Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Tambunan, Aurora
"ABSTRAK
Kota merupakan suatu kesatuan lingkungan alam, lingkungan sosial budaya dan lingkungan buatan sebagai lingkungan kehidupan manusia. Salah satu cirinya adalah keberadaan ekosistem alami yang biasanya relatif sangat kecil. padahal kualitasnya mempengaruhi kualitas ekosistem kota secara keseluruhan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai suatu bentuk keberadaan ekosistem alami pada suatu lingkungan buatan menjadi amat penting mengingat fungsinya secara ekologis, sosial dan estetis. Ruang Tebuka Hijau dapat mengatur temperatur kota, mengatur kandungan oksigen. mengurangi karbondioksida, menjadi perangkap bahan pencemar baik debu maupun gas, meningkatkan peresapan air, memberi bentuk visual yang menarik dan sehat untuk rekreasi, menjadi habitat bagi semua makhluk hidup dan meningkatkan keanekaragaman kehidupan di lingkungan kota.
DKI Jakarta memiliki dinamika pembangunan yang diwarnai dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang pada tahun 1961 baru berjumlah 2,9 juta jiwa, pada tahun 1995 telah berjumlah 9 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2005 akan berjumlah 12 juta jiwa. Perkembangan penduduk dan berbagai aktivitasnya yang demikian pesat pada luas tanah terbatas (650 km2) pada akhirnya terekspresikan pada masalah penggunaan tanah dan secara Iuas pada sumberdaya alam dan lingkungan. Meningkatnya jumlah penduduk dan berbagai aktivitasnya tersebut menyebabkan terjadinya persaingan penggunaan tanah antara berbagai kegiatan. Persaingan penggunaan tanah yang terjadi selama ini telah menyebabkan ruang yang seharusnya dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau dibangun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kegiatan lain. karena Ruang Terbuka Hijau dipandang tidak menguntungkan secara ekonomis.
Perbandingan yang seimbang antara manusia dan lahan (man-land ratio), khususnya perbandingan antara luas bangunan dan luas tanah (building area ratio) danfatau perbandingan antara luas lantai dan luas tanah (floor area ratio) akan dapat membantu keberadaan RTH.
Untuk kepentingan penelitian ini, maka dibedakan dua jenis Ruang Terbuka Hijau. Pertama adalah Ruang Terbuka Hijau Umum (Publik), yaitu Ruang Terbuka Hijau yang dimiliki oleh umum, seperti taman kota yang dibangun oleh Pemerintah. Ruang Terbuka Hijau Umum ini merupakan daerah yang di dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) mempunyai peruntukan penyempurnaan hijau. Kedua adalah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan (Pribadi), yaitu daerah dalam persil bangunan pada kepemilikan pribadi yang dialokasikan untuk tanaman hijau,
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan fakta mengenai komposisi daerah yang tidak terbangun dalam suatu persil bangunan, khususnya yang berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan tersebut. Juga untuk mengetahui apakah pengaturan Intensitas Bangunan khususnya Koefisien Dasar Bangunan mampu mengendalikan pemanfaatan tanah di dalam suatu persil dalam kaitannya dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah DKI Jakarta dalam pengambilan kebijakan perencanaan tata ruang kota yang berwawasan lingkungan.
Untuk maksud tersebut, dilakukan penelitian pustaka dan penelitian lapangan di daerah studi sepanjang koridor JI. Thamrin - JI. Sudirman, batas utara dimulai dari Air Mancur sampai batas selatan Jembatan Semanggi dan di JI. Rasuna Said, batas utara dimulai dari Jembatan Latuharhary sampai batas selatan Simpang-4 J1. Gatot Subroto.
Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini ada 2 macam. Pertama adalah yang berkaitan dengan pengukuran secara langsung di lapangan dengan mempergunakan alat ukur tanah, yaitu untuk mendapatkan luas kawasan non-bangunan dan luas kawasan non-perkerasan dalam kawasan non-bangunan, yang selanjutnya disebut sebagai Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan. Data tiap persil tersebut, selanjutnya digitasi dan dianalisis melalui sistem Arc-Info untuk mendapatkan informasi mengenai berapa luas sesungguhnya daerah Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dibandingkan dengan luas daerah non-perkerasan. Kedua, adalah melalui wawancara langsung dengan responder penelitian di lapangan dalam hal ini adalah perencanalarsitek bangunan pada persil-persil di sepanjang kawasan studi. Data Primer yang diperoleh melalui wawancara adalah : wawasan lingkungan hidup perencanalarsitek, persepsi perencanalarsitek terhadap perhitungan ekonomis lahan serta persepsi perencana/arsitek terhadap peraturan yang berkaitan dengan intensitas bangunan.
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap permasalahan penelitian, maka dapat diarnbil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Ruang Terbuka Hijau dalam suatu kota mempunyai multi fungsi, yaitu : fungsi ekologi, estetis dan sosial budaya yang dapat dijabarkan sebagai daerah resapan, sebagai peredam cemaran udara sebagai pengendali iklim mikro dan sebagai unsur keindahan dan kenyamanan hidup kota.
Diharapkan Iuas Ruang Terbuka Hijau untuk DKI Jakarta dengan luas wilayah 65.000 Ha. adalah 30% dari luas kota, yaitu ± 19.500 ha. Luas Ruang Terbuka Hijau Umum pada tahun 1996 adalah seluas 12.900 ha, atau kurang lebih 20% dari luas kota. Dengan kemampuan pendanaan Pemerintah yang terbatas, maka penyediaan Ruang Terbuka Hijau kota tidak dapat digantungkan dari kemampuan pendanaan Pemerintah semata, namun perlu diupayakan peluang-peluang penciptaan Ruang Terbuka Hijau yang dapat memanfaatkan kemampuan dan peranserta masyarakat dan pihak swasta, antara lain Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan
Penelitian sepanjang koridor Thamrin-Sudirman dan Rasuna Said membuktikan bahwa komposisi Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan dalam daerah non-bangunan tidak mencapai 50% dari Ruang Terbuka yang tercipta. Peraturan Intensitas Bangunan, khususnya Koefisien Dasar Bangunan yang berlaku saat ini, hanyalah mengatur mengenai komposisi daerah yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun, sehingga yang di atuar hanyalah komposisi ruang terbuka dan bukannya ruang terbuka hijau.
Faktor-faktor utama yang menentukan keberadaan Ruang Terbuka Hijau pada persil bangunan, adalah : Wawasan Lingkungan Hidup pemilik persil dan perencana, perhitungan ekonomis lahan serta adanya peraturan spesifik yang mengatur komposisi Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan.
Tanpa adanya pengaturan komposisi Ruang Terbuka Hijau secara eksplisit, maka pemilik persil dan atau perencana/arsitek tidak akan memberi "porsi" yang memadai bagi penyediaan Ruang Terbuka Hijau dalam persil bangunan. Untuk itu harus dicapai kesepakatan antara Pemda DKI Jakarta, pihak swasta, para pakar serta masyarakat untuk menentukan komposisi yang wajar, sehingga semua pihak yang berkepentingan tidak merasa dirugikan. Selanjutnya kesepakatan tersebut dapat dipergunakan untuk menyempurnakan peraturanperaturan yang ada.
Perlunya diadakan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan peluang-peluang baru untuk meningkatkan keberadaan RTH di kawasan perkotaan.

ABSTRACT
Evaluation Of The Ratio Of Green Open Space At Building Lots (Case Study of Thamrin - Sudirman and Rasuna Said Corridor Jakarta)A city constitutes of a unity of natural environment, socio - cultural environment and man - made environment where people live. One of its characteristics is the existence of a relatively small natural ecosystem, despite the fact that its quality affects its overall quality of the urban ecosystem. The existence of green open space as a natural ecosystem becomes highly important in terms of its ecological, social and aesthetical aspects. Green open space reduces carbonmonoxide, captures pollutants such as dust and gas, improves water absorption, provides an attractive and healthy visual shape for recreation purposes, becomes a habitat for all creatures and adds to living variety within an urban environment.
The Special Capital Territory of Jakarta (DKI Jakarta) owns a development dynamism characterized by speedy population increase. The number of population in DKI Jakarta in 1961 was 2.9 million only, but in 1995 it increased to 9 million and in 2005 it is estimated to reach 12 million. Such fast population increase along with its activities on a limited space (650 km2) will eventually put a pressure on the land use and deplete the natural resources and seriously burden its environment seriously. The rising number of population and activities has led to the increasing competition of land use for many different activities. The land use competition that has been prevailing so far has caused the space designated for Open Green Space to be used to meet the needs of development for other infrastructure, as Natural Environment is considered being economically un-beneficial.
There is a need to balance the ratio between man and land especially the building-area ratio and/or the floor-area ratio as a way to increase the green open space in urban area.
For the purpose of this survey, an open space is categorized into two types namely Public Green Open Space which is green open space owned by the public like city gardens constructed by the Government. Such green open space are pieces of land in which within the Zoning General Plan areas have the function as greenery. Second is green open space on private building lots, namely areas within building lots owned by an private allocated for greenery.
This survey is aimed at finding facts about composition of areas unbuilt within building lots, and more particular, those related to green open space within those building lots. It is also to know if the building intensity regulation is able to control its land utilization within a lot in its relation to the allocation of green open space. It is expected that this survey is able to provide some thoughts for the DKI Government in making decisions pertaining to environmentally-oriented urban zoning.
For such purpose, a library research and field survey have been conducted in the study area along JI. Thamrin - JI. Sudirman corridor (Its north border began from Air Mancur up to the south border of Semanggi Clover Leave Bridge) and Jl. Rasuna Said, (its north border began from the Latuharhary bridge up to the south border of Jl. Gatot Subroto intersection).
The primary data required in this survey comprise two types. First, those related to direct surveying in the field using surveying equipment to obtain the extent of the un-built area, and the un-compacted area within an un-built area which shall be further referred to as green open space on the building lots. The data of each lot was further digitized and analyzed using Arc - Info as to obtain information about the actual extent of such green open space on the building lots compared to the un-compacted area. Second, the data was also obtained through direct interviews with the survey respondents in the field, in this case planners/building architects of the lots along the study area. The primary data were obtained from the perception of the planners/ architects towards regulation linked to the building intensity.
Based on the results of the discussion on the survey issues, it could be concluded as follows:
Green Open Space within a city has a multi functions, namely: as water catchment area, as air pollutant absorption, as microclimate controller and as aesthetical element of the environment.
The ideal extent of Green Open Space for DKI Jakarta with total size of 65,000 ha is 30% of the city size namely around 19,500 ha. The green open space size in 1996 was 12,000 ha or equivalent to 20% of the city size. Under the government's restricted budget allocation, the allocated green open space cannot depend on the government fund availability solely, but there should be alternative ways for the creation of green open space through participation of the community and private sector, among others green open space existing on building lots.
The survey along the Thamrin-Sudirman corridor and Rasuna Said corridor has proved that the green open space composition at building lots within un-built areas does not even reach 50% of the open space. Regulations concerning Building Intensity, only regulates the composition between what may be built and may not be built. Thus, the regulations concern only with' the open space composition and not the green open space.
Main factors that determine Green Open Space on building lots are: Environmental Awareness of the lot owners and planners, land economic calculation and specific regulations regulating composition of Natural Environment on building lots.
In the absence of such explicit regulations concerning composition of Green Open Space, the lot owners/planners/architects will not give away their adequate share of the cake to be allocated for green open space on their building lots. Accordingly, an agreement must be reached as to determine the appropriate composition so that all related parties will not be harmed. Such agreement further can be used as to review the existing regulations.
The need for a further study to explore new ideas and new possibilities to increase the green open space in urban area.
Total of References : 43 (1970 - 1986)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tetta Aurora
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menganalisis implikasi amandemen PKP2B Generasi 3 terhadap beban pajak yang ditanggung Perusahaan (Effective Tax Rate) serta Manajemen Pajak yang harus dilakukan oleh perusahaan pasca amandemen PKP2B tersebut. Amandemen PKP2B merupakan amanat dari terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengatur bahwa ketentuan-ketentuan di dalam pengusahaan pertambangan yang tercantum dalam PKP2B harus disesuaikan dengan UU Minerba. Salah satu pokok perubahan adalah mengenai peningkatan penerimaan negara dimana ketentuan perpajakan berubah dari ketentuan Undang-undang Tahun 1994 menjadi ketentuan Undang-undang yang berlaku saat ini (prevailing law). Penelitian ini membahas mengenai Manajemen Pajak yang harus dilakukan perusahaan pasca perubahan rezim perpajakan tersebut yang meliputi kepatuhan pajak (tax administration), tax planning dan strategi apabila terdapat pemeriksaan pajak. Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kualitatif. Unit analisis yang digunakan adalah sebuah perusahaan batubara PKP2B Generasi 3 yang berlokasi di Kalimantan Timur dan Tengah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan adanya amandemen PKP2B akan mengakibatkan Effective Tax Rate meningkat. Manajemen Pajak yang dapat dilakukan agar beban pajak menjadi efisien diantaranya adalah Tax Planning dalam PPh Badan seperti pengajuan Penetapan Daerah Tertentu, pengawasan terhadap Debt to Equity Ratio (DER) dan sebagainya. Selain Tax Planning, perusahaan juga harus menerapkan kepatuhan administrasi sesuai dengan Ketentuan Prevailing untuk menghindari sanksi bunga atau denda. Penelitian ini juga dapat menjadi evaluasi kebijakan Amandemen PKP2B yang dilakukan oleh Pemerintah.

ABSTRACT
This research is aimed to analyze the implications of the 3rd generation CCoW amendment to the company's effective tax rate and tax management that can be applied by the company after the amendment of CCoW. The amendment of the CCoW is a mandate from the issuance of Law No. 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining (Minerba Law) that stipulate the provisions in CCoW mining concessions must be amended according to the Minerba Law. One of the main points of change is the increase in state revenues where the taxation provisions change from the 1994 Law to the prevailing law. This research discusses about Tax Management which can be applied by the company after the change of tax regime which covers tax administration, tax planning and strategy if there is tax audit. The study used a case study approach with qualitative method. The unit of analysis used is CCoW 3rd Generation coal company located in East and Central Kalimantan. From this research can be concluded that Amendment of CCoW increase Effective Tax Rate. Tax Management that can be performed is Tax Planning in the Corporate Income Tax therefore the tax expense can be efficient. For instance, submission of Specific Areas, supervision of Debt to Equity Ratio (DER) and so on. In addition to Tax Planning, companies should also apply administrative compliance based on Prevailing Provisions to avoid any interest or penalties. This research may also be an evaluation of the CCoW Amendment policy undertaken by the Government."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Grace Aurora
"Latar belakang: Usia operasi Fontan terbaik masih kontroversial. Pusat jantung di negara maju menggunakan batasan usia 2-4 tahun. Kebanyakan operasi Fontan di Indonesia dikerjakan pada usia tua. Dengan kemajuan teknik operasi, bagaimana dampak usia tua saat operasi Fontan terhadap kesintasan belum ada datanya.
Tujuan: Mengetahui pengaruh usia tua saat operasi Fontan terhadap kesintasan jangka panjang.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan analisis kesintasan terhadap pasien pascaoperasi Fontan (1 Januari 2008-31 Desember 2019) di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Pengumpulan data dilakukan dari rekam medis, konferensi bedah, serta follow-up melalui telepon atau surat hingga 1 April 2020. Usia dibagi menjadi usia ≤ 6 tahun dan > 6 tahun.
Hasil: Dari total 261 subjek, median usia operasi yaitu 5 tahun (2-24 tahun). Kesintasan usia operasi ≤ 6 tahun dan > 6 tahun yaitu 95,7% dan 89,3%. Hasil subanalisis kesintasan usia operasi < 4 tahun, 4-6 tahun (referensi), 6-8 tahun, 8-10 tahun, 10-18 tahun, dan > 18 tahun yaitu 90,5%, 97,9%, 93,8%, 84,8%, 91,4%, dan 66,7%. Usia 8-10 tahun (HR 6,79; p = 0,022), 10-18 tahun (HR 3,76; p = 0,147), dan >18 tahun (HR 15,30; p = 0,006) memiliki kesintasan terendah. Usia operasi > 6 tahun (HR 3,84; p = 0,020) dan kebutuhan furosemid jangka panjang (HR 3,90; p = 0,036) signifikan meningkatkan risiko kematian pada analisis multivariat.
Kesimpulan: Usia operasi Fontan > 6 tahun signifikan menurunkan kesintasan jangka panjang. Usia operasi 8-10 tahun dan > 18 tahun memiliki risiko kematian 6,7 kali dan 15,3 kali dibandingkan usia 4-6 tahun.
......Background: The optimal age to perform the Fontan procedure is still unknown. Currently, the majority of centres worldwide are performing the procedure between 2 and 4 years old. Most of Fontan procedures in Indonesia are performed at older age. With the advancement in surgical techniques, there is no data regarding the impact of older age at completion of Fontan procedure on long term survival.
Objective: To evaluate the impact of older age at Fontan procedure on long term survival.
Methods: We conducted a retrospective cohort study with survival analysis, of patients underwent Fontan completion (Januari 1, 2008, to December 31, 2019), at National Cardiovascular Center Harapan Kita. The data was collected from medical records, surgical conference, and follow up by phone or mail to the end of the study (April 1, 2020). The age of operation was categorized into ≤ 6 years old and > 6 years old.
Results: Of 261 subjects, the median age was 5 years (2-24 years). The survival rate of operation age ≤ 6 years old and > 6 years old were 95.7% and 89.3%. The survival rate in subgroup analysis of operation age < 4 years, 4-6 years (reference age), 6-8 years, 8-10 years, 10-18 years, and > 18 years were 90.5%, 97.9%, 93.8%, 84.8%, 91.4%, and 66.7% respectively. The age of operation 8-10 years (HR 6.79; p = 0.022), 10-18 years (HR 3.76; p = 0.147), and > 18 years (HR 15.30; p = 0.006) had worse survival rate than the others. In multivariate analysis, age of Fontan completion > 6 years old (HR 3.84; p = 0.020) and need for furosemide use (HR 3.90; p = 0.036) significantly increased long term mortality.
Conclusion: The age of operation > 6 years old was significantly reduced long term survival rate. The age of 8-10 years old and > 18 years old had higher risk of death (6.7 times and 15.3 times) than age of 4-6 years old."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Aurora
"Analisa Biaya Satuan Tindakan Terapi Radiasi EksternalPada Pasien Kanker Payudara di Instalasi Radioterapi RS.Kanker Dharmais Tahun 2016 rdquo;.Angka kasus kanker payudara di Indonesia, tinggi. Kunjungan pasien kankerpayudara ke RS Kanker Dharmais mengalami peningkatan. Terapi Radiasi eksternaltermasuk layanan unggulan untuk pengobatan kanker payudara di RS. Kanker Dharmais.Pemerintah membiayai tindakan terapi ini lewat tarif INA CBG rsquo;s sebesar Rp 1.014.906.Melalui metode perhitungan Activity Based Costing ABC , peneliti ingin mengetahuiberapa sebenarnya biaya satuan tindakan untuk terapi ini ; lalu dibandingkan dengan tarifINA CBG rsquo; s yang berlaku.Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biaya tindakan 1 siklus terapi radiasieksternal kanker payudara di RS Kanker Dharmais tahun 2016 adalah sebesar Rp36.482.930, dengan biaya satuan tindakan sebesar Rp 1.216,098,-
Name Aurora SihombingStudy Program Health EconomicsTitle of Research Analysis of Unit Cost of External Radiation Therapy forBreast Cancer Patient of Radiotherapy Installation atRumah Sakit Kanker Dharmais in 2016.The number of breast cancer cases in Indonesia is at alarming rate. Breastcancer patients looking for treatment at Rumah Sakit Kanker Dharmais havecontinually increased for the last several years. The external radiation therapy ofRumah Sakit Kanker Dharmais has been considered as one of the best cancertreatment facilities in the country. Indonesian government subsidizes cost of thetherapy based on INA CBG rsquo s tariff scheme of Rp 1.014.906. Using ActivityBased Costing ABC approach, the researcher would like to investigate the realunit cost of the treatment the result will then be compared to the INA CBG rsquo stariff.The study showed that the total cost of one cycle of the external radiationtherapy for breast cancer at Rumah Sakit Kanker Dharmais is Rp36.482.930 in2016, while the unit cost is Rp 1.216,098, for the same periode."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Meutia Aurora
"Bangunan hijau yang mengusung konsep sustainability dimaknai juga suatu konsep
yang mengaplikasikan bagaimana sebuah bangunan dirancang, dibangun dan
diaplikasikan dengan memperhatikan sumber daya yang efisien, bertanggung jawab
terhadap lingkungan serta berdampak positif bagi lingkungan sosial dan ekonomi.
Kegagalan konsep dalam bangunan sering timbul akibat besarnya perhatian pada
pertimbangan teknis, dengan hanya sedikit mempertimbangkan nilai-nilai,
perilaku dan karakter penghuninya. Bangunan blok eksisting rusunawa pada
kawasan yang ditetapkan menggunakan konsep zona hijau, belum melakukan
penerapan konsep hijau pada bangunan. Untuk menerapkan konsep tersebut pada
bangunan perlu ditinjau aspek perilaku penghuninya. Dari hubungan bangunan
dan penghuninya, dapat diketahui faktor-faktor yang paling mempengaruhi agar
konsep bangunan hijau untuk penghuni rusunawa yang lebih optimal. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan konsep bangunan hijau pada
Rusunawa ditinjau dari aspek efisiensi energi, air, kualitas udara, dan pengelolaan
limbah, menganalisis perilaku peduli lingkungan penghuninya, serta menganalisis
hubungan perilaku peduli lingkungan dengan sikap, pemahaman dan persepsi
penghuni terhadap penerapan konsep hijau pada bangunan. Metode analisis
deskripif digunakan untuk menganalisis penerapan bangunan hijau dan mengukur
indeks perilaku peduli lingkungan penghuni. Untuk menganalisis hubungan
perilaku peduli lingkungan dengan sikap, pemahaman dan persepsi penghuni
terhadap penerapan konsep hijau pada bangunan digunakan metode SEM-PLS.
Berdasarkan analisa diperoleh hasil bahwa penerapan konsep hijau ditinjau dari
aspek efisiensi energi pada bangunan lokasi penelitian sudah memenuhi kriteria;
aspek efisiensi air, penerapan pada bangunan sudah memenuhi kriteria; aspek
kenyamanan termal bangunan belum memenuhi kriteria kenyamanan dalam
konsep hijau; aspek pengelolaan limbah cair bangunan belum memenuhi kriteria
dalam hal pemanfaatan air hasil olahan IPAL; dan dari aspek limbah padat
bangunan belum menyediakan fasilitas pengolahan/pemilahan sampah. Dari hasil
penilaian perilaku peduli lingkungan penghuni rusun, tingkat kepedulian penghuni
berada pada kriteria sedang, dengan indeks tertinggi pada kriteria efisiensi energi
dan terendah pada kriteri pengelolaan sampah. Berdasarkan model dapat diketahui
bahwa untuk memperbaiki perilaku peduli lingkungan dapat dilakukan dengan
meningkatkan pengetahuan penghuni terhadap informasi mengenai program
lingkungan dan meningkatkan persepsi penghuni terhadap penerapan konsep
hijau. Persepsi penghuni terhadap penerapan konsep hijau dapat ditingkatkan
dengan perbaikan fasilitas pada bangunan sesuai kriteria.

Green building is defined as a concept that applies how a building is designed,
built and applied with due regard to efficient resources, is responsible for the
environment and has a positive impact on the social and economic environment.
The failure of the concept in the building often arises from the great attention paid
to technical considerations, with little consideration of the values, behavior and
character of the inhabitants. The existing rental flats building blocks in the area
that are designated using the green zone concept, have not implemented the green
concept in the building. To apply this concept to buildings, it is necessary to
review aspects of the occupants' behavior. From the relationship between the
building and its occupants, it can be seen the factors that most influence the
optimal green building concept for the residents of the flat. The purpose of this
research is to analyze the application of the green building concept in rental flats
in terms of energy efficiency, water, air quality and waste management, to analyze
the environmental care behavior of its residents, and to analyze the relationship
between environmental care behavior and occupants' attitudes, understanding
and perceptions of the concept application green on the building. Descriptive
analysis method is used to analyze the application of green buildings and measure
the index of environmental care for residents. To analyze the relationship between
environmental care behavior and attitudes, understanding and occupants'
perceptions of the application of green concepts in buildings, SEM-PLS method is
used. Based on the analysis, the results show that the application of the green
concept in terms of energy efficiency aspects in the research location building has
met the criteria; aspects of water efficiency, application in buildings has met the
criteria; the thermal comfort aspect of the building does not meet the comfort
criteria in the green concept; the aspect of building liquid waste management
does not meet the criteria in terms of utilizing water from IPAL; and from the
aspect of solid waste, the building has not provided waste processing / sorting
facilities. From the results of the assessment of the environmental care behavior
of the residents of the flat, the level of care of residents is in the medium criteria,
with the highest index on the criteria for energy efficiency and the lowest on the
criteria for waste management. Based on the model, it can be seen that improving
environmental care behavior can be done by increasing residents 'knowledge of
information about environmental programs and increasing residents' perceptions
of the application of green concepts. Residents' perceptions of the application of
the green concept can be improved by improving facilities in buildings according
to the criteria. The concept requires environmental program factors that are run
by the building manager and the active involvement of residents."
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friane Aurora
"Hizbullah merupakan salah satu Gerakan Politik Kelompok Muslim Syi'ah yang ada di Lebanon. Pendirian Hizbullah tidak dapat dilepaskan dari kebangkitan politik Kelompok Muslim Syi'ah yang dipelopori oleh Imam Musa Al Shadr, kondisi sosial politik Lebanon pada tahun 1980-an, agresi Israel ke Lebanon tahun 1982, dan dukungan materiil dan moriil lran kepadanya. Pada awalnya Hizbullah hanya melakukan aktivitas perlawanan dalam perjuangannya membebaskan Lebanon dari penjajahan Israel. Namun, sejak tahun 1992 ia memutuskan untuk menjadi partai politik dengan tetap konsisten menjalankan aktivitas perlawanannya terhadap Israel. Permasalahan mengenai transformasi Hizbullah dari gerakan perlawanan murni menjadi partai politik Lebanon sejak tahun 1992 hingga 2009 inilah yang menjadi objek penelitian ini. Ada tiga permasalahan yang diangkat dalem tesis ini yaitu mengenai latar belakang transformasi Hizbullah menjadi partai politik pada tahun 1992, dampak transformasi tersebut terhadap aktivitas perlawanannya dan strategi Hizbullah untuk menyelaraskan aktivitas perlawanan dan politiknya. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan konsep jihad sebagai konsep yang menjadi prinsip gerakan perlawanan dan politik Hizbullah, teori struktur kesempatan politik dan teori mobilisasi sumber daya sebagai bagian dari teori gerakan sosial. serta teori mengenai partai politik. Dan untuk dapat menjelaskan permasalahan tersebut maka digunakan metode studi kasus sebagai metode yang tepat untuk dapat membahas suatu peristiwa secara mendalam. Hasil penelitian ini adalah bahwa perubahan kondisi sosial politik Lebanon telah memberi peluang bagi Hizbullah, yang pada awalnya merupakan gerakan perlawanan terhadap penjajahan Israel, untuk menjadi partai politik dan bahwa persiapan yang matang dan sumber daya yang dimiliki Hizbullah menjadi faktor pendukung yang mendorong dilakukan transformasi ini. Hasil kedua adalah bahwa ada dampak positif dan negatif dari transformasi tersebut, sementara hasil ketiga adalah bahwa Hizbullah memiliki strategi untuk dapat menyelaraskan aktivitas perlawanan dan politiknya tersebut."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26951
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Clara Aurora
"Penelitian ini berupaya menganalisa kebijakan keamanan energi Cina yang berusaha dicapai oleh negara tersebut melalui diplomasi energi yang dilakukannya di Afrika. Dalam tulisan ini, penulis ingin menganalisa kebijakan energi Cina serta faktor-faktor yang mendorong Cina untuk menjatuhkan pilihannya pada Afrika untuk mencapai keamanan energinya. Penulis juga ingin menganalisa bagaimana Cina menjalankan diplomasi energi di Afrika melalui bantuan asing, FDI, serta perdagangan dengan negara-negara di Afrika. Respon internasional terkait dengan keberadaan Cina di Afrika juga akan dianalisa dalam tulisan ini. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan mengambil data melalui studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa Cina menggunakan bantuan asing, FDI, serta perdagangan dalam upayanya untuk melakukan diplomasi energi di Afrika. Kerjasama antara state dan firm meningkatkan bargaining position Cina dalam melakukan diplomasi energi di Afrika.

This research analyzes China`s energy security policy that is achieved through energy diplomacy in Africa. In this thesis, the writer will elaborate China`s energy policy and the factors that motivate China to choose Africa in attaining its energy security. The writer would like to analyze China`s energy diplomacy through foreign aid, FDI, and trade with African countries. International responses reated to China`s activities in Africa will also be discussed further. Qualitative method is applied in this research. Literature study is used in obtaining the data. The result of this study shows that China uses foreign aid, FDI, as well as trade in carrying out its energy diplomacy. State and firm cooperate to improve the bargaining position of China, in carrying out energy diplomacy in Africa."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30378
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Raihannisa Aurora
"Optimasi adalah disiplin ilmu yang digunakan untuk mencari nilai optimal dalam suatu fungsi. Ilmu ini banyak digunakan untuk mengurangi biaya dan waktu dalam meneliti suatu eksperimen agar diperoleh hasil yang terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi proses optimal untuk memaksimalkan luas permukaan dan yield. Bahan baku yang digunakan adalah ampas kopi, tempurung kelapa, dan polyethylene terephthalate (PET). Metode aktivasi yang digunakan adalah aktivasi fisika-kimia dengan senyawa aktivasi KOH, NaOH, H3PO4, dan K2CO3. Penentuan kondisi optimal dilakukan dengan metode respons permukaan (RSM) tipe Box-Behnken Design (BBD). Model yang diperoleh dianalisis menggunakan uji ANOVA dan uji residual. Hasil RSM berupa plot kontur dan permukaan yang digunakan untuk megetahui wilayah kondisi optimum serta analisa pengaruh faktor terhadap respons. Nilai kondisi optimum ditentukan menggunakan Response Optimizer dan diperoleh hasil bahwa sintesis karbon aktif dari ampas kopi dengan senyawa KOH, NaOH, H3PO4, dan K2CO3 terjadi ketika rasio impregnasi 1,00-1,37, suhu aktivasi 600-800°C, dan waktu aktivasi 60-120 menit. Sintesis optimal dari tempurung kelapa terjadi ketika rasio impregnasi 1,00-3,00, suhu aktivasi 647-808°C, dan waktu aktivasi 70-120 menit. Sintesis optimal dari PET terjadi ketika rasio impregnasi 1,00-2,80, suhu aktivasi 700-800°C, dan waktu aktivasi 109-120 menit.
......Optimization is a discipline to obtain the best value of a function. This study is used to minimize research cost and time. This research is done to achieve the optimum condition of process conditions for maximum surface area and yield of activated carbon. The precursors used in this research are waste coffee, coconut shell, and polyethylene terephthalate (PET). The type of activation method used is physical-chemical activation with KOH, NaOH, H3PO4, and K2CO3 as activating agents. To determine the optimum condition, this research use Response Surface Method (RSM) with Box-Behnken Design (BBD). The resulting model is tested using ANOVA analysis and the residual test. When the model passes the test, plot contours and surfaces achieved can be analyzed to determine the optimum area and the behavior of factors and responses. Response Optimizer option is used to determine the optimum value. Results show that synthesis of activated carbon using waste coffee and activating agents KOH, NaOH, H3PO4, and K2CO3 are optimized when impregnation ratio is 1.00-1.37, temperature is 600-800°C, and activation time 60-120 minutes. Synthesis from coconut shell is optimized when impregnation ratio is 1.00-3.00, temperature is 647-808°C, and activation time 70-120 minutes. Synthesis from PET is optimized when impregnation ratio is 1.00-2.80, temperature is 700-800°C, and activation time 109-120 minutes."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Aurora
"Pemberian terapi yang sesuai, khususnya obat antiepilepsi (OAE) sebagai terapi utama dapat menyembuhkan pasien penyandang epilepsi.Seringkali faktor yang berkaitan erat dengan pemberian OAE kurang diperhatikan.Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan penulis membahas bagaimana hubungan antara faktorfaktor yang memengaruhi respons terapi pada anak penyandang epilepsi.Penelitian dilakukan dengan metode cross-sectional, yaitu dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis epilepsy registry pada pasien anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan tanggal kunjungan 1995-2010. Dari penelitian, ditemukan bahwa dari 174 subyek penelitian, 76,4% mengalami bangkitan umum dan 23,6% mengalami bangkitan fokal. Terdapat 62,1% subyek yang mengalami epilepsi simtomatik dan 37,9% epilepsi idiopatik. Sembilan puluh enam koma enam persen subyek mendapatkan regimen yang sesuai dengan lini pertama, 63,8% mendapatkan OAE dengan dosis sesuai, 77,0% subyek mendapatkan terapi tunggal (monoterapi), dan 70,3% tidak mengalami perubahan regimen selama terapi. Dari analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square maupun Fisher's, tidak ditemukan hubungan yang signifikan baik untuk faktor kesesuaian regimen, dosis OAE, kombinasi OAE, maupun perubahan regimen selama terapi (seluruhnya memiliki nilai p > 0,05). Namun, nilai OR masing-masing faktor menunjukkan hasil yang sesuai dengan teori sehingga dapat disimpulkan bahwa secara klinis respons bebas kejang akan didapatkan pada pasien yang mendapatkan regimen sesuai, dosis sesuai, monoterapi, dan tidak ada pergantian regimen. Adapun bila dikaitkan dengan klasifikasi epilepsi yang dialami, pasien dengan epilepsi idiopatik memiliki kecenderungan mendapatkan respons bebas kejang (OR=1,407 95%CI 0,732-2,705). Analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik menunjukkan monoterapi menjadi faktor yang terkuat dalam pencapaian respons terapi epilepsi walaupun hasil pada penelitian ini tidak signifikan.
......
Appropiate therapy admission, especially antiepileptic drugs (AED) as the main therapy for epileptic patients, might help the patients to achieve its maximum recovery. Health care providers don?t pay much attention to factors related to AED admission. Therefore, this research was determined to analyze the association between several factors affecting treatment response in children with epilepsy. This research is a cross-sectional study, using secondary data from epilepsy registry medical record in pediatric patient at Pediatric Health Department of RSUPN Cipto Mangunkusumo during 1995-2010. This study showed that among 174 subjects, 76.4% subjects had general seizure and 23.6% subjects had focal seizure. It is also found that 62.1% subjects had symptomatic epilepsy and 37.9% subjects had idiophatic epilepsy. Ninety six point six percent subjects had appropriate regiment with first-line drugs, 63.8% subjects had appropriate AED dose, 77.0% subjects received monotherapy, and 70.3% did not receive any regiment modification during therapy. Through bivariate analysis using Chi-Square and Fisher?s test: there were no significant association between regiment compatibility, AED dose, AED combination, and regiment modification during therapy (p > 0.05). However, the odds ratio (OR) of each factors showed corresponding result with the theory. In conclusion, seizure-free response will be achieved by patients who had appropriate regiment, appropriate dose, monotherapy, and no regiment modification. Analysis about association between epilepsy classification and therapy response showed that patient with idiophatic epilepsy tended to be easier to be seizure-free. Multivariate analysis using logistic regression showed that monotherapy was the strongest factor affecting therapy response, even though in this study it was not statistically significant."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>