Gerakan ekonomi Islam di Indonesia sudah lama berkembang, tak terkecuali dalam bidang keuangan. Keberadaannya merupakan sebuah langkah jihad ekonomi dalam Islam. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana salah satu gerakan ekonomi Islam dalam bidang keuangan berkembang. Studi-studi sebelumnya melihat gerakan ekonomi Islam muncul dari bagaimana nilai-nilai Islam dijadikan pedoman dalam berwirausaha di level mikro, dan bagaimana aspek ekonomi berkembang dari wacana wirausaha Islam pada level meso. Sejalan dengan studi-studi di level meso, studi ini berargumen bahwa terdapat peran jaringan sosial dan nilai-nilai agama dalam mendorong kegiatan ekonomi. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan metode studi kasus terhadap Lembaga Keuangan Syariah BMT DT (Baitul Maal Wat Tamwil Daarut Tauhiid). Menggunakan perangkat konseptual institusi, jaringan sosial dan bingkai nilai agama (cognitive frame), hasil dari penelitian ini menunjukan bahwaadanya perubahan institusi yang mengakibatkan turunnya kinerja BMT DT, terutama pada turunnya jumlah mitra muamalah dan tingginya angka NPL, namun nasabah santri (santri karya, mitra muamalah dan alumni) masih mengalami peningkatan walaupun tidak cukup signifikan. Hal ini dikarenakan adanya jaringan sosial yang dibangun oleh Pimpinan Ponpes DT saat santri ini menjadi bagian dari Ponpes DT baik dalam pendaftaran atau perekrutan menjadi santri. Meskipun ada nasabah yang loyal, penurunan jumlah mitra muamalah yang cukup signifikan berdampak besar pada turunnya laba bersih BMT DT karena merupakan nasabah yang paling banyak melakukan pembiayaan daripada kategori nasabah lainnya.
The Islamic economic movement in Indonesia has long been developing, including in the financial sector. Its existence is a step in economic jihad in Islam. Therefore this study aims to see how one of the Islamic economic movements in the financial sector develops. Previous studies looked at economic movements arising from Islamic values needed in entrepreneurship at the micro level, and how the economic aspects developed from Islamic entrepreneurship discourse at the meso level. In line with studies at the meso level, studies on the role of social and religious values in driving economic activity. This study uses qualitative, with the study method of the Islamic Financial Institution BMT DT (Baitul Maal Wat Tamwil, Daarut Tauhiid). Using conceptual tools, social networks, and religious value frames (cognitive frames), the results of this study indicate that there are changes in performance that result in BMT DT, increasing the number of muamalah partners and increasing NPL numbers, but also santri (santri Karya, muamalah partners and alumni) still increasing Not significant enough improvement. This is because there is a social network established by the Head of the Islamic Boarding School at the time the santri became part of the Islamic Boarding School both in the registration or recruitment of students. Although there are loyal, a decrease in the number of muamalah partners which is quite significant has a big effect on low profits, BMT DT because it is the most widely financing of other income categories.
""
ABSTRAK
Vapers (pengguna vape) tidak hanya melihat vape dari nilai guna utamanya saja, yaitu sebagai alternatif pengganti rokok konvensional. Mereka juga melihat vape dari sisi nilai estetisnya. Salah satu alasannya adalah, karena vape yang sebenarnya diperuntukkan kepada para perokok, ternyata bisa membuat tertarik orang-orang yang bukan perokok. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bagaimana proses ekspansi produk vape yang merupakan hal baru, sehingga bisa diterima oleh masyarakat. Selain itu penelitian ini juga menjelaskan tentang bagaimana para penggunanya tidak hanya melihat vape dari nilai gunanya saja melainkan dari nilai estetisnya berdasarkan merk, model, dan keaslian barang melalui perspektif budaya konsumen Featherstone. Vape juga dijadikan sebagai gaya hidup konsumen. Hal tersebut dapat dilihat dari kesadaran untuk memperbaiki diri, mobilitas sosial dan perubahan diri para penggunanya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik pengumpulan datanya adalah wawancara serta observasi mendalam.
Kata Kunci: budaya konsumen, gaya hidup konsumen, perokok, vape
ABSTRACT
Vapers (vape users) do not only value vaping as a alternative to the traditional cigarettes. However, people also view vaping from its aesthetic point of view. One of the main reasons of vaping. This research has indicated how this new product has been successfully expanded to be accepted by community. Moreover, this study also explains of how vapers view vaping not only from it main values but also from it aesthetic values base on brands, models, and the authenticity products based on the consumer culture Featherstone point of view. Vape is also used as a consumer culture lifestyle as users becoming more aware of improving themselves, social mobility, and self-changes of users. This research uses qualitative methods and in-depth interview as the data collection technique as well as observation.
Keywords: consumer culture, consumer lifestyle, smokers, vape
"
Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) pada umumnya melakukan pemanfaatan hutan di sektor pertanian sesuai dengan instruksi dan dukungan modal dari Perhutani. LMDH Wana Cendana bergerak di sektor ekowisata tanpa instruksi dan bantuan modal dari Perhutani. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan pemberdayaan komunitas lokal (LMDH Wana Cendana) yang tidak memiliki keahlian di bidang pengelolaan hutan dan ekowisata. Konsep yang digunakan adalah pemberdayaan komunitas lokal dan ekowisata dengan pendekatan kualitatif studi kasus. Studi ini mengedepankan kebaruan kasus dan wawancara mendalam terhadap informan yang terlibat secara langsung dalam pengembangan ekowisata Gunung Dago. Beberapa riset terdahulu menunjukkan pemberdayaan yang kurang memprioritaskan komunitas lokal. Pengembangan ekowisata di Desa Dago yang dimulai pada 2019 sangat mengedepankan potensi lokal dan proses belajar secara mandiri, sehingga komunitas lokal mampu mengubah lahan bekas tambang menjadi tempat wisata yang asri. Kemandirian komunitas lokal tergambar pada keterlibatannya dalam proses pengembangan ekowisata, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Di samping itu, komunitas lokal sebagai pengelola mampu memanfaatkan pengetahuan, budaya dan sumber daya lokal untuk meningkatkan kesejahteraan anggota tanpa mengesampingkan kaidah-kaidah konservasi hutan.
"