Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Fadilah Supari
Abstrak :
ABSTRAK
Angka kesakitan dan angka kematian penyakit kardiovaskuler (PKV) di Indonesia meningkat pesat dalam dua puluh tahun terakhir ini, sebagaimana terlihat dalam survei kesehatan rumah tangga dari tahun 1972 sarnpai 1992. Tingginya angka kematian di masyarakat yang disebabkan oleh karena PJK sangat sulit diketahui secara pasti. Angka kesakitan PJK meskipun belum diketahui secara pasti, namun dapat diduga dari beberapa peneiitian yang dilakukan di masyarakat. Penelitian tersebut antara lain di dilakukan oleh Boedhi Darmojo dkk. (1990). Hasil penelitiannya mengungkapkan ditemukan 2,7% kelainan gambar EKG (Elektro. Kardiogram) yang sesuai dengan gambaran infark miokard lama pada populasi yang dipilih secara acak dari 2073 responden di Jakarta. Insiden PJK di rumah sakit, Hanafiah (1993) mencatat pada tahun 1988-1992 di RSJHK (Rumah Sakit Jantung Harapan Kita), terdapat 72%-89% kasus PJK, dimana separuhnya adalah penderita infark miokard akut (IMA). Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, upaya pencegahan merupakan pilihan yang tepat untuk mengantisipasi meningkatnya angka kesakitan maupun angka kematian PJK, dimasa mendatang. Upaya pencegahan yang dilakukan di Indonesia masih terbatas dalam mengantisipasi terjadinya aterosklerosis dan kejadian PJK yaitu dengan anjuran anjuran yang konvensional, seperti stop merokok, menurunkan kolesterol dan sebagainya. Aterosklerosis telah diketahui merupakan proses yang dipengaruhi oleh banyak sekali faktor risiko, sehingga masih terdapat peiuang untuk rnendapatkan serangan 1MA. Prognosis penderita IMA dipengaruhi oleh Iuasnya jaringan nekrosis yang terjadi. Semakin lugs jaringan nekrosis semakin tinggi angka kematiannya dan semakin jelek kualitas hidupnya. Strategi pitihan untuk menurunkan angka kematian dan komplikasi PJK adalah dengan membatasi Iuasnya jaringan nekrosis pada kejadian IMA. Upaya ini dapat disimak dalam perkembangan pengobatan 1MA akhir-akhir ini, yaitu dengan berkembangnya cara revaskularisasi pada IMA, yang meliputi trombolisis, PTCA ('percutaneus transluminal coronary angioplasty'), maupun bedah pintas koroner ('coronary artery bypass graft'}. Pada perkembangan berikutnya diketahui bahwa ternyata cara revaskularisasi tidak sepenuhnya memperbaiki jaringan yang iskemi, namun terdapat kemungkinan terjadinya jaringan nekrosis oleh karena reperfusi itu sendiri (Braunwald,1985) Fenomena tersebut kemudian disebut sebagai fenomena injuri reperfusi. Fenomena injuri reperfusi secara klinis dapat berupa sebagai: aritmia reperfusi, 'myocardial stunning', maupun injuri reperfusi yang fetal. Ketiga kejadian tersebut berdampak pada mortalitas, serta kualitas hidup penderita pasca IMA. Fenomena injuri reperfusi miokard secara klinis dapat terjadi antara lain pada kejadian IMA yang mengalami lisis spontan, IMA dengan trombolisis, IMA dengan tindakan PTCA maupun dengan bedah pintas koroner. Suatu hipotesis mengatakan bahwa pada fenomena injuri reperfusi terjadi gangguan fungsi miokard.
1996
D378
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fadilah Supari
Jakarta: Sulaksana Watinsa Indonesia (SWI), 2008
616.91 SIT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fadilah Supari
Jakarta: Sulaksana Watinsa Indonesia (SWI), 2008
616.91 Sup i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fadilah Supari
Jakarta: Sulaksana Watinsa Indinesia (SWI), 2008
616.959 SIT s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fadilah Supari
Abstrak :
Latar Belakang : Hiperkolesterolemia merupakan salah satu faktor risiko mayor penyakit jantung koroner. Modifikasi diet saat ini telah terbukti bermanfaat sebagai terapi inisial dalam penatalaksanaan hiperkolesterolemia. Penelitian double blind contolled studi ini bertujuan untuk menilai efektifitas "soluble fiber" (serat larut) sebagai terapi tambahan diet rendah kalori pada populasi Indonesia dengan hiperkolesterolemia. Pasien pria/wanita dengan kadar kolesterol 200-300mg% dilibatkan dalam penelitian ini. Setelah 1 minggu periode adaptasi, pasien dirandomisasi untuk dimasukkan ke dalam kelompok terapi (soluble fiber 8.4 g/hari) atau kelompok kontrol. Penelitian dilakukan selama 8 minggu dengan tetap melanjutkan terapi diet. Hasil : Kadar kolesterol total turun 5.59% pada kelompok terapi sedangkan penurunan pada kelompok kontrol hanya 0.6% (p < 0.05). Kolesterol LDL pada kelompok terapi turun sebesar 4.22% pada kelompok terapi. Sementara pada kelompok kontrol justru meningkat sebesar 2.58% (p< 0.05). Terdapat pula penurunan kadar kolesterol HDL dalam 8 minggu (16% vs 8%) (p = 0.005). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada indikator-indikator lain di antara kedua kelompok. Kesimpulan : Pemberian soluble fiber 8.4 g/hari dapat menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan kolesterol HDL pada pria dan wanita dengan hiperkolesterolemia primer. Tidak terdapat perubahan kadar glukosa maupun elektrolit akibat konsumsi soluble fiber.
Background: Hypercholesterolemia is a major risk factor for coronary heart disease. It has been proven that nutrition management is the initial therapeutic approach in hypercholesterolemic cases. This double blind controlled study evaluated the effectiveness of "soluble fiber" as an adjunct to low energy Indonesian diet in the treatment of persons with hypercholesterolemia. Male and female with hypercholesterolemia were recruited. After run in period for one week (dietary adaptation phase), eligible subjects with serum cholesterol concentrations between 200 mg% and 300 mg% were randomly assigned to receive either 8.4 g/day ?soluble fiber? or a cellulose placebo for 8 wk while continuing diet therapy. Results: Serum total and LDL-cholesterol concentrations were decreased 5.59 % and 4.22 %. Serum total in the placebo group were decreased 0.60 %, and LDL-cholesterol were increased 2.58 % after eight wk (P < 0.05). Other outcome measures did not differ significantly between groups. Conclusions: Treatment with 8.4 g "soluble fiber" per day produces significant net reductions in serum total (5,59%) and LDL-cholesterol concentrations (4,22%), but also reduced HDL Cholesterol level significantly in male and female with primary hypercholesterolemia.
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-4-OctDec2002-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fadilah Supari
Abstrak :
Hubungan antara dislipidemia dengan terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung koroner sudah terbukti dalam banyak studi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi perubahan kadar lipid setelah pemberian fenofibrat produksi lokal (trichol) atau lipanthyl supra pada pasien dislipidemia di RSJPD Harapan Kita secara teracak (randomized) dan tersamar (double-blinded). Sebanyak 68 pasien dengan kadar HDL40 mg/dL; trigliserida 200?600 mg/dl; dan/atau LDL130 mg/dL diikutsertakan sebagai subyek penelitian. Subyek dirandomisasi untuk mendapatkan lipanthyl 160 mg satu kali/hari atau trichol 300 mg satu kali/hari. 61 pasien mengikuti uji klinik ini sampai selesai. Kadar lipid sebelum terapi (data dasar) dan 4, 8, 12 minggu setelah terapi diperiksa dan dianalisis. Dibandingkan dengan data dasar, terapi selama 12 minggu mampu meningkatkan kadar HDL sebesar 18.8% dan 14.3% (P<0.001), menurunkan kadar trigliserida sebesar 38.2% dan 37.2% (P<0.001), meningkatkan kolesterol total sebesar 3.1% (P=0.114) dan 8.4% (P<0.005), menurunkan rasio kolesterol total/HDL sebesar 17.6% dan 18.4% (P<0.001), meningkatkan ApoA-1 sebesar 15.0% dan 9.7% dan menurunkan kadar fibrinogen sebesar 13.8% dan 6.4% untuk lipanthyl dan trichol. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada kadar LDL untuk kedua grup. Hal yang menarik adalah trichol mampu menurunkan tingkat kolesterol total (P<0.05) lebih baik dibanding lipanthyl. Efek samping yang diakibatkan oleh kedua perlakuan tidak berbeda bermakna. Terapi dengan trichol dan lipanthyl mampu memperbaiki kadar lipid pasien dislipidemia. Kedua obat meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar trigliserida secara bermakna. Selain itu, penurunan kadar kolesterol total secara bermakna dapat dicapai setelah 12 minggu terapi dengan trichol tetapi tidak dengan lipanthyl. (Med J Indones 2007; 16:159-67)
The relation of dyslipidemia with the development and progression of atherosclerosis and coronary artery diseases has been demonstrated. This study compared the lipid modifying effects of locally-manufactured fenofibrate (trichol) versus lipanthyl supra in a randomized double-blind controlled study. A total of sixty-eight patients with levels of HDL cholesterol ≤40 mg/dL; triglyceride of 200?600 mg/dL; or LDL of ≥130 mg/dL were recruited to this study and were randomized to either receive trichol 300 mg once daily or lipanthyl 160 mg once daily. Sixty one patients completed the study. Lipid levels before and 4, 8, and 12 weeks after the treatments were measured and analyzed. Compared to baseline values, 12-weeks treatment with either lipanthyl or trichol significantly increased plasma HDL by 18.8% and 14.3% respectively (P<0.001), decreased triglyceride by 38.2% and 37.2% (P<0.001), but with no significant change in LDL levels. Furthermore, we observed a decreased in total cholesterol levels compare to baseline by 8.4% (P<0.05) and 3.1% (P=0.114), in total cholesterol/ HDL ratio by 17.6% and 18.4% (P<0.001), in fibrinogen level by 13.8% and 6.4% and an increase in ApoA-1 by 15.0% and 9.7% for lipanthyl and trichol, respectively. Interestingly, the decrease in total cholesterol level is significantly higher in trichol than lipanthyl groups (P<0.05).The adverse events of both treatments were comparable. The lipid-modifying effects of 300 mg daily dose of trichol is comparable to that of 160 mg daily dose of lipanthyl. Both drugs efficiently increased the plasma HDL levels and decreased plasma triglycerides concentration. Besides, a significant reduction of total cholesterol was achieved after 12 weeks treatment with trichol, but not lipanthyl. (Med J Indones 2007; 16:159-67)
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-3-JulySept2007-159
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library