Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Latar belakang: Prehipertensi dan hipertensi berhubungan dengan berbagai komplikasi pada hampir seluruh organ, tetapi sering diabaikan oleh dewasa muda di daerah pedesaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi prehipertensi dan hipertensi pada dewasa muda di pelayanan kesehatan dasar di daerah pedesaan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Subjek penelitian adalah pasien balai pengobatan yang diambil secara konsekutif pada hari Senen sampai Sabtu pada bulan September 2012, berusia antara 18?25 tahun, tidak hamil atau dalam kondisi syok. Subjek diwawancara (usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, waktu duduk, perilaku merokok, minum alkohol, dan riwayat keluarga) dan diperiksa oleh tenaga kesehatan (berat, tinggi, indeks massa tubuh [IMT], tekanan darah sistolik dan diastolik).
Hasil: Dari 111 dewasa muda, 34,2% memiliki prehipertensi dan 17,1% memiliki hipertensi. Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, wanita lebih banyak mengalami prehipertensi, tetapi hipertensi lebih banyak terjadi pada pria. Riwayat keluarga dari ibu dan bapak tidak berhubungan baik dengan prehipertensi maupun hipertensi jika dibandingkan dengan normotensi. Aktivitas total tidak terlihat berhubungan dengan prehipertensi (OR = 2,6; p = 0,052), dan juga hipertensi (OR = 1,758; p = 0,498). IMT berhubungan dengan hipertensi (OR = 3,354; p = 0,041), tetapi tidak berhubungan dengan prehipertensi (OR = 2,343; p = 0,099).
Kesimpulan: Prevalensi prehipertensi dan hipertensi cukup tinggi pada dewasa muda di pelayanan kesehatan dasar di daerah pedesaan. Intervensi untuk mencegah penyakit yang lebih lanjut perlu dilakukan sejak dini dengan modifikasi gaya hidup karena tekanan darah berhubungan dengan faktor risiko yang dapat diubah, seperti IMT dan aktivitas total.

Background: Prehypertension and hypertension were related with many complications of nearly every organ, but often neglected by young adults in rural area. This research was done to observe the prevalence of prehypertension and hypertension among young adult in a primary health care of rural area at Cicurug, Sukabumi District, West Java.
Methods: This cross-sectional study was done in Cicurug Public Health Center, Sukabumi District, West Java. The subjects were consecutively recruited from the outpatient clinic on Monday until Saturday in September 2012,18?25 years old, not pregnant nor having shock. They were interviewed about their age, gender, physical activity, sitting hours, smoking habit, alcohol consumption, and family history and examined by trained health professionals (weight, height, body mass index [BMI], systolic and diastolic blood pressure).
Results: From 111 young adults, 34.2% had prehypertension and 17.1% had hypertension. Within sex groups, the prevalence of prehypertension was higher in females, whereas hypertension was occurred more in males. Neither of family history from mother nor father were associated with prehypertension and hypertension compared with normotension. Total activity was not associated with prehypertension (OR = 2.6; p = 0.052) and hypertension (OR = 1.758; p = 0.498). BMI was associated with hypertension (OR = 3.354; p = 0.041) and not associated with prehypertension (OR = 2.343; p = 0.099).
Conclusion: Prevalence of prehypertension and hypertension were relatively high among young adult in primary health care of rural area. Intervention to prevent further complications needs to be done early with lifestyle modification because blood pressure is associated with modifiable risk factors, such as BMI and total activity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Latar Belakang: Hubungan antara hepatitis C dan penyakit ginjal kronik (PGK) sudah semakin jelas. Sirosis hati dan kadar virus pada hepatitis C dikatakan berhubungan dengan PGK, namun hal ini masih menjadi kontroversi.
Tujuan: Mengetahui prevalensi PGK serta hubungannya dengan sirosis hati dan kadar virus pada pasien hepatitis C.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong-lintang yang dilakukan pada Agustus 2018 sampai Januari 2019 di Poliklinik Hepatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia. Subjek dipilih secara konsekutif pasien dengan antiHCV positif dan ditanyakan kesediannya. Subjek dengan HIV, hepatitis B, riwayat hemodialisis, dan batu ginjal dieksklusi. Data diambil melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, elastrografi transien, pemeriksaan darah dan urin. Pasien didiagnosis PGK bila terdapat kelainan laju filtrasi glomerolus at au albuminuria atau hematuria persisten selama tiga bulan. Analisis statistik menggunakan kai kuadrat untuk data kategorik dan menggunakan regresi logistik untuk mengendalikan variabel perancu.
Hasil: Dari total 185 subjek yang mengikuti penelitian ini didapatkan prevalensi PGK sebesar 23,2% dengan 95% IK 17,12-29,28% pada subjek dengan hepatitis C. Sirosis hati berhubungan dengan terjadinya PGK pada hepatitis C dengan crude OR 2,786 (1,276-6,081) dan adjusted OR 2,436 (1,057-5,614) setelah mcngendalikan diabetes melitus, usia, dan jenis kelamin. Tidak didapatkan hubungan antara kadar virus dengan PGK (p=0,632).
Simpulan: Terdapat hubungan antara sirosis hati dengan PGK dan tidak terdapat hubungan antara kadar virus dengan PGK pada pasien dengan hepatitis C."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Background: nowadays, radiofrequency ablation (RFA) is applied widely as an alternative therapy of resection in patient with hepatocellular carcinoma (HCC). Moreover, in single nodule with size of less than 2 cm, RFA may be the primary treatment. Although resection is the main treatment and one of the curative treatments in nodule meeting Milan criteria, it needs consideration of risk stratification for surgical resection. This report was aimed to search evidence of RFA compared with RFA in term of survival in patient with HCC single nodule size of more than 5 cm.
Methods: the searching was done using PubMed, Scopus, Web of Science, dan CINAHL from EBSCO with keyword of “hepatocellular carcinoma”, “single nodule”, “radiofrequency ablation”, “resection”, and “survival”. The limitation of the article was English with clinical question of “In patient with HCC single nodule size of more than 5 cm, was RFA more superior in resection in term of survival?”.
Results: there were three articles with retrospective studies. One of the article combined RFA and percutaneous ethanol injection in the analysis, meanwhile another article combined RFA and transarterial chemoembolization. These articles showed conflicting ata that showed absolute risk reduction of 33% till absolute risk increment of 60.6%.
Conclusion: all studies used RFA as the alternative of resection when the the tumor was unresectable which means the severity was higher in RFA group. Hence, we can not solely conclude that RFA resulted in worse survival.

Latar belakang: radiofrequency ablation (RFA) saat ini semakin luas dipergunakan sebagai terapi alternatif reseksi pada pasien dengan karsinoma sel hati (KHS). Bahkan pada ukuran nodul kurang dari 2 cm, RFA dapat menjadi lini utama pada kasus tersebut. Reseksi merupakan terapi utama dan salah satu terapi kuratif pada nodul dengan kriteria Milan, tetapi harus dipertimbangkan toleransi operasi pada pasien yang akan menjalani reseksi. Pada laporan kasus berdasar bukti ini kami bertujuan memperlihatkan efektivitas RFA dibandingkan reseksi dalam hal kesintasan, tetapi pada KHS nodul tunggal berukuran lebih dari 5 cm.
Metode: pencarian artikel dilakukan dengan menggunakan mesin pencari PubMed, Scopus, Web of Science, dan CINAHL dari EBSCO dengan kata kunci “hepatocellular carcinoma”, “single nodule”, “radiofrequency ablation”, “resection”, dan “survival”. Artikel dibatasi pada artikel berbahasa Inggris dengan pertanyaan klinis “Pada pasien dengan KHS nodul tunggal berukuran lebih dari 5 cm, apakah RFA lebih baik dibandingkan dengan reseksi untuk memperpanjang kesintasan?” Hasil: didapatkan tiga artikel penelitian retrospektif dengan satu artikel menggabungkan terapi RFA dan injeksi etanol dalam analisis dan satu penelitian menggabungkan RFA dengan transarterial chemoembolization (TACE) dalam analisisnya. Dari ketiga penelitian tersebut memperlihatkan penurunan risiko absolut 33% sampai peningkatan risiko absolut 60,6%. Kesimpulan: seluruh penelitian menjadikan RFA sebagai alternatif reseksi bila reseksi tidak dapat dilakukan yang berarti tingkat keparahan lebih tinggi pada RFA, sehingga sulit mengambil kesimpulan bahwa RFA memberikan kesintasan lebih buruk.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Adult onset Stills disease is a rare systemic disease that may involve many organs and may mimick many disease such as infection, autoimmune disease, and also malignancy. The diagnostic approach and treatment strategies have not been well established due to its rarity; however, there are some diagnostic criteria that may help. We present a case of 36-year old man who experienced high prolonged fever which firstly thought as infection. He also had unilateral wrist and knee joint pain and maculopapular rash. Laboratory examination showed high leukocytes count with elevated polymorphonuclear neutrophil count, high platelet count, high ferritin level, and negative results of many infection markers (typhoid antibody, procalcitonin, malaria test, blood culture, urine culture, IgM pneumonia, ASTO, syphilis test, antiHIV, HBsAg, antiHCV, etc). Chest X-ray, joint X-ray, ultrasonography, and echocardiography showed normal result. The patient was then diagnosed with Adult-onset Stills disease and received intravenous methylprednisolone and the fever was disappeared in 3 days. Six months later the arthralgia appeared again, methotrexate was administered and the pain was then relieved.

Adult onset Still’s disease merupakan penyakit sistemik jarang yang melibatkan berbagai organ serta menyerupai penyakit lain seperti infeksi, penyakit autoimun dan juga keganasan. Diagnosis dan pengobatan belum terlalu baik karena penyakit ini jarang. Meskipun demikian, sudah terdapat beberapa kriteria diagnosis yang dapat membantu. Kami memaparkan suatu kasus, pria berusia 36 tahun datang dengan demam tinggi terus menerus yang pertama kali dianggap sebagai infeksi. Pasien juga mengalami nyeri sendi pergelangan tangan dan lutut unilateral disertai ruam makulopapular. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukosit tinggi dengan hitung jenis netrofil polimorfonuklear tinggi, trombosit tinggi, feritin tinggi, dan berbagai penanda infeksi negatif (antibodi tifoid, prokalsitonin, malaria, kultur darah, kultur urin, IgM pneumonia, ASTO, tes sifilis, antiHIV, HBsAg, antiHCV dan sebagainya). Rontgen dada, rontgen sendi, ultrasonografi, dan ekokardiografi menunjukkan hasil normal. Pasien ini kemudian didiagnosis adult onset Still’s disease dan diberikan metilprednisolon intravena dan demam hilang dalam tiga hari. Enam bulan kemudian pasien mengeluhkan nyeri sendi dan diberikan metrotreksat, kemudian nyeri membaik."
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library