Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Benedictine Widyasinta
"Sebagai calon tenaga muda yang potensial bagi pembangunan, berada dalam kondisi psikologis sejahtera (PWB) merupakan hal yang sangat penting bagi mahasiswa. Selain itu, masa transisi antara remaja-akhir dan dewasa-muda yang sedang mahasiswa alami, juga merupakan alasan yang penting untuk meninjau PWB mahasiswa. Pentingnya pembahasan mmgenai hal ini menjadi semakin nyata jika melihat bahwa tidak semua mahasiswa berada dalam kondisi PWB.
Dalam penelitian ini konsep PWB akan didasarkan pada pendapat Ryff (1989). PWB dalam penelitian ini tidak diartikan sebagai sekedar kondisi bahagia-bebas dari distress yang lebih mencerminkan kondisi dimana semua kebutuhan terpenuhi, namun juga menekankan adanya wellness. Dengan demikian, tinjauan PWB daiam penelitian ini lebih dalam pengertian pemenuhan potensi manusia secara utuh. PWB diartikan sebagai pengalaman realisasi diri dalam enam dimensi, yaitu dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang Iain, otonomi, penguasaan lingkungan, keterarahan hidup, serta pertumbuhan pribadi.
Karena mahasiswa riskan mengalami gangguan PWB sementara PWB penting bagi manusia, maka perlu dikenali faktor-faktor yang berkaitan dengan PWB. Tujuannya supaya gangguan PWB dapat diantisipasi dan dicegah. Ada banyak faktor yang berkaitan dengan tercapainya PWB yang baik pada manusia, yaitu: faktor demografis (seperti usia, jenis kelamin, taraf sosial ekonomi), dukungan sosial, locus of control, serta pemberian arti terhadap pengalaman hidup.
Meninjau kembali bahwa mahasiswa berada dalam masa peralihan antara remaja akhir-dewasa muda, maka keyakinan mengenai kompetensi dalam mengendalikan keberhasilan/kegagalan merupakan hal yang penting. Fungsi dari locus of control (selanjutnya akan disingkat sebagai LC) adalah menentukan keyakinan seseorang mengenai kemampuan dalam mengendalikan keberhasilan atau kegagalannya. Menurut Levenson (1981) ada tiga dimensi LC, yailu (1) dimensi internal, (2) dimensi pengaruh orang lain, serta (3) dimensi nasib. Dimensi pertama merujuk pada LC internal, sedangkan dua dimensi terahir merujuk pada LC eksternal. LC internal merujuk pada keyakinan seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalannya lebih lebih berkaitan dengan tingkah lakinya sendiri. Sementara LC pengaruh orang lain dan LC nasib merujuk pada keyakinan seseorang bahwa keberhasilan atau kegagalannya lebih berkaitan dengan tingkah-laku orang lain ataupun aktor-aktor kebetulan/nasib. Dibandingkan LC eksternal, LC internal lebih memungkinkan individu menyesuaikan diri secara lebih aktif dalam realisasi potensinya/ realisasi dirinya. Dalam kondisi ini, PWB dalam arti pengalaman realisasi diri akan lebih optimal.
Berkaitan dengan dukungan sosial, dalam penelitian ini akan digunakan konsep persepsi dukungan sosial (selanjutnya akan disingkat sebagai PDS) dari Sarason (1983), PDS diartikan sebagai pengalaman diperhatikan, dihargai, dan dicintai melalui kehadiran orang lain. Sebagai suatu bentuk penghargaan tanpa syarat PDS (unconditional positve regards) akan memungkinkan individu melakukan penyesuaian diri aktif mengembangkan potensi-potensinya. Dalam kondisi ini, PWB dalam pengertian pengalaman realisasi diri akan terwujud secara lebih optimal.
Berdasarkan dinamika di atas, penulis menduga adanya hubungan antara LC (dimensi internal, pengaruh orang lain, serta nasib) dan PDS dengan PWB pada mahasiswa.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kuantatif. Pengambilan sampel dilakukan secara non probabilita dengan tehnik insidental sampling. Dengan demikian hasil penelitian hanya berlaku terbatas untuk sampel yang diteliti. Mahasiswa yang dilibatkan sebagai sampel berasal dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Atma-Jaya (FIA-UAJ), dengan alasan FIA-UAJ memiliki iklim sosial yang sehat dan mendukung perkembangan potensi para mahasiswanya. Ada tiga inventory yang digunakan sebagai alat ukur, yaitu: (1) Scales of Psychological Well-Being (SPWB) dari Ryff (2) Social Support Questionnairre (SSQ) dari Sarason, serta Internal-Powers-Change Scales (IPCS) dari Levenson.
Hasil penelitian menunjukkan: ada hubungan antara locus of control dan persepsi dukungan sosial dengan psychological well-being pada mahasiswa. Secara lebih rinci hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Ada hubungan yang signifikan antara dimensi-dimensi locus of control dengan psychological well-being pada mahasiswa. Secara Iebih rinci, hasilnya adalah sebagai berikut:
- Ada hubungan positif yang signifikan antara dimensi internal locus of control dengan psychological well-being pada mahasiswa.
- Ada hubungan negatif yang signifikan antara dimensi pengaruh orang lain locus of control dengan psychological well-being pada mahasiswa.
- Ada hubungan negatif yang signifikan antara dimensi nasib locus of control dengan psychological well-being pada mahasiswa.
2. Ada hubungan positif yang signifikan antara persepsi dukungan sosial dengan psychological well-being pada mahasiswa.
3. Yang paling berperan sebagai peramal yang baik terhadap psychological well-being pada mahasiswa adalah dimensi internal locus of control, dimensi pengaruh orang lain locus of control, serta persepsi dukungan sosial.
Secara lebih rinci, hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua dimensi locus of control yang disebutkan ini memberi sumbangan yang lebih jauh terhadap psychological well-being pada mahasiswa, dibandingkan dengan persepsi dukungan sosial.
Dalam sumbangan teoritisnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk menambah khasanah pengetahuan kita mengenai PWB khususnya jika ditinjau dalam kaitannya dmgan LC dan PDS dalam kehidupan mahasiswa. Sementara daiam sumbangan praktisnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi informasi bagi pihak-pihak terkait dalam upaya mewujudkan taraf PWB yang lebih baik. Khususnya sebagai upaya preventif diharapkan penelitian ini dapat membuka wawasan dalam memikirkan berbagai cara yang dapat mencegah gangguan PWB pada mahasiswa.
Saran yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian: pengambilan sampel secara random, penajaman inventory yang digunakan, melengkapi dengan wawancara untuk memperoleh hal-hal kualitatif yang tidak diperoleh melalui kuesioner. Saran yang menyangkut pembinaan PWB mahasiswa: (1) menciptakan lklim sosial yang kondusif bagi berkembangnya LC internal, misalnya: mengembangkan insight mengenai tanggung-jawab pribadi, pemberian tugas dengan taraf kesulitan sedang, menambah ketrampilan praktis bagi mahasiswa berkemampuan minimal; (2) menciptakan situasi yang dapat mendukung inter-relasi suportif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictine Widyasinta
"Sebagai alat diagnosis kepribadian, tes Wartegg sudah banyak digunakan di Indonesia Walaupun demikian tidak banyak penelitian dilakukan untuk melihat Akurasinya. Pentingnya masalah ini mengingay kritik yang dilontarkan terhadapnya. Padahal tes Wartegg sebagai tes gambar memiliki nilaio diagosis yang baik Penelitian ini akan dibatasi pada nilai diagnosis tes Wartegg untuk gejala menarik Alasannya individu menaxik ciiri akan mengalami kesulitan dalazrn berinteraksi dengan lingkungan sosial sekitarnya.
Menarik diri merupakan fenomena yang bervariasi, baik dilihat dari pengertian, bentuk, serta intensitasnya. Diantara sekian banyak variasi yang ada, peneliti meneoba mengacu definisi Schneider (1964) yang cukup mendasar dan dapat menealcup variasi tersebut. Gejala menarik cliri dalam peneljtian ini diartikan sebagai tendensi untuk bereaksi melarikan diri dari tuntutan, tekanan, ancaman, atau frustrasi yang dialami ketika berinteraksi bersama manusia lain di lingkungannya, yang ditandai oleh empat ciri utama, yakni: (1) keterbatasan kontak sosial, (2) keterbatasan kontak realitas, (3) keterbatasan afek, serta (4) keeemasan. Keempat ciri utama dan rnendasar ini dapat bergradasi dari sanat ringan (normal) hingga berat (abnormal) serta muncul dalam berbagai bentuk gcjala menarik diri yang ada (misalnya psikosis; depresi; ketergantungan za! psikoaktif; gangguan atau gaya kepribadian avoidanl, schrkoii schizogypal).
Homey (1951) menggunakan islilah moving away from peopfe untuk menjelaskan fenomena menarik diri, yang cliartikan sebagai tendensi untuk selalu berrelasi dengan manusia lain karena takut bahwa relasi tersebut akan membangkitkan perasaan dan hasrat yang akhirnya dapat menimbulkan Huslrasi dan konflik. Gejala menarik diri seperti diskripsi Hommey ini memperlihatkan orang yang takut berperan serta dalam kehidupan bersama manusia Iain. Gejala ini serupa dengan yang pernah disebutkan Tillich (1951) sebagai akibat dari lack courage to be as a part.
Seseorang menarik cliri dnri relasi interpersonal kanena kurang memiliki kebencian dan kemauan untuk menjadi bagian dmi kebersamaanyang lebih luas. Alasannya adalah ketika seseorang menyatakan kesediaannya menjadi bagian dmi sesuam maka konsekuensinya adalah orang itu harus siap tnmpil sebagai individu dengan segala keunikarmya, juga merelakail sebagian dari individualitasnya unmk lebur dalam kebersamaan itu. Jika seseorang menyadari bahwa ia belum mengembangkan identitas dirinya secara kokoh dan jelas maka orang itu juga akan merasa takut betada dalam kebersamaan. Kesadaran mengenai identitas diri merupakzm hal yang penting bagi seseorang untuk berpartisipasi dalam kebetsamaan- Jika identitas diri seseorang belum jelas dengan sendirinya ia juga tidak tahu bagaimana menghadirkan dirinya dalam kebersamaan itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa menaztik diri seperti yang didieskripsikan Harney atau yang oleh Tillich disebut sebagai lack of courage to be as a part, pada dasarnya bersumber dari kesadaran akan krisis identitas.
Akhirnya kembali pada tujuan penelitian untuk melihat nilai diagnosis tes Wartegg terhadap gejala menarik diri, maka peneliti bermaksud melihat apakah subyek dengan gejala menarik diri secara diferensiatif akan menampilkan profil tertentu dalam tes Wartegg, dibandingkan dengan subyek tampa gejala menarik diri. Jika dalam penelitian ini ditemukan ada proiil ten tu untuk gejala menarik diri dan secara diferensiatif membedakan dari subyek non menarik diri, maka ada profil tersebut dapat dijelaskan oleh konsep yang dikemukakan oleh Homey dan Tillich.
Dengan latarbelakang seperti yang diuraikan diatas, maka secam umum permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai: Bagaimakah tes Wartegg dapat berfungsi sebagai alat diagnosis unruk gejala menarik. Permasalahan tersebut diatas dijawab rnelalui pendekatan kua1itatif§ dengan menggunakan dokumen kasus sebagai datas sekunder. Pengambilan sampel dilakukan secara non probabilita dengan teknik insidental sampling. Dengan demikian basil penelitian ini terbatas hanya berlaku untuk sampel yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan: tm Wartegg dapat berfungsi sebagai diagnosis gejala menarik diri. Secara Iebih rinci hasilnya adalah sebagai berikut:
1. Pada subyek menarik diri adalah, untuk (1) aspek keterbatasan kontak sosial, menonjol dan relatif konsisten diwakili oleh indikator absence or scan! of animate ature, isolation, emptiness, disusul soft intensity+poor form Ievei serta dominant straight lines; (2) aspek keterbatasan kontak realitas diwakili indikator isolation; (3) aspek keterbatasan afek diwakili oleh absence or scan of animate nature, isolation, serta empxiness; (4) aspek kecemasan diwakili oleh indikator reinforcement serta small drawings.
2. Secara diferensiatif tes Wartegg dapat membedakan subyek penelitian menarik diri dari subyek penelitian nun menarik. Jika dalam penelitian ini pada basil tes Wartegg ditemukan indikator empiiness bukan jizii covering; isolation bukan conleri; constriction bukan expansion; sofi imensity+poor form level bukan moderate to strong intensity; dominan sir-aight lines bukan dominant curved; maka kenlungkinan besar subyek bertenden menarik.
3. Ditemukan ada kesesuaian antara hasil tes Wartegg dengan hasil wawancara untuk gejala menarik"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library