Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vidya Prahassacitta
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.

This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra Arsil
"Di Indonesia, dalam suasana yang demokratis, pemerintahan koalisi ditemui dalam semua sistem pemerintahan yang pernah berlaku. Realitas koalisi di Indonesia menunjukkan berbagai masalah baik dalam pembentukkannya maupun pengelolaannya, masalah yang dihadapi telah mengancam bahkan merusak stabilitas pemerintahan. Dalam pemerintahan yang dibentuk berdasar koalisi, potensi instabilitas memang lebih tinggi. Praktik penerapan koalisi di negara-negara bersistem parlementer di Eropa Barat menunjukkan bahwa stabilitas pemerintahan dijaga melalui aturan-aturan hukum yang memagari setiap tahapan pemerintahan. Proses politik yang terjadi dalam pembentukan dan mekanisme berlangsungnya koalisi sangat terpengaruh kepada aturan yang berlaku. Negara-negara bersistem presidensial di Amerika Latin juga menghadapi masalah ancaman stabilitas pemerintahan akibat dari dinamika koalisi yang tinggi. Di sistem presidensial Amerika Latin, aturan hukum menjadi alat untuk mendesain suasana yang kondusif bagi pembentukan dan pengelolaan koalisi dalam rangka menjaga stabilitas pemerintahan. Praktik pemerintahan koalisi sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia dan Praktik pengaturan terkait koalisi di negara-negara parlementer Eropa Barat serta negara-negara presidensial di Amerika Latin digunakan oleh penelitian normatif ini sebagai bahan pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Kedua pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan jawaban bagi stabilitas pemerintahan dalam pembentukan dan pengelolaan pemerintahan koalisi di sistem presidensial Indonesia berdasar UUD NRI Tahun 1945. Desain aturan hukum untuk menjaga stabilitas pemerintahan koalisi yang terbentuk di Indonesia memperhitungkan realitas sistem kepartaian dan pemerintahan di Indonesia, karakter sistem presidensial dan perkembangan sistem parlementer dalam menjaga stabilitas sebagai tempat berasalnya konsep pemerintahan koalisi. Desain untuk stabilitas tersebut antara lain didapat dari penggabungan pemilihan umum serentak dengan sistem pemilihan presiden plurality atau majority with reduced threshold, pelembagaan koalisi pemerintahan yang sejajar dengan koalisi legislatif, dan penggunaan kekuasaan konstitusional presiden di bidang legislatif sebagai instrumen untuk membangun dan mengelola koalisi pemerintahan.

In Indonesia, in a democratic atmosphere, the coalition government is found in every government systems ever applied. In the era of parliamentary government, a coalition government is inevitable due to the fact that the parliament was fragmented so that no single party held an absolute majority of the seats. In the era of presidential government, a coalition government is also an option for the elected president even tough coalition was not the source of legitimacy for the ruling government. President who ruled in a highly fragmented multiparty situation chose to form a coalition to ensure the stability of the government. In reality, coalition in Indonesia showed various problems both in terms of the establishment and management. Problems encountered have threatened and even destabilized the government. In a government established under coalition, government stability is is likely to have more problems. Coalition practiced in countries applying parliamentary system in Western Europe show that government stability is maintained through legal rules that hedged every stage of governance. Political processes that occur in the establishment and the mechanism of coalition course are greatly affected by the prevailing rules. Latin American countries applying presidential system also face threats in the government stability due to the high dynamics of the coalition, just like the case in Western Europe. It can be seen on their experience designing a coalition through prevailing rules and laws. Coalition practiced by the government throughout the history of Indonesia and ruling practices in relations to coalitions in Western European countries applying the parliamentary system and Latin American countries applying the presidential system are used by these normative research as a source of historical approach and comparative approach. Both of these approaches are used to get an answer to the stability of the government in establishing and managing a coalition government in Indonesia’s presidential system based on Indonesia’s 1945 Constitution. Legal rulings designed to maintain the stability of the coalition government, take the reality of the party system and the Indonesian government, the characteristics of the presidential system and the development of parliamentary system into account in maintaining stability as the source of the concept of a coalition government. Designs to create the stability are among others received by combining simultaneous election with plurality presidential election or majority presidential election with reduced threshold, government coalition institutionalization parallel to legislative coalition, employment president’s legislative constitutional power as an instrument to form and manage the government coalition."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjahriati Rochmah
"Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkuat ketahanan energi nasional, upaya strategis pemerintah Indonesia adalah memanfaatkan sumber energi terbarukan dan menarik investasi. Peraturan perundang-undangan diterbitkan guna menunjukkan keseriusan menarik investor dan memberi kepastian hukum. Aspek perizinan menjadi salah satu fokus utama pengaturan kebijakan tersebut. Panas Bumi sebagai salah satu alternatif investasi energi terbarukan dan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi menjadi dasar penyelenggaraan Panas Bumi dengan pengaturan pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam pelaksanaannya, ditemukan hambatan terkait implementasi peraturan terkait panas bumi, persyaratan kesepakatan harga sebelum kegiatan eksplorasi dilakukan, dan tidak adanya pengawasan yang menjamin penyelenggaraan panas bumi sesuai dengan tujuan pemerintah. Terkait pengaturan harga, perbedaan pandangan antara nilai keekonomian dan deviasi kesepakatan sulit mendapat titik temu dan memakan waktu, sehingga solusi kebijakan akselerasi diharapkan agar penyelenggaraan Panas Bumi dapat berjalan optimal. Berdasar hal tersebut penelitian ini menganalisis secara kritis mengenai (1) Bagaimana pengaturan pemanfaatan Panas Bumi di Indonesia terkait regulasi perizinan pemanfaatan tidak langsung Panas Bumi berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 pada periode 2014-2019; (2) Bagaimana proses dan hambatan peraturan perundang-undangan perizinan penyelenggaraan Panas Bumi dalam penerapannya di PLTP Gunung Talang, PLTP Way Ratai dan PLTP Gunung Lawu? (3) Bagaimana akselerasi penyelenggaraan Panas Bumi yang ideal sesuai amanah pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)? Metode pendekatan yang akan diterapkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitian ini adalah pendekatan penelitian yuridis normatif. Secara yuridis, hasil penelitian menunjukkan terdapat benturan regulasi dimana pelaksanaan peraturan perundangan tidak sama dengan pelaksanaannya. Perbedaan antara hukum sebagai produk dan hukum sebagai praktik atau pelaksanaan. Ada keterpisahan dan ketidakselarasan antara hukum sebagai peraturan atau doktrin dengan hukum sebagai praktek konkret. Hal tersebut dapat disebabkan peraturan yang tidak jelas, peraturan yang banyak (over regulasi) namun tidak fokus, dan dapat pula karena kesalahtafsiran dalam penerapan hukum atau kebijakan. Dalam kajian mendalam, ditemukan kejanggalan bahwa regulasi yang lengkap tidak dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum, karena adanya kemungkinan perbenturan kepentingan, dan dapat juga karena kurangnya kesadaran dan nilai moral dalam penegakan hukum tersebut. Oleh karena itu, untuk optimalisasi penyelenggaraan Panas Bumi, maka selain pentingnya sinkronisasi regulasi dan sektor terkait, pentingnya efisiensi atau penyederhanaan perizinan, dan urgensi pengembangan kebijakan akselerasi perizinan penyelenggaraan Panas Bumi, salah satu poin penting adalah adanya konsekuensi moral dalam konsistensi penyusunan dan pelaksanaan hukum dalam menjamin optimalnya penerapan regulasi dalam aktualisasinya. Dengan selarasnya regulasi guna kepastian hukum, melalui penerapan nilai moral guna keadilan penegakan hukum bagi seluruh pihak terkait dalam penyelenggaraan Panas Bumi tidak langsung, maka tujuan kesejahteraan rakyat serta memperkuat ketahanan energi nasional dapat menjadi kenyataan.

As an effort to improve the welfare of the people and strengthen national energy security, strategic efforts of the Government of Indonesia is utilizing the resources on renewable energi and attracting investment. Legislation is issued to show the seriousness of investment issue and providing legal certainty. The licensing aspect is one of the main focuses of the policy and regulation. The principle of Geothermal energy as an alternative renewable energy investment and the existence of Law Number 21 of 2014 concerning Geothermal becomes the basis for the implementation of geothermal energy. It divides central and regional authorities and regulates community participation. In its implementation, there were shortcomings related to the terms of the price agreement before the exploration activities could be carried out. The difference views between economic values and agreement deviation is difficult to find and time consuming, so that the acceleration policy solution is expected in order to the operation of geothermal can run optimally. This study, therefore, critically analyzes about 1) How is the regulation of geothermal utilization in Indonesia related to the regulation of permits for indirect use of geothermal based on Law Number 21 of 2014 in the year 2014-2019; 2) What are the processes and obstacles in the regulation of licensing of geothermal management in their application in the PLTP Gunung Talang, PLTP Way Ratai, and PLTP Gunung Lawu?; 3) What is the ideal acceleration of the operation of geothermal energy in accordance with the mandate of article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution? The method that will be applied in order to address the problems and objectives of the study is normative juridical approach. In legal terms, the result of the study indicate that there are conflicting regulations in which the implementation of laws and regulations is not the same as the implementation. There is a difference between law as a product and the law as practice. There is separation and discrepancy between law as a rule/doctrine and law as a practice. This can be caused by unclear regulations, too many regulations (obesity), unfocused and conflicting interests, and it could be due to lack of awareness and moral values in law enforcement. Therefore, to optimize the operation of geothermal energy, in addition to the importance of synchronizing regulations and related sectors, and the development of geothermal energy licensing acceleration policies, one important point is the moral consequences in the consistency of the scrutinize and implementation of laws in ensuring the optimal application of regulation in their actualization. With the harmonization of regulations for legal certainty, with the application of moral values for fairness of law enforcement, the goal of people‘s welfare and strengthening national energi security can become a reality.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Laksmi Anindita
"Usaha meringankan penderitaan lahir dan batin bagi keluarga korban akibat perbuatan melawan hukum yang berakibat pada kematian atau hilangnya nyawa manusia, sangatlah pantas untuk terus diperjuangkan. Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dirasakan belum memberikan definisi yang cukup jelas terhadap istilah kerugian, batasan-batasan kerugian apa saja yang dapat diklasifikasikan sebagai kerugian materil dan kerugian immateril, termasuk metode valuasi kerugian yang timbul dalam perkara perdata, khususnya akibat hilangnya nyawa manusia. Adanya pedoman yang jelas terkait jenis kerugian materil dan immateril serta metode valuasi yang dapat diterapkan untuk menentukan besaran nilai ganti kerugian secara detail, khususnya yang timbul akibat hilangnya nyawa manusia dalam perkara perdata, merupakan alasan utama dilakukannya penelitian disertasi yang berjudul: VALUASI KERUGIAN AKIBAT HILANGNYA NYAWA MANUSIA DALAM PERKARA PERDATA.
Penelitian disertasi ini, menerapkan metode penelitian hukum normatif dan metode perbandingan hukum dengan 18 perkara perdata yang disidangkan dalam pengadilan di Indonesia sebagai bahan hukum primer. Perkembangan jenis kerugian, perumusan pengertian kerugian, pengklasifikasian kerugian materil (kerugian nyata dan potential loss) dan kerugian immateril (kehilangan kenyamanan hidup dan tekanan mental) serta metode valuasi yang dapat digunakan untuk menjabarkan, menentukan dan membuktikan besaran nilai kerugian yang harus diganti, khususnya akibat hilangnya nyawa manusia dalam perkara perdata, adalah hasil penelitian yang dijabarkan dalam tulisan ini.

Efforts to alleviate the familys grief due to the death from the unlawful acts is essential to be taken by the surviving family member. The current legislation does not sufficiently provide a clear definition of a loss. It does not explicitly regulate any criteria for both material and immaterial loss. Moreover, there is no valuation method to estimate the value of a dead person in civil case. The main reason for this dissertation research is the need for clear guidelines regarding the types of material and immaterial loss and valuation methods that can be applied to determine the amount of compensation in detail, especially loss from wrongful death in private law cases. The title of this research is the VALUATION OF LOSS FROM WRONGFUL DEATH IN PRIVATE LAW CASES.
This dissertation research applies the normative legal research method and legal comparison method. Furthermore, this research uses 18 civil cases that are tried in courts in Indonesia as primary legal resource. This paper suggests a reformulation or revision regarding the definition of loss, the classification of material loss (real and potential loss), immaterial loss (loss of life comfort and mental stress) and the valuation method that can be used to describe, determine and prove the value of loss to be compensated, especially loss from wrongful death in private law cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
D2782
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayah Yarotul Salamah
"ABSTRACT
Integrating mediation into the process of civil procedure in court can be one of effective instruments to overcome cases backlog problems in the court and to strengthen and maximise the function of the court in setting disputes in addition to the court process which is of adjudicatory nature. However, the implementation of the Supreme Court Regulation Number 02 of the year 2003 and also under the Supreme Court Regulation Number 01 of the year 2008 is still far behind expectation. The percentage of success mediate cases on this regulation in district court pilot project of the Supreme Court of Republic of Indonesia is below 2,5 %, in spite of the contradiction between the amicable tradition of Indonesian people. The constraints which have been hampering the implementation of court-annexed mediation in district court pilot project are categorized into three factor, such as structure, substance and legal culture. Although court-annexed mediation is still far behind expectation, there are still so many things to be optimal in the effort to make court-annexed mediation success in Indonesia. There is a need to improve the procedures of court-annexed mediation by involving all stakeholders. The big hope comes from judges, mediator, advocates and the nature of Indonesian people?s way resolving conflict or disputes through amicable settlemen."
Depok: 2009
D1077
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsuhadi Irsyad
"Disertasi ini mengkaji Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [NAD] dan relevansinya dengan Sistem Peradilan Nasional. Fokus kajian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitis. Analisis penelitian dengan paradigma kombinasi empat teori utama: Living law Ehrlich, Maslahah Mursalah Al-Syafi'i, Taqnin lbnu Muqaffa, Desentralisasi dan Distribution of Power sebelum perubahan dan Separation of Power dengan titik berat check and balances pasca perubahan UUD 1945.
Hasil penelitian ini menyarankan agar eksistensi Mahkamah Syar'iyah yang pernah berjaya di Aceh pada abad XVI-XVII, dapat berfungsi kembali secara baik dalam Negara Kesatuan RI dengan cara DPRA dan Pemda NAD membentuk Qanun-qanuu yang dibutuhkan masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Qanun-qanun yang berwawasan nasional Islami, menjamin Mahkamah Syar'iyah dapat eksis berdampingan dalam Sistem Peradilan Nasional.

The study is about the Islamic Court Justice ( Mahkamah Syar'iyah) in the Province of Nanggoe Aceh Dannssalam [NAD] and its relevance with the National Courtship Justice System. The focus of this study is on a qualitative research based on descriptive-analysis design using four main theories for its paradigm: Living law by Ehrlich, Maslahah Mursalah by Al-Syafi'i, Taqnin by Ibnu Muqaffa, Decentralization and Distribution of Power before the amendment and Separation of Power with its focus on check and balances after the amendment of the Rules of 1945.
The study suggests that the existence of Mahkamah Syar'iyah which once gained its grandeur in Aceh in XVIth-XVIIth centuries can play its role and function well in the Republic of Indonesia through the Aceh People Assembly and the Government of Aceh which form the rules the society needs to implement the Shariah completely. The rules are hoped to be Islamic-nationalistic that guarantee the existence of Malgkamah Syar'iyah along with the existence of National Courtship Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1010
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andari Yurikosari
"Disertasi ini membahas bagaimana campur tangan negara dalam pemutusan hubungan kerja yang mengalami berbagai kebijakan yang berbeda-beda dari suatu kurun waktu tertentu ke kurun waktu yang lain. Penelitian ini menggunakan teori negara kesejahteraan. Tujuan negara kesejahteraan adalah melindungi kaum pekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan hidupnya. Baik Undang-undang Dasar Sementara 1950 maupun Undang-undang Dasar 1945 mencantumkan hak para pekerja untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Bagaimana Peraturan Perundang-undangan, putusan P4D, P4P dan Pengadilan menerapkan prinsip tersebut ? Kebijaksanaan suatu negara dalam pembangunan bangsa tergantung kepada tahap di mana negara itu berada. Indonesia sebagai negara merdeka sama dengan negara-negara lainnya memulai kemerdekaan dengan tahap mengembangkan persatuan bangsa (unifikasi), yang dilanjutkan dengan tahap industrialisasi. Setelah itu seharusnya Indonesia masuk ke dalam tahap negara kesejahteraan (welfare state). Namun sampai 1998 Indonesia masih menghadapi ancaman retaknya persatuan bangsa, krisis ekonomi yang menciptakan meningkatnya pengangguran, tetapi tetap berkeinginan mensejahterakan rakyat yang didapat dilihat dari lahirnya berbagai undang-undang untuk melindungi pihak yang lemah. Undang-undang itu antara lain: Undang-undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Undang-undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Boleh dikatakan seperti negara-negara berkembang lainnya Indonesia ingin mencapai tiga tahap: unifikasi, industrialisasi dan negara kesejahteraan secara serentak. Tahap pembangunan bangsa mempengaruhi kebijakan negara dalam Pemutusan Hubungan Kerja."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
D1509
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Sundari Arie
"Disertasi ini secara khusus akan menelaah bagaimana peranan hukum dalam pengembangan usaha kecil melalui penyaluran dana oleh lembaga perbankan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang tentang Perbankan, oleh karena perangkat hukum merupakan prasyarat dan prakondisi yang akan mendukung pemberdayaan pengusaha golongan usaha kecil. Penelaahan tersebut mencakup dasar kewenangan pemerintah untuk menetapkan kebijaksanaan khusus bagi usaha kecil, peraturan perundang-undangan yang mengatur penyaluran Kredit Usaha Kecil termasuk jenis-jenis Kredit Usaha Kecil dan kendala yang ada dalam penyalurannya, lembaga jaminan dalam pemberian kredit untuk Usaha Kecil., bunga kredit bank konvensional atau imbalan/bagi hasil dalam pembiayaan bank syariah serta kebijaksanaan pengembangan Usaha Kecil di beberapa negara lain. Dengan kata lain ingin ditelaah bagaimana peranan hukum dalam pengembangan usaha kecil melalui penyaluran kredit perbankan.
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat analitis-eksploratif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang berlaku di Indonesia maupun di negara lain. Di samping itu dilakukan penelitian bahan-bahan kepustakaan (bidang hukum dan bidang lainnya) meliputi kepustakaan bahan-bahan Indonesia dan bahan-bahan kepustakaan dari negara lain, antara lain dari Amerika Serikat, Jepang, dan Bangladesh."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
D510
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Widjaja
"Secara historis trusts adalah produk dari sistem equity, yang berada di luar sistem common law, yang hanya dikenal dalam tradisi hukum Anglo Saxon. Dengan konsepsi yang demikian, berani trusts tidak akan pernah ditemukan padanannya dalam tradisi hukum Eropa Kontinental, yang hanya mengenal satu sistem saja, yaitu sistem peradilan yang berdasarkan hukum. Namun demikian penelilian menunjukkan bahwa meskipun tradisi hukum Eropa Kontinental tidak mengenai sistem equity, prinsip-prinsip equity telah dikenal luas dan dapat ditemukan dalam kitab undang-undangnya. Salah satu produk equity dalam tradisi hukum Eropa Kontinental adalah juducial yang berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik yang dikemukakan dalam penelitian ini serupa dengan trust. Bentuk-bentuk pranata hukum dalam tradisi hukum Eropa Kontinental yang mengandung unsur fiducia selanjutnya dikenal dengan nama trusts like institution atau civil law trusts.
Di samping itu, globalisasi yang terjadi juga telah menyebabkan masuknya, dipinjamnya, dipergunakannya, dan ditransplantasikannya trusts ke dalam kitab undang-undang seperi di Quebec, atau undang-undang tersendiri seperti di negara Cina, yaitu negara-negara yang semula bertradisi hukum Eropa kontinental. Indonesia sebagai negara yang bertradisi hukum Eropa Kontinental, karena penjajahan oleh Belanda selama tiga ratus lima puluh tahun, ternyata juga telah mengadopsi pranata serupa trusts dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagangnya yang merupakan konkordan dari kitab serupa di Belanda waktu itu. Selain itu masuknya institusi pasar modal dari Amerika Serikat ke Indonesia, juga telah memasukkan pranata trusts dalam pasar modal ke dalam sistem hukum Indonesia. Dengan demikian. Indonesia telah mengalami dua kali transplantasi ?trusts?, yaitu transplantasi pranata serupa trusts pada masa penjajahan, yang ada dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagangnya, dan transplantasi trusts dalam Undang-Undang Pasar Modal.
Disertasi ini dengan mempergunakan metode perbandingan hukum, berdasarkan fungsi dan ciri-ciri, menganalisis dan menunjukkan bahwa ternyata kedua bentuk transplantasi hukum tersebut dapat hadir berdampingan, oleh karenya keduanya memiliki ciri-ciri dan karakteristik trusts yang netral, sebagairnana ditentukan dalam Hague Convention on the Law Applicable to Trusts and on Their Recognition, yaitu trusts yang tidak lagi berpangkai pada keberadaan sistem equity yang hanya ada pada tradisi hukum Anglo Saxon.
Disertasi ini juga membuktikan bahwa sampai sejauh ini pendapat Watson adalah benar. Pertama, dalam transplantasi hukum, yang ditransplantasikan adalah ide, substansi dan strukturya, yang dapat dipelajari, serta bukan sistem hukum itu sendiri. Kedua, produk transplantasi selalu berbeda dari asalnya oleh karena produk hasil transplantasi selalu menyesuaikan diri dengan sendirinya pada negara di mana transplantasi dilakukan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
D733
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library