Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theresia Feline Husen
"Pendahuluan: Heparin dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien COVID-19. Namun, indikasi dan efeknya masih berbeda di berbagai penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian heparin dalam menurunkan keparahan gejala klinis. Metode :Studi retrospektif dilakukan dari rekam medis pasien COVID-19 kondisi sedang-berat yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Parameter yang diperiksa adalah kondisi klinis pasien (tingkat mortalitas dan total lama perawatan), kadar D-dimer, dan trombosit pada dua kelompok, kelompok yang diberikan heparin dan yang tidak. Hasil:Penelitian ini menyertakan 110 subjek penelitian. Terdapat tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok heparin dibandingkan kontrol (45,3% vs 5 10,9%; p<0,01). Hal ini dapat disebabkan perbedaan derajat sedang dan berat. Mayoritas kelompok heparin berkondisi berat (58,1% vs 28,2%) jika dibandingkan kontrol. Pada pengecekan laboratorium, heparin menurunkan kadar D-dimer (790 ke 500 vs 725 ke 4.475 µg/L) dan trombosit (366 ke 208x103 vs 217 ke 318x103/µL)secara signifikan (p<0,01). Kesimpulan: Kelompok heparin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi akibat tingkat kondisi yang lebih berat, tetapi kadar D-dimer dan trombosit menurun dibandingkan kelompok kontrol.

Introduction: Heparin can be used as therapy for COVID-19 patients. However, the indications and effects still differ in various studies. Therefore, this study aims to assess the effectiveness of heparin administration in reducing the severity of clinical symptoms. Methods: A retrospective study was conducted from medical records of moderate-severe COVID-19 patients treated at the University of Indonesia Hospital (RSUI). The parameters examined were the patient's clinical condition (mortality rate and total length of treatment), D-dimer levels, and platelets in two groups, those given heparin and those not. Results: This study included 110 research subjects. There was a higher mortality rate in the heparin group compared to controls (45.3% vs 5 10.9%; p<0.01). This is due to the difference in moderate and severe degrees. The majority of the heparin group had severe conditions (58.1% 28.2%) when compared to controls. In laboratory tests, heparin reduced the levels of D-dimer (790 to 500 vs 725 to 4,475 µg/L) and platelets (366 to 208x103 vs 217 to 318x103/µL) significantly (p<0.01). Conclusion: The heparin group had a high mortality rate due to more severe conditions, but D-dimer and platelet levels decreased compared to the control group"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hubertus Hosti Hayuanta
"Pasien sirosis hati perlu dievaluasi secara berkala untuk menentukan adanya varises esofagus (VE) dan ukurannya (besar atau kecil), karena VE besar membutuhkan penatalaksanaan yang lebih agresif. Evaluasi ini dilakukan dengan endoskopi yang tidak selalu ada, invasif, dan berbiaya tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pemeriksaan yang non invasif, lebih murah, dan lebih mudah diakses untuk menentukan besarnya VE. Parameter yang diteliti adalah hitung trombosit, prothrombin time (PT), kadar albumin, dan bilirubin. Desain penelitian adalah potong lintang dengan 64 subjek, terdiri atas 24 pasien sirosis hati dengan VE besar dan 40 tanpa VE besar.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna pada hitung trombosit, PT, dan kadar albumin antara kedua kelompok, sedangkan kadar bilirubin tidak memberikan perbedaan yang bermakna. Untuk parameter hitung trombosit didapatkan besar area under the curve untuk memprediksi VE besar sebesar 80,9%, dengan cutoff 89,5 x 103/μL didapatkan sensitivitas 79,2% dan spesifisitas 75,0%; PT 68,4%, dengan cutoff 14,05 detik didapatkan sensitivitas 70,8% dan spesifisitas 67,5%; kadar albumin 76,6%, dengan cutoff 3,275 g/dL didapatkan sensitivitas 70,8% dan spesifisitas 75,0%. Model prediksi sirosis hati dengan VE besar adalah P = 1/(1 + Exp-Logit (y)) dengan Logit (y) = 11,989 ? 0,026 x hitung trombosit ? 2,243 x kadar albumin - 0,184 x PT.

Patients with liver cirrhosis require periodic evaluation to determine the presence and size of esophageal varices (EV), because the large ones demand more aggressive management. Evaluation is done using endoscopy, which is not always available, invasive, and costly. This study aims to acquire tests that are noninvasive, cheaper, and more accessible to determine the size of EV. Studied parameters were platelet count, prothrombin time (PT), albumin, and bilirubin level. The study design was cross sectional with 64 subjects, consisted of 24 liver cirrhotic patients with large VE and 40 without.
This study found significant difference in platelet count, PT, and albumin level between both groups, while bilirubin level was not. The size of area under the curve for platelet count to predict large VE was 80.9%, cutoff 89.5 x 103/μL (sensitivity 79.2%, specificity 75.0%), PT 68.4%, cutoff 14.05 seconds (sensitivity 70.8%, specificity 67.5%), and albumin level 76.6%, cutoff 3.275 g/dL (sensitivity 70.8%, specificity 75.0%). Prediction model for liver cirrhosis with large VE was P = 1/(1 + Exp-Logit (y)) with Logit (y) = 11.989 ? 0.026 x platelet count ? 2.243 x albumin level - 0.184 x PT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmanu Reztaputra
"Latar Belakang COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi sejak tahun 2020. Berbagai terapi telah dikembangkan akan tetapi terdapat laporan kejadian trombosis pasca COVID-19. Diduga salah satu mekanisme yang berperan adalah aktivasi trombosit oleh antibodi.
Hal tersebut dikemukakan akibat adanya temuan manifestasi mirip Heparin-Inducued Thrombocytopenia (HIT) pada COVID-19. HIT terjadi akibat adanya antibodi antiPF4/heparin yang berikatan dengan reseptor FcIIR di trombosit. Terdapat banyak penanda aktivasi trombosit, salah satunya P-selektin.
Tujuan. Mengetahui perbedaan rerata kadar antiPF4, P-selektin serum, serta agregasi trombosit antar derajat COVID-19.
Metode. Penelitian ini menggunakan sampel penelitian sebelumnya Hubungan Kadar 25-Hydroxy Vitamin D dengan Luaran Pasien Terkonfirmasi COVID-19 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Wisma Atlit pada Oktober 2021 sampai Januari 2022. Sampel serum tersebut disimpan di lab RSCM Kencana dan dilakukan simple random sampling. Pemeriksaan kadar P-selektin dan antiPF4 dilakukan dengan metode ELISA di Lab Diagnos, sedangkan agregasi trombosit pasca paparan serum di Lab RSCM.
Hasil. Dilakukan analisis pada 160 sampel. Berdasarkan severitas terdapat 21 orang termasuk COVID-19 berat/kritis dan sisanya ringan/sedang. Komorbiditas, penyakit jantung, ginjal kronik, DM tipe 2, dan serebrovaskular secara bermakna lebih banyak pada kelompok berat kritis. Kadar P-selektin secara bermakna lebih tinggi pada kelompok berat kritis (median 43791,79 vs. 39112,3 pg/ml). Selain itu juga didapatkan agregasi yang lebih tinggi pada kelompok berat-kritis dengan agonis ADP 10 dan 5 uM (median masing-masing 32,8 vs 13,8 dan 28,5 vs 11,1 persen). Tidak terdapat perbedaan bermakna antiPF4 antar derajat COVID-19.
Kesimpulan. Terdapat perbedaan bermakna kadar P-selektin dan agregasi trombosit antar derajat COVID-19.

Background. COVID-19 became pandemic since 2020. While its treatment was being developed there were reports of thromboses event after COVID-19. One mechanism suggested was platelet activation due to antibody because of observation similar manifestation with heparin-induced thrombocytopenia in COVID-19. Main culprit of HIT is antibody to PF4/heparin. Which bind FcIIR receptor in thrombocyte, leading to its activation. There are many markers of thrombocyte activation, one of them is P-selectin.
Objectives. Determine the mean difference of P selectin and antiPF4 levels in serum and thrombocyte aggregation between COVID-19 severity.
Methods. This study uses samples already taken before, in Association of 25-Hydroxy-Vitamin D Levels with Outcome of COVID-19 Patients research from October 2021 to January 2022. Serum was stored in -20 C degrees in RSCM Laboratory. We planned to
do a simple random sampling. P-selectin and antiPF4 measured with ELISA in Diagnos Laboratory. Thrombocyte aggregation was measured by Light Transmission Aggregometry in RSCM.
Results. A total of 160 subjects analyzed 21 of them had severe/critical COVID-19. Comorbidities, heart disease, diabetes type 2, cerebrovascular disease were significantly higher in severe/critical disease. The median of P-selectin is significantly higher in severe covid (43791,79 vs. 39112,3 pg/ml). As aggregometry we find significantly higher
aggregation in severe disease with 10 and 5 uM ADP agonist. There is no difference of antiPF4 levels between groups.
Conclusion. There is a significant difference in P-selectin level and maximal aggregation between severe and non-severe COVID-19.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mirta Hediyati Reksodiputro
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
PGB0612
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Sundari
"Jumlah perokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi mengalami peningkatan
dari waktu ke waktu. Rokok dapat memengaruhi trombosit yang dapat
menyebabkan gangguan kardiovaskular. Penelitian ini merupakan penelitian
potong lintang yang bertujuan untuk menganalisis lama merokok dan
jumlah rokok yang dikonsumsi terhadap jumlah trombosit, mean platelet
volume (MPV), platelet distribution width (PDW), platelet crit (PCT), dan
platelet large cell ratio (PLCR). Penelitian dilakukan di Pabrik Garmen
Cimahi pada tahun 2014 yang diikuti oleh 31 laki-laki perokok aktif berusia
19 - 50 (32,97 + 10,28) tahun, 70,9% di antaranya sebagai perokok sedang.
Analisis data dilakukan secara deskriptif, uji normalitas Shapiro-Wilk, dan uji
korelasi Spearman?s rho. Peserta telah merokok selama minimal dan maksimal
dengan rata-rata (+ SB), yaitu 3 - 25 tahun (10,48 + 6,33) dan konsumsi
rokok sebanyak 5 - 25 batang per hari (13,10 + 4,99). Jumlah trombosit
171 - 422 (280,9 + 56,2) x 10^3 sel/mm3, MPV 8,8 - 13,6 (10,14 + 0,93)
fL, PDW 8,7 - 13,8 (10,27 + 1,22) fL, PLCR 14,4 - 38,8% (24,91 + 5,46), dan
PCT 0,1 - 0,4%(0,28 + 0,06). Sebaran ukuran trombosit ditemukan normal,
namun dengan ukuran besar sesuai nilai MPV dan PLCR yang tinggi. PCT
normal berkorelasi sangat kuat dengan jumlah trombosit. Jumlah batang
rokok yang dikonsumsi berkorelasi lemah dengan lamanya merokok. Lama
merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi berkorelasi negatif dengan
jumlah trombosit, MPV, PDW maupun PLCR.
Number of smokers and cigarette consumption are increasing from time to
time. Cigarettes influence thrombocytes which may cause cardiovascular
disorder. This study was a cross sectional study aiming to analyze smoking
period and cigarette consumption number toward the number of thrombocytes,
MPV, PDW, PCT and PLCR. This study was conducted at Cimahi
Garment Factory in 2014 participated by 31 active male smokers in age of
19 - 50 (32,97+10,28) years old in which 70,9% of them were medium
smokers. Data analysis was conducted descriptively, using Shapiro-Wilk
normality test and Spearman?s rho correlation test. Participants had been
smoking for the minimum and maximum 3 - 25 (10.48 + 6.33) years and 5 -
25 (13.10 + 4.99) cigarettes in average per day. The number of thrombocytes
was worth 171 - 422 (280,9 + 56,2)x10^3 cells/mm3, MPV 8.8 - 13.6
(10.14 + 0.93) fL, PDW 8.7 - 13.8 (10.27+ 1.22) fL, PLCR 14.4 - 38.8%
(24.91 + 5.46) and PCT 0.1 - 0.4% (0.28 + 0.06). PDW was found normal
with the giant shape in accordance with the high MPV and PLCR value. PCT
was normal correlated strongly with thrombocyte number. The cigarette consumption
number had a weak correlation with the smoking period. The
smoking period and the cigarette consumption number had a negative correlation
with the number of thrombocytes, MPV, PDW and PLCR."
Universitas Jenderal Achmad Yani, Fakultas Kedokteran, Program Studi Pendidikan Dokter Laboratorium Patologi, 2015
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nunung Nursyarofah
"Latar Belakang: Respon antar-individu yang bervariasi terhadap obat antiplatelet (clopidogrel) telah dilaporkan. Perbedaan tingkat metabolisme clopidogrel untuk metabolit aktif tiol menggambarkan variabilitas antar-individu dalam penghambatan trombosit. Sitokrom P4502C19 (CYP2C19) memetabolisme zat metabolit aktif tiol. Carier polimorfisme yang menyebabkan hilangnya fungsi CYP2C19 * 2 dan * 3 alel pada terapi antiplatelet mengakibatkan berkurangnya penghambatan agregasi trombosit. Informasi mengenai hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 dengan inhibisi agregasi trombosit pada pasien Sindroma koroner akut di Indonesia masih terbatas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dua varian, CYP2C19 * 2 (6816>A) dan CYP2C19 * 3 (636G>A) terhadap penurunan fungsi inhibisi agregasi trombosit.
Bahan dan Metode: Desain penelitian cross sectional. Jumlah responden adalah 114 orang (dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi). Pemeriksaan polimorfisme CYP2C19 dilakukan dengan menggunakan teknik Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) TaqMan SNP Genotyping Assays dengan alat dari applied Biosystems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standart or 9600 emulation mode). Inhibisi agregasi trombosit diperiksa dengan menggunakan metode Light Transmisi Aggregometry (LTA) dengan alat Helena AggGRAM Analyzer pada penambahan 5umol/L ADP sebagai agregator.
Hasil: Distribusi inhibisi agregasi trombosit menunjukkan perbedaan rerata antara responden non carier polimorfisme dengan responden carier polimorfisme (16,9 CI95%: 12,1-21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). Analisis regresi linier menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme memiliki inhibisi agregasi trombosit lebih rendah dibandingkan dengan responden non carier polimorfisme. Analisis regresi logistik menunjukkan bahwa responden carier polimorfisme mempunyai odds untuk merespon kurang baik terhadap clopidogrel sebesar 1,9 kali jika dibandingkan dengan responden yang non carier setelah dikontrol oleh variabel umur dan jenis kelamin, hal tersebut mengindikasikan bahwa carier polimorfisme mempunyai inhibisi yang rendah terhadap agregasi trombosit.
Kesimpulan: Temuan kami membuktikan adanya hubungan antara CYP2C19 * 2 dan * 3 polimorfisme dengan inhibisi agregasi trombosit.

Background: Inter-individual variability in response to antiplatelet drugs (clopidogrel) has been reported. The difference in the extent of metabolism of clopidogrel to its active metabolite tiol is the most plausible mechanism for the observed inter-individual variability in platelet inhibition. The cytochrome P4502C19 (CYP2C19) metabolizes the active metabolite tiol. The carrier polymorphisms of reduced - functions of CYP2C19*2 and *3 allele on antiplatelet therapy showed diminished platelet aggregation inhibition. There is limited information on the association between CYP2C19 *2 and *3 with platelet aggregation inhibition in ACS patients generally in Indonesia Population. The aim of this study was to determine the association between two variants, CYP2C19*2 (6816>A) and CYP2C19*3 (636G>A) reduced function with platelet aggregation inhibition.
Material & Method: a cross sectional study was done with 114 subjects (selected by inclusions and exclusions criteria). The CYP2C19 polymorphisms were genotype using the PCR method with TaqMan SNP Genotyping Assays from applied Bio systems 7500 Fast/7900HT Fast Real Time PCR Systems (in standard or 9600 emulation mode). The platelet aggregation inhibition was tested using Light Transmission Aggregometry (LTA) by Helena AggGRAM Analyzer with 5umol/L ADP as aggregator.
Results: The distribution of platelet inhibition aggregation showed difference between respondents with non-carrier polymorphisms and carrier polymorphisms (16,9 CI95%: 12,1 -21,6 vs 9,4 CI95%: 2,9 - 15,0). The linier regression analysist indicated that the carrier polymorphisms have lowest platelet aggregation inhibition compared with non-carrier polymorphisms. The logistic regression analysis indicated that carrier polymorphisms respondents has 1,9 odds to be low response to clopidogrel if compared with non-carrier polymorphisms respondents after adjusted with age and sex and it is indicated that it has low platelet aggregation inhibition.
Conclusion: Our present findings the evidence of an association between CYP2C19 *2 and *3 polymorphisms and platelet aggregation inhibition.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamelia Naser
"Serbuk “DF” merupakan suplemen yang mempunyai komposisi berupa DRibosa, L-Karnitin fumarat, Koenzim Q10 dan magnesium. Suplemen ini di duga dapat meningkatkan trombosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit dan
diharapkan dapat membantu penyembuhan penyakit demam berdarah. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa serbuk DF dapat meningkatkan jumlah trombosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, dan bentuk sel darah pada tikus yang dibuat anemia. Serbuk “DF” diberikan secara oral pada 35 ekor tikus jantan yang masing-masing diberikan kedalam lima kelompok. Kelompok I merupakan
kelompok kontrol normal dan kelompok II adalah kelompok kontrol anemia hanya diberikan larutan CMC 0,5%, sedangkan kelompok III, IV dan V masingmasing
diberikan dosis sebesar 5.4 g/kg bb tikus, 10.8 g/kg bb tikus dan 21.6 g/kg bb tikus. Darah diambil pada keadaan anemia dan pada hari ke-6 setelah pemberian obat untuk dilakukan penghitungan jumlah trombosit, penetapan kadar
hemoglobin dan kadar hematokrit. Hasil uji statistik ANAVA menunjukkan perbedaan secara bermakna antar kelompok perlakuan maupun dengan kelompok kontrol normal dan kontrol anemia (a ≤ 0,05). Pengamatan bentuk sel darah dinilai dengan cara membandingkan kelompok kontrol sebagai bentuk sel darah yang normal dengan kelompok variasi dosis. Dari pengamatan mikroskopis,
bentuk sel darah pada tikus antara kelompok dosis I, II, III, menunjukkan bentuk sel darah yang normal, dibandingkan pada saat anemia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Serbuk “DF” selama 6 hari mempengaruhi jumlah trombosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit dan bentuk sel darah tikus putih adalah dosis II."
Depok: [Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, ], 2010
S33085
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Annisa Jamal
"Daun gandarusa (Justicia gendarussa Burm.) telah lama digunakan oleh masyarakat antara lain untuk mengobati reumatik. Pemanfaatan tanaman ini perlu ditunjang oleh data ilmiah dengan melakukan uji keamanan. Penelitian ini dilakukan untuk menentukan nilai potensi toksisitas relatif (LD50) ekstrak etanol daun gandarusa dan mengetahui pengaruhnya terhadap jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, dan kadar hemoglobin.
Sebanyak 50 ekor mencit jantan dan 50 ekor mencit betina dikelompokkan menjadi 5 kelompok mengikuti rancangan acak lengkap. Kelompok II, III, IV dan V merupakan kelompok yang diberi ekstrak etanol daun gandarusa dengan dosis berturut-turut 4; 8; 16; dan 32 g/kg bb. Kelompok I adalah kelompok kontrol yang diberi aquadest. Pengamatan jumlah hewan uji yang mati dilakukan setelah 24 jam.
Hasil penelitian menunjukkan LD50 ekstrak etanol daun gandarusa yaitu sebesar 31,99 g/kg bb untuk jantan dan 27,85 g/kg bb untuk betina dengan kategori tidak toksik. Hasil ANAVA satu arah (α = 0,05) terhadap jumlah eritrosit, leukosit, trombosit dan kadar hemoglobin sebelum perlakuan, setelah 24 jam dan setelah 14 hari perlakuan menunjukkan bahwa tidak terdapat erbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun gandarusa tidak mempengaruhi jumlah eritrosit, leukosit, trombosit, dan kadar hemoglobin."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S32681
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail L.B
"ABSTRAK
Angkak merupakan beras hasil fermentasi kapang Monacus purpureus yang umum ditemukan dalam makanan berkabohidrat. Di Indonesia, angkak telah digunakan secara empiris untuk mengobati beberapa penyakit yang terkait dengan gangguan hematologi, namun penelitian ilmiah terkait dengan khasiat angkak terhadap gangguan tersebut masih jarang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak angkak, yang diberikan peroral pada hari ketiga hingga kedelapan pada hewan uji yang telah diinduksi dengan anilin pada hari kesatu dan kedua, terhadap jumlah trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Kamar hitung Improved Neubauer digunakan untuk perhitungan trombosit dan eritrosit, cara Sahli untuk pengukuran kadar hemoglobin, dan metode mikrohematokrit untuk pengukuran kadar hematokrit. Hewan uji yang digunakan adalah 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu kelompok kontrol normal, kontrol anemia, dan tiga kelompok yang menerima ekstrak angkak dengan dosis 1,26; 2,52; 5,04 g/200g berat badan tikus. Trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit dihitung sebelum dan setelah pemberian ekstrak angkak, dan hasilnya dianalisa secara statistik. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara jumlah trombosit, jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit kelompok dosis dengan kelompok kontrol anemia, walaupun jumlah rata-rata trombosit dan eritrosit serta kadar hemoglobin mengalami peningkatan.
ABSTRACT
Angkak is rice fermented by Monascus purpureus, which is yeast commonly
found in starchy food. In Indonesia, angkak has been used for treatment of disease
related with hematological disorder. Nevertheless, only few researches had been
done to verify the effect. The aim of this research was to understand the influence
of angkak extract, which had been given orally at 3"'-8"" day to male rats induced
with aniline at 1%-2" day, to thrombocyte, erythrocyte, hemoglobin, and
hematocrit. Counting chamber /mproved Neubauer was used for thrombocyte and
erythrocyte count, Sahli’s method for hemoglobin level, and microhematocrit
method for hematocrit level. This research used 25 male rats of Sprague Dawley
strain that were divided into five groups : normal control, anemia control and
three other groups receiving an angkak extract at doses 1,26; 2,52; 5,04 g/200g
body weight respectively. Thrombocyte, erythrocyte, hemoglobin, and hematocrit
were measured before and after taking the extract , then the result were analyzed
statically. The calculation indicated that there was no significant difference
(p>0,05) between anemia control and three dose groups, in thrombocyte count,
erythrocyte count, hemoglobin level, and hematocrit level, although the average of
thrombocyte, erythrocyte, and hemoglobin had increased."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S33088
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ermi Wahyu Haryani
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit multisistemik yang melibatkan kaskade imunologi, inflamasi, dan koagulasi. Biomarker di sirkulasi yang dapat memberikan informasi mengenai kondisi inflamasi dan status imun dapat digunakan dalam mendiagnosis dan menilai prognosis pasien COVID-19. Parameter hematologi rutin, mudah dilakukan, biaya terjangkau dan cepat, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi awal sistem imun pasien yang dapat dihubungkan dengan outcome penyakit. Nilai RNL, RML dan RTL dapat mendeteksi dini kecurigaan perburukan kondisi pasien COVID-19. Penelitian ini menggunakan desain nested case-control yang melibatkan 206 data subjek yang terdiri atas 141 subjek luaran baik dan 65 subjek luaran buruk. Dijumpai perbedaan bermakna nilai RNL, RML dan RTL antara kelompok luaran baik dan buruk. Nilai titik potong optimal RNL, RML dan RTL berturut-turut adalah ≥5,43; ≥0,46 dan ≥196,34 untuk mendiskriminasi luaran buruk. Area Under Curve (AUC) untuk RNL adalah 0,825 (0,766-0,884), sensitivitas 76,9%, spesifisitas 73,8%; AUC RML 0,763 (0,692-0,833), sensitivitas 73,8%, spesifisitas 68,1% dan AUC RTL 0,617 (0,528-0,705), sensitivitas 63,1%, spesifisitas 60,3%. Usia >30 tahun (OR=2,59; IK95% 1,34-5,02), adanya komorbid (OR=2,21; IK95% 1,28-3,81), RNL ≥5,43 (OR=4,60; IK95% 2,07-10,26) dan RML ≥0,46 (OR=2,09; IK95% 0,93-4,67) berhubungan dengan luaran buruk pasien COVID-19.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a multisystemic disease involving immunologic, inflammatory, and coagulation cascades. Biomarkers in circulation which can provide information on inflammatory conditions and immune status can be used in diagnosing and assessing the prognosis of COVID-19 patients. Hematology parameters are routinely performed, easy, affordable and fast, so it can provide preliminary information on the patient's immune system that linked to disease outcomes. NLR, MLR and TLR values can detect early suspicion of worsening conditions of COVID-19 patients. This study used a nested case-control design involving 206 subjects data consisting of 141 subjects with good outcomes and 65 subjects poor outcomes. A significant difference was found in the values of NLR, MLR and TLR between the two groups. The optimal cut-off point values of NLR, MLR and TLR were ≥5.43; ≥0.46 and ≥196.34, respectively, to discriminate against poor outcomes. The Area Under Curve (AUC) for NLR was 0.825 (0.66-0.884), sensitivity 76.9%, specificity 73.8%; MLR was 0.763 (0.692-0.833), sensitivity 73.8%, specificity 68.1% and TLR was 0.617 (0.528-0.705), sensitivity 63.1%, specificity 60.3%. Age >30 years (OR=2.59; 95% CI 1.34-5.02), presence of comorbidities (OR=2.21; 95% CI 1.28-3.81), NLR ≥5.43 (OR=4.60; 95% CI 2.07-10.26) and MLR ≥0.46 (OR=2.09; 95% CI 0.93-4.67) were associated with poor outcomes of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>