Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fatmariza
"Meskipun secara hukum perempuan dan laki-laki dijamin mempunyai hak yang sama dalam pendidikan seperti tertulis di dalam pasal 31 UUD 1945, pasal 5,6 dan 7 Undang - Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang - Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, tetapi dalam kenyataan pendidikan perempuan Indonesia masih tertinggal dari laki-laki baik dilihat dari tingkatannya maupun bidang ilmu yang ditekuni.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ketertinggalan perempuan dalam pendidikan lebih banyak disebabkan oleh faktor nilai budaya yang bias jender yang disosialisasikan di dalam keluarga, sekolah, masyarakat, maupun media massa. Beberapa Penelitian menemukan bahwa keluarga mengutamakan pendidikan (yang lebih tinggi) bagi anak laki-laki, karena anak laki-laki diharapkan dapat mendukung orang tua secara ekonomi pada masa tua. Sedangkan keengganan orang tua untuk "menanamkan modal" untuk pendidikan anak perempuan, disebabkan adanya anggapan bahwa orang tua tidak dapat menikmati investasi yang ditanam karena anak perempuan setelah menikah akan meninggalkan rumah orang tua mereka untuk mengabdi kepada keluarga suami (Budiati, 1991; Johnson, 1992). Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan yang dihadapi oleh anak perempuan dalam masyarakat Minangkabau, di mana anak perempuan sangat diharapkan di dalam keluarga untuk mendukung orang tua pada masa tua. Sedangkan anak laki-laki setelah menikah akan meningggalkan rumah orang tua untuk bertanggungjawab terhadap istri dan anak-anaknya (Miko,1996). Namun demikian, dibandingkan dengan anak laki-laki, pendidikan anak perempuannya masih lebih rendah terutama pada tingkatan sekolah menengah ke atas.
Hal tersebut mendorong penulis untuk mengetahui dan memahami lebih dalam bagaimana persoalan yang dihadapi anak perempuan Minangkabau berkaitan dengan pendidikannya. Mengingat perubahan sosial yang terjadi telah mengakibatkan berkurangnya (hilangnya) faktor-faktor sosial budaya yang mendukung status dan kedudukan perempuan Minangkabau dewasa ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data yang utama. Sebagai pendukung digunakan teknik observasi, dan studi pustaka dan studi dokumen. Penelitian dilakukan di desa Singgalang Kecamatan X Koto Propinsi Sumatera Barat. Subyek penelitian adalah anak perempuan dengan status pendidikan yang berbeda, yaitu: Putus Sekolah, SMP, SMEA, SMA, dan Pesantren Putri. Di camping itu, wawancara juga dilakukan dengan kedua orang tua responder, saudara laki-laki, mamak, tokoh masyarakat (Ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai), dan Pejabat Kandepdikbud Kecamatan X Koto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari hubungan kekerabatan mamak-kemenakan suku-salko, induak bako-anak pisang, dan andan pasumandan, maka status dan kedudukan anak perempuan menjadi lemah, kerena hubungan kekerabatan ini di desa penelitian sudah renggang. Anak perempuan tidak lagi dapat mengharapkan dukungan dari mamaknya, karena sudah teijadi pergeseran peran mamak di dalam masyarakat Minangkabau.
Selanjutnya bila dilihat dari hubungan kekuasaan di dalam keluarga, kedudukan perempuan (anak perempuan) juga semakin lemah. Pergeseran peran mamak, semakin berkurangnya harta pusaka yang semula menjadi andalan ekonomi dan kemandirian perempuan, serta pola keluarga inti semakin memperkokoh kedudukan suami (sumando) di dalam keluarga. Ditemukan bahwa ayah/suami merupakan pengambil keputusan utama terhadap persoalan persoalan di dalam keluarga termasuk terhadap anak perempuan Di samping ayah, anak laki-laki merupakan orang yang berkuasa terhadap anak perempuan, sedangkan Ibu nampak kurang mempunyai kekuasaan di dalam keluarga, karena hampir semua keputusan di dalam keluarga diputuskan oleh ayah.
Bila dilihat dari pembagian kerja di dalam keluarga, perempuan (anak perempuan) adalah orang yang bertanggungjawab penuh terhadap pekerjaan rumah tangga (kerja reproduktif). Tidak terlibatnya laki-laki dalam pekerjaan ini karena dalam masyarakat Minangkabau ada hambatan budaya tentang yang pantas dan tidak pantas dikerjakan oleh laki-laki Minang apalagi bila ia menjadi Sumando atau penghulu kaum, ketidakpantasan mengerjakan pekerjaan rumah menjadi semakin kuat. Sosialisasi peran reproduktif ini sangat ditekankan kepada anak perempuan, sehingga tidak jarang hal ini berdampak buruk terhadap pendidikan anak perempuan.
Mengenai pendidikan anak perempuan di dalam keluarga, pada umumnya anak perempuan tidak merasakan adanya diskriminasi dalam pendidikan, namun mereka merasakan adanya perbedaan penilaian terhadap anak perempuan yang bersekolah dengan anak laki-laki yang bersekolah, karena perbedaan tujuan menyekolahkan anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan cenderung memilih sekolah yang sesuai dengan jendernya, serta ada kecenderungan anak perempuan terkungkung dengan stereotip jender dalam memandang pendidikan. Ayah, dan saudara laki-laki mempunyai peran yang besar dalam pendidikan anak perempuan karena mereka mempunyai wawasan yang luas, tetapi tidak demikian dengan ibu mereka. Keadaan ini tidak terlepas dari faktor "merantau" yang merupakan sesuau yang khas bagi laki-laki Minang.
Beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam pendidikan anak perempuan didesa penelitian di antaranya adalah: Adanya sikap subinisif anak perempuan terhadap hal-hal yang selama ini di dominasi oleh laki-laki seperti ilmu pasti dan teknik, tradisi kawin muda dan stigma gadih gadang indak balaki, beban pekerjaan rumah tangga yang sepenuhnya dibebankan kepada anak perempuan, rendahnya motivasi dan kesadaran anak perempuan dan orang tua akan manfaat pendidikan bagi anak perempuan, tradisi merantau yang khas bagi laki-laki, kebijakan pendidikan yang belum sepenuhnya sensitif jender, sistem NEM dan rayonisasi, serta kondisi pendidikan penduduk desa Singgalang yang masih relatif rendah."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmariza
"Kebijakan Kembali ke Nagari di Sumatera Barat merupakan respon lokal terhadap reformasi di Indonesia setelah rezim otoritarian Soeharto (1966-1998). Kebijakan Kembali ke Nagari ini dalam aspek tertentu dapat dipandang sebagai legitimasi dan strukturisasi peran perempuan Minangkabau di ranah publik, terlepas dari dominannya laki-laki sepanjang proses perumusan kebijakan, dan penguatan adat yang membebani perempuan. Legitimasi ini secara struktural telah memperluas wilayah peran perempuan Minangkabau yang dahulunya hanya di wilayah domestik (kaum) menjadi wilayah publik (Nagari). Adat Minangkabau menetapkan bahwa perempuan mempunyai peran sentral di dalam kaumnya dengan kedudukan sebagai Bundo Kanduang. Peran sentral perempuan Minangkabau di dalam kaum tersebut dengan kembali ke nagari secara implicit juga mendapatkan penguatan kembali. Posisi penting Bundo Kanduang dalam struktur masyarakat minangkabau ini idealnya dapat menjadi modal dasar bagi perempuan Minang untuk masuk ke ranah publik. Sehubungan dengan itu Kembali ke Nagari dapat diartikan sebagai terbukanya ruang baru bagi peran dan partisipasi perempuan Minangkabau di Nagari terutama dalam bidang politik dan pemerintahan, di samping bidang-bidang lainnya seperti ekonomi, sosial dan budaya. Terbukanya ruang sosial baru bagi partisipasi dan reposisi perempuan di ranah nagari (publik) dalam realitasnya tidaklah mudah untuk diisi dan dimanfaatkan oleh perempuan Nagari. Selain karena faktor-faktor internal seperti: kapasitas perempuan, tokoh-tokoh perempuan, kesadaran perempuan. organisasi perempuan, keberhasilan perempuan dalam mengakses posisi-posisi strategis di nagari juga sangat tergantung kepada kultur dan keterbukaan elit laki-laki di nagari baik niniak mamak, alim ulama maupun cadiak pandai (elit adat, elit agama, cendikiawan) yang dalam cukup banyak kasus masih bias gender.

The policy of returning to Nagari (Kembali ke Nagari) in West Sumatera is a responsive local policy to reform in Indonesia in post-Soeharto`s authoritarian regime (1966-1998). This policy of Kembali ke Nagari in a certain aspect can be viewed to justify and to re-structure the role of Minangkabau women in public domain vis-à-vis the dominant roles of Minangkabau men in making decisions/policies and in reinforcing cultural values to village communities. The policy of Kembali ke Nagari has extended the roles of Minangkabau women as Bundo Kanduang (the clan`s chief), to Nagari leader (Wali Nagar/ sub-district leader) and other public roles. In other words, the policy of Kembali ke Nagari is a new opportunity to Minangkabau women to participate in politics, government and economy in the local level. But it is not easy for woman to participate and reposition in public area so that the openness of structure has not been utilized by Nagari organization and success of woman in assessing the strategic position in Nagari, is also depends on the culture and openness of elite man in Nagari such as the leader of tribe, the man of religion and experts who have the gender bias perspectiveness.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
D1514
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library