Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yovan Adiyanto
"Persebaran dan proses bersatunya warga negara asing ke dalam suatu negara lainnya atau yang bisa disebut pula
dengan istilah naturalisasi, bukan merupakan hal yang baru. Hal ini sebagaimana terjadi dalam ajang E-Sports,
Overwatch League (OWL), yang merupakan salah satu kompetisi E-Sports yang cukup digemari belakangan ini oleh
masyarakat luas. Namun, dalam ajang ini jumlah atlet Korea Selatan bisa dikatakan sangat dominan. Tentu hal ini
menyebabkan adanya kekhawatiran bagaimana kelak mereka berinteraksi dengan pemain asing di tempat baru dan
dengan para penggemarnya. Dalam kenyataannya, secara tidak langsung ajang ini menjadi sarana persebaran budaya
Korea terlebih karena jumlah atletnya sangat dominan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh atlet Korea
Selatan dalam ajang OWL khususnya unsur budaya yang dibawa oleh para atlet dalam komunitas OWL. Tulisan ini
menggunakan metode analisis deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa unsur transnasionalisme
profesional, seperti adanya ruang terbuka baru yang bersifat sementara, fluiditas yang peran baru yang sebelumnya
tidak diatur oleh negara, dan rekonfigurasi aturan yang berlaku disertai dengan pengaturan ulang akan tipe otoritas
yang ada, memiliki andil besar dalam perpindahan warga Korea Selatan ke Amerika Serikat dalam mengikuti ajang
OWL ini.

Naturalization is nothing new in the matter of migrations. The same thing also occured in the world of E-Sports,
Overwatch League (OWL), is one of the most be liked E-Sports event lately with a worldwide range of fans all over
the world. But there is something quite odd in this event where most of the competitors are dominantly came from
South Korea. This cause concern among the spectators because they are not sure if all these athletes will be able to
interact and adapt with their new surrounding. At the same time, due to high participacion of South Korean, OWL
also become a platform for them to spread South Korea culture. This research will try to analyze the cultural impact
of South Korean athletess dominance in OWL community. This research use descriptive analytic method. The results
of this research shows that the elements of profesional transnationalism such as transnational spaces are relatively
more transient, fluidity is closely related to the new and less fixed role played by nation-states in transnational spaces, and reconfiguration of authority sites has been accompanied by a reconfiguration of authority types, all those elements
shows that profesional transnationalism have a big role on South Korean citizens movement to United States of
America to join OWL.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Pratama Putra Nugraha
"Artikel ini membahas mengenai potensi dan evaluasi peran kode etik pustakawan dalam mendukung keberhasilan pelayanan perpustakaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kode etik terhadap pelayanan perpustakaan serta mengidentifikasi kendala yang dihadapi pustakawan dalam menerapkan kode etik pustakawan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi literatur dan menerapkan analisa SWOT. Metode ini digunakan dengan cara menganalisis berbagai pandangan terkait topik dengan meninjau jurnal nasional dan internasional dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir (2014-2021). Melalui pembatasan tersebut, peneliti menemukan sepuluh artikel jurnal yang sesuai dengan konsep yang akan dibahas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap perpustakaan memiliki kode etik pustakawan, sehingga masih banyak pustakawan yang tidak memiliki pengetahuan mengenai kode etik pustakawan. Kekosongan kode etik pustakawan ini menyebabkan pustakawan mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan. Tetapi, hal tersebut dapat diatasi dengan melakukan kegiatan literasi etika profesi pustakawan bagi setiap pustakawan serta adanya dukungan dari Kepala perpustakaan, ikatan profesi, dan kreativitas lembaga perpustakaan.

This article discusses the potential and evaluation of the role of the librarian's code of ethics in supporting the success of library services. This study aims to determine the role of the code of ethics in library services and identify the obstacles faced by librarians in implementing the librarian's code of ethics. This research uses qualitative research with literature study method and applies SWOT analysis. This method is used by analyzing various views related to the topic by reviewing national and international journals in the last seven years (2014-2021). Through these restrictions, the researchers found ten journal articles that match the concepts to be discussed. The results showed that not every library has a librarian code of ethics, so there are still many librarians who do not have knowledge of the librarian's code of ethics. The vacancy of the librarian's code of ethics causes librarians to have difficulty in making decisions. However, this can be overcome by carrying out professional librarian ethics literacy activities for each librarian and the support from the head of the library, professional associations, and the creativity of library institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gemelfour Ardiatus Sudrajad
"Transformator daya merupakan bagian penting dalam sistem ketenagalistrikan terutama di area tambang. Kegagalan transformator dapat menyebabkan kerugian materi, produksi, lingkungan, hingga korban nyawa. Diperlukan pengoperasian dan pemeliharaan yang tepat untuk menghindari kegagalan tersebut. Dalam melakukan pemeliharaan dan perbaikan transformator diperlukan pertimbangan aspek teknis dan non teknis. Aspek lingkungan, keselamatan kerja, manajemen proyek, hingga kode etik dan profesionalisme insinyur. Laporan keinsinyuran ini berisi tentang studi kasus kegagalan transformator di area tambang. Pada proyek ini diindikasikan bahwa transformator tersebut telah mengalami short circuit. Proyek pemeliharaan dan perbaikan ini telah memenuhi aspek profesionalisme, kode etik keinsinyuran, dan K3L. Segala pekerjaan dilakukan sesuai standar – standar keprofesian yang berlaku, mengikuti proses alur kebijakan K3 yang berlaku di nternal perusahaan, limbah pekerjaan ditangani seusai peraturan yang berlaku, dan segala pekerjaan dikomunikasikan terhadap pihak – pihak terkait.

Power transformers are an important part of the electricity system, especially in mining areas. Transformer failure can cause material, production, environmental losses and even loss of life. Proper operation and maintenance is required to avoid such failures. When carrying out maintenance and repair of transformers, technical and non-technical aspects are required to be considered. Environmental aspects, work safety, project management, to the code of ethics and professionalism of engineers. This engineering report contains case studies of transformer failures in mining areas. In this project it is indicated that the transformer has experienced a short circuit. This maintenance and repair project has fulfilled the aspects of professionalism, engineering code of ethics and K3L. All work is carried out in accordance with applicable professional standards, following the K3 policy flow process that applies internally to the company, work waste is handled in accordance with applicable regulations, and all work is communicated to related parties.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rumiati
"Secara universal tugas polisi adalah melayani dan melindungi masyarakan Semua permasalahan yang dihadapi masyarakal merupakan bagian dari pekerjaan polisi. Kompleksnya. tugas-tugas yang harus dilakukan polisi tentu saja memerlukan karakterislik kepribadian yang unik dan melalui sifat kepribadian ini
pula dapat dilihat profesionalisme seorang polisi (Trautman, 1990). Kepdbadian sendiri merupakan proses yang meliputi bagaimana individu berinteraksi dengan tuntutan lingkungannya dan bagaimana individu berhubungan dengan dirinya
sendiri (Millon & Everly, 1985); terbentuk melalui individu, perilaku dan situasi yang secara terus menerus saling mempengaruhi (Bandura dalam Hjelle & Ziegler, 1992). Berkaitan dengan terjadinya konflik di beberapa wilayah Indonesia., terutama Aceh, tentu saja makin menambah kompleksitas permasalahan yang harus dihadapi oleh anggota Polri. Untuk itu perlu pengkajian ciri-ciri profesionalisme polisi Indonesia, karena profesionalisme merupakan sifat
kepribadian yang ditampilkan individu dalam melakukan tugas-tugas kepolisian dan dalam menyesuaikan diri denan permasalahan yang dihadapinya
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri profesionalisme polisi Indonesia menurut anggota Polri. Hal ini penting karena anggota Polri dididik secara seragam sedangkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang
terdiri 250 ragam budaya, tentunya memerlukan pendekatan tertentu dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan. Untuk pemahaman lebih mendalam perlu diketahui apakah ciri-ciri profesionalisme ini juga muncul pada anggota
Polri yang bcrtugas di daemh kontiik Aceh, juga apakah eiri profesionalisme ini memungkinkan mereka lebih mampu menyesuaikan diri dibandingkan dengan anggota Polri yang gagal tugas di Aceh.
Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dan metode kualitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk mendeskiipsikan ciri-ciri profesionalisme polisi Indonesia dan metode kualitatif digunakan untuk mengkaji apakah Ciri-Ciri
profesionalisme ini muncul pada anggota Polri yang bertahan tugas di Aceh dengan pola penyesuaian dirinya. Responden pada penelitian kuantitatif dipilih secara insidental dan responden kualitatif diambil di Aceh, yaitu anggota Polri
yang tetap bertahan tugas di Aceh dibandingkan dengan angota yang gagal, baik melarikan diri dari tugas atau dalam perawatan dokter/psikiater.
Hasil penelitian kuantitatif menujukkan tiga faktor profesionalisme Polri:pertama, faktor ketidaksetujuan terhadnp sikap-sikap negatif; kedua, faktor integritas, dan ketiga, faktor kompetensi. Dari basil penelitian kualitatif
menunjuklcan ciri-ciri profesionalisme baik yang dikemukakan dalam teori maupun dalam penelitian kuantitatif, hanya pada. faktor ketidaksetujuan terhadap sikap-sikap negatif pada kasus yang bertahan tugas di Aceh menunjukkasn sikap
kebalikan dan pada kasus yang tidak bertahan tugas di Aceh, ciri-ciri faktor ini muncul dalam perilaku mereka. Dari kedua kasus yang bertahan tugas di Aceh ditemukan memiliki model dalam pembentukan kepribadiannya, yaitu orang tuanya sesuai dengan pendapat Bandura (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) bahwa
orang tua merupakan model identitikasi dan melalui tindakan merelca anak-anak membentuk perilaku mereka dalam kehidupannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa manusia dengan kapasitasnya dalam
mengatur diri sendiri memungkinkannya untuk belajar melalui model. Untuk itu, di dalam pembentukan profesionalisme Polri diperlukan model terutama di dalam pendidikan pembentukan anggota Polri, berikut dengan penguatan dari lingkungannya.
Penelitian dengan skala yang lebih luas masih diperlukan terutama untuk memberikan masukkan apakah ciri-ciri kepribadian pada kedua kasus yang bertahan menghadapi situasi Aceh ini memungkinkan untuk dibentuknya menjadi
polisi yang profesional, terutama dalarn peningkatan sumberdaya manusia Polri dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks"
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Salma Saada
"Salah satu permasalahan yang terjadi pada pengawas Dinas Diknas Kota Kendari adalah belum optimalnya supervisi akademik pengawas sekolah dalam perspektif peningkatan profesionalisme guru SMK di Kota Kendari. Dengan menggunakan pendekatan SSM, untuk mengetahui situasi dunia nyata dan memperbaikinya. Maka hasil penelitian memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Kendari agar melaksanakan perekrutan pengawas melalui seleksi, adanyan Diklat Pengawas secara berkesinambungan, dan adanya pemberian beasiswa kepada pengawas agar lebih termotivasi dalam meningkatkan kinerjanya sehingga supervisi akademik pengaws SMK Kota Kendari menjadi optimal.

A problems occuring on the supervisory education board of Kendari municipatily is the supervision of the school supervisor which is still not optimum to improve the profesionalism of SMK teacher in Kendari municipality. Research study through SSM approach has recommended the local goverment to improvsor through the selection prosess, providing training for supervisors, and providing a scholarship for the situation by recruiting supervisors."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35275
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Polarys
"Dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan batas waktu pelaksanaan bagi Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 sepuluh tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, dan merupakan hal penting yang harus terpenuhi sebagai wujud kepastian hukum. Dalam penelitian ini yang ingin dicapai adalah tentang profesionalisme Guru berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia, upaya pemenuhan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik melalui asas umum pemerintahan yang baik dan institusi dalam menyelesaikan masalah peningkatan profesionalisme tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pelaksanaan dalam mencapai guru yang profesional tidak terwujud oleh karena adanya celah hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga para guru terfokuskan untuk memenuhi target mengajar. Selain itu juga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam implementasinya bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik khususnya dalam hal asas kepastian hukum dan kemanfaatan. Oleh karena itu, perlu dibentuk Institusi Pendidikan Nasional yang tujuannya adalah menciptakan guru-guru yang professional dan berintegritas, sehingga semua guru di Indonesia wajib mengikuti pendidikan di institusi tersebut, yang pada akhirnya adalah persamaan atas kualitas guru di Indonesia.

Article 82 of Law Number 14 Year 2005 regarding Teachers and Lecturers provides a time limit for teachers who have not fulfilled academic qualifications and teachers certificate no later than 10 ten years since the enactment of this Law, and as a form of legal certainty it must be fulfilled. The goal of this research is to figure out teachers professionalism according to Indonesian regulation, the fulfillment of academic qualification and teachers certificate through the general principle of good governance, and of upgrading teachers professionalism problem solved by the institution. The results of the study shows that the implementation in achieving professional teachers is not achieved because of the legal loopholes in Article 35 paragraph 2 of Law Number 14 Year 2005 on Teachers and Lecturers, so that the teachers are focused to meet the teaching target. In addition, The implementation of this Law is in a contrary to the general principle of good governance, especially in terms of legal certainty and benefit. Therefore, it is necessary to establish a national education institution whose goal is to create professional teachers with integrity so that all teachers in Indonesia are required to attend the institution 39 s education, which in turn is the equality of the quality of teachers in Indonesia.Professionalism, Teacher, Legal Certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winston Tommy Watuliu
"Penerapan bernegara di masa otoritarianisme di masa lalu menempatkan Polri untuk tunduk pada kontrol militer dan mengadopsi cara-cara militeristik dalam menegakkan hukum dan melayani masyarakat. Akibatnya lahirlah berbagai bentuk penyimpangan mandat tugas seperti pelanggaran HAM, penggunaan kekerasan secara berlebihan (excessive use of force), dan penyalahgunaan kekuasaan serta korupsi. Sebagai upaya menjaga keseimbangan dalam kepolisian demokratis (democratic policing) membutuhkan sumber daya dari kapasitas negara (state capacity) dan keinginan dari pemerintah untuk melaksanakan kekuasaan negara. Suatu pemerintahan yang demokratis harus bersedia untuk mengembangkan lembaga-lembaga negara seperti kepolisian yang memungkinkan secara efektif memerangi kejahatan dan gangguan sosial, sementara pada saat yang bersamaan membatasi kemampuan polisi untuk melakukan kekuatan fisik yang dapat melanggar HAM. Terdapat tiga dimensi kapasitas negara dalam kepolisian demokratis (Fichtelberg, 2013) yaitu organisasi, profesionalisme dan legalitas. Ketiga dimensi dari kapasitas negara tersebut belumlah cukup untuk dapat membangun kepolisian demokratis di suatu negara, terdapat beberapa dimensi lain yang perlu ditelaah untuk memperkuat kapasitas negara dalam kepolisian demokratis seperti dimensi institusi (Klockars, 1993), politik (Berkley, 1970), budaya (Bayley, 2006, & Dixon, 1999). Dalam upaya memperkuat kapasitas negara (state capacity) dalam kepolisian demokratis Reserse Polri, digunakan soft system methodology berbasis riset tindakan di mana alat bantu intelektual berupa human activity systems dalam bentuk root definition, yang kemudian dibuat model konseptualnya untuk research interest dan problem solving interest. Sesuai dengan kaidah dalam soft system methodology berbasis riset tindakan, proses pembandingan dan debating ini untuk tujuan penelitian teoretik yang melibatkan peneliti, promotor dan ko promotor serta para penguji lainnya sebagai academic reviewers. Sedangkan untuk problem solving interest melibatkan para pemangku kepentingan dari transformasi kepolisian konvensional kepada kepolisian demokratis Reserse Polri dan praktisioner SSM. Hasil penelitian ditemukan bahwa konstruksi teoritis untuk research interest yaitu perlunya penguatan melalui pengembangan tiga dimensi kapasitas negara dalam kepolisian demokratis yaitu organisasi, profesionalisme dan legalitas (Fichtelberg, 2013) yang dapat diperkuat dan dikembangkan dengan dimensi institusi (Klockars, 1993), politik (Berkley, 1970), budaya (Bayley, 2006, Dixon, 1999). Pengembangan dari tiga dimensi menjadi enam dimensi dari kapasitas negara dalam membangun kepolisian demokratis merupakan novelty dari penelitian yang bersifat research interest. Dimensi institusi, politik dan budaya juga merupakan dimensi yang penting dan harus ada dalam kapasitas negara dalam membentuk institusi kepolisian demokratis. Bareskrim Polri memiliki peluang untuk dapat melakukan transformasi kepolisian melalui kepolisian demokratis (democratic policing) melakukan inovasi tata kelola kepolisian sebagai pelayan publik, menjunjung tinggi supremasi hukum, etika kepolisian, dan hak asasi manusia, menjaga akuntabilitas dan transparansi, struktur dan manajerial yang efektif dan efisien dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat demokratis.

The implementation of the life of state during the past authoritarian era has put the Indonesian National Police under the military control and that the Indonesian Police had to adopt militaristic methods in enforcing the law and in serving the people. This has caused many forms of dereliction of duty such as violation of human rights, excessive use of force, abuse of power and corruption. The effort to maintain the balance in democratic policing requires resources from the state capacity and political will of the government to implement the power of the state. A democratic government must be willing to develop state institutions such as police institution which will fight against crime and social problems, and at the same time restrict police capability that may violate against human rights. There three dimensions of the state capacity in democratic policing (Fichtelberg, 2013), namely organization, professionalism and legality. These three dimensions of the state capacity, however, are not yet enough to develop democratic policing in a nation. There are still other dimensions to be explored in order to strengthen the state capacity in democratic policing, such as institutions (Klockars, 1993), politics (Berkley, 1970), and culture (Bayley, 2006, & Dixon, 1999). In the effort of strengthening the state capacity in democratic policing in the Criminal Investigation Division, the Indonesian Police uses an action research based soft system methodology whereby intellectual device of human activity systems in the forms of root definition, which then becomes the conceptual model for research interest and problem solving interest. In accordance with the principle in the action research based soft system methodology, the process of comparing and debating is for theoretical research purpose which involves researchers, promotors and co-promotors as well as other examiners being the academic reviewers. On the other hand, problem solving interest involves the stakeholders of the transformation from conventional police to democratic police in the Criminal Investigation Division, the Indonesian Police and SSM practitioners. The research results show that the theoretical construction for research interest is the need of empowerment through the development of three dimensions of state capacity in democratic policing, namely organization, professionalism and legality (Fichtelberg, 2013), which can be strengthened and developed with such other dimensions as institutions (Klockars, 1993), politics (Berkley, 1970), and culture (Bayley, 2006, & Dixon, 1999).The development from three dimensions to six dimensions of the state capacity in establishing democratic police constitutes novelty of research having the nature of research interest. Institution, politics and cultures are three important dimensions and they should exist in the state capacity in establishing democratic policing. The Criminal Investigation Division of the Indonesian National Police has the chance to implement police transformation through democratic policing and to make innovation in good governance of the police as public servant, to uphold the supremacy of law, police ethics, human rights, to keep accountability and transparency, effective and efficient structure and management in the framework of providing protection and services to a democratic society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivian Wijaya
"Latar belakang: Penggunaan media sosial di kalangan pelaku praktik kedokteran gigi marak dilakukan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Fenomena pelanggaran e-profesionalisme telah dilaporkan dalam literatur dan dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari. Timbulnya ekspektasi pasien yang terlalu tinggi atau tidak logis terhadap perawatan, termasuk di bidang Prostodonsia, semakin marak terjadi. Terlebih lagi, definisi e-profesionalisme di Indonesia masih merupakan perdebatan. Minimnya aturan tentang penggunaan media sosial untukpelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia menyebabkan tidak jelasnya batas tindakan profesional dalam bermedia sosial.
Tujuan: Mengetahui preferensi, intensi dan perilaku penggunaan media sosial di kalangan pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan dengan menggunakan kuesioner kepada tiga kelompok subjek, yaitu dokter gigi spesialis, dokter gigi umum dan mahasiswa koas. Studi kualitatif melalui wawancara singkat dilakukan pada 8 orang perwakilan kelompok subjek tersebut untuk memperkaya item kuesioner dari literatur. Diskusi pakar dilakukan untuk merumuskan item kuesioner yang menyusun domain preferensi, intensi dan perilaku bermedia sosial. Validasi kuesioner dilakukan melalui uji coba kuesioner kepada 30 orang perwakilan kelompok subjek. Kuesioner disebarkan melalui media sosial ke 450 responden dari ketiga kelompok subjek. Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia dari setiap kelompok generasi menggunakan media sosial 1-3jam/ hari. Platform yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp, Instagram dan YouTube. Tujuan utama mereka adalah mencari hiburan dan jenis konten yang paling banyak dibagikan adalah update kehidupan pribadi. Mayoritas responden memasang pengaturan privasi untuk mengatasi hambatan berupa ancaman terhadap keamanan data. Mereka percaya bahwa penggunaan media sosial dapat memberikan informasi dan memperluas jaringan sosial, namun menyita waktu. Pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia menganggap konten iklan/promosi berisi kalimat ajakan, diskon, harga, dan dokter gigi sebagai duta merk termasuk sebagai kategori konten yang tidak profesional. Banyaknya konten promosi yang beredar di media sosial memicu pemilihan sikap netral responden dalam menentukan sikap e-profesionalisme terhadap konten promosi. Organisasi profesi dianggap belum memberikan aturan yang memadai, terutama dalam hal pengaturan tata cara beriklan di media sosial. Konten restorasi direk kedokteran gigi merupakan konten utama yang banyak dilihat di media sosial. Bidang Prostodonsia merupakan bidang yang terdampak tertinggi kedua oleh adanya media sosial. Tingkat kekhawatiran terhadap dampak dari media sosial pada citra diri, citra institusi profesi dan karir meningkat seiring meningkatnya pendidikan. Pada kelompok subjek dengan tingkat pendidikan dan usia yang lebih tinggi, cresponden cenderung tidak terpengaruh oleh media sosial dalam mendiagnosis/menentuka rencana perawatan
Kesimpulan: Preferensi pelaku praktik kedokteran gigi terhadap penggunaan media sosial tergambarkan melalui pemahaman terhadap faktor sosiodemografis, kepercayaan terhadap penggunaan media sosial, pemberlakuan aturan penggunaan media sosial, serta sikap e-profesionalisme dalam bermedia sosial. Preferensi, Intensi dan Perilaku bermedia sosial di setiap kelompok generasi cenderung sama. Setiap kelompok generasi cenderung memilih sikap netral terhadap konten promosi di media sosial. Aturan tentang tata cara beriklan di media sosial merupakan salah satu aturan yang dirasakan perlu untuk diterapkan di Indonesia. Preferensi dan intensi bermedia sosial di kalangan pelaku praktik kedokteran gigi di Indonesia selaras dan dapat menggambarkan perilaku mereka dalam bermedia sosial.

Background: The use of social media among dental practitioners is rife worldwide, including in Indonesia. Violation of e-professionalism has been reported in the literature and easily observed. Unrealistic patient expectations for treatment result, especially in Prosthodontics, is increasing across the board. Furthermore, the definition of e-professionalism in Indonesia is still a debate. The lack of regulations regarding the use of social media among Indonesian dental practitioners has led to blurry boundaries between professional and unprofessional actions.
Objective: To find out about preferences, intentions, and behavior of social media usage among dental practitioners in Indonesia.
Methods: The study was conducted using a questionnaire among three groups, including specialist dentists, general dentists and dental students. A qualitative study was conducted through interviews with eight representatives to enrich the questionnaire items found in a literature search. Expert panel discussions were held to determine questionnaire items that build the preferences, intentions, and behavior domains on social media usage. Questionnaire validation was performed by testing the questionnaire on 30 representatives of the subject group. The questionnaire was spread-out through social media with a target of 450 respondents. The research results were analyzed descriptively using statistic software.
Results: Dental practitioners in Indonesia from each generation group use social media for 1-3 hours/day regardless of the various sociodemographic factors behind it. The most used platforms are Whatsapp, Instagram, and YouTube. Their main goal and most shared digital content are to seek entertainment and personal life updates. Most respondents install privacy settings to overcome obstacles in the form of threats to data security. They believe that social media can provide information and broaden social networks, yet it is time-consuming. Dental practitioners in Indonesia consider advertising/promotional content that incorporates solicitations, discounts, prices, and dentists as brand ambassadors included as unprofessional content. The widely shared promotional content on social media triggers respondents' neutral attitude in determining e-professionalism towards promotional content. Indonesian Dental Association is considered not to provide adequate rules, especially in regulating advertising procedures on social media. The prosthodontics sector is the second highest affected dental field by social media. Higher levels of education shows increase of concern over social media's effects on career, professional institutions, and self-image. With increasing age and educational level, there was a decline in the proportion of respondents who acknowledged that social media had influenced their diagnosis or development of treatment plans.
Conclusion: Dental practitioners' preference for using social media is illustrated by understanding their sociodemographic factors, belief in the use of social media, regulations, and attitudes towards e-professionalism. Social media preferences, intentions, and behavior in each generation group tend to show the same result. Each generation group tends to choose a neutral attitude towards promotional content on social media. Indonesian Dental practitioners demand regulation on how to advertise on social media. Social media preferences and intentions among dental practitioners in Indonesia are in conjunction and explaining their behavior in social media.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Ramadhani
"Artikel ini akan membahas mengenai bentuk reposisi dan pembenahan citra yang dilakukan oleh ABRI pada masa reformasi (1999-2000). Penulisan ditujukan untuk mengetahui kebijakan dan kronologis penghapusan peran sosial-politik ABRI serta kembalinya ABRI sebagai lembaga pertahanan melalui rangkaian publikasi media surat kabar sezaman. Penulis menganalisis rangkaian peristiwa pembenahan yang ABRI lakukan melalui publikasi Paradigma Baru dan penerapan Reformasi Internal. Penulisan akan berfokus pada penerapan kebijakan Reformasi Internal dan dampaknya bagi pemulihan citra ABRI di masyarakat Indonesia. Metode yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari empat tahapan yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Penulis kemudian melakukan kajian terhadap literatur dan arsip terkait serta surat kabar sezaman yang disusun menjadi narasi penulisan sejarah. Hasil dari penulisan ini menunjukkan bahwa penerapan Reformasi Internal dan Paradigma Baru TNI berfokus pada redefinisi, reorganisasi dan reaktualisasi TNI sebagai lembaga pertahanan keamanan bangsa dan Upaya TNI dalam menghapus peran sosial-politiknya. Penulisan akan berfokus pada rangkaian Reformasi Internal dan publikasinya melalui surat kabar dalam rangka penyebaran pemahaman Paradigma Baru dan perubahan fungsi TNI sebagai pertahanan keamanan masyarakat.

This article will discuss the form of image repositioning and improvement carried out by ABRI during the reform period (1999-2000). The research is aimed at knowing the policy and chronology of the elimination of ABRI's socio-political role and the return of ABRI as a defense institution through a series of contemporary newspaper media publications. The researcher analyzed the series of reforms carried out by ABRI through the publication of the New Paradigm and the implementation of Internal Reform. The research will focus on implementing the Internal Reform policy and its impact on restoring ABRI's image in Indonesian society. The method used in this study uses the historical method which consists of four stages, namely heuristics, verification, interpretation and historiography. The researcher then conducted a study of related literature and archives as well as contemporary newspapers which were compiled into historical research narratives. The results of this study indicate that the implementation of Internal Reform and the New Paradigm of the TNI focuses on the redefinition, reorganization and re-actualization of the TNI as a national defense and security institution and the efforts of the TNI in eliminating its socio-political role. This research will focus on the Internal Reform series and its publication in newspapers in the context of disseminating understanding of the New Paradigm and changing the TNI's function as a defense of community security."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2023
TA-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>