Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cahyadi
"Salah satu teknologi Carbon Capture Storage (CCS) untuk pada pembangkit listrik tenaga uap dengan batubara halus adalah teknologi pembakaran oxy-fuel. Didalam teknologi pembakaran oxy-fuel, batubara dibakar dalam campuran oksigen murni dan resirkulasi gas buang dengan kandungan gas CO2 yang tinggi. Pembakaran batubara didalam lingkungan O2 dan CO2 akan mempengaruhi kinerja pembakaran dibandingkan dengan lingkungan udara (O2/N2). Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsentrasi oksigen perlu dinaikkan sehingga kinerja pembakarannya sama dengan lingkungan udara. Pada disertasi ini dibahas tentang karakteristik penyalaan batubara dan pembakaran batubara didalam lingkungan oxy-fuel menggunakan TG-DTA (Thermo-Gravimetric Differential Thermal Analyzer) dan DTF (Drop Tube Furnace). Tiga jenis batubara Indonesia dengan peringkat lignit, sub-bituminus dan bituminus telah digunakan sebagai sampel batubara. Pengujian pembakaran batubara didalam TG-DTA dan DTF telah disuplai dengan udara tekan untuk lingkungan udara dan campuran gas 21%O2/79CO2 untuk lingkungan oxy-fuel. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pelambatan penyalaan batubara terjadi dalam pembakaran oxy-fuel pada ketiga sampel tersebut. Laju pembakaran char didalam lingkungan oxy-fuel mengambil waktu lebih lama dibandingkan dalam lingkungan udara. Perbedaan dalam sifat fisik gas mempengaruhi penyalaan batubara dan karakteristik pembakaran.
Hasil karakterisasi pembakran dalam lingkungan udara dan oxy-fuel di TG-DTA menunjukkan adanya pelambatan pada pembakaran char. Ketika konenstrasi oksigen dinaikkan, profil DTA bergeser maju ke zona temperatur rendah, laju pembakaran meningkat dan waktu pembakaran lebih singkat. Penggunaan ukuran batubara yang lebih halus memberikan pengaruh puncak DTA menjadi lebih tinggi yang berarti temperatur batubara lebih tinggi. Laju pembakaran volatil menjadi lebih cepat dibandingkan ukuran kasar baik pada batubara lignit, sub-bituminus dan bituminus. Pada batubara lignit dan sub-bituminus dengan ukuran <44μm memiliki peluang untuk dibakar dalam lingkungan oxy-fuel dengan konsentrasi oksigen dibawah 30%, sedangkan pada batubara bituminus membutuhkan konsentrasi oksigen minimal 30% dengan pertimbangan puncak kurva DTA mirip di lingkungan udara.
Simulasi pada 2 (dua) jenis PLTU batubara dilakukan untuk mengevaluasi konsumsi energinya. PLTU tersebut adalah PLTU 400MW yang didisain dengan batubara sub-bituminus dan PLTU 700 MW yang didisain dengan batubara bituminus. Pembakaran dalam kondisi oxy-fuel telah dilakukan pada siklus uap pada masing-masing PLTU. Berdasarkan simulasi tersebut penurunan efisiensi PLTU dapat diketahui. Penurunan efisiensi pada PLTU 400 MW dalam lingkungan oxy-fuel 21%O2/79%CO2 dan 30%O2/70%CO2 adalah masing-masing 15.9%, dan 19.0%. Sedangkan pada PLTU 700 MW dalam lingkungan oxy-fuel 21%O2/79%CO2, dan 30%O2/70%CO2 adalah masing-masing 13.9%, dan 17.8 %. Kontribusi terbesar adalah konsumsi energi listrik pada ASU yang berkisar 20-30%. Berdasarkan uji pembakaran pada TG-DTA dan DTF, penggunaan batubara yang lebih halus dari 76 um (200 mesh) yaitu ukuran <44 um didalam PLTU oxy-fuel dapat mempunyai peluang pengurangan kebutuhan oksigen, sehingga penurunan efisiensi didalam PLTU oxy-fuel yang disebabkan konsumsi energi yang tinggi pada ASU dapat diturunkan.
......One of Carbon Capture Storage (CCS) technology in pulverized coal fired power plant is oxy-fuel combustion technology. In oxy-fuel combustion technology, the coal is burned in a mixture of pure oxygen and recycled flue gas with high content of CO2 gas. Burning the coal in oxy-fuel combustion with O2 and CO2 environment will affect the combustion performance compare with air (O2/N2) environment. Based on previous researches indicated that oxygen concentration is required to be increased, so that the combustion behavior similar as in air environment. This study discusses the characteristics of coal ignition and combustion in oxy-fuel combustion applying TG-DTA (Thermo-Gravimetric Differential Thermal Analyzer) and Drop Tube Furnace (DTF). Three different Indonesian coal ranks of lignite, sub-bituminous and bituminous have been used as coal samples. Coal combustion test in DTF has been supplied with compressed air for air environment and mixing gas cylinder of 21%O2/CO2 for oxy-fuel environment. Experimental results indicated that the ignition time delay occurs in oxy-fuel combustion for all coal samples. Char combustion rate in oxy-fuel environment take longer time compared with in air environment. The different in physical gas properties influence on coal ignition and combustion characteristics.
The result of combustion characteristic in air and oxy-fuel environment applying the non-isothermal thermo gravimetric analysis shows the delayed in char burning compared with that in air environment at the same oxygen concentration. As oxygen concentration increases, DTA profiles shift to lower temperature zone, combustion rate increases and burnout time gets shorter. Finer coal size is also give higher DTA peak that meaning higher coal temperature in oxy-fuel environment. Volatile combustion rate is faster than coarser size in sub-bituminous and bituminous coal. Based on DTA combustion profile with the coal size of <44um, sub-bituminous coal has opportunity to use oxygen concentration below than 30% considering the peak of DTA curve so much higher than in air environment. Meanwhile, the bituminous coal needs at least 30%O2, because the peak on DTA curve is similar within air environment.
Simulation on two different existing coal fired power plants is presented to evaluate the different of energy consumption in oxy-fuel coal fire power plant. The 400MW coal fired power plant is designed with sub-bituminous coal type and 700 MW with bituminous coal type. Oxy-fuel combustion environment has been simulated on the steam cycle of each type coal fired power plant. Based on this simulation, the potency for decreasing efficiency loss in oxy-fuel coal fired power plant can be predicted. The efficiency loss at 400 MW coal fired power plant in oxy-fuel environment of 21%O2/79%CO2 and 30%O2/70%CO2 are 15.9%, and 19.0%, respectively. Furthermore, the efficiency loss at 700 MW coal fired power plant in oxy-fuel environment of 21%O2/79%CO2, and 30%O2/70%CO2 are 13.9%, and 17.8 %, respectively. Based on combustion test in TG-DTA, finer coal utilization with the coal size of <44 um in oxy-fuel power plant has opportunity for reducing oxygen concentration, so that the efficiency loss in oxy-fuel coal fired power plant due to higher consumption on ASU can be minimized."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
D2016
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyadi
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1992
S40290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyadi
"Pembangkit listrik batubara adalah salah satu industri yang menghasilkan emisi CO2. Salah satu teknologi penangkapan dan penyimpanan CO2 (CCS) untuk pembangkit listrik adalah pembakaran batubara dalam lingkungan O2/CO2 (oxy-fuel). Pada dekade terakhir banyak dilakukan penelitian skala laboratorium hingga skala pilot untuk mengembangkan aplikasi pembakaran batubara dalam lingkungan oxy-fuel. Indonesia sebagai salah satu negara yang banyak memanfaatkan batubara untuk pembangkit listrik perlu melakukan langkah awal untuk aplikasi teknologi ini. Karakterisasi pembakaran batubara Indonesia dalam lingkungan oxy-fuel perlu dilakukan sebagai pertimbangan dalam disain pembangkit listrik di masa datang.
Perilaku penyalaan batubara Indonesia dengan jenis bituminus, sub-bituminus dan lignite dilakukan menggunakan thermo gravimetriv analyser (TGA). Pelambatan penyalaan batubara dalam kondisi oxy-fuel dialami untuk batubara sub-bituminus dan bituminus, sedangkan pada batubara lignite relatif tidak berpengaruh. Hal ini bisa disebabkan rendahnya reaksi oksidasi permukaan batubara pada mekanisme penyalaan heterogenous dan hampir tidak terjadi pada penyalaan zat terbang dalam mekanisme penyalaan homogenous."
JITE 1:13 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Cahyadi
"Penelitian ini difokuskan untuk mengevaluasi potensi kemandirian Daerah Otonom pada pembentukan Kabupaten Way Kanan. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat sejauhmana perkembangan pengelolaan potensi daerah setelah dilakukan pembentukan daerah Kabupaten Way Kanan. Penelitian dilakukan di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung dengan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan evaluatif studi kasus.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu : pertama, pengumpulan data sekunder yaitu dengan melakukan observasi dan menelaah data yang telah tersedia berupa catatancatatan, dokumen-dokumen, peraturan-peraturan dan berkas-berkas yang ada di Kabupaten Way Kanan mulai dari sebelum/awal pembentukan (tahun 1999) sampai dengan penelitian ini dilaksanakan. Kedua, yaitu pengumpulan data secara primer dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa sumber data di Kabupaten Way Kanan atau lazim disebut sebagai informan.
Pengolahan data dilakukan dengan cara mengevaluasi potensi daerah Kabupaten Way Kanan yaitu menggunakan indikator/sub indikator yang telah ditetapkan. Data mengenai potensi daerah sebelum/awal pembentukan Kabupaten Way Kanan dibandingkan dengan data potensi daerah setelah pembentukan/pada saat ini, kemudian dianalisis perkembangannya. Dalam melakukan analisis jugs disinkronkan dengan hasil wawancara yang dituangkan dalam uraian-uraian yang bersifat deskripsi. Pengolahan dilakukan secara cermat untuk menemukan derajat pertemuan atau perbedaan dari masing-masing pandangan para informan tentang apa yang menjadi objek penelitian. Analisis data merupakan interpretasi yang dilakukan dengan membuat uraian yang bersifat deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif menjadi dasar penilaian ditambah dengan data sekunder untuk menjawab pertanyaan penelitian. Angka-angka atau data kuantitatif yang muncul baik dalam bentuk ukuran maupun tabel dimaksudkan untuk mendukung analisis yang eksplanatif. Potensi kemandirian daerah yang dievaluasi adalah Potensi ekonomi/keuangan daerah, potensi fisik/sarana dan prasarana, dan potensi sumber daya manusia. Dari ketiga potensi kemandirian daerah tersebut dijabarkan dalam sepuluh indikator dan duapuluh tujuh sub indicator.
Hasil penelitian bahwa hasil evaluasi terhadap potensi kemandirian daerah pada pembentukan Kabupaten Way Kanan menunjukkan peningkatan hampir seluruh sub indikatomya. Meskipun tidak seluruhnya sub indikator meningkat, akan tetapi peningkatan terjadi pada sebagian besar, dan penurunan rasio yang terjadi lebih diakibatkan oleh pertambahan penyebut (seperti jumlah penduduk) yang lebih besar. Dengan demikian keadaan ini dapat dikatakan sesuai dengan salah satu tujuan pembentukan kabupaten yaitu meningkatkan pengelolaan potensi daerah, sehingga bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah. Selanjutnya, sebagai saran, diperlukan perbaikan-perbaikan atau peningkatan terhadap sub indakator yang masih rendah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cece Cahyadi
"Keikutsertaan rakyat dalam pemilihan umum merupakan suatu tindakan memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat yang dipercaya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Oleh karena keikutsertaan rakyat dalam pemilihan umum selain berfungsi sebagai salah satu bentuk partisipasi politik, juga sekaligus merupakan pengejawantahan kekuasaan yang absah oleh rakyat. Rakyat yang melakukan pemilihan dalam pemilu didorong oleh suatu keyakinan bahwa aspirasi dan kepentingannya dapat tersalurkan atau setidaknya diperhatikan.
Kecenderungan untuk memilih salah satu kontestan pemilu terbentuk oleh suatu proses sosialisasi yang berjalan sepanjang kehidupan manusia, sehingga keyakinan tersebut dapat menguat dan dapat pula memudar tergantung sejauhmana sosialisasi tersebut berproses. Menguat atau memudarnya keyakinan pemilih berdampak terhadap dukungan suara yang diberikan terhadap OPP. Gejala seperti itu hampir ditemui dalam setiap kesempatan pemilu, di mana kecenderungan pemilih untuk memilih salah satu OPP tidaklah selalu sama atau tetap. Terbukti dari, setiap pemilu selalu terjadi perubahan dan pergeseran perolehan suara yang diperoleh masing-masing OPP.
Di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi, selama lima kali pemilu (1977-1997) perolehan suara PPP selalu menurun kecuali dalam pemilu 1997 naik secara drastis dua kali lipat lebih, yakni dari 13,52 % menjadi 31,88 X. Sebaliknya dengan PDI yang selalu mengalami kenaikan dan turun secara mencolok, yaitu dari 17,45 % pada pemilu 1992 menjadi 2,21 % dalam pemilu 1997. Sedangkan perolehan suara Golkar menunjukkan penurunan, kecuali pada pemilu 1992 naik 2,12 % dan turun kembali dalam pemilu 1997 sebesar 3,12 %. Naik turunnya perolehan suara tersebut menunjukkan adanya pergeseran perilaku memilih, dengan kata lain perubahan perolehan suara yang diperoleh OPP mencerminkan terjadinya perubahan perilaku memilih yang dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Penelitian ini ingin mengungkap Faktor-faktor yang berkaitan dengan perubahan perilaku memilih dalam pemilu 1997 di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi. Pertanyaan pokok yang dibahas nenyangkut mengapa terjadi perubahan perilaku memilih dalam pemilu 1997 dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan perilaku memilih di Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi. Dalam konteks ini faktor-faktor identifikasi partai, isu, calon, pemimpin formal, pemimpin informal dan kelompok memiliki pengaruh terhadap perubahan perilaku memilih.
Guna menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penyebaran kuesioner kepada 75 orang responden dan wawancara dengan berbagai pihak yang dipandang tahu banyak terhadap persoalan itu. Penetapan responden dilakukan melalui teknik sampling probabilita melalui penarikan sampel secara berkelompok (cluster sampling) dan penarikan sampel sistimatis (sys tima ti c random sampling).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor identifikasi partai yang didasarkan atas ikatan agana/keagamaan dan ikatan tradisi/adat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan perilaku memilih dalam pemilu 1997. Hal itu disebabkan pengaruh identifikasi Golkar dan PDI dengan pemilih tergolong rendah, berbeda dengan PPP yang pengaruhnya tergolong tinggi.
Faktor lain adalah pengaruh pemimpin informal, terutama tokoh agama (ulama) dan tokoh masyarakat melalui himbauan dan ajakannya untuk mendukung dan memenangkan OPP tertentu. Hal menarik lainnya yang dapat ditemukan adalah mulai memudarnya dukungan ulama terhadap Golkar yang dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan terhadap beberapa kebijakan yang diambil Pemerintah Daerah dan masalah pencalonan anggota legislatif yang mengandung unsur KKN. Dilain pihak beralihnya dukungan tokoh masyarakat berkaitan dengan kekalahan Kepala Desa yang lama dalam proses pemilihan Kepala Desa. Sedangkan para mantan Kepala Desa tersebut masih memiliki pengaruh dalam masyarakat. Sedangkan faktor-faktor lain seperti isu, calon, pemimpin formal dan kelompok pengaruhanya tergolong rendah, sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan perilaku memilih."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
N. Shelly Cahyadi
"Karies gigi merupakan penyakit yang banyak menyerang anak-anak terutama kelompok usia 12 tahun; kelompok usia ini perlu mendapatkan perhatian khusus karena merupakan saat terjadinya transisi pergantian gigi susu ke gigi tetap. Hasil penelitian Evaluasi Program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah untuk murid SD kelas 5 dan 6 di wilayah DKI Jakarta, prevalensi karies gigi cendrung meningkat dari 89.60% pada tahun 1988 menjadi 93.72% pada tahun 1996, namun demikian angka rata-rata anak yang mengalami karies gigi ( DMF-T) sedikit menurun dari 2.98 gigi menjadi 2.66 gigi. Dari kunjungan murid-murid SD ke Balai Pengobatan Gigi Puskesmas selama 3 tahun terakhir ini, proporsi karies gigi dan kelanjutannya tampaknya masih menduduki porsi tertinggi ( 75.88% - 78.75%) dibandingkan penyakit gigi dan mulut lainnya.
Tujuan daripenelitian ini untuk memperoleh informasi tentang hubungan faktor-faktor dengan status karies gigi anak SD; jenis disain penelitian adalah 'Analyzed cross sectional'. Lokasi penelitian di 106 SD dari 112 SD yang ada di kecamatan Tanjung Priok. Sampel yang diteliti adalah murid SD kelas 6 yang diambil secara 'systematic random sampling" sehingga diperoleh sejumlah 443 anak. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner wawancara untuk factor-faktor demografi, pola konsumsi makanan anak sehari-hari ( food recall 3 kali) disertai kebiasaan sikat giginya; disamping itu juga dilakukan pemeriksaan gigi. Data kemudian diolah secara statistik mulai dari analisis univariat, bivariat sampai multivariat yaitu dengan multipel regresi linier dan multipel regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi karies gigi ( DMF-T) anak SD kelas 6 di kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara 70.9% dengan rata-rata angka pengalaman karies 1.657 ± 1.487 gigi per anak; dan komposisi 'decayed" sebesar 61.3% , ?missing? 4.5%, dan tilled' 5.1% . Hasil model akhir menunjukkan, bahwa terjadinya karies gigi ( DMF-T) 43.78% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen sebagai. berikut yaitu OHI-S, frekuensi sikat gigi yang secara bersamaan harus diimbangi dengan ketepatan waktu sikat gigi, dan bentuk molar satu bawah yang secara bersamaan harus diimbangi dengan jumlah karbohidrat lekat. yang dimakan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan . setiap penambahan 5 gram konsumsi karbohidrat lekat, kemungkinan akan meningkatkan karies gigi 3%. Juga ada interaksi frekuensi sikat gigi sikat gigi kurang dan- waktu sikat gigi tidak tepat dengan jumlah karbohidrat lekat yang dimakan; dimana dengan jumlah minimal karbohidrat lekat yang dimakan sebesar 8.85 gram per hari mempunyai resiko terjadinya karies gigi 2.08 kali; jumlah karbohidrat yang dimakan maksimal yaitu 98.10 gram temyata dapat meningkatkan resiko karies sebesar 235.40 kali. Dan ada hubungan sebab akibat antara bentuk molar satu bawah dengan terjadinya karies gigi, ini mungkin disebabkan karena gigi tersebut tumbuh lebih dahulu yaitu pada usia 6-7 tahun; pembentukan benih gigi dengan anatomi yang tidak normal sudah terjadi pada masa janin berusia 5 minggu dalam kandungan dan ada hubungannya dengan keturunan dan rasnya ; selain itu juga adanya pengaruh gravitasi sehingga sisa makanan lebih banyak mengumpul pada gigi rahang bawah tersebut.
Disarankan program penyuluhan oleh team UKGS ditingkatkan yang isinya mengubah pola kebiasaan sikat gigi anak yaitu dari sebelum makan dan sambil mandi menjadi sesudah makan dan minimal sikat gigi dua kali yaitu sesudah makan pagi dan sebelum tidur malam. Disamping itu untuk menanggulangi masalah bentuk anatomi gigi molar satu bawah, dapat dilanjutkan pelaksanaan penambalan fissure sealant maupun tumpatan baru 'Atraumatic Restorative Treatment'.
......Factors Related To Dental Caries Status Of The Sixth Grade Primary School Children In Tanjung Priok Subdistrict Of Northern Jakarta, 1997.Dental caries is a disease affecting children especifically 12 years old ; this age group needs special attention since the transition from the deciduous dentition to the permanent dentition occured in this age group. The evaluation study of School Dental Health Programs for 5th and 6th grades in the Jakarta , shows an increase in dental caries prevalence from 89.60 % in 1988 to 93.72% in 1996; the average DMFT figures however, went down from 2.98 to 2.66 teeth in the same period. Proportionally, dental caries and its sequela still in the first rank compared to other oral diseases in primary school children who were treated at the Health Centre Services.
The aims of the study is to obtain information on the relation between determinant factors and dental caries in primary school children; with an "Analyzed Cross Sectional" design. The study was done in 106 primary school out of 112 Primary school in the subdistrict of Tanjung Priok. The study sample comprises 6th grades through a "systematic random Sampling ", Total sample was 443 children. Data was obtained by questioners for demographic factors, daily food consumption patterns ( 3 times food recall ) and tooth brushing habits. Apart from that, dental examination was carried out. The data was statistically processed, from univariat, bivariat and multivariat analysis with multiple linear regression and multiple logistic regression.
The results show a dental caries prevalence ( DMF-T) of 70,9 % of 6 grades in the Tanjung Priok subdistrict with average of 1,657 ± 1.487 caries teeth; encompassing 61.3% decayed, 4.5% missing and 5.1% filled teeth. The latest model indicates that the 43.78% dental caries rate (DMF-T) may be explained by, independent variables : Oral Hygiene Index Simplify, frequency of brushing , shape of lower first molar, all of which have to be balanced by the amount of consumed " sticky" carbohydrate consumption may increase dental caries by 3 %. Interaction were found between good frequency of tooth brushing and incorrect brushing times, between insufficient frequency of tooth brushing and correct brushing times, between insufficient frequency of tooth brushing and incorrect brushing times. The latest interaction show that with the amount of sticky carbohydrate consumed, in which a minimum of 8.85 grams of sticky carbohydrates daily, caries risks will increase 2.08 times; a maximum of 98.10 gram will increase caries risks with 235.40 times. A cause and effect relationship between lower first molar anatomical shape and dental caries is presumably caused by the fact that the tooth in question is a the first permanent element to erupt, which is around 6-7 years of age, by tooth formation with abnormal anatomy would already occur at 5 weeks of intrauterine life and had a relationship with heredity and race, in addition to influence of gravitation causing much more food rests to accumulation teeth of the lower jaw.
It is suggested that school dental health education be improved to change the child's tooth brushing habits from "before meals" and "during bath" to "after meals" and a minimum of two times daily, which is after breakfast and before retiring at night. To cope with the problem of the anatomical shape of the lower first molar, fissure sealants and Aritmatic Restorative Treatment fillings may be employed."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Cahyadi
"Sejak dilakukannya reformasi perpajakan tahun 1983, pemerintah melakukan perubahan sistem pemungutan pajak dari semula Official Assessment, menjadi Self Assessment. Pemungutan pajak dengan sistem self assessment ini meletakkan tanggung jawab pemungutan pajak sepenuhnya pada wajib pajak, konsekuensinya pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak harus mampu melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakar, hukum perpajakan dengan baik agar dapat menjamin keberhasilan pemungutan pajak dengan sistem ini. Dalam pelaksanaannya banyak hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara efektif.
Secara internal hambatan timbul dari belum optimalnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, hal ini disebabkan karena sistem yang ada belum mampu mendeteksi kemungkinan adanya penyelundupan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak terdaftar (walaupun sudah memasukkan SPT dan membayar kewajiban pajaknya sesuai SPT), sistem ini juga belum mampu mendeteksi dan mengawasi adanya wajib pajak yang belum terdaftar berikut potensi pajak yang tidak tergali akibat tidak terdaftamya wajib pajak tersebut.
Dalam hal penegakan hukum, khususnya pemeriksaan pajak, hambatan internal yang dihadapi adalah belum mampunyai pemeriksaan pajak memberikan deterrent effect bagi wajib pajak. Detterent Effect ini merupakan satu hal yang sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela (Voluntary Compliance) wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, karena dengan adanya detterent effect yang dihasilkan dari proses pemeriksaan akan dapat mencegah wajib pajak penyelundup pajak (Tax evader) untuk melakukan penyelundupan pajak, disamping itu dengan adanya detterent effect ini juga akan mencegah timbulnya niat dari wajib pajak yang selama ini patuh pada peraturan perpajakan, untuk ikut melakukain penyelundupan pajak.
Salah satu penyebab dari gagalnya pemeriksaan pajak untuk memberikan detterent effect bagi wajib pajak adalah karena rendahnya mutu pemeriksaan yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari relative rendahnya nilai koreksi yang dihasilkan dalam setiap penugasan pemeriksaan dan lemahnya dasar koreksi pajak basil pemeriksaan sehingga banyak koreksi pajak yang dapat dibatalkan di tingkat keberatan dan banding.
Dari semua hambatan tersebut, kunci pemecahan masalahnya terletak pada ketersediaan data dan kemampuan analisa atas kegiatan ekonomi kena pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Dengan tersedianya data tentang transaksi kena pajak yang dilakukan wajib pajak akan menigkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Dengan tersedianya data, Direktorat Jenderal Pajak akan mampu mengawasi dan mengambil tindakan atas wajib pajak yang belum terdaftar, Direktorat Jenderal Pajak akan mampu mengungkap adanya praktek penyelundupan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak baik yang sudah terdaftar maupun belum terdaftar, dan Direktorat Jenderal Pajak akan mampu mengungkap praktek-praktek ekonomi bawah tanah yang dilakukan untuk menghindari upaya pemunguntan pajak. Dengan kemampuan analisa resiko yang baik didukung oleh ketersediaan data tentang pelanggaran wajib pajak, Direktorat Jenderal Pajak akan mampu memilih kasus-kasus yang dapat memberikan hasil koreksi pajak signifikan dan berdasar, untuk ditindak lanjuti dengan penegakan hukum terutama pemeriksaan pajak, sehingga upaya penegakan hukum dapat memberikan detterent effect bagi wajib pajak.
Intelijen mcmiliki kemampuan lebih dalam hal pencarian dan pengumpulan data dengan teknik-teknik pencarian data yang lebih baik dengan memanfaatkan human intelligence (yang dapat melakukan pencarian data baik terbuka maupun tertutup), signal intelligence (yang dapat melakukan pencarian data dari hasil pemantauan dan intersepsi jalur komunikasi) dan Imagery Intelligence (yang mampu melakukan pengumpulan data menggunakan teknologi pengambil gambar seperti foto satelit dan lain-lain)Pada akhimya penerapan fungsi intelijen dalam bentuk pengumpulan informasi potensi pajak dan analisa kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak akan dapat meningkatkan penermaan pajak secara nasiona!. Penelitian ini menganalisis pentinghya peningkatan kinerja pengawasan dan penegakan hukum Direktorat Jenderal Pajak dikaitkan dengan potensi pajak yang belum tergali dan pentingnya penerapan intelijen dalam peningkatan kinerja pengawasan dan penegakan hukum Dircktorat Jenderal Pajak dalam kaitannya dengan penyediaan data dan informasi perpajakan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, dengan menganalisis data-data tentang potensi pajak dan pemeriksaan pajak untuk menilai kinerja pengawasan dan penegakan hukum Direktorat Jenderal Pajak, dan metode analisis SWOT untuk menganalisis apakah penerapan intelijen merupakan strategi yang tepat untuk diterapkan dalam upaya peningkatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum di Direktorat Jenderal Pajak.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa kinerja pengawasan dan penegakan hukum Direktorat Jenderal Pajak perlu ditingkatkan terutama terkait dengan penyediaan dan analisis data perpajakan Wajib Pajak. Untuk itu penerapan intelijen merupakan strategi yang tepat untuk diterapkan dalarn peningkatan kinerja pengawasan dan penegakan hukum Direktorat Jenderal Pajak. Disarankan untuk menerapkan intelijen sebagai strategi untuk meningkatan kinerja pengawasan dan penegakan hukum Direktorat Jenderal Pajak dengan pembentukan unit khusus intelijen dan penyediaan payung hukum bagi penerapan intelijen di Direktorat Jenderal Pajak."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Cahyadi
"ABSTRAK
Money Illusion adalah ?a tendency to think in terms of nominal rather than real monetary values? (Shafir dkk 1997). Penelitian tentang konsep ini pernah dilakukan oleh Susianto (1998) dan Ariani, Anna Surti (1999). Ketiga penelitian tersebut memberikan hasil yang berbeda. Menurut Shafir dick (1997), proporsi partisipan yang mengalami Money Illusion pada kasus dan kerangka permasalahan nominal akan lebih besar dari proporsi partisipan yang mengalami Money illusion pada kasus dengan permasalahan riil. Shafir dIck (1997) meneliti Money illusion pada aspek penghasilan, transaksi, kontrak, investasi, akuntansi mental, dan keadilan. Sebaliknya menurut Susianto (1998) proporsi partisipan yang mengalami Money illusion pada kedua tipe kasus tersebut tidak akan berbeda secara signifikan. Penelitian Susianto (1998) hanya pada aspek Money Illusion Penghasilan. Penelitian Ariani (1999) ternyata partisipan ibu rumah tangga tidak mengalami Money illusion. Ariani (1999) meneliti Money Illusion pada aspek penghasilan, transaksi, Akuntansi Mental, Persepsi tehadap mata uang asing. Peneltian Shafir dkk (1997 ) dan Susianto (1998) dilakukan pada masa inflasi rendah. Sedangkan Ariani (1999) pada inflasi tinggi. Ketiga peneliti tersebut tidak dilakukan pada partisipan dengan pendapatan rendah. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan. Dengan dugaan bahwa partisipan berpendapatan rendah sensitif terhadap kenaikan harga terutama pada masa krisis ini.
Penelitian ini menggunakan metode wawancara balk untuk produsen maupun konsumen. Satu pertanyaan pada konsumen berupa gambar kartun. Penelitian pada konsumen dimaksudkan untuk melihat seberapa besar partisipan mengalami Money illusion baik pria maupun wanita. Juga dianalisis dengan menggunakan teknik statistik Chi Square. Sedangakan penelitian pada produsen untuk mengetahui strategi yang diambil produsen pada masa krisis ini.
Hasilnya temyata sebesar 78 % konsumen mengalami Money illusion. Sedangkan produsen temyata tidak mengerti fenomena Money Illusion tapi seolah-olah melakukan antisipasi terhadap Money Illusion. Juga ada produsen yang melakuican strategi yang tidak berkaitan dengan fenomena Money Illusion.
Saran- saran perbaikan merupakan masukan kepada produsen agar dapat melakukan perbaikan strategi pemasaran pada masa krisis."
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Cahyadi
"ABSTRAK
Kepemilikan asuransi penerbangan merupakan prasyarat yang harus dipenuhi setiap perusahaan penerbangan untuk dapat beroperasi di dalam maupun luar negeri. Ada berbagai macam jenis asuransi penerbangan, diantaranya adalah Aircraft Hull and Spares ?War and Allied Perils? Insurance dan Liability Insurance.
Tragedi 11 September banyak mempengambi kedua jenis asuransi ini terutama dengan adanya perubahan klausul AVN52D menjadi AVN52C yang mengharuskan setiap perusahaan penerbangan membayar tambahan premi sebesar 0,05% dan agreed value dan memiliki minimal US$ 50,000,000-. third party liability coverage per kejadian. Hal ini sangat memberatkan perusahaan penerbangan yang belum pulih, termasuk Garuda.
Perubahan premi tersebut terjadi karena adanya penambahan resiko yang harus ditanggung perusahaan asuransi. Penambahan resiko terutama disebabkan karena peningkatan probabilitas kejadian dan peningkatan nilai kerugian per kejadian, disamping itu jumlah prusahaan asuransi dan perusahaan penerbanganpun berkurang, sehingga biaya yang harus ditanggungpun bertambah yang mana hal tersebut tercermin dalam premi yang harus dibayar.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa besarnya coverage yang paling baik bagi cash flow Garuda saat ini adalah dengan mengambil Coverage /lab/lily sebesar USS 500,000,000 per kejadian dimana akan ada tambahan biaya sebesar USS 5,333,72963 pertahun atau total biaya asuransi sebesar USS 15,704,546,63 per tahun.
Pemilihan coverage ini akan mempengaruhi cash flow Garuda sebesar rata-rata 7%, namun besarnya tambahan premi ini adalah yang terkecil. Hal tersebut dìsebabkan karena probabilita kejadian dengan nilai kerugian sebesar USS 500,000,000 - adalah terbesar dari data-data historis, sehingga akan banyak perusahaan penerbangan yang mengambil coverage tersebut.
Untuk mempertahankan cash flow Garuda dapat membebankan tambahan premi kepada penumpang internasional yaitu sebesar USS 2.58 per penumpang sehingga perubahan 7% per tahun dapat ditutup. Penambahan beban kepada penumpang tentunya diharapkan tidak akan mempengaruhi keinginan penumpang untuk memiiih Garuda karena sifat penumpang internasional yang sangat tidak elastis terhadap perubahan harga. Mereka lebih mengutamakan kualitas pelayanan dan keselamatan penerbangan. Sehingga secara keseluruhan tujuan manajemen resiko Garuda yaitu menstabilkan pendapatan dengan meminimalkan biaya dapat tercapai."
2002
T1256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Cahyadi
"PT. Garuda Indonesia adalah suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang transportasi udara di mana dalam bisnis ini persaingan sangat ketat dan resiko sangat tinggi serta kebutuhan dana sangat besar. Hal ini mengakibatkan kebutuhan Teknologi Informasi (TI) yang semakin meningkat diantaranya sistem aplikasi untuk mendukung strategi bisnis, baik itu untuk operasional maupun pengambilan keputusan bagi manajemen. Untuk menghindari kerusakan atau kegagalan sistem tersebut, maka perlu adanya perlindungan dan keamanan bagi infrastruktur TI yang mendukung sistem aplikasi tersebut, agar operasional proses bisnis dapat terus berjalan dengan baik. Usaha untuk menjaga ketersediaan sistem TI pada suatu organisasi, diantaranya dengan membuat backup sistem.
PT. Garuda Indonesia yang menggunakan sistem aplikasi SAP (System Application Product in Data Processing) R/3 sebagai aplikasi back office dan ARGA (Automatic Reservation GAruda) sebagai aplikasi front office, pada saat ini baru menggunakan backup sistem berupa tape backup atau disk backup. Hal ini tidak akan mencukupi kebutuhan untuk menjamin ketersediaan sistem apabila terjadi bencana atau kerusakan infrastruktur TI. Backup sistem yang masih sederhana akan mengakibatkan recovery menjadi sulit dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga akan mempengaruhi operasional bisnis perusahaan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan merencanakan untuk membuat infrastruktur TI di tempat lain agar pemulihan terhadap kegagalan sistem yang dilakukan jika terjadi kerusakan di pusat komputer menjadi lebih mudah, sehingga waktu terjadinya kegagalan sistem tidak terlalu lama. Business Continuity Plan (BCP) adalah suatu perencanaan dalam mengantisipasi terjadinya kegagalan sistem. Perencanaan ini diperlukan dan harus disusun dengan baik agar kegagalan sistem dapat diantisipasi dan diperkirakan sebelumnya dampak yang akan terjadi.
Ada beberapa alternatif pendekatan BCP yaitu Replikasi, Hot Sites, Warm Sites dan Cold Sites di mana yang membedakan dari alternatif pendekatan BCP tersebut adalah infrastruktur TI dan fasilitas pendukung, sehingga akan berdampak pada biaya yang akan diperlukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan kuantifikasi terhadap nilai manfaat tangible maupun intangible dari sistem aplikasi untuk mengetahui kerugian bisnis dan potensi biaya yang akan timbul bila sistem tidak berfungsi serta biaya untuk mengimplementasikan masing-masing alternatif pendekatan BCP tersebut. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan skema replikasi dalam BCP memberikan biaya yang efisien dan cukup mengatasi resiko kerugian bisnis yang besar.

Garuda Indonesia is a state-owned company in airline business where competition and risk as well as budget required are high. This leads to the increasing need of Information Technology (IT) among other application system to support business strategies in both operation and management decision making. To avoid damage or failure of the system, it is necessary to provide protection and security for IT infrastructure supporting the application system to keep the business process operation running smoothly. The way to keep IT system availability in the organization is by making back up of the system. Garuda Indonesia uses SAP as a back office application and ARGA (Automatic Reservation Garuda) as a front office application.
Nowadays Garuda Indonesia has already used back up of the system in the form of tape back up or disk back up. It will be insufficient to guarantee system availability if there is a damage or failure in IT infrastructure. Simple back up of the system will cause complicated recovery and take long time, so it will influence company business operation. To anticipate them, company plans to make IT infrastructure in other locations so when the system fails, the recovery can be done easier and faster. Business Continuity Plan (BCP) is a planning in anticipating system failure. This planning is required and must be arranged well, so the system failure can be anticipated and predicted before all impacts happened. There are several BCP approach alternatives, i.e., Replication, Hot Sites, Warm Sites, and Cold Sites.
These alternatives are differentiated by IT infrastructure and supporting facilities, which consequently will affect the required cost. Therefore, quantification is required on tangible and intangible benefit values of the application system(s) to identify business loss and cost if the system fails and implementation cost of each BCP approach alternative. The result from this research indicates that the usage of replication scheme in BCP gives efficient price and sufficiently covers big business loss."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>