Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Ratna Adila
Abstrak :
Hibah adalah salah satu cara mengalihkan hak atas tanah. Dalam prakteknya di desa banyaknya orang yang memilih hibah sebagai cara pengalihan hak atas tanah karena dinilai lebih mudah dan hemat biaya. Terhadap desa atau kecamatan yang tidak memiliki seorang PPAT untuk membuat akta hibah, pemerintah dapat mengangkat camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS). Tak jarang PPATS melakukan kesalahan ataupun kelalaian dalam penerbitan akta hibah yang menyebabkan akta hibah cacat hukum. Akibatnya akta hibah menjadi bermasalah dan timbul gugatan pembatalan akta hibah. Adapun dalam putusan ini yang menjadi masalah adalah terdapat seorang kurandus yang menghibahkan hak atas tanahnya kepada kuratornya di hadapan seorang PPATS di Desa Talkandang Kabupaten Situbondo. Terlebih, hibah telah dilaksanakan dua kali dan saat ini ada pada pemegang hibah kedua. Salah satu ahli waris yang saat ini menjadi kurator baru menuntut pembatalan hibah. Hal yang menjadi pembahasan dari penelitian ini adalah terkait tindakan kelalaian dari PPATS dalam membuat akta hibah yang membiarkan seorang kurandus menghibahkan tanah kepada kuratornya dan perlindungannya terhadap pemegang hibah kedua beritikad baik. Pada akhirnya Putusan Pengadilan Agama Situbondo Nomor: 818/Pdt.G/2020/PA.Sit,  yang dikuatkan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya dalam putusannya nomor: 504/Pdt.G/2021/PTA.Sby dan putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 640/K/Ag/2021 menyatakan hibah batal dan objek hibah harus dikembalikan tanpa adanya penggantian kepada pemegang hibah kedua. Penelitian ini menggunakan tipologi preskriptif yang akan mendeskripsikan masalah sekaligus mencari pemecahan masalah atas keabsahan atas akta, tanggung jawab dari PPATS serta mengkritisi pertimbangan hakim yang dirasa kurang memberi perlindungan hukum terhadap penerima hibah kedua. ......Grants is one way of transferring land rights. Practically in villages, many people choose grants as a way of transferring land rights because they are considered to be easier and more cost-effective. Around villages or sub-districts that do not have a Land Deed Maker Officer (LDMO) to make a grant deed, the government can appoint a camat as the Temporary Land Deed Making Officer (TLDMO). It is not uncommon for TLDMO to make mistakes or negligence in issuing a grant deed which causes the grant deed to be legally flawed. As a result, the grant deed became legally problematic and a lawsuit arose because of the cancellation of the grant deed. In this study case, there was a problem between a curandus who granted his land rights to his curator. The deed was made by TLDMO in Talkandang Village, Situbondo Regency. Moreover, the grant has been implemented twice and is currently in the holder of the secondary grant holder. One of the heirs who is currently the new curator is demanding the cancellation of the grant. The subject matter of this research is related to the act of negligence and a possibility of crime act by TLDMO in the making of a grant deed that allowed a curandus to grant a land to his curator and its protection for the secondary grant holder. At the end, the Situbondo Religious Court Decision Number: 818/Pdt.G/2020/PA.Sit, which was upheld by the Surabaya Religious Higher Court in its Decree Number: 504/Pdt.G/2021/PTA.Sby and the Supreme Court of the Republic of Indonesia's Decree Number: 640/K/Ag/2021 states that the grant is void and the object of the grant must be returned to the current curator and without any replacement to the secondary grant holder. This research uses a prescriptive typology that will describe the problem as well as to find a solution of the problem concerning the validity of the deed, the responsibility of the TLDMO and criticizing the opinion of judges who are deemed to lack legal protection for the secondary grant holder.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Ratna Adila
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang cidera janji debitur. Putusan tersebut merupakan tindak lanjut dari kasus antara penggugat yang merupakan konsumen dari perusahaan pembiayaan PT. Astra Sedaya Finance selaku tergugat dalam perkara perbuatan melawan hukum terkait penyitaan jaminan fidusia milik konsumen. Tidak hanya sampai pada kasasi, Penggugat juga memohon pengujian Undang- Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 Pasal 15 Ayat 2 dan 3 yang hasilnya dituangkan dalam putusan ini. Pasal-pasal tersebut ternyata mengandung frasa cidera janji debitur yang menjadi salah satu penyebab masalah dimana kreditur dianggap berlaku sewenang-wenang, putusan ini juga tidak luput dari perdebatan ahli mengenai cidera janji debitur yang menjadi salah satu syarat eksekusi jaminan. Pendapat-pendapat tersebut akhirnya membawa Majelis Hakim pada sebuah putusan yang menyebutkan tentang kesepakatan cidera janji debitur. Untuk menilai apa yang dimaksud dengan kesepakatan cidera janji debitur, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang melakukan penelitan terhadap sumber hukum primer dan sekunder. Sehingga akhirnya penulis sampai pada kesimpulan bahwa kesepakatan cidera janji debitur yang dimaksud Hakim adalah tidak sesuai dengan peraturan tentang keperdataan yang berlaku di Indonesia. ......This paper discusses about the the Constitutional Court Number 18/PUU-XVII/2019 concerning the debtor's breach of contract. The court decision is followed by the case between the debtor who is a consumer of PT. Astra Sedaya Finance as a finance company and also the defendant in the case of illegal acts against the execuiton of consumer fiduciary guarantee. Not stopping until cassation, the Plaintiff also requested a statutory test on Fiduciary Law Number 42 of 1999 Article 15 Paragraphs 2 and 3, which the results set forth in this decision. These articles also contain the phrase of debtor's breach of contract which turns out to be one of the problem where the creditor is considered to be acting arbitrarily, this court decision also can not be seperated from the expert debate about the debtor's breach of contract which is one of the conditions of guarantee execution. These opinions finally brought the Panel of Judges to a decision whom stated about debtor’s breach of contract deals. To assess what is meant by the debtor’s breach of contract deals, the author uses the method of normative legal research that conducts research on primary and secondary legal sources. Finally the writer came to the conclusion that the Constitutional Court Judge Council statement about consent in breach of contract is not constitute with what has been written in Indonesian Civil Code.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library