Criminal Procedure Code due tothe benefits of this institution. One of the benefits is seen in the embodiment of a fast, simple and low-cost judicial/trial in implementation of plea bargaining (plea guilty). In addition to the benefits, there is also a potential loss when implementation of the institution of plea bargaining (plea guilty) do not work properly till causing the miscarriage of justice. Therefore, implementation of plea bargaining (plea guilty) will be required integration of three values of law as advanced by Friedman namely substance law (embodiment legislation related plea bargaining), structure law (coherence between sub-system in criminal justice systems), and cultural law ( of consciousness of law enforcement officials the authority to file to prevent the spread of miscarriage of justice."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah Perindha Novera
"Dalam sistem peradilan pidana anak dikenal suatu proses peralihan penyelesaian perkara anak keluar sistem peradilan pidana yang disebut dengan diversi. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diversi memperoleh kedudukan resmi dalam sistem peradilan anak. Dalam undang-undang tersebut, pengaturan diversi bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya diberikan dalam satu pasal, yaitu pasal 21. Sementara pasal tersebut beserta penjelasannya tidak cukup untuk menjelaskan bagaimana konsep diversi yang dimaksud oleh undang-undang bagi anak yang belum berumur 12 tahun tersebut.
Skripsi ini membahas bagaimana pandangan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, serta Pekerja Sosial terhadap pasal tersebut, beserta kendala yang berpotensi terjadi dan antisipasi yang diterapkan. Penelitian ini dilakukan mengingat praktek diversi telah diterapkan dalam sistem peradilan anak sebelum Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku, sehingga aparat penegak hukum beserta lembaga-lembaga yang terlibat tentunya telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai diversi.

In the juvenile justice system recognized a settlement transitioning children out of the criminal justice system called diversion. With the enactment of Law No. 11 of 2012 on the Children Criminal Justice System, diversion obtain an official position within the juvenile justice system. In the law, regulation of diversion for children under12 years old only given in one article, namely article 21. Whilst the article and the explanation is not enough to explain how the concept of diversion is meant by the law for children who have not aged 12 years.
This thesis discusses how the Investigator, Probation Officer, and Social Workers viewof the article, as well as obstacles that could potentially occur and anticipation are applied. This research was carried out considering the practice of diversion has been applied in the juvenile justice system before the Children Criminal Justice SystemLaw applies, so that law enforcement officers and the agencies involved must have had considerable knowledge of diversion.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55765
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>