Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chevy Iskandar
"Lapangan Panasbumi Patuha secara administratif terletak di kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lapangan ini sudah beroperasi sejak tahun 2014 dengan kapasitas Power Plant 1x60 MWe. Sampai saat ini, lapangan Panasbumi Patuha Unit I sudah beroperasi selama hampir 7 tahun. Secara umum, kondisi sumur-sumur produksi saat ini sudah mengalami natural decline dimana terjadi pengurangan kapasitas produksi terhadap produksi awal. Hal ini menyebabkan suplai uap ke Power Plant Unit I menjadi tidak optimal, sehingga dibutuhkan sumur make-up. Selain itu, untuk mendukung penambahan kapasitas produksi listrik dari energi panasbumi di Indonesia, di Lapangan Panasbumi Patuha juga direncanakan akan dilakukan pengembangan lapangan untuk Unit berikutnya yaitu Unit 2 dan 3. Namun, dalam menentukan lokasi pengeboran sumur produksi baik untuk make-up maupun rencana pengembangan masih memiliki resiko yang cukup tinggi khususnya di area pengembangan dimana sumur-sumur produksi maupun injeksi di Patuha hanya terkonsentrasi di area timur WKP. Tiga parameter utama yang harus ada dalam kesuksesan pengeboran yaitu didapatkannya permeabilitas dan temperatur tinggi serta keberadaan dari fluida netral (benign fluid). Data geofisika memiliki peranan yang sangat penting mengingat keterbatasan data dan jumlah sumur yang ada belum melingkupi keseluruhan prospek area di Patuha. Pemodelan dan analisis data geofisika (Magnetotellurik, Gravitasi dan Microearthquake) yang diintegrasikan dengan data geologi, geokimia dan sumur dilakukan untuk membuat konseptual model yang lebih komperhensif dan meng-update model sebelumnya dalam menggambarkan kondisi bawah permukaan khususnya dalam memberikan gambaran distribusi temperatur dan permeabilitas tinggi serta keberadaan benign fluid sebagai target kesuksesan dalam pengeboran. Pemodelan 3-Dimensi data Magnetotellurik (MT) yang dikorelasikan dengan data sumur dilakukan untuk memberikan gambaran secara luas mengenai sebaran temperatur di bawah permukaan dan juga indikasi dari boundary reservoir. Analisis data Gravitasi yang meliputi First Horizontal Derivative (FHD), Second Vertical Derivative (SVD) dan Multi Scale-Second Vertical Derivative (MS-SVD) yang dikorelasikan dengan data spinner, loss circulation, struktur geologi maupun data produktifitas sumur dilakukan untuk memberikan gambaran distribusi permeabilitas bawah permukaan di lapangan Panasbumi Patuha. Selain itu, analisis data sebaran event Microearthquake (MEQ) dilakukan juga untuk memperkuat analisis sebaran permeabilitas tersebut. Hasil integrasi data-data tersebut diharapkan dapat menjadi basis analisis data dalam memberikan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi untuk menentukan target sumur pemboran baik untuk rencana sumur make-up maupun sumur pengembangan.
......The Patuha Geothermal Field is located in Bandung District, West Java Province. Patuha Field has been operating since 2014 with a power plant capacity of 1x60 MWe. Until now, Patuha Unit I geothermal field has been running for almost 7 years. The current production wells have experienced a natural decline, which is showed by a reduction in production capacity to the initial production. This causes the steam supply to the Power Plant Unit I to be not optimal, so a make-up well program is needed. Furthermore, to support the addition of electricity production capacity from geothermal energy in Indonesia, the development of the Patuha Geothermal Field is planned to be carried out for the next Power Plant Unit’s expansion (Unit 2 and Unit 3). Nevertheless, determining the location for both make-up and development drilling might still pose high risks. This is especially because the development area (where production and injection wells are located) is only concentrated in the eastern area of the WKP. Three key parameters must be obtained to achieve successful drilling, e.g. good permeability, high temperatures, and a neutral fluid (benign fluid). Geophysical data has an indispensable role considering the limited data and the limited number of existing wells that cover the entire Patuha prospect area. An integrated analysis from geophysical modeling (Magnetotelluric, Gravity, and Microearthquake), geological, geochemical, and well data is conducted to create a comprehensive conceptual model, which updates the previous model that describes Patuha subsurface conditions. This updated conceptual model will explain the temperature distribution, the estimated high permeability location, as well as benign fluid as a drilling target. The 3-Dimensional inversion modeling of Magnetotelluric (MT) data correlated with well data was achieved to give a broad description of subsurface temperatures distribution and the reservoir boundary indication. Gravity data analysis, such as First Horizontal Derivative (FHD), Second Vertical Derivative (SVD), and Multi Scale-Second Vertical Derivative (MS-SVD) is also combined with spinner data, loss circulation, geological structure, and well productivity to analyze the subsurface permeability distribution in the Patuha Geothermal field. Microearthquake event distribution (MEQ) analysis is performed to strengthen the permeability distribution analysis. We expect this data integration to be the basis for the holistic analysis in providing a higher level of confidence to determine the target drilling wells for both make-up well and development wells."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chevy Iskandar
"Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai inversi 3-dimensi (3-D) untuk pemodelan data magnetotelurik menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas oleh para ilmuwan geofisika. Hal ini disebabkan hasil pengolahan data lapangan yang dikorelasikan dengan data geologi dan geokimia masih terdapat ambiguitas dalam interpretasi hasil inversi 2-dimensi (2-D) dibandingkan hasil pemodelan dengan inversi 3-D. Salah satu faktor penyebabnya adalah bumi yang memiliki model tiga dimensi, maka model 2-D terkadang kurang bisa digunakan untuk menjelaskan kondisi bumi yang kompleks secara 3-D. Untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut mengenai hal tersebut, dilakukan pembuatan model sintetik 3-D dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DFor-X. Model sintetik 3-D dibentuk dari model yang sederhana untuk melihat pengaruh efek anomali 3-D bawah permukaan, sampai dengan model yang kompleks yaitu sistem geotermal. Model sintetik yang dibuat kemudian diinversi 2-D dan 3-D dan dibandingkan hasilnya. Pemodelan dengan inversi 2-D dan 3-D secara berturut-turut dilakukan dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DInv-X. Hasil dari kedua inversi tersebut kemudian diinterpretasi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan inversi yang digunakan dalam pengolahan data magnetotellurik ataupun sebagai bahan pertimbangan saat pengambilan data magnetotelurik di lapangan. Selain itu, variasi ukuran grid terhadap pemodelan 3-D dibahas juga pada penelitian ini, sehingga nantinya dapat digunakan juga sebagai acuan dalam pemodelan data 3-D dengan menggunakan data lapangan.
......In few recent years, the discussion about 3-dimensional (3-D) inversion for magnetotelluric (MT) data modeling has become the interesting topic for geophysicists. It is caused by the the ambiguity of 2-D inversion result compared with 3-D inversion result of field data processing when it is correlated with geological and geochemistry data. One of the contributing factor is that the Earth is in 3-D shape, so the 2-D model often less describes the complex 3-D Earth model. For further understanding about this topic, a synthetic 3-D model was made using WinGLink and MT3Dfor-X software. 3-D synthetic model is formed from the simple one, to see the effect of the 3-D subsurface anomali towards both inversion results, to the complex one such as geothermal system. The synthetic model is then inversed in 2-D and 3-D approaches to compare the result. 2-D inversion model is conducted using WinGLink and 3-D inversion model is conducted using MT3Dinv-X. Both results can be used as reference of choosing which inversion process is used for modeling magnetotelluric data and can be used to consider the field survey design. Furthermore, the number of grid variation in 3-D modeling is also discussed in this work as the consideration of 3-D modeling of field data."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S52956
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library