Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nikmah Rosidah
"Penelitian bermaksud melakukan pengkajian mengenai manfaat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam penegakan peraturan daerah (perda) dalam kaitannya dengan keberadaan PPNS sebagai suatu subsistem dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), kemudian mengadakan perbandingan manfaat PPNS tersebut pada beberapa pemerintah daerah. Permasalahan penelitian ini adalah mengenai manfaat PPNS dalam penegakan hukum terhadap perda dan perbandingannya antara Propinsi Dati I Lampung dengan DI Yogyakarta dan Dati I Jawa Tengah, serta faktor yang mendukung dan menghambat manfaat PPNS dalam penegakan perda. Penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan sosio-legal. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian lapangan dan kepustakaan dengan instrumen daftar pertanyaan (kuesioner), wawancara (intervieu), dan dokumen. Analisis data dilakukan digunakan analisis kualitatif.
Kesimpulan dari penelitian adalah (1) Keberadaan PPNS sangat diperlukan dalam penegakan hukum pidana, khususnya dalam lingkup bidang tugasnya yang bersifat spesifik dan teknis. (2) Manfaat PPNS dalam penegakan perda terlihat dari adanya peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap perda serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan peradilan pidana. (3) Untuk mencapai manfaat yang optimal dari PPNS, diperlukan adanya dua macam pola pelaksanaan kegiatan PPNS yang meliputi Pola Pelaksanaan Pembinaan dan Operasi Penegakan Perda oleh PPNS di lingkungan pemerintah daerah. Pada Pemerintah Dati I Lampung dan Pemerintah Dati I Jawa Tengah pola pelaksanaan pembinaan dan operasi tersebut kurang diatur sehingga manfaat PPNS kurang berjalan sebagaimana mestinya. Adapun pada Pemerintah DI Yogyakarta diatur kedua pola tersebut, sehingga menghasilkan penegakan perda yang efektif dan efisien. (4) Faktor penghambat penegakan perda oleh PPNS adalah: Adanya keterbatasan wewenang PPNS, kurangnya dukungan atasan terhadap PPNS, kurangnya perencanaan, koordinasi dan petunjuk-petunjuk teknis operasional, kurangnya penguasaan mengenai penyidikan, kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang operasional PPNS, terbatasnya jumlah PPNS, dan PPNS tidak/belum mendapat tunjangan khusus, (5) Faktor pendukungnya adalah adanya legitimasi hukum terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPNS dan adanya koordinasi dan pengawasan dari Penyidik Polri terhadap PPNS di lingkungan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penyidikan dalam rangka penegakan hukum pelanggaran perda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Hendra Winarta
"Tesis ini merupakan laporan penelitian tentang Bantuan Hukum di Indonesia yang merupakan suatu hak asasi manusia dan bukan merupakan betas kasihan, penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi bagi masyarakat, pemerintah dan para penegak hukum bahwa Bantuan Hukum berhak diperoleh oleh siapa saja yang memerlukannya termasuk orang miskin.
Penelitian bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan atau menyajikan data yang akurat, yang diperoleh secara lengkap mengenai konsepsi dari bantuan hukum di Indonesia dengan meneliti data sekunder berupa literatur-literatur, teori-leori, dokrin-dokrin, perundang-undangan atau peraturan-peraturan serta konvensi-konvensi Internasional yang berkaitan dengan bantuan hukum.
Selanjutnya Penelitian empiris dilakukan berdasarkan pengalaman praktek di kantor Advokat dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat terutama yang tidak mampu, mempunyai persepsi yang keliru mengenai bantuan hukum. Bantuan hukum itu sifatnya membela kepentingan masyarakat terlepas dari latar belakang, etnisitas, asal-usul, keturunan, waras kulit, ideologi, kaya miskin, agama dan kelompok orang yang dibelanya. Terkonsentrasinya advokat dikota-kota besar menyebabkan masyarakat miskin yang sebagian besar tinggal di desa-desa tidak dapat memperoleh bantuan hukum secara wajar.
Tujuan gerakan bantuan hukum ini dapat dicapai dengan pencapaian sistem peradilan pidana yang terpadu, peningkatan pendidikan, profesionalisme dan gaji dari polisi, jaksa, hakim, pekerja pemasyarakatan dan advokat. Keberhasilan gerakan bantuan hukum sebagai gerakan konstitusional melindungi hak orang miskin akan dapat meredam potensi ledakan gejolak sosial dan keresahan sosial, selain itu keberhasilan gerakan bantuan hukum juga dapat mengembalikan wibawa hukum dan wibawa pengadilan yang telah terpuruk selama ini.
Dalam rangka memperbaiki keadaan sistem peradilan pidana perlu dipikirkan amandemen dari Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman agar sistem peradilan yang independen dan imparsial dapat tercapai.
Maksud perbaikan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 sebenarnya mengandung pesan dan makna yang lebih luas, yakni perbaikan dan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa kekuasaan negara sebaiknya dibagi dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan negara hendaknya dibatasi oleh hak asasi manusia agar negara tidak berbuat sewenang-wenang dan menyalah gunakan kekuasaannya terhadap individu.
Sebagai perbandingan di Amerika Serikal dari 3.500 organisasi bantuan hukum memperoleh dana US $ 350,000,000.00 per tahun dari pemerintah yang jumlahnya ditingkatkan sejak pemerintahan Presiden Jimmy Carter sampai sekarang. Dalam konteks Indonesia pemerintah belum mengalokasikan dana bantuan hukum yang memadai. Dari sekitar 300 organisasi bantuan hukum yang ada di Indonesia jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berpenduduk 200 juta tentunya masih dianggap tidak sesuai, walaupun sebagian besar bantuan hukum tersebut berpraktik dan berfungsi seperti kantor advokat (penasihat hukum) serta menggalang dana dari klien atas jasa hukum yang diberikan padahal bantuan hukum itu sifatnya pro deo (demi Tuhan) tidak dipungut bayaran (fee) karena disediakan untuk orang miskin, dan oleh karena itu bersifat non komersial kecuali di pungut biaya unluk ongkos administrasi.
Menurut Pasal 34 UUD 1945 fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara.Jadi, persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk dibela advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka pencapaian keadilan sosial yang merupakan salah satu cara untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum. Selain itu dapat pula negara c.q. pemerintah mengimbangi kewajibannya untuk menyediakan penuntut umum atau Jaksa (public prosecutor) dengan juga menyediakan pembela umum (public defender)."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny R. Masu
"Sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan merupakan satu jaringan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jaringan ini terdiri atas unsur-unsur yang memiliki interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Namun, setiap subsistem hanya dapat berfroses jika digerakkan oleh komponen-komponen dalam subsistem tersebut. Salah satu komponen subsistem yang memiliki kedudukan sentral adalah pengadilan yang bert.ugas mengadakan pemeriksaan perkara pidana dan juga mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Peran dan tanggung jawab sebagai hakim wasmat merupakan kelanjutan dari putusan yang telah dijatuhkannya dalam persidangan. Dalam hal ini, hakim wasmat mengikuti putusannya sampai mengetahui bahwa pidana yang telah dikenakan kepada napi dapat bermanfaat dan apakah pelaksanaan pembinaan terhadap napi didasarkan kepada hak-hak asasi napi, yang ditujukan demi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana umumnya dan khususnya agar napi tidak melakukan kejahatan lagi. Hal lain yang tampak dalam pengaturan mengenai hakim wasmat adalah bahwa hakim wasmat merupakan penghubung antara subsistem pengadilan dan subsistem pemasyarakatan. Jika tidak ada hakim wasmat, LP tidak termasuk atau terlepas dari proses peradilan pidana berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia. Dikatakan demikian karena satusatunya bab yang mengatur keberadaan LP di dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah Bab XX Pasal 277-283 KUHAP di bawah titel pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan. Selain pengawasan kepada petugas LP, juga pengawasan ditujukan kepada jaksa sebagai eksekutor untuk mengetahui apakah jaksa telah melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Dengan memperhatikan peran dan tanggung jawab serta tujuan yang ingin dicapai melalui hakim wasmat seperti di atas, maka tampak bahwa keberadaan hakim wasmat sangatlah penting dan mulia sehingga tidak dapat dikesampangkan begitu saja. Tujuan tersebut dapat dicapai jika hakim pengawas dan pengamat dapat berperan secara efektif. Berdasarkan metode wawancara dan observasi penulis memperoleh data bahwa pada kenyataannya, hakim wasmat belum melaksanakan perannya secara efektif dalam hal ini ia terbentur dengan pemahaman bahwa kehadirannya mengintervensi LP dan kenyataan bahwa LP secara langsung maupun melalui UU No. 12 tahun 1995, tidak menghendaki campur tangan hakim wasmat dalam masalah-masalah teknis pelaksanaan pembinaan napi termasuk dalam hal ini mengadakan kontrol maupun koreksi terhadap lembaga pemasyarakatan. Adapun masalah lain yang dihadapi oleh hakim wasmat adalah belum adanya peraturan pelaksanaan dalam melaksanakan peranannya, kurangnya fasilitas dan terbatasnya tenaga hakim wasmat serta tidak adanya dana operasional dalam melaksanakan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Widarto
"Keselamatan penerbangan merupakan suatu masalah yang saat ini memerlukan perhatian dan telah menjadi issue nasional ataupun internasional. Karena moda transportasi yang memiliki karakteristik cepat tersebut makin lama makin padat dan dengan demikian kerawanan terhadap kecelakaan makin banyak. Pada akhir-akhir ini Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masalah keselamatan penerbangannya sangat memprihatinkan. Berbeda dengan kecelakaan mode transportasi di darat dan laut yang sering diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, dalam kecelakaan moda transportasi penerbangan ini sejak Indonesia merdeka sampai dengan saat ini yang sudah lima puluh tiga tahun tidak ada satupun kecelakaan pesawat udara yang diselesaikan melalui sistem peradilan pidana. Padahal, KUHP telah mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara (murni) secara lengkap dalam Pasal 359, 360 dan Pasal 479 g KUHP. Di lain pihak kecelakaan pesawat udara yang terjadi telah berpuluh bahkan beratus kali, pada tahun 1997-1998 saja tercatat 57 kali angka insiden dan kecelakaan. Adapun untuk kecelakaan pesawat udara yang fatal pada tahun 1997-1998 tercatat 12 kali. Hasil penelitian dari AAIC Indonesia pun menunjukkan faktor penyebab terbesar adalah faktor manusia (pada saat operasional pesawat udara). Hal demikian inilah yang menjadi latar belakang penulisan tesis ini. Dengan kesadaran hukum masyarakat yang makin tinggi, pelayanan dan penegakan hukum dalam kaitan keselamatan penerbangan ini sudah barang tentu harus mendapatkan perhatian.
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian gabungan, baik penelitian normatif maupun empiris. Dalam kesimpulan dikemukakan bahwa tidak semua kasus kecelakaan pesawat udara murni harus diselesaikan melalui jalur sistem peradilan pidana, namun hanya kecelakaan yang mengandung unsur dolus dan culpa, dalam hal ini culpa lata (kesembronoan). Disimpulkan pula bahwa pada prinsipnya KUHP telah mengatur secara lengkap tindak pidana yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara, baik kecelakaan pesawat udara murni dan tidak murni. Namun, masih perlu ada penyempurnaan di beberapa pasal. Kemudian, ditemui adanya suatu kendala fungsionalisasi hukum pidana dalam kecelakaan pesawat udara, antara lain sulitnya mengumpulkan barang bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP, kurangnya atau bahkan tidak adanya tenaga ahli pada Polri selaku penyidik yang membidangi masalah ini, tidak adanya akses antara Polri selaku penyidik dengan Aircraft Accident investigation Comission (Panitia Penelitian Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara) , seringkali seluruh awak pesawat dan penumpang yang ada dalam pesawat udara meninggal dunia serta sangat rumitnya teknologi penerbangan. Sulitnya mengumpulkan informasi kecelakaan dan barang bukti kecelakaan pesawat udara ini antara lain juga disebabkan tidak adanya sifat keterbukaan Panitia Peneliti Kecelakaan Pesawat Udara, baik keterbukaan memberikan resume kecelakaan yang terjadi maupun keterbukaan dalam penyampaian barang bukti. Padahal kecenderungan internasional pada akhir-akhir ini menunjukkan hampir tidak ada satu informasipun yang disembunyikan kepada masyarakat, contoh misalnya dalam kecelakaan pesawat udara Swissair 111 tujuan Genewa tanggal 2 September 1998 yang jatuh delapan kilometer dari Peggy's Cove, Nova Scotia yang menewaskan 229 orang, Bahkan, transkrip percakapan antar awak pesawat atu antara awak pesawat dengan petugas ATC pun bisa diakses melalui internet. Dengan demikian, korban dan atau keluarga korban sebagai konsumen dapat memperoleh hak untuk mengetahui segala perkembangan terbaru yang dapat diperolehnya dengan sangat cepat. Selanjutnya, disarankan perlunya penyempurnaan beberapa pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara dalam arti luas. Upaya fungsionalisasi hukum pidana dapat ditempuh dengan dua alternatif. Alternatif pertama dalam Rancangan Peraturan Pernerintah yang mengatur tentang Penelitian Kecelakaan Pesawat Udara perlu diatur kewenangan Ketua Komisi untuk dapat memberikan data penerbangan kepada Polri selaku penyidik (kecuali laporan hasil penelitiannya), selanjutnya Polri dapat memanfaatkan tenaga PPKPT dari Tim PPKPT TNI AU dan tenaga ahli Ditjen Hubud sebagai saksi ahli. Alternatif kedua dengan menyempurnakan UU Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, yaitu dengan membentuk adanya lembaga kolateral (collateral) yang berfungsi sebagai penyidik dalam tindak pidana penerbangan. Penyelidik kolateral ini terdiri dari unsur Polri, tenaga ahli dari Ditjen Hubud dan tenaga ahli dari TNI AU, yang mana sebagai koordinator adalah Poiri. Selanjutnya Aircraft Accident Investigation Comission yang ada perlu dirombak struktur, peran dan tugas serta kewajibannya Dalam hal ini perlu difikirkan adanya Komisi atau Badan keselamatan Transportasi Nasional yang diangkat oleh Presiden dan bertanggungjawab kepada DPR atau setidak-tidaknya kepada Presiden melalui Mensekneg. Badan ini diharapkan akan membawahi Komisi Penyelidikan Kecelakaan Angkutan Darat, Komisi Penyelidikan Angkutan Laut (Mahkamah Pelayaran), dan Komisi Penelitian Kecelakaan Pesawat Udara (Aircraft Accident Investigation Comission). Hal ini sangat diperlukan dalam upaya melindungi keselamatan seluruh mode transportasi dan independensi dari Penyelidik."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Prasetyo Wiranto
"Dewasa ini masalah kejahatan tidak semata-mata dilihat sebagai masalah dalam hukum pidana, tetapi hal itu dikaji dalam kerangka berpikir yang lebih luas, yaitu dipadang pula sebagai masalah sosial. Hal itu menyebabkan penanggulangan kejahatan harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan lain di luar hukum pidana, terutama dengan masalah kebijakan. Sebagai konsekuensinya aparat peradilan pidana dalam melaksanakan tugasnya mesti benar-benar memperhatikan berbagai kebijakan yang ditetapkan terhadap suatu kejahatan tertentu karena selain sebagai pedoman yang menentukan ke arah mana penegakan hukum pidana itu harus dilakukan. Hal itu juga menjadi batu ujian apakah upaya penanggulangan yang dilakukan telah benar efektif dan efesien. Adakalanya ditentukan untuk mengadakan penegakan hukum sepenuhnya terhadap suatu kejahatan, tetapi adakalanya pula kepada aparat peradilan pidana diberikan wewenang diskresi.
Subsistem kepolisian sebagai "gatekeepers" sistem peradilan pidana memainkan peran sentral karena proses peradilan pidana diawali dari subsistem ini. Adanya wewenang diskresi mengakibatkan kepolisian merdeka untuk menentukan apakah suatu tindak pidana akan disidik dan akan diteruskan kepada subsistem peradilan pidana setanjutnya atau tidak. Meskipun demikian, subsistem kepolisian juga sedapat mungkin mengupayakan pencegahan terhadap terjadinya suatu kejahatan. Dalam hal ini aparat kepolisian juga dipandang sebagai "goat prevention officers".
Terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika ada beberapa kebijakan khas yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas Polri. Terhadap peredaran gelap narkotika dan psikotropika Polri dituntut untuk dapat mengadakan penegakan hukum secara tegas, untuk itu Polri "dipersenjatai" dengan berbagai wewenang tambahan agar lebih proaktif memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Bagi Polri dibuka kemungkinan kerja sama internasional dalam menghadapi masalah ini, baik bersifat bilateral, regional maupun multilateral. Terhadap penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Polri lebih banyak melakukan pendekatan kesejahteraan mengingat karakter khas tindak pidana ini yang memandang pelaku sekaligus korban dan kecenderungan pelakunya adalah anak-anak dan remaja atau generasi muda pada umumnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meray Hendrik Mezak
"Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. Oleh karena itu, segala peraturan perundang-undangan harus bersumber pada hukum dasar dan aturan-aturan pelaksana tidak dibenarkan bertentangan dengan hukum dasar dan peraturan yang lebih tinggi. Di samping itu segala tindakan penyelenggara pemerintahan harus dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum. Guna mengatasi terjadinya penyimpangan produk peraturan perundang-undangan perlu adanya sarana pengendali konstitusional yang disebut hak menguji materiil di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 dan diperkuat dengan Tap. MPR No. III/MPR/1978 serta terakhir dipertegas dengan Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1986 yang pada intinya memberikan kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dari tingkat di bawah undang-undang karena bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi. Putusan ini dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi. Dalam pengertian dapat berarti pelaksanaan hak uji materiil tidak harus melalui pemeriksaan perkara biasa yang urut-urutannya dimulai dengan perkara tingkat pertama, banding dan kemudian kasasi, akan tetapi dalam pelaksanaannya belum optimal dan terkesan tidak efektif. Oleh karena itu, penerapan Legislatif Review merupakan alternatif yang tepat guna menjaga konsistennya konstitusionalisme di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utari
"Demokrasi merupakan konsepsi yang popular dan banyak dianut oleh negara-negara di dunia pada saat ini, termasuk Indonesia. Dalam upaya demokratisasi, make di dalam UUD 1945 terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang demokrasi. Ketentuan-ketentuan tersebut ada yang secara langsung dapat terlihat karaktar demokratisnya, namun ada pula yang masih netral, sehingga sifat demokratisnya masih sangat tergantung dari undang-undang organiknya, yang biasanya sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik yang ada.
Selama berlakunya UUD 1945 ternyata efektifikasi implementasi demokrasi tersebut mengalami pasang surut yang dapat dilihat dari tiga periode, yaitu 1) periode 1945-1959 (Demokrasi Liberal); 2) periode 1959-1966 (Demokrasi Terpimpin) dan 3) periode 1966-sekarang (Demokrasi Pancasila). Keadaan pasang surut tersebut dapat dilihat dari bekerjanya pilar-pilar demokrasi, antara lain, yaitu kehidupan pers, kehidupan kepartaian, dan bekerjanya lembaga perwakilan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis, politis, dan komparatif. Objek atau sasaran penelitian ialah sekitar peraturan perundangundangan yang merupakan dasar pengaturan dan pengejawantahan tentang demokrasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifikasi implementasi demokrasi sangat tergantung pada kebijakan politik, yaitu yang tercermin melalui peraturan perundang-undangan yang merupakan pengejawantahan dari pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur tentang demokrasi. Berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan implementasi demokrasi, seyogianya merupakan pengukuhan dan bukan sebaliknya.
Berkaitan dengan itu, diajukan saran agar berbagai peraturan perundang-undangan tentang implementasi dari pasal-pasal tentang demokrasi (dalam penelitian ini yang berkaitan dengan Pemilu) ditinjau kembali."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Netty
"Hak Uji Materiil terhadap peraturan di bawah undang-undang hampir tidak pernah ada/jarang dilakukan sampai tahun 1992 karena hukum acara untuk melakukan hak uji materiil belum ada. Baru pada tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No.1/1993 tentang Hak Uji Materiil. Dengan keluarnya Perma tersebut tidak ada alasan bagi Mahkamah Agung untuk menolak perkara yang masuk ke Mahkamah Agung untuk diadakan pengujian. Masalah dalam pelaksanaan Hak Uji Materiil adanya klausula dalam Pasal 131 ayat (3) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung "... Pencabutan dilakukan oleh instansi yang bersangkutan". Ini mengandung arti bahwa peraturan perundang-undangan, yang setelah diadakan pengujian oleh Mahkamah Agung, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, harus menunggu pencabutan oleh instansi yang bersangkutan. Padahal, batas waktu pencabutan tidak ditentukan berapa lama sehingga menimbulkan masalah. Juga peraturan Mahkamah Agung bukanlah peraturan perundang-undangan karena Mahkamah Agung tidak berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Agung hanya dapat mengeluarkan peraturan yang bersifat mengatur acara/prosedur pengajuan hak uji materiil. Perma No. 1/1993 bukan mengatur proses acara peradilannya saja, melainkan Mahkamah Agung juga memperluas pengajuan hak uji materiil yang diatur undang-undang hanya melalui kasasi saja. Dengan adanya Perma No.1/1993 pengajuan hak uji materiil dapat langsung ke Mahkamah Agung tanpa melalui kasasi. Dalam hal ini Mahkamah Agung telah melampaui batas kewenangan yang dimilikinya. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung setelah keluarnya Perma No. 1/1993 sebanyak 10 perkara. Dari 10 perkara yang masuk hanya 3 perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung. Dari 3 perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung, 2 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, sedangkan 1, perkara ditolak. Da1am memutus perkara hak uji materiil Mahkamah Agung belum melaksanakan fungsinya sesuai dengan tugasnya, yaitu memutus perkara yang seadil-adilnya dan bebas dari pengaruh lain. Hal itu terlihat dari putusan hak uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhariyono A.R.
"Bentuk perbuatan pidana yang sudah lama dikenal, seperti tindak pidana terhadap harta benda, dapat dilakukan lebih efisien (tanpa menggunakan kekuatan fisik) dengan menggunakan komputer. Konsep KUHP, terutama pengaturan tindak pidana harta benda, yang dilindungi adalah obyek yang berwujud yang dapat diraba.
Selama ini, penerapan tindak pidana yang berkaitan dengan komputer adalah salah satu kejahatan modern yaitu kejahatan yang dilakukan oleh para intelektual dan pelaku kejahatan dalam lingkup "White Collar Crime". (Term usually signifies law violations by corporations or individuals including theft or fraud and other violations of trust committed in the course of the offender's occupation).
Tindak pidana ini dapat ditinjau dari kemungkinan timbulnya kerugian finansial yang pada umumnya dalam jumlah besar sebagai akibat langsung dari tindakan tersebut. Ini sebagai ciri yang paling panting dari tindak pidana ini, misalnya dalam lalu lintas keuangan di bank. Di samping kerugian finansial, ada kepentingan lain yang perlu mendapat pengamanan, misalnya, data pribadi atau rahasia negara.
Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Komputer menarik, karena :
  1. Perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan sangat cepat secara otomatis;
  2. Perbuatan tersebut dapat dilakukan tanpa campur tangan manusia dan dapat diulang-ulang secara tanpa batas;
  3. Tidak kelihatan dan semua bekas dapat dihapus secara otomatis
  4. Dapat dilakukan melapaui geografis karena penggunaan telekomunikasi dan informatika;
  5. Perbuatan tersebut merupakan ancaman bagi perusahaan, organisasi, dan lembaga yang merupakan tonggak dari masyarakat modern;
  6. Perbuatan tersebut dapat dilakukan di rumah pribadi dan locus delicti di tempat lain.
Semua perbuatan di atas harus ditanggulangi dengan sistem hukum yaitu dengan membentuk suatu peraturan yang dapat melindungi masyarakat, bangsa, dan negara.
Di dalam peraturan (nantinya), perlu dipertimbangkan mengenai permasalahan :
  1. tindak pidana yang diatur dalam KUHP yang nyata-nyata ditujukan kepada seseorang atau suatu barang, akan terjadi penafsiran lain jika tindak pidana tersebut dilakukan terhadap komputer, misalnya, penipuan yang ditujukan kepada komputer;
  2. barang yang bernilai ekonomis, sekarang ini sudah banyak .yang berbentuk barang takberwujud (immaterial);
  3. peran kertas sebagai penyimpan data, sekarang ini sudah terdesak oleh bahan elektronik penyimpan data, misainya, disket, hardisk, kaset, atau compact disk;
  4. data dan komputer itu sendiri, dalam hal menggunakan komputer tanpa hak, tanpa izin memeriksa, memperoleh data atau informasi atau program dalam komputer, tanpa hak mengkopi data atau informasi atau program, tanpa hak menghapus atau mengubah data, dan tanpa hak mengganggu atau menggagalkan pengolahan dan lalu lintas data.
Dari masalah di atas, akan dicoba untuk mencari solusi dengan menuangkannya dalam suatu naskah akademis (hasil penelitian atau pengkajian suatu masalah) sebagai acuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan (UU pidana) merupakan suatu kebijakan tertentu di dalam menentukan kriminalisasi atau dekriminalisasi suatu perbuatan. Dalam tahap ini adaiah tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kobi Siswantara Tejasukmana
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T9238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>