Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Kholik
"Penelitian ini berusaha menggambarkan dan menganalisis dinamika hubungan antara dua Ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, pasca Orde Baru. Permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini mencakup; (1) Bentuk-bentuk hubungan yang dilakukan Muhammadiyah dan NU pada kurun waktu 1998-2003; (2) Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi hubungan dan (3) Bagaimana pola hubungan Muhammadiyah dan NU pasca Orde Baru.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teori-teori yang digunakan adalah teori integrasi dari Banton dan Etzioni, yang dikaitkan juga dengan teori fungsional dan konflik untuk memperkaya pembahasan. Metode pengumpulan data yang digunakan merupakan gabungan antara wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa setidaknya terdapat delapan bentuk hubungan yang terjalin antara Muhammadiyah dengan NU dalam kurun waktu 1998-2003, yang meliputi penyelenggaraan pengajian bersama Muhammadiyah-NU, upaya pengamanan Sidang Umum MPR 1999, penyelenggaraan kegiatan tasyakur kemerdekaan, kemitraan dalam mengembangkan usaha kecil, safari dakwah Muhammadiyah-NU, membangun gerakan moral, umrah bersama, dan gerakan anti korupsi. Apabila dipetakan, kedelapan bentuk hubungan tersebut mencakup bidang politik, ekonomi, dan sosial.
Faktor-faktor yang menjadi latar belakang hubungan antara Muhammadiyah dengan NU dalam kurun waktu tersebut meliputi komitmen untuk menyukseskan Sidang Umum MPR 1999, memperkuat tali ukhuwah islamiyah, mengikis perbedaan khilafah, upaya merajut kembali komitmen berbangsa dan bernegara di antara komponen bangsa, menumbuhkan sikap saling mendukung untuk keutuhan NKRI, memberdayakan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan umat, mencegah terjadinya konflik massa antara Muhammadiyah dengan NU, keprihatinan atas terjadinya krisis dan konflik sosial, dan keinginan untuk memerangi dan memberantas korupsi yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara paling korup.
Pola hubungan antara Muhammadiyah dengan NU pada kurun waktu pasca Orde Baru ditentukan oleh tiga hal, yaitu: pertama, berbasiskan pada spirit Ukhuwah Islamiyah yang mengikat kedua Ormas ini; kedua, adanya unsur generasi muda baru yang progresif sebagai penghubung dan perekat; ketiga, mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang bersifat non politis (di luar bidang politik).
Dari hasil penelitian juga diperoleh gambaran bahwa ketiga pola hubungan tersebut mampu mendorong kearah penguatan integrasi sosial antar keduanya. Mengacu pada pandangan Banton (1967) integrasi tersebut dapat terjalin karena perbedaan yang ada dalam kedua organsisasi itu tidak dimaknai sebagai hal yang penting. Para eskponen kedua ormas ini menyadari sepenuhnya perbedaan yang dimiliki, terutama menyangkut masalah khilafiah yang selama ini menjadi ganjalan, namun kini mereka memandang bahwa masalah-masalah khilafiah tidak lagi diperdebatkan bahkan ada upaya untuk mengikisnya.
Pola intergrasi yang tercipta, seperti diklasifikasikan oleh Etzioni, mencakup integrasi normatif yaitu pada integrasi yang dibangun berbasiskan pada semangat ukhuwah yang telah digariskan dalam ketentuan normatif Al Quran dan Hadist. Pada sisi lain juga tercipta integrasi fungsional, ketika NU dan Muhammdiyah dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing saling bekerjasama dalam berbagai bidang, seperti tampak dalam kerjasama pemberantasan korupsi. Selain itu juga tercipta integrasi korsif, yaitu pada level generasi muda, yang didorong oleh suatu tekanan dari luar berupa kondisi aktual yang sempat mengancam, terutama akibat terjadinya konflik pada level alit tokoh Muhammdiyah dan NU.
Penegasan berkenaan dengan teori yang digunakan dalam konsteks studi ini menunjukkan bahwa perspektif fungsional-struktural dan konflik yang digunakan secara terpilah (sendiri-sendiri) memiliki keterbatasan jangkauan. Sehingga dengan merujuk pada pandangan Lockwood dilakuan upaya untuk mengkombinasikan kedua perspektif tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14394
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Kholik
"Bangunan rumah adat, bagi masyarakat adat, dapatlah dikatakan suatu simbol jati diri, ikatan kekerabaran dan tatanan eksistensi bahwa adat mereka tetap langgeng dan berlaku. Rumah yang dimiliki salah seorang anggota persekutuan masyarakat adat, merupakan kearifan tradisional, suatu cara mewarisi identitas bagi pribadi-pribadi, yang dibesarkan dalam adat-istiadat tertentu di suatu wilayah, tentunya, selain dari, bahasa, pakaian, perilaku, keadaban juga sistem ekonomi-sosial-budaya mereka yang terikat juga menjadi pembeda dengan adat-istiadat lainnya. Bangunan rumah ini, dapat dipindahkan haknya dengan tata cara dengan ?jual lepas? (adol bedol) kepada orang perorangan bahkan badan hukum yang bukan merupakan anggota masyarakat adat. Setelah status kepemilikan bangunan berubah, dengan demikian bangunan tersebut dianggap kebendaan berwujud yang bergerak dalam konstruksi hukum benda nasional.
Analisa dan pembahasan, atas judul dan identifikasi masalah yang merupakan subyek penulisan hukum ini, diteliti dengan metodologi penelitian hukum normatif, didasari pada taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, sebagai teknik pengumpulan data merupakan penelitian kepustakaan, kemudian pengolahan, analisa dan konstruksi datanya dilakukan secara kualitatif, tipe penelitiannya dipilih perskriptif sebagai tujuannya adalah problem-identification. Berdasarkan sarana ini, diketahui bahwa rumah adat, yang umumnya merupakan bangunan yang tidak permanen, dapatlah dibongkar pasang, dalam konstruksi hukum tanah nasional yang bersumberkan pada hukum adat, apabila kondisinya demikian, berlaku asas pemisahan horizontal. Sekalipun nantinya bangunan tersebut yang dimiliki seseorang, warga Negara Indonesia yang bukan merupakan anggota masyarakat adat tertentu dan didirikan di atas tanah kepunyaannya, menjadi suatu bangunan permanen, tetapi secara hukum tetaplah terpisah dan di dalam sertipikat tanah atas bidang tanahnya bukan satu kesatuan dengan tanah. Maka bagi yang memiliki rumah adat tersebut, dapat dijadikan suatu jaminan kebendaan, yang diatur dalam hukum jaminan nasional, adalah jaminan fidusia, yang memberikan hak dan manfaat ekonomis, dengan konstruksi hukumnya adalah sebagai perjanjian accesoir.
Building of traditional house, to traditional peoples, it?s can be told an spirit symbol, tying of family hood and of existence path their custom still remain and to be permanent. House which had by one of the member sorority of traditional peoples, representing traditional wisdom, a way of inherit identity to persons, which is enlarged in certain tradition in a region, it is of course, apart from, language, clothes, behavioral, civilization also economic-social-cultural system which bound them and also become to distinguish with other tradition. the rights of this house, can be detached, with procedures by ?selling to release? (adol bedol) to individual person even a legal body which not a member in a traditional society. After ownership status of building has change, thereby the building assumed has become a peripatetic extant material in construction of the national law of material.
Analysis and elucidation, on title and identification of problems which representing the subject of this law script, is conducted by with normative law methodologies of research, constituted at synchronization vertical and horizontal level, as data collecting technique represent research of bibliography, then process, construction and analysis conducted by qualitative data, the type of research is prescriptive as its target for problem-identification. Pursuant to this media, known that traditional house, generally represent building which is not permanent, which is portable, in construction of national land law which source at customary law, if its condition that way, effecting the principle of dissociation of horizontal. Even if later the building which owned by someone, an Indonesia citizen which not such a member in certain traditional peoples and built above its property, becoming a permanent building, but judicially be apart from the soil, and in the land certificate shown not unite with the soil. Hence to owning traditional house, can be an asset collateral, which is ruled in national guarantee law, the term of collateral is fiducia, giving economic benefit and rights, which construe by the law as accessory agreement.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T23508
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library