"Disertasi ini membahas dinamika hukum industri halal di Indonesia, dengan fokus pada pengubahan kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia, Indonesia memiliki kewajiban strategis untuk menjamin ketersediaan produk halal yang aman dan transparan. Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) bertujuan meningkatkan perlindungan konsumen Muslim dan daya saing UMK, tetapi pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala. Tantangan utama meliputi kesulitan pelaku UMK dalam proses sertifikasi halal, lemahnya harmonisasi antar lembaga, dan keterbatasan infrastruktur digital di wilayah terpencil. Hal ini menunjukkan pentingnya transformasi kebijakan yang lebih sederhana, seperti pengubahan kewajiban sertifikasi halal menjadi pembukaan informasi produk yang dapat diakses secara luas oleh konsumen. Dengan menggunakan pendekatan sosio-legal, penelitian ini menghasilkan tiga kesimpulan utama. Pertama, regulasi industri halal di bidang pangan belum sepenuhnya melindungi konsumen Muslim dan mendukung UMK. Kedua, kerjasama kelembagaan industri halal yang dapat melindungi konsumen muslim dan pelaku UMK dapat dioptimalkan dengan perubahan status BPJPH yang kini berada langsung di bawah presiden. Sebagai badan yang lebih mandiri, BPJPH diharapkan mampu memangkas panjangnya birokrasi dan meningkatkan efisiensi operasional dalam penyelenggaraan sertifikasi halal serta diperlukan penguatan kerjasama kelembagaan antara BPJPH dengan dan kementerian terkait untuk meningkatkan efektivitas implementasi regulasi. Ketiga, penerapan model industri halal yang ideal di Indonesia adalah dengan sistem pembagian berdasarkan jenis produk, apakah produk tersebut berisiko atau tidak, Kombinasi antara transparansi informasi, verifikasi berjenjang, dan pemanfaatan teknologi yang tepat akan menciptakan ekosistem industri halal yang lebih inklusif dan berdaya saing tinggi di Indonesia. Sebagai saran, penelitian ini merekomendasikan beberapa langkah strategis: pertama, memperkuat regulasi pembukaan informasi produk dengan memastikan keterjangkauan dan transparansi bagi konsumen. Kedua, mempercepat harmonisasi kebijakan antar lembaga untuk mencegah tumpang tindih aturan. Ketiga, Penyederhanaan proses sertifikasi halal untuk produk berisiko rendah akan mempermudah UMK, terutama di daerah terpencil. Untuk itu, pengembangan teknologi digital untuk mempermudah proses sertifikasi sangat diperlukan. Aplikasi mobile yang dapat diakses secara offline, atau teknologi berbasis SMS yang mudah dijangkau oleh UMK di daerah dengan keterbatasan akses internet, dapat menjadi solusi yang preskriptif.
This dissertation discusses the dynamics of halal industry law in Indonesia, with a focus on changing the halal certification requirements for Micro and Small Enterprises (SMEs). As the country with the second-largest Muslim population in the world, Indonesia has a strategic obligation to ensure the availability of safe and transparent halal products. The Halal Product Guarantee Law (UUJPH) and the Job Creation Law (UUCK) aim to enhance consumer protection for Muslims and the competitiveness of MSEs, but their implementation still faces various challenges. The main challenges include difficulties faced by MSE in the halal certification process, weak inter-institutional harmonization, and limited digital infrastructure in remote areas. This highlights the importance of policy transformation towards simpler approaches, such as changing the halal certification obligation into opening product information that is widely accessible to consumers. Using a socio-legal approach, this research yields three main conclusions. First, halal industry regulations in the food sector have not fully protected Muslim consumers or supported MSE. Second, institutional collaboration in the halal industry that could protect Muslim consumers and MSE actors can be optimized by changing the status of the BPJPH, which is currently directly under the president. As a more independent body, BPJPH is expected to reduce bureaucratic delays and improve operational efficiency in halal certification, and strengthening institutional cooperation between BPJPH and relevant ministries is necessary to enhance the effectiveness of regulation implementation. Third, the ideal halal industry model in Indonesia involves a tiered system based on product risk, whether the product is high or low risk. A combination of transparency in information, tiered verification, and the appropriate use of technology will create a more inclusive and competitive halal industry ecosystem in Indonesia. As recommendations, this research suggests several strategic steps: first, strengthening regulations on product information disclosure to ensure accessibility and transparency for consumers. Second, accelerating policy harmonization between agencies to prevent overlapping regulations. Third, simplifying the halal certification process for low-risk products will ease the burden on MSEs, especially in remote areas. For this, the development of digital technology to facilitate the certification process is crucial. Mobile applications that can be accessed offline or SMS-based technology that is easily accessible by MSEs in areas with limited internet access could serve as prescriptive solutions. "