Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 45 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Suryana Priyatna
"Tesis ini membahas kontestasi pemaknaan atas FPI dalam hubungannya dengan wacana radikalisme Islam dan konstruksi identitas Islam di ruang maya. Dengan melakukan analisis pada argumentasi-argumentasi tekstual dan visual situs FPI (fpi.or.id), pemberitaan aksi FPI dan komentar pengunjung di tiga situs berita online: vivanews.com, tempo.co, dan detik.com, tesis ini menggali konstruksi identitas dan kompleksitas wacana yang berkembang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana radikalisme Islam dan keberadaan FPI di ruang publik Indonesia adalah wacana yang kompleks. Kompleksitas ini tidak bisa dilepaskan dari kontestasi pemaknaan antara identitas bangsa dengan identitas Islam. Kompleksitas ini berlangsung dalam ranah offline maupun ruang Maya.

This thesis analyses the contestation of signifying practices surrounding FPI in its relation to the discourse of Islamic radicalism and the construction of Islamic identity. Analysing the textual and visual argumentations on fpi.or.id, the articles and comments on three online media: vivanews.com, tempo.co, and detik.com, this thesis explores identity construction and discourse complexity.
The result shows that the discourse of Islamic radicalism and the existence of FPI in Indonesian public space are complex. The complexity is related to the contestation between national identity and Islamic identity. This complexity occurs both in offline and online context.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
T30724
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Rosfalia Nurlaily
"Skripsi ini membahas bagaimana novel The Picture of Dorian Gray merepresentasikan pandangan Oscar Wilde mengenai filosofi New Hedonism, yang dapat dilihat melalui analisis empat tokoh utama dalam novel yang berlatar belakang era Victoria di Inggris ini. Keempat tokoh tersebut adalah Basil Hallward, Sybil Vane, Lord Henry Wotton, and Dorian Gray. Pendekatan utama yang digunakan untuk menganalisis teks tersebut adalah teori Psikoanalisis Sigmund Freud mengenai agen-agen psikis, insting, dan mekanisme pertahanan, serta teori New Hedonism Walter Lippmann.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat kecenderungan Oscar Wilde dalam memandang filosofi hedonisme baru dan nilai-nilai masyarakat era Victoria guna membalik persepsi pembaca pada umumnya, yang memercayai bahwa novel ini memberikan pengaruh buruk bagi moralitas masyarakat. Dengan mengkaji hal apa yang mendorong tindakan-tindakan keempat tokoh dan menghubungkannya dengan nilai moral masyarakat era Victoria, penelitian ini berusaha memahami pesan moral yang ingin disampaikan Wilde melalui tulisannya tersebut.
Kesimpulan yang diambil penulis adalah bahwa novel ini, melalui tokoh-tokohnya, menunjukkan ambivalensi Wilde dalam merepresentasikan filosofi New Hedonism dan nilai-nilai masyarakat era Victoria.

This undergraduate thesis discusses how the novel The Picture of Dorian Gray represents Oscar Wilde's perspective towards the philosophy of New Hedonism, which is analysed through the four most significant characters in this Victorian English novel, Basil Hallward, Sybil Vane, Lord Henry Wotton, and Dorian Gray. The major approaches applied in analysing the text are Sigmund Freud's psychoanalitical theories on the psychic apparatus, instincts, and defense mechanisms, and Walter Lippmann‟s philosophical theory on New Hedonism.
The research aims at determining Wilde‟s position towards the new hedonistic philosophy and the Victorian values in order to counter the general belief that this novel serves as an immoral influence for the society. By analysing the characters' motives in choosing their actions and relating them to the moral values held by the Victorian society, this research tries to understand the message Wilde wants to convey in his work.
As a conclusion, the analysis on the characters proves that the novel shows Wilde's ambivalent attitude towards the New Hedonism as well as the Victorian values.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S53993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viola Kartika Risya
"Skripsi ini membahas dekonstruksi stereotipe yang terjadi pada tokoh-tokoh utama dalam novel My Revolutions karya Hari Kunzru, Ketiga tokoh tersebut adalah Anna Addison, Miranda Martin, dan Chris Varver alias Michael Frame. Tokoh perempuan memiliki sifat maskulin yang dominan daripada laki-laki, sedangkan tokoh laki-laki memiliki sifat feminin yang dominan daripada perempuan. Hal ini bertolak belakang dengan oposisi biner dan sistem patriarki yang dianut oleh masyarakat. Penulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis tekstual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dekonstruksi stereotipe pada tokoh-tokoh di atas tidak saja terjadi karena perubahan stereotipe tetapi juga karena pilihan hiduap dan sitem patriarki itu sendiri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42538
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Celia Nadia Agatha Thomas
"Popularitas BTS di Amerika membuat nama mereka beresonansi di mata media, walaupun memiliki banyak perbedaan di antara para selebriti pria pada umumnya, terutama perbedaan di representasi maskulinitas. Media telah menganggap maskulinitas Asia kurang maskulin dibanding maskulinitas yang ada di Barat, jadi BTS harus melalui beberapa stereotipe dan komentar berprasangka sebelum benar-benar mendapatkan pengakuan atas representasi maskulinitas yang mereka miliki di media. Dengan tujuan untuk menganalisa bagaimana media Amerika memberi tanggapan terhadap soft masculinity yang diperlihatkan BTS, berdasarkan penampilan dan performa, penelitian ini mengkaji apakah maskulinitas baru yang ditunjukan diterima oleh media, dan bagaimana ia menyatu dengan maskulinitas barat arus utama. Menggunakan konsep soft masculinity dari Sun Jung untuk mengidentifikasi maskulinitas BTS dan untuk membuat perbandingan dengan maskulinitas barat arus utama, penelitian ini menemukan bahwa ada ambivalensi dalam tanggapan media karena maskulinitas BTS menggabungkan dan melawan maskulinitas barat.

The Korean Boyband, BTS’ popularity in America has made them resonate in the eye of the media, despite the many differences between the usual male celebrities, especially the difference in masculinity representation. The media had perceived Asian male masculinity as less masculine than western masculinity, so BTS had to go through some stereotyping and prejudice comments before actually getting recognition for their own masculinity representation in the media. With the purpose of analyzing how American media respond to BTS’ display of soft masculinity, based on BTS’ appearance and performance, this research studies whether the new masculinity showcased is accepted by the media and how it gets incorporated in the mainstream western masculinity. Using Sun Jung’s concept of soft masculinity to identify BTS’ masculinity and to make a comparison to the mainstream western masculinity, this research found that there is an ambivalence in the media response, since BTS’ masculinity simultaneously incorporates and breaks the western masculinities."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Firli Ashari
"Di Indonesia, komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masih dianggap sebagai ancaman atas budaya nasional hingga penyebab terjadinya bencana alam. Kenyataan ini membuat mereka memilih menjadi diaspora di luar negeri. Jika demikian, bagaimana strategi komunitas LGBT diaspora Indonesia untuk mengartikulasikan identitasnya? Apa saja bentuk persekusi yang mereka terima? Penelitian ini mengeksplorasi strategi kedua anggota komunitas LGBT diaspora Indonesia dalam menghadapi persekusi ketika mengartikulasikan identitasnya. Penelitian ini menemukan bahwa anggota komunitas LGBT diaspora Indonesia mengartikulasikan identitasnya melalui TikTok dengan menunjukkan identitasnya secara gamblang sebagai pria gay. Selain itu, mereka juga menggunakan strategi lain seperti membuat video-video parodi tentang identitasnya sebagai pria gay, membuat video menari dan melakukan lip-sync dengan mengikuti lagu-lagu yang viral, menunjukkan kebersamaan dengan keluarganya, memperlihatkan keseharian yang tidak berhubungan dengan homoseksual, mengedukasi pengguna TikTok tentang aspek yang tidak berhubungan dengan homoseksual, menjelaskan momen-momen penting sebagai pria gay yang tinggal di negara yang melegalkan komunitas LGBT, hingga merespons secara serius pertanyaan atau pernyataan yang hadir dari netizen asal Indonesia. Artikulasi identitas yang menghasilkan persekusi ini dihadapi dengan menggunakan dua strategi: visibilitas sebagai gay dengan menjelaskan pandangan anggota komunitas LGBT tentang betapa “anehnya” penampilan atau perilaku mereka serta melakukan mock impoliteness sebagai upaya yang memerlukan interaksi berupa percakapan atau perilaku yang dapat dievaluasi sebagai ketidaksopanan oleh komunitas LGBT.

In Indonesia, the lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) community is still considered a threat to national culture and as a cause of natural catastrophes. As a result, many have chosen to migrate to other nations and become diasporas. How do LGBT Indonesian diaspora members articulate their identities in this instance? What sorts of persecution were they subjected to? This study investigates how two Indonesian LGBT diaspora individuals articulate their identities in response to persecution. This study found that gay men in the Indonesian diaspora utilize TikTok to articulate their identities. They also make parody videos about their gay men identities, dance and lip-sync to viral songs, show togetherness with their families, show aspects of daily life unrelated to homosexuality, educate TikTok users about non-homosexual aspects, explain significant moments as gay men living in a country where the LGBT community is legal, and take negativity seriously. Two strategies are employed to combat the articulation of identities that leads to persecution: visibility as gay by explaining how “strange” their appearance or behavior is in the eyes of the LGBT community and mock impoliteness by engaging in conversation or behavior that the LGBT community would consider impolite."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Diba Widjaya
"Penyihir perempuan adalah salah satu tokoh paling ambivalen dalam film horor karena mereka dapat bertindak sebagai kekuatan subversif, namun juga tokoh yang sesuai dengan stereotip misoginis perempuan. Berdasarkan buku Barbara Creed tentang monstrositas keperempuanan (monstrous-feminine), serta teori 'hina' (abject) dari Julia Kristeva, makalah ini mengeksplorasi bagaimana seksualitas dan kekuasaan perempuan direpresentasikan melalui figur penyihir dalam film horor—khususnya dalam konteks film Suspiria versi 2018 dan film The Lords of Salem (2012). Melalui pendekatan psikoanalitik terhadap narasi, karakter, serta simbol, yang dihubungkan dengan konsep monstrositas keperempuanan dan teori ‘hina,' makalah ini mencoba menggambarkan interpretasi tentang perempuan yang kompleks—dan seringkali saling bertentangan—dalam film horor bertema penyihir, di mana mereka sering digambarkan sebagai perempuan yang merdeka dan berkuasa tetapi pada dasarnya masih dianggap sebagai sesuatu yang 'lain' dan menakutkan. Penulis menemukan bahwa penggambaran sifat keibuan dan fungsi reproduksi perempuan dalam kedua film tersebut berperan dalam membangun ketakutan bawah sadar terhadap seksualitas dan kekuasaan perempuan. Selanjutnya, analisis ini menunjukkan bahwa kekuasaan perempuan masih digambarkan di bawah pengaruh konstruksi patriarki, terutama terkait dengan gagasan kuno tentang kecemasan pengebirian (castration anxiety). Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa representasi penyihir dalam kedua film masih penuh dengan ambiguitas, yang menjadikan mereka sebagai representasi pemberdayaan perempuan yang masih kurang stabil.

The female witch is one of horror cinema’s most ambivalent figures as they may act as a subversive force while still conforming to older misogynistic stereotypes of women. Drawing primarily on Barbara Creed’s book about the monstrous-feminine, as well as Julia Kristeva’s theory of the abject, this paper explores the way female sexuality and power are represented through the witch figures in horror cinema–specifically in the context of the 2018 version of Suspiria and the horror film The Lords of Salem (2012). Through a psychoanalytic examination of the narratives, characters, and symbols, in conversation with the concept of monstrous-feminine and ‘the abject,’ the paper attempts to illustrate the complex—and often conflicting—interpretation of women in witch-themed horror movies, in which they are frequently portrayed as liberated and empowered but are still being fundamentally regarded as ‘other’ and terrifying. The writer finds that the portrayal of the maternal traits and female reproductive function in both movies are instrumental in constructing the subconscious fear towards female sexuality and power. Furthermore, the analysis suggests that female power is still portrayed under the influence of patriarchal construction, particularly related to the ancient notion of castration anxieties. Ultimately, the writer contends that the representations of the witch in both movies are still fraught with ambiguities, which render them as an unstable figure of female empowerment. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Shaffira Diraprana Gayatri
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi politik tubuh dalam tokoh-tokoh perempuan utama dalam novel Pillars of Salt dan My Name is Salma karya Fadia Faqir, serta menyimpulkan apakah ilustrasi perjuangan para tokoh tersebut dalam melawan manifestasi politik tubuh yang opresif mendobrak atau justru menguatkan representasi Barat mengenai perempuan Muslim. Menggunakan metodologi kualitatif-deskriptif dengan pendekatan close reading sebagai metode analisis, penelitian ini berangkat dari stereotipe perempuan Muslim dari sudut pandang Barat yang cenderung negatif dan asumsi bahwa novel-novel penulis perempuan Arab umumnya bertujuan untuk mendobrak stereotipe tersebut.
Penemuan penelitian ini adalah: pertama, tokoh-tokoh protagonis dalam kedua novel menjadi obyek dari berbagai bentuk politik tubuh yang dikenakan para tokoh laki-laki Timur maupun Barat, dan kedua, meskipun kedua teks tersebut terlihat menguatkan representasi Barat bahwa perempuan Muslim mengalami opresi, namun sesungguhnya mendobrak anggapan Barat bahwa perempuan Muslim cenderung pasif dan patuh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa patriarki dan kolonialisme merupakan dua sistem yang membatasi resistensi dan menguatkan marjinalisasi perempuan, dan media operasi kedua sistem tersebut adalah tubuh.

This research aims to analyse the construction of body politics in the female protagonists in Pillars of Salt and My Name is Salma by Fadia Faqir, and to draw a conclusion on whether the illustration of the female characters‘ struggles against the oppressive manifestation of body politics succeed to challenge, or conversely to strengthen, western representation of Muslim women. Using a qualitative methodology with a close reading approach as a method of analysis, this research builds on the western stereotype of Muslim women that tends to be negative and the assumption that Anglophone Arab female writers commonly intends to challenge such stereotype.
The findings of this research are: first, the female protagonists in the novels of Pillars of Salt and My Name Is Salma underwent several forms of body politics that were imposed by both eastern and western men, and second, although these texts seem to strengthen western representations of Muslim women as oppressed, but it actually challenge the western portrayals of Muslim women as passive and obedient. This research concludes that it is both patriarchy and colonialism that overturn their resistance and strengthen female marginalisation, and that both systems take place first and foremost through the body.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S53874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rijal Bahtiar
"Animation movies have become one of the most popular genres in cinema, with fairy tale adaptations being a particularly common theme. Most animated movies avoid the serious genre because they think children are not ready to understand the topic. However, there is a growing need to explore how animated films can address serious themes in a way that is accessible to children. In Puss in Boots: The Last Wish (2022), a fairy tale adaptation story that has a theme about mortality is built upon how a character demonstrates his heroism just for seeking instant gratification until he deals with the problem of mortality, which slowly turns his life upside down and changes personality. This paper addresses the problem of how animated films can effectively portray complex issues like mortality. Applying textual analysis and Freud’s psychoanalytical approach, this paper concludes that the character Puss in Boots in Puss in Boots: The Last Wish (2022) demonstrates the psychological struggle of maintaining heroic values through the interplay of the Id, Ego, and Superego while facing mortality. Keywords: instant gratification, fairy-tale analysis, animation study, character analysis, Puss in Boots = Film animasi telah menjadi salah satu genre paling populer di sinema, dengan adaptasi dongeng menjadi tema yang sangat umum. Sebagian besar film animasi menghindari genre serius karena menganggap anak-anak belum siap memahami topik tersebut. Namun, ada kebutuhan yang semakin meningkat untuk mengeksplorasi bagaimana film animasi dapat mengangkat tema serius dengan cara yang dapat diakses oleh anak-anak. Dalam Puss in Boots: The Last Wish (2022), cerita adaptasi dongeng yang bertema tentang kematian dibangun berdasarkan bagaimana seorang karakter menunjukkan kepahlawanannya hanya untuk mencari kepuasan instan sampai dia menghadapi masalah kematian, yang perlahan mengubah hidupnya dan mengubah kepribadiannya. Karya ini membahas masalah bagaimana film animasi dapat secara efektif menggambarkan isu-isu kompleks seperti kematian. Dengan menerapkan analisis tekstual dan pendekatan psikoanalitik Freud, karya ini menyimpulkan bahwa karakter Puss in Boots dalam Puss in Boots: The Last Wish (2022) menunjukkan perjuangan psikologis dalam mempertahankan nilai-nilai kepahlawanan melalui interaksi Id, Ego, dan Superego saat menghadapi kematian."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Shofiyanti
"Penelitian ini membahas artikulasi identitas kultural masyarakat Osing melalui mocoan (tembang naskah kuno) di Banyuwangi. Masyarakat Osing, yang merupakan kelompok etnis asli Banyuwangi, memiliki kekayaan budaya yang masih lestari, salah satunya melalui tradisi lisan dalam bentuk mocoan. Tembang-tembang naskah kuno ini, yang berfungsi sebagai media penyampaian nilai-nilai moral, sejarah, dan ajaran hidup, menjadi sarana penting dalam menjaga dan mengungkapkan identitas kultural masyarakat Osing. Penelitian ini berfokus pada analisis terhadap pelestarian tradisi mocoan, dengan mengkaji bagaimana proses pertunjukan mocoan berperan dalam pembentukan dan artikulasi identitas kultural masyarakat Osing di Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi untuk mengkaji berbagai makna yang terbentuk dalam praktik mocoan sebagai tradisi tembang naskah yang hidup (living manuscript) dalam masyarakat Osing. Data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara dengan tokoh budaya setempat, serta analisis diskursif terhadap pertunjukan mocoan. Penelitian ini mengungkapkan bahwa mocoan tidak hanya menjadi sarana pelestarian budaya, tetapi juga sebagai ruang bagi agensi untuk menciptakan dan merumuskan ulang makna atas identitas kultural mereka. Dalam konteks ini, komunitas Mocoan Lontar Yusup Milenial memainkan peran penting dalam mempertahankan tradisi mocoan melalui negosiasi terhadap habitus ritual dan pembaruan strategi pelestarian, dengan mengakses pengetahuan tradisional dan menyajikan pertunjukan yang relevan bagi generasi muda. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa, kini, aspek pemahaman isi naskah tidak lagi penting dibandingkan dengan penekanan pada kemampuan dalam menembangkan teks itu sendiri, di mana hal ini justru mengukuhkan bahasa Osing sebagai living language—satu aspek penting dalam mempertahankan identitas budaya Osing di tengah arus globalisasi. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami dinamika pelestarian tradisi lisan di masyarakat Osing, serta menjelaskan bagaimana mocoan berfungsi sebagai sarana artikulasi identitas budaya yang tidak hanya bersifat historis, tetapi juga relevan dalam konteks sosial kontemporer. Dengan demikian, mocoan berperan sebagai salah satu strategi diskursif yang memungkinkan keberlanjutan dan regenerasi tradisi Osing di masa depan.

This study aims to analyze the articulation of the cultural identity of the Osing community through mocoan (traditional recitation of old manuscript) in Banyuwangi. The Osing people, who are the indigenous ethnic group of Banyuwangi, possess a rich cultural heritage that is still preserved, one of which is through the oral tradition of mocoan. These ancient poetic scripts, which serve as a medium for conveying moral values, history, and life teachings, have become an important tool in maintaining and expressing the cultural identity of the Osing community. This research focuses on analyzing the preservation of the mocoan tradition by examining how the performance of mocoan contributes to the formation and articulation of the Osing community’s cultural identity in Banyuwangi. This study employs a qualitative approach with an ethnographic method to explore the various meanings embedded in the mocoan practice as a living manuscript within the Osing community. Data is collected through participatory observation, interviews with local cultural figures, and discursive analysis of mocoan performances. The findings reveal that mocoan not only serves as a means of cultural preservation but also provides a space for agency to create and reinterpret the meanings of their cultural identity. In this context, the Mocoan Lontar Yusup Milenial community plays a significant role in maintaining the mocoan tradition through the negotiation of ritual habits and the renewal of preservation strategies, accessing traditional knowledge, and presenting performances that resonate with younger generations. This phenomenon also shows that, while understanding the mocoan texts remains important, there is now a greater emphasis on the performance or vocalization of the texts themselves, which functions to reaffirm the Osing language as a living language—an essential element in preserving the Osing cultural identity amidst globalization. This research contributes significantly to understanding the dynamics of oral tradition preservation in the Osing community, and explains how mocoan functions as a tool for articulating cultural identity that is not only historical but also relevant in contemporary social contexts. Thus, mocoan plays a role as one of the discursive strategies that allows the continuity and regeneration of Osing traditions in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>