Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Suharno
"ABSTRAK
Debu filter yang dihasilkan pada proses pembuatan baja melalui tanur busur listrik, saat ini pada negara-negara maju dikategorikan sebagai limbah yang berbahaya. Salah satu teknologi yang menawarkan pengolahan debu filter ini adalah proses HTM (High Turbulence Mixer). Pada proses ini debu filter -tanpa proses aglomerisasi- dimasukkan ke dalam besi/baja cair yang terdapat pada reactor. Beberapa oksida seperti ZnO, PbO dan FeO akan tereduksi sementara CaO, SiO2, MnO, P205 dan AI203 akan masuk ke terak yang tidak berbahaya
Untuk mengoptimalkan parameter penting pada proses pengolahan debu filter di reaktor HTM, dilakukan perhitungan termodinamik dengan bantuan program komputer ChemSage. Melalui model simulasi ini, ingin diketahui parameter-parameter yang berpengaruh terhadap proses-proses metalurgi pengolahan debu filter, antara lain kandungan karbon dan temperatur pada besi/baja cair, basasitas terak serta besarnya tekanan pada permukaan besi/baja cair.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk mereduksi keseluruhan oksida-oksida seperti ZnO, PbO, dan FeO yang ada pada debu filter, dibutuhkan paling sedikit kadar karbon awal pada besi.baja cair sebesar 4%. Besarnya temperatur besi/baja cair yang optimal untuk pengolahan debu filter adalah 1500°C. Meski peningkatan temperatur menguntungkan proses penguapan Zn dari besi/baja cair, namun hal ini sebaiknya dihindarkan karena akan berpengaruh negatif terhadap refraktori reaktor HTM. Pengaruh basasitas terak antara 0,3 sampai 2,7 terhadap derajat penguapan Zn tidak terlampau berarti jika dibandingkan dengan pengaruh kadar karbon pada besi/baja cair yang terdapat dalam reaktor HTM."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"ABSTRAK
Kebutuhan material baja tahan panas di Indonesia sebanding dengan banyaknya industri-industri yang memerlukan peralatan atau perlengkapan yang berkaitan dengan pemakaian pada kondisi operasi temperatur tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan membuat "tray" dari baja tahan panas HK40 yang berkualitas baik sebagai produk substitusi impor dengan bahan baku paduan yang berasal dari dalam negeri. Penelitian ini juga diharapkan dapat dikembangkan oleh industri kecil/menengah pengecoran logam di Indonesia dan dapat dijadikan produk unggulannya.
Terhadap prototipe produk tray yang dihasilkan dilakukan pengujian karakterisasi sifat mekanis, meliputi: kekuatan tarik pada temperatur ruang dan temperatur tinggi, kekuatan luluh, elongasi, reduksi penampang; nilai kekerasan; pengujian creep rupture, struktur mikro, komposisi kimia, komposisi endapan dan pengujian di lapangan di mana prototipe produk tray digunakan di salah satu perusahaan pembuat bearing di Jakarta.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peluang pengembangan dan pembuatan baja tahan panas dengan komposisi paduan lokal cukup besar. Sifat mekanis (kekuatan tarik, kekerasan dan creep rupture) temperatur ruang maupun temperatur tinggi dari paduan tahan panas lokal mampu menyamai paduan tahan panas impor. Hasil pengujian di lapangan terhadap produk tray yang dikembangkan, juga menunjukkan bahwa kinerja yang baik. Terbukti dari tidak adanya kerusakan pecah atau retak sama sekali pada prototipe produk tray setelah pemakaian selama 3 bulan di lapangan."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"Proses pembersihan logam (metal cleaning) yang umum dilakukan biasanya menggunakan larutan dari jenis pelarut terklorinasi. Pelarut dari turunan senyawa yang mengandung klor atau senyawa halogen ini memiliki sifat yang dapat merusak lapisan ozon. Jenis pelarut lain yang memiliki sifat daya bersih yang baik dan tidak merusak lapisan ozon adalah pelarut berbasis hidrokarbon dan mengandung senyawa terpene, salah satu jenis dari pelarut ini adalah pelarut organik Non-ODS tipe D-721.
Penelitian ini akan menyelidiki dan menguji pengaruh pelarut organik tipe D-721. terhadap baja karbon rendah dan tembaga dengan memperhatikan struktur mikro dari bahan tersebut sebelum dan sesudah pengujian, perubahan berat, serta mengamati kekasaran permukaaan akibat proses pengikisan yang mungkin terjadi selama waktu pencelupan 1, 2, dan 3 jam yang dilakukan pada temperatur ruang tanpa proses pengadukan.
Berdasarkan penelitian ini, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada proses pembersihan logam dengan cara mencelupkan baja karbon JIS G-3141 dan tembaga JIS Cu-7204 ke dalam pelarut tipe D-721 dengan waktu celup 1, 2, dan 3 jam tidak terjadi proses pengikisan karena tidak dihasilkan perubahan berat sampel serta tidak berubahnya struktur mikro sebelum maupun sesudah pencelupan, dan dapat dikatakan bahwa pelarut yang digunakan dalam proses pembersihan ini yaitu pelarut tipe D-721 tidak reaktif atau tidak bereaksi terhadap baja karbon JIS G-3141 dan tembaga Cu-7204."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
Jakarta: UI-Press, 2009
PGB 0351
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"Proses pembersihan komponen yang terbuat dari bahan logam sebagian besar menggunakan pelarut terklorasi yang memberikan kontribusi besar tehadap penipisan lapisan ozon. Oleh karenanya baru-baru ini sedang dikembangkan pelarut ramah lingkungan tipe WBS dan D721 yang berbasis utama hidrokarbon terpen dnegan penambahan aditif tertentu.
Pengujian diarahkan kepada pengaruh pelarut organik tipe WBS dan D721 dalam proses pembersihan logam terhadap aluminium tipe 2024 dengan waktu celup selama 1, 2, 3 jam pada temperatur ruang. beberapa parameter yang diukur diantaranya adalah perubahan berat akibat pengikisan dan perubahan penampakan mikrostruktur.
Berdasarkan hasil penelitian dimana tidak terjadi perubahan berat dan penampakan didapatkan bahwa pelarut organik tipe WBS dan D721 dengan waktu celip 1,2, 3 jam pada temperatur ruang tidak menyebabkan pengikisan pada aluminium 2024.
Hasil yang didapat diaharapkan dapat menunjang pengembangan produk ini di masa yang akan datang serta untuk menuju kondisi lingkungan yang lebih baik bagi kita semua."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
JUTE-XII-1-Mar1998-81
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"Die soldering merupakan salah satu cacat proses pengecoran logam dimana cairan logam melekat pada permukaan baja cetakan. Proses ini merupakan hasil reaksi antar muka antara aluminium cair dengan permukaan cetakan. Aluminium dengan kandungan silikon 7 dan 11% serta baja cetakan SDK 61 merupakan hal yang umum digunakan sebagai cairan logam dan material cetakan pada proses pengecoran tekan (die casting) paduan aluminium. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari morfologi dan karakteristik lapisan intermetalik AlxFeySiz yang terbentuk selama proses reaksi antar muka pada saat pencelupan. Sampel uji yang digunakan yaitu baja perkakas jenis SKD 61 hasil annealing, yang dicelup pada Al-7%Si dengan temperatur tahan 680oC dan dicelup pada Al-11%Si dengan temperatur tahan 710oC pada waktu kontak yang berbeda-beda, yaitu 10 menit; 30 menit dan 50 menit.
Hasil penelitian menunjukkan dua lapisan intermetalik terbentuk pada permukaan baja perkakas SKD 61 yakni compact intermetallic layer dengan fasa intermetalik AlxFey dan broken intermetallic layer dengan fasa intermetalik AlxFeySiz. Peningkatan waktu kontak pada proses pencelupan baja perkakas SKD 61 baik pada paduan Al-7%Si maupun Al-11%Si akan meningkatkan ketebalan lapisan intermetalik yang terbentuk sampai titik optimum kemudian menurun kembali. Sedangkan nilai kekerasan mikro dalam setiap lapisan intermetalik AlxFeySiz tergantung dari kadar Fe di dalamnya. Semakin meningkat kadar Fe maka kekerasan intermetallik akan semakin meningkat. Hal ini terjadi karena peningkatan kadar Fe akan berakibat pembentukan partikel fasa intermetalik AlxFeySiz mejadi lebih cepat.

Effect of Contact Time on Interface Reaction between Aluminum Silicon (7% and 11%) Alloy and Steel Dies SKD 61. Die soldering (die sticking) is a defect of metal casting in which molten metal ?welds? to the metallic die mold surface during casting process. Die soldering is the result of an interface reaction between the molten aluminum and the die material. Aluminum alloy with 7 and 11% silicon and SKD 61 die steel are the most common melt and die material used in aluminum die casting. This research is done to study the morphology and the characteristics of the formed AlxFeySiz intermetallic layer during interface reaction at dipping test. The samples of as-anneal SKD 61 tool steel was dipped into the molten of Al-7%Si held at temperature 680oC and into molten Al-11%Si held at temperature 710oC with the different contact time of 10 minutes; 30 minutes; and 50 minutes.
The research results showed that the interface reaction can form a compact intermetallic layer with AlxFey phase and a broken intermetallic layer with AlxFeySiz phase on the surface of SKD 61 tool steel. The increasing of the contact time by the immersion of material SKD 61 tool steel in both of molten Al-7%Si and Al-11%Si will increase the thickness of the AlxFeySiz intermetallic layer until an optimum point and then decreasing. The micro hardness of the AlxFeySiz intermetallic layer depends on the content of the iron. Increasing of the iron content in intermetallic layer will increase the micro hardness of the AlxFeySiz. This condition happened because the increasing of Fe content will cause forming of intermetallic AlxFeySiz phase becomes quicker.
"
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"ABSTRAK
Kebutuhan produk besi-baja khususnya besi tuang dunia terus meningkat. Karbon sebagai elemen terpenting dalam besi tuang memegang peranan dalam mengatur kekuatan, kekerasan, ketahanan terhadap keausan, fluiditas, serta ketangguhan. Untuk meningkatkan kadar karbon yang sesuai dengan keinginan, maka perlu ditambahkan suatu agen yang dikenal dengan karburizer. Di Indonesia, karburizer yang digunakan untuk meningkatkan kadar karbon masih menggunakan produk impor yang harganya relatif mahal. Sementara itu dari cracking crude oil industri pengolahan minyak, terdapat hasil sampingan berupa powder dengan kadar C-95. Oleh karena hasil sampingan tersebut mengandung karbon cukup tinggi, maka dengan penanganan yang baik, tentunya dapat digunakan sebagai karburizer.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan variasi temperatur serta variasi metode dengan asumsi waktu difusi karbon selama 5 menit. Metode yang digunakan yaitu : 1. Penaburan karburizer di atas besi cair, 2. ½ besi cair dituangkan ke dalam ladle, kemudian karburizer dimasukkan ke dapur. Kemudian besi cair dalam ladle dikembalikan ke dalam dapur, 3. Seluruh besi cair dituangkan ke dalam ladle, kemudian karburizer dimasukkan ke dapur. .Kemudian besi cair dalam ladle dikembalikan ke dalam dapur. Variasi temperatur perlakuan yang digunakan yaitu 1400°C, 1450°C, dan 1500°C. Dari dua variabel perlakuan akan didapat 3 X 3 = 9 kombinasi perlakuan. Sampel yang didapat kemudian dilakukan uji komposisi dengan spektrometer dan hasilnya dianalisa dengan membuat beberapa grafik perlakuan.
Penelitian menunjukkan bahwa pada temperatur 1400°C metode pemasukan karburiser yang paling baik adalah dengan menggunakan metode l . Pada temperatur 1450°C, metode pemasukan karburiser yang paling baik adalah metode l dan pada 1500°C metode pemasukan karburiser yang paling baik adalah dengan menggunakan metode 3. Metode l pada temperatur 1400°C merupakan temperatur yang cocok, mengingat pada temperatur ini karbon yang terbakar sedikit. Pemasukan karburiser dengan menggunakan metode 2 terlihat hasil yang dicapai kurang memuaskan, disebabkan terutama oleh efek difusi turbulensi yang menyebabkan transfer ion dan oksigen berjalan cepat. Pemasukan menggunakan metode 3 merupakan metode pemasukan yang terbaik. Metode ini dapat digunakan pada temperatur yang tinggi yai1tu 1500°C, dimana efek stiring dan difusi fluktuasi sangat berperan pada metode ini. Namun demikian penelitian awal ini belum dapat menunjukkan efisiensi dari karburiser, dikarenakan kurangnya beberapa variasi percobaan. Sebagai saran sebaiknya pada penelitian lanjutan penambahan karbon dilakukan secara bertahap, dengan penambahan variasi waktu difusi, serta komposisi material awal yang sama. "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"ABSTRAK
Cetakan pasir basah merupakan salah satu metode cetakan yang masih banyak digunakan di industri pengecoran di Indonesia. Pasir cetak yang biasanya digunakan untuk membuat cetakan basah (Green Sand Moulding) ini adalah jenis pasir silika. Alasan utama pasir jenis ini banyak digunakan disebabkan karena memiliki kandungan SiO_2 yang besar (>95%) dan mengandung sedikit pengotor. Pasir gunung merupakan jenis pasir alam lainnya dan mempunyai bagian utama SiO_2 lebih kecil serta memiliki kandungan kotoran seperti mika dan fieldspar. Jenis pasir ini dapat dipakai untuk cetakan bila mempunyai kadar lempung yang mencukupi. Demikian pula pasir gunung memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan pasir silica yang antara lain adalah muai panas yang lebih rendah, harga lebih murah dan mudah didapat. Atas dasar kenyamanan ini maka perlu diteliti sejauh mana pasir gunung dapat dipakai sebagai cetakan pasir basah.
Penelitian dilakukan terhadap bahan pasir gunung dan pasir silika pada range GFN yang sama (yaitu antara 60-70), dan dicampur dengan variasi penambahan kadar betonil sebesar 4% 6% 8% 10% 12% pada kadar air tetap, serta variasi penambahan kadar air sebesar 2% 3% 4% 5% 6% pada kadar betonil tetap. Kemudian dilihat pengaruhnya terhadap kekuatan tekan, kekuatan tarik, kekuatan geser, permeabilitas, flowability, dan terakhir uji coba pengecoran dengan logam aluminium. Hasilnya diperbandingkan dengan pasir silika.
Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa pasir gunung mempunyai kekuatan tekan, kekuatan geser, dan flowability yang lebih tinggi dari pasir silika, sedangkan kekuatan tariknya menunjukkan hal yang sama, tetapi permeabilitasnya lebih rendah dari pasir silika. Hasil uji coba pengecoran menunjukkan hal yang sama, tetapi permebilitasnya lebih rendah dari pasir silika. Hasil uji coba pengecoran menunjukkan bahwa pasir gunung dapat dipakai untuk pengecoran logam aluminium."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"ABSTRAK
Besi tuang merupakan material yang banyak digunakan sebagai bahan cora. Besi tuang komersil yang digunakan dalam manufaktur mempunyai kadar karbon 2,5 sampai 4%. Pada pengecoran besi tuang, apabila kadar karbon belum memenuhi target maka dapat ditambahkan karburiser. Pertamina mempunyai karburiser yang merupakan hasil sampingan cracking crude oil tipe C-85 yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerburiser tipe C-85 berpengaruh pada pengecoran besi tuang dan mengetahui pada temperatur dan dengan metode apa karburiser ini efektif untuk meningkatkan kadar karbon dalam besi tuang serta efisiensi karburiser ini efektif untuk meningkatkan kadar karbon dalam besi tuang serta efisiensi karburiser tersebut. Pengecoran besi tuang ini dilakukan dengan menggunakan dapur induksi frekuensi tinggi dengan kapasitas maksimum 15 kg. Sampel uji yang didapat dilakukan uji komposisi dengan menggunakan spectrometer.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan parameter temperatur dan metode pemasukan karburiser. Temperatur yang digunakan adalah 1400°C. 1450°C, dan 1500°C. Metode yang digunakan ada 1) karburiser ditabur langsung, 2)setengah logam cair dituang ke dalam ladel lalu karburiser dimasukan ke dalam dapur kemudian logam cair dikembalikan ke dapur induksi, dan 3)seluruh logam cair dituang ke dalam ladel lalu karburiser dimasukan ke dalam dapur induksi kemudian logam cair dikembalikan dapur. Sebelum dituang karburiser didiamkan di dalam dapur selama 5 menit untuk memberikan waktu agar karbon dapat berdifusi. Penambahan karburiser dilakukan untuk meningkatkan kadar karbon sebesar 0,2%.
Hasil dari uji komposisi menunjukkan bahwa secara umum temperatur yang baik saat pemasukan adalah 1500°C karena semakin tinggi temperatur semakin baik kelarutan karbon dalam logam cair. Metode yang efektif untuk pemasukkan karburiser adalah metode 2 karena pada metode ini terdapat efek stirring (pengadukan tambahan) atau turbulensi. Hasil uji komposisi menunjukkan bahwa efisiensi karburiser C-85 bervariasi tergantung pada metode dan temperatur pemasukan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suharno
"ABSTRAK
Debu filter yang dihasilkan pada proses pembuatan baja melalui tanur busur listrik, saat ini pada negara-negara maju dikategorikan sebagai limbah yang berbahaya. Salah satu teknologi yang menawarkan pengolahan debu filter ini adalah proses HTM (High Turbulence Mixer). Pada proses ini debu filter -tanpa proses aglomerisasi- dimasukkan ke dalam besi/baja cair yang terdapat pada reactor. Beberapa oksida seperti ZnO, PbO dan FeO akan tereduksi sementara CaO, SiO2, MnO, P205 dan AI203 akan masuk ke terak yang tidak berbahaya
Untuk mengoptimalkan parameter penting pada proses pengolahan debu filter di reaktor HTM, dilakukan perhitungan termodinamik dengan bantuan program komputer ChemSage. Melalui model simulasi ini, ingin diketahui parameter-parameter yang berpengaruh terhadap proses-proses metalurgi pengolahan debu filter, antara lain kandungan karbon dan temperatur pada besi/baja cair, basasitas terak serta besarnya tekanan pada permukaan besi/baja cair.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk mereduksi keseluruhan oksida-oksida seperti ZnO, PbO, dan FeO yang ada pada debu filter, dibutuhkan paling sedikit kadar karbon awal pada besi.baja cair sebesar 4%. Besarnya temperatur besi/baja cair yang optimal untuk pengolahan debu filter adalah 1500°C. Meski peningkatan temperatur menguntungkan proses penguapan Zn dari besi/baja cair, namun hal ini sebaiknya dihindarkan karena akan berpengaruh negatif terhadap refraktori reaktor HTM. Pengaruh basasitas terak antara 0,3 sampai 2,7 terhadap derajat penguapan Zn tidak terlampau berarti jika dibandingkan dengan pengaruh kadar karbon pada besi/baja cair yang terdapat dalam reaktor HTM."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>