Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Hamidah
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada pengalaman dan persepsi kualitas hidup pada pasien dengan
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Disain kualitatif fenomenologi dipilih
untuk mendapatkan informasi yang individual dan mendalam. Tujuh orang partisipan
ditentukan dengan purposive sampling. Wawancara mendalam dilakukan menggunakan alat
perekam, panduan wawancara semiterstruktur, dan catatan lapangan. Pendekatan Colaizzi?s
Qualitative content analysis menghasilkan tema : Pengalaman ketidaknyamanan fisik dan
psikis saat menjalani Hemodialisis; Dukungan orang terdekat dan tenaga kesehatan dalam
menguatkan keyakinan membuat keputusan CAPD dan meningkatkan kemampuan selfcare;
Pertimbangan kenyamanan memilih CAPD; Mengalami komplikasi yang kemungkinan dapat
dicegah; Selfcare membutuhkan waktu; Adanya rentang konsep diri; Perasaan nyaman
dengan CAPD; Koping positif dalam menyikapi perubahan pola hidup; Keterbatasan di
pelayanan primer untuk CAPD dan Pengharapan untuk menjadi ?normal?. Pengalaman
partisipan merupakan suatu kontinum. Studi lanjutan diperlukan untuk melihat faktor
dominan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan memilih modalitas CAPD

ABSTRACT
This study focuses on the experiences and perceptions of quality of life of patients with
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). A Phenomenological qualitative design
was chosen to obtain personal and in-depth information. Seven participants were determined
using purposive sampling technique. An In-depth semi-structured interviews were tape
recorded. Theme emerged from the Colaizzi?s qualitative content analysis : Experience of
physical and psychological discomfort while undergoing Hemodialysis; Supports from the
closest persons and health care professionals strengthen confidence on making CAPD
decisions and improves selfcare abilities; Convinience reason for choosing CAPD;
Experience preventable complications; Selfcare takes time process; Positive coping in
response to changes in lifestyle; Existence of a range of self-concept; More comfort on
CAPD; Limited service of CAPD in Primary Care; and Hoping of being 'normal'.
Participant?s experience and quality of life perception laid in a continum. Further study
related to dominan factors in choosing CAPD is recommended."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
"[ABSTRAK
Diabetic Kidney Disease (DKD) pada Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) merupakan komplikasi kronik yang dapat dicegah dan ditunda progresifitasnya dengan pengontrolan glikemik yang baik dan penatalaksanaan yang tepat dari komorbid lainnya. Pengontrolan glikemik menjadi tanggung jawab bersama antara multidisiplin profesi kesehatan di ruang rawat (dokter, perawat, dietisien, farmasis) dengan pasien (serta keluarga). Model Self care Orem sangat sesuai untuk diaplikasikan dan dikembangkan di ruangan pada asuhan keperawatan pasien dengan penyakit kronik. Pasien dapat bersinergi secara aktif sesuai kemampuannya dalam mencapai tujuan dari setiap intervensi keperawatan. Disamping itu pendekatan model self care Orem sesuai untuk mempersiapkan pasien dalam meningkatkan kemampuan self care untuk pasca rawat. Pelaksanaan praktek berbasis pembuktian, pengukuran suhu kaki dengan termometer infrared dapat menjadi perangkat tambahan untuk menilai adanya gejala inflamasi lokal sehingga upaya deteksi dini menjadi lebih komprehensif. Pelaksanaan kegiatan inovasi pemantauan dan pemeriksaan kesehatan mandiri pada pasien DM dapat meningkatkan upaya promosi kesehatan pada pasien DM.ABSTRACT Diabetic Kidney Disease (DKD) in Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments. Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward (doctors, nurses, dietisien, pharmacists) and patients (and families). Orem?s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases. Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention. Besides, Orem?s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post-hospitalization. Implementation of evidence-based practice, the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive. Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients. ;Diabetic Kidney Disease (DKD) in Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments. Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward (doctors, nurses, dietisien, pharmacists) and patients (and families). Orem?s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases. Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention. Besides, Orem?s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post-hospitalization. Implementation of evidence-based practice, the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive. Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients. , Diabetic Kidney Disease (DKD) in Type 2 Diabetes Mellitus (T2DM) is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments. Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward (doctors, nurses, dietisien, pharmacists) and patients (and families). Orem’s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases. Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention. Besides, Orem’s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post-hospitalization. Implementation of evidence-based practice, the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive. Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients. ]"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
"[ABSTRAK
Diabetic Kidney Disease DKD pada Diabetes Melitus Tipe 2 DMT2 merupakan komplikasi kronik yang dapat dicegah dan ditunda progresifitasnya dengan pengontrolan glikemik yang baik dan penatalaksanaan yang tepat dari komorbid lainnya Pengontrolan glikemik menjadi tanggung jawab bersama antara multidisiplin profesi kesehatan di ruang rawat dokter perawat dietisien farmasis dengan pasien serta keluarga Model Self care Orem sangat sesuai untuk diaplikasikan dan dikembangkan di ruangan pada asuhan keperawatan pasien dengan penyakit kronik Pasien dapat bersinergi secara aktif sesuai kemampuannya dalam mencapai tujuan dari setiap intervensi keperawatan Disamping itu pendekatan model self care Orem sesuai untuk mempersiapkan pasien dalam meningkatkan kemampuan self care untuk pasca rawat Pelaksanaan praktek berbasis pembuktian pengukuran suhu kaki dengan termometer infrared dapat menjadi perangkat tambahan untuk menilai adanya gejala inflamasi lokal sehingga upaya deteksi dini menjadi lebih komprehensif Pelaksanaan kegiatan inovasi pemantauan dan pemeriksaan kesehatan mandiri pada pasien DM dapat meningkatkan upaya promosi kesehatan pada pasien DM

ABSTRACT
Diabetic Kidney Disease DKD in Type 2 Diabetes Mellitus T2DM is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward doctors nurses dietisien pharmacists and patients and families Orem rsquo s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention Besides Orem rsquo s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post hospitalization Implementation of evidence based practice the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients ;Diabetic Kidney Disease DKD in Type 2 Diabetes Mellitus T2DM is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward doctors nurses dietisien pharmacists and patients and families Orem rsquo s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention Besides Orem rsquo s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post hospitalization Implementation of evidence based practice the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients ;Diabetic Kidney Disease DKD in Type 2 Diabetes Mellitus T2DM is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward doctors nurses dietisien pharmacists and patients and families Orem rsquo s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention Besides Orem rsquo s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post hospitalization Implementation of evidence based practice the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients ;Diabetic Kidney Disease DKD in Type 2 Diabetes Mellitus T2DM is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward doctors nurses dietisien pharmacists and patients and families Orem rsquo s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention Besides Orem rsquo s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post hospitalization Implementation of evidence based practice the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients , Diabetic Kidney Disease DKD in Type 2 Diabetes Mellitus T2DM is a chronic complication that can be prevented and delayed its progresivity with a good glycemic control and appropriate treatments Glycemic control is a shared responsibility between the multidisciplinary health professions in the ward doctors nurses dietisien pharmacists and patients and families Orem rsquo s Self care model is appropriate to be applied and developed in the acute care of patients with chronic diseases Patients can actively work together within its capabilities in achieving the objectives of each nursing intervention Besides Orem rsquo s self care model approach appropriate to prepare the patient to improve the ability of self care for post hospitalization Implementation of evidence based practice the measurement of foot temperature with an infrared thermometer may be enhancements to assess the presence of local inflammatory symptoms so that early detection efforts become more comprehensive Implementation of innovation activity monitoring and self health assesment can improve health promotion efforts in diabetic patients ]"
2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
"

Klasifikasi stroke merupakan masalah yang harus diselesaikan dengan cepat dan tepat untuk menentukan pengobatan awal yang tepat bagi penderita stroke. Jika pengobatan awal yang tepat terlambat untuk dilakukan, maka hal ini dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Penelitian ini menyelesaikan masalah klasifikasi stroke menggunakan pendekatan machine learning dengan metode Minimally Spanned Support Vector Machine (MSSVM). Metode ini merupakan pengembangan dari metode Support Vector Machine (SVM) dimana metode ini mengaplikasikan algoritma Minimum Spanning Tree (MST) untuk mereduksi jumlah support vector pada SVM. Hal ini bertujuan untuk mempercepat waktu komputasi yang dibutuhkan oleh SVM dan meningkatkan kinerja SVM. Hal ini dikarenakan waktu komputasi yang dibutuhkan oleh SVM bergantung pada jumlah support vector dimana jumlah support vector yang semakin banyak memberikan waktu komputasi yang dibutuhkan semakin lama. Selain itu, pereduksian jumlah support vector dapat memberikan kesalahan generalisasi yang lebih kecil sehingga memberikan kinerja yang lebih baik. Pada penelitian ini, kinerja dari MSSVM dievaluasi dengan membandingkan beberapa parameter dengan kinerja SVM. Hasil yang diperoleh adalah bahwa MSSVM berhasil mereduksi jumlah support vector pada SVM sedemikian sehingga mempercepat waktu komputasi yang dibutuhkan oleh SVM dalam mengklasifikasikan data stroke tanpa mengurangi kinerja dari SVM.  


Stroke classification is a problem that must be solved quickly and precisely to determine the right initial treatment for stroke sufferers. If the right initial treatment is too late to do so, this can cause disability and even death. This study solves the problem of stroke classification using a machine learning approach with Minimally Spanned Support Vector Machine (MSSVM) method. This method is a development of Support Vector Machine (SVM) method where this method applies the Minimum Spanning Tree (MST) algorithm to reduce the number of support vectors in SVM. This aims to speed up the computation time required by SVM and improve the performance of SVM. This is because the computation time required by SVM depends on the number of support vectors where the more support vectors give the required computation time longer. In addition, reducing the number of support vectors can provide smaller generalization errors, thus providing better performance. In this study, the performance of MSSVM was evaluated by comparing several parameters with the performance of SVM. The results obtained are that MSSVM has succeeded in reducing the number of support vectors in SVM thus accelerating the computational time needed by SVM in classifying stroke data without reducing SVM performance.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
"Tahap pemilihan rute merupakan salah satu tahap dalam perencanaan transportasi yang bertujuan untuk mendapatkan debit kendaraan pada tiap rutenya. Model pemilihan rute yang biasa digunakan adalah model pemilihan rute berdasarkan prinsip user equilibrium yang dikembangkan oleh Wardrop pada tahun 1952, dimana keadaan lalulintas dianggap tetap (statis). Kondisi user equilibrium bersifat statis tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah transportasi bersifat real time atau keadaannya berubah-ubah (dinamis). Untuk itu, diperlukan kondisi user equilibrium yang bersifat dinamis (Dynamic User Optimal). Pada skripsi ini akan dibahas model pemilihan rute berdasarkan kondisi Dynamic User Optimal yang menggunakan waktu tempuh aktual, yang disebut juga Ideal Dynamic User Optimal. Waktu tempuh aktual adalah waktu tempuh sebenarnya yang dilalui pengendara, pada waktu tempuh aktual tidak ada asumsi keadaan jalan akan tetap seperti pada waktu berangkat. Pemilihan rute berdasarkan Ideal Dynamic User Optimal dapat dimodelkan dalam bentuk permasalahan Variational inequality. Waktu pada permasalahan Variational inequality ini berikutnya diubah menjadi bentuk diskrit dan dibagi menjadi beberapa interval waktu. Selanjutnya dibentuk masalah pemrograman non linear yang setara dengan permasalahan Variational inequality tersebut menggunakan algoritma relaksasi. Algoritma Frank-Wolfe yang disisipkan dengan metode All Or Nothing digunakan untuk menyelesaikan masalah pemrograman non linear yang setara tersebut. Pada model pemilihan rute berdasarkan kondisi Ideal Dynamic User Optimal, waktu tempuh aktual untuk setiap rute dan setiap waktu sesaatnya akan sama dan waktu tersebut adalah waktu minimum. Pada skripsi ini juga diselesaikan masalah pemilihan rute berdasarkan Ideal Dynamic User Optimal pada suatu contoh jaringan transportasi virtual dengan dua nilai awal yang berbeda dan untuk perhitungan digunakan bantuan perangkat lunak.

Route choice phase is one of the phases in transportation planning, which aims to determine vehicle flow on every route. Route choice model based on user equilibrium condition is usually used as the route choice model. Static user equilibrium can’t be used to solve dynamic transportation network problem (real time problem). Therefore, Dynamic user equilibrium (commonly named Dynamic User Optimal) is needed to solve this kind of problem. Dynamic User Optimal that uses actual travel time as its travel time is called Ideal Dynamic User Optimal. In this skripsi, Ideal Dynamic User Optimal condition is used to determine vehicle flows on every route. Route choice model based on Ideal Dynamic User Optimal can be modeled into a Variational inequality problem. Time in this Variational inequality problem transformed into discrete type, where the time is transformed into several intervals. Variational inequality problem can be solved by relaxation algorithm. On each relaxation algorithm’s iteration, the Nonlinear Programming model that equivalent with the Variational inequality problem is searched. This Nonlinear Programming is solved by Frank-Wolfe method and All-Or-Nothing algorithm. On route choice model based on Ideal Dynamic User Optimal condition, the actual travel time for every route will be same and it is the minimal travel time that users can achieve. In this skripsi, route choice model based on Ideal Dynamic User Optimal is applied to a simple transportation network with two different initial points and software is used to ease the computation.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57231
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
"Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki perbedaan kinerja Perbankan sebelum dan sesudah deregulasi paket Oktober 1988, melalui studi perbandingan antara periode sesudah deregulasi (1989,1990,1991,1992) dan periode sebelum deregulasi (1984,1985,1986,1987 dan 1988) dengan cut off period tahun 1988. Sebagai responden dari penelitian ini adalah Bank Devisa yang sudah ada sejak tahun 1984 dan masih ada sampai dengan tahun 1992. Jumlah bank yang terpilih menjadi sample sebanyak 23 Bank atau 80 % dari populasi. Analisis data dilakukan dengan analisa silang (cross Sectional Analysis) dan Uji Beda Dua Rata-rata Berpasangan (difference between means: paired observation).
Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi perubahan tingkat kinerja Perbankan sebelum deregulasi dibanding tingkat kinerja sesudah deregulasi. Ditinjau dari jumlah Bank yang mengalami penurunan kinerja (57%) lebih besar dibanding yang meningkat, (43%). Maka bisa dikatakan terjadi penurunan kinerja pada perbankan di Indonesia sesudah deregulasi Pakto 1988. Kelompok Bank Swasta Nasional Devisa berhasil meningkatkan pangsa pasarnya dengan merebut pangsa pasar Bank Pemerintah, porsi kelompok Bank Pemerintah masih teratas namun seluruh Bank Pemerintah mengalami penurunan kinerja.
Hasil uji beda dua rata-rata menunjukan bahwa variabel yang dominan membedakan tingkat kinerja usaha perbankan sebelum dan sesudah deregulasi adalah varibel-variabel;(1) interest margin, (2) Cost Of Fund, (3) Burden rasio dan, (4) Biaya operasional. Untuk lebih memperkuat hasil penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah tahun penelitian dan memperluas ruang lingkup penelitian pada kinerja bukan keuangan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1994
T2168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Hamidah
"Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk baru ancaman keamanan pasca perang dingin di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini melibatkan enam negara sebagai pengklaim secara langsung. Hal ini disebabkan lokasi strategis Laut China Selatan dan potensi yang terkandung didalamnya. Mengingat langkah untuk menyelesaikan konflik ini perlu waktu panjang karena rumitnya permasalahan, maka diperlukan upaya yang bisa tetap menjaga kawasan tetap aman hingga terselesaikannya permasalahan klaim wilayah ini.
Salah satu upaya untuk mengelola konflik tersebut adalah dengan peningkatan saling percaya (CBMs). Konsep CBMs yang dikembangkan di Asia Pasifik, adalah konsep CBMs yang unik dimana keamanan dimengerti secara konprehensif meliputi aspek militer dan non-militer. CBMs umumnya dimengerti secara longgar yang meliputi segala upaya formal dan informal pada tingkat unilateral, bilateral atau pun multilateral yang ditujukan untuk mencegah eskalasi konflik atau menyelesaikan ketidak pastian. CBMs yang dikembangkan di LCS tidak hanya terbatas pada CBMs standard yaltu melalui komunikasi, transparansi, constraint measures dan declaratory measures yang umumnya menyangkut bidang politik dan militer, tetapi mencakupkan kerjasama dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan lain-lainnya.
Perundingan untuk pengelolaan dan upaya pencarian penyelesaian damai konflik Laut China Selatan, sejauh ini baru pada tahap disepakatinya suatu non-legally binding code of conduct antara ASEAN dengan China dengan ditandatanganinya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada KTT ASEAN China, 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja.
ASEAN sejak awal menginginkan dikeluarkannya suatu legally-binding code of conduct for the South China Sea, namun karena adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik, untuk sementara baru dihasilkan suatu 'perjanjian sementara' berupa deklarasi yang akan dijadikan sebagai 'aturan main' dalam senketa di LCS.
Berdasarkan uraian diatas penulis melakukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor apakah yang meyebabkan ketidakberhasilan ASEAN untuk menghasilkan suatu legally-binding code of conduct in south china sea, dan akan dikaji lebih jauh bagaimana mekanisme CBMs yang telah dibentuk melalui Declaration on the conduct to parties in the South China Sea ini dapat mengelola konflik Laut China Selatan dengan cara mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama yang efektif. Untuk membahas pokok permasalahan dalam penulisan ini digunakan pendekatan CBMs yang akan dijabarkan sebagai definisi konseptual dan definisi operasional menjadi asumsi-asumsi dalam kerangka analisis. Metode penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa hal-hal yang ada sehingga hasil penlitian dari data-data yang telah diperoleh dapat memberikan dukungan yang kuat terhadap teori atau konsep yang digunakan dalam penulisan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak berhasilnya ASEAN merumuskan suatu legally-binding code of conduct disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Keberadaan ASEAN yang lebih banyak 'dikendalikan' oleh kekerasan pendirian China yang selalu menegaskan bahwa kedaulatannya di LCS adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat.
2. Penegasan China yang hanya akan menyepakati suatu non legally-binding code of conduct dan membatasi pada isu Spratly serta memfokuskan pada dialog untuk memelihara stabilitas dikawasan dengan pengembangan kerjasama dan tidak membahas masalah yurisdiksi kedaulatan.
3. China menunjukkan kemampuannya untuk mengkontrol negosiasi seputar konflik territorial tersebut dengan menjalin jaiur bilateral yang telah menghasilkan bilateral code of conduct.
4. Posisi tawar ASEAN yang lemah karena adanya perbedaan pandangan dikalangan ASEAN sendiri.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penandatanganan dokumen tersebut merupakan kemajuan dari upaya CBMs antara ASEAN dan China yang tengah dibangun selama ini, mengingat selama ini China hanya menginginkan pembahasan sengketa secara bilateral dan menolak segala bentuk internasionalisasi sengketa. Sebagai langkah awal deklarasi tersebut telah membawa negara-negara yang terlibat khususnya untuk memberikan komitmen dan pernyataan sikap bersama untuk menyelesaikan masalah sengketa di LCS secara damai. Deklarasi ini juga dapat dijadikan pendukung bagi pelaksanaan kerjasama yang telah dirintis melalui Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea dan starting point untuk pembentukan suatu legally-binding code of conduct.
Daftar Pustaka : 24 Dokumen + 16 Buku + 23 Artikel + 3 Paper Diskusi/Seminar + 2 Disertasi + Internet"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Hamidah
"ABSTRACT
Correlation between Integrated Program of Mother-Child Health and Nutrition, Fieldworker, Number of Iron Tablets and Low Iron Consumption of Pregnant Mothers in Six Bekasi Public Health CentersAnemic prevalence in Indonesia amounting to 63.5 % is mostly caused by iron deficiency. Iron deficiency in pregnancy causes high risk effects to the human resources involved namely in the form of ill health in the mother as well as the baby even causing death in some cases. This state of iron deficiency can be prevented and cured by providing iron tablets through public health centers (puskesmas), sub-puskesmas and integrated health services.
This research was done cross sectionally using a quantitative approach and descriptive analysis. Only 6 puskesmas were researched out of random sampling towards 40 problem puskesmas (iron content less than 80 %).
Research results show that statistically there is significant relations between the Integrated Program of Mother-Child Health and Nutrition and number of iron tablets consumed. This also applies to the sub-variables i.e. fieldworker in the aspects of qualifications, tenure, double duties, and level of knowledge.
There is no significance in the relations between number, level of training and attitude of the fieldworker with the low level of iron content in pregnant women.
This research should not only use the quantitative approach, but should also use a qualitative one. To obtain a general picture, we suggest a research done to all 40 problem puskesmas.

ABSTRAK
Prevalensi anemia di Indonesia sebesar 63,5 % yang sebagian besar disebabkan defisiensi Fe. Akibat yang ditimbulkan oleh defisiensi Fe pada masa kehamilan yaitu membawa resiko terhadap sumber daya manusia baik terhadap ibu atau bayi yang akan dilahirkan menjadi tidak cukup sehat bahkan membawa kematian bagi ibu dan bayinya. Defisiensi Fe ini dapat dicegah dan diobati dengan pemberian zat besi melalui Puskesmas, Puskesmas pembantu, dan Posyandu.
Penelitian ini dilakukan dengan rancangan Cross Sectional dengan pendekatan secara kuantitatif dan dianalisa secara diskriptif. Penelitian ini hanya dilakukan di 6 Puskesmas saja yang terpilih secara acak dari 40 Puskesmas bermasalah (cakupan Fe3 kurang dari 80 %).
Hasil penelitian ternyata hipotesis peneliti yang menyatakan bahwa Keterpaduan Program KIA-Gizi, jumlah tablet Fe terbukti secara statistik ada hubungan bermakna, demikian juga dengan sub variabel tenaga pelaksana yaitu jenis tenaga, lama bekerja, tugas rangkap, pengetahuan tenaga pelaksana. Sementara itu jumlah, pelatihan dan sikap tenaga pelaksana tidak terbukti ada hubungan dengan rendahnya cakupan Fe3 ibu hamil.
Penelitian ini hendaknya tidak hanya dengan pendekatan kuantitatif, tetapi juga dilakukan secara kualitatif. Untuk mendapatkan gambaran secara umum disarankan melanjutkan penelitian terhadap 40 Puskesmas bermasalah lainnya."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luluk Nur Hamidah
"Jatuhnya rezim Soeharto telah membawa harapan besar bahwa bangsa Indonesia akan segera menemui cahaya baru setelah 32 tahun lebih dalam kekuasaan otoritarian. Ekspektasi yang tinggi ditunjukkan melalui dukungan terhadap gerakan mahasiswa. Berbagai isu seperti penegakan hukum dan penghapusan KKN, reformasi politik dan ekonomi serta pengadilan Soeharto berikut kroninya menjadi spirit gerakan reformasi. Jatuhnya suatu rezim otoriter umumnya akan diikuti oleh proses demokratisasi. Dalam proses tersebut, elite politik memainkan peran sangat penting terutama dalam mengawal transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi. Dalam proses tersebut, sirkulasi elite diharapkan terjadi seiring dengan kejatuhan rezim otoriter.Tetapi proses sirkulasi elite mengalami banyak hambatan ketika panggung kekuasaan masih tampak didominasi oleh elite-elite lama dan sementara rezim pengganti yang diharapkan membawa Indonesia lebih baik, justru dianggap terlalu cepat mewarisi segenap watak dan perilaku Orde Baru.
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba melihat lebih jauh kaitan antara jatuhnya rezim otoriter dengan perubahan sosial politik di Indonesia, dan secara spesifik hendak mengkaji: (a) bagaimana peran elite politik dalam sirkulasi kekuasaan di tiga rezim pemerintahan (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) pasca-Soeharto? (b) bagaimana terjadinya pola sirkulasi kekuasaan itu dan bagaimana konstribusinya terhadap proses konsolidasi demokrasi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data digunakan dengan menggunakan tiga cara, yakni: studi pustaka, wawancara mendalam, dan focus group discussion. Informan dipilih secara purposif dan menggunakan teknik snow ball. Secara keseluruhan jumlah informan sebanyak 26 orang. Dalam melakukan analisis, digunakan empat tahap, yakni: seleksi, deskripsi, klasifikasi, dan interpretasi.
Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain teori rolling class dan sirkulasi elite dari Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca yang mengatakan bahwa ada sekelompok minoritas (elite) akan selalu menguasai mayoritas. Pareto juga mengatakan, "sings" (The lions) dan "serigala? (The Foxs) merupakan pola konflik elite politik yang senantiasa terjadi. Sirkulasi elite akan melahirkan elite-elite baru yang akan mengisi struktur dan bentuk organisasi yang baru pula. Jatuhnya suatu rezim seringkali diikuti oleh jatuhnya seluruh gerbong-gerbong yang menyertainya. Pola-pola pergantian rezim menggunakan teori Samuel Huntington yang mengatakan bahwa proses pergantian kekuasaan mengikuti tiga pola besar (transformation, replacement, dan transplacement). Terkait dengan Konsolidasi Demokrasi digunakan teori Juan J. Linz dan Alfred Stepan, yang mengatakan bahwa, ada lima arena untuk melakukan konsolidasi demokrasi (civil society, political society, rule of law, state apparatus, economic society). Selain pakar di atas, juga digunakan beberapa pendapat yang mendukung analisis dalam penelitian ini seperti Lyman T. Sargent, Robert A. Dahl, Rahman Tolleng, Comelis Lay, Susan Keller, Robison, Vedi Hadiz, Iwan Gardono, Philip C. Schmiter, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa: (a) peran elite dalam sirkulasi kekuasaan pada tiga rezim (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) pasca-Soeharto sangat kuat dan sangat paradoks. Di satu sisi mereka berperan sebagai penguasa untuk mempertahankan rezim, tetapi pada sisi yang lain ia pun berperan sebagai penentang untuk menjatuhkan rezim. (b) pola terjadinya sirkulasi kekuasaan terbagi ke dalam lima pola, yaitu transplacement (adanya tindakan bersama antara kelompok pemerintah/serigala dan oposisi/singa), ?mutungan" (suatu sikap tidak legawa dalam menerima kekalahan/kegagalan/kejatuhan dengan reaksi diam, tidak saling menyapa, mengisolasi diri, dan tidak memberikan dukungan politik secara terbuka terhadap kebijakan penguasa penggantinya), aksi massa (baik pihak yang mempertahankan maupun yang menentang sama-sama mengerahkan kekuatan massa, dan jatuhnya pun melalui tekanan massa), pengkhianatan Brutus (adanya elite-elite dalam rezim yang ikut mendorong, memfasilitasi jatuhnya kekuasaan dan mengambil kemanfaatan), dan Cengkeraman Beludru parlemen (parlemen sebagai aktor terakhir yang melakukan eksekusi sebagai dalih konstitusional); (c) konstribusi sirkulasi elite terhadap konsolidasi demokrasi bersifat menganggu dan menghambat karena tidak ada pemutusan yang tegas dengan masa lalu, terlalu dominannya elite-elite lama dalam kekuasaan yang baru (konflik kepentingan), dan terlalu sedikit munculnya elite-elite baru yang masih muda dan segar.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat direkomendasikan (a) perlu mendorong agar partai-partai politik berperan lebih besar dalam melakukan pendidikan politik dan memperbaiki sistem kaderisasi partai (b) perlu memperbesar kesempatan dalam rekruitmen elite baru dari kelompok yang lebih muda dan lebih segar (c) memperbaiki sistem pemilu agar tidak sekadar menjadi ajang pelestarian aktor-aktor lama dan partai-partai besar serta status quo (oligarki) dengan menyempurnakan UU PEMILU (tidak perlu ada pembatasan threshold) dalam pemilihan jabatan politik agar membuka kesempatan yang sama kepada calon non partai (d) sistem recall anggota parlemen sebaiknya tidak dilakukan oleh partai, tetapi oleh konstituen dengan cara pengumpulan sejumlah tanda tangan sesuai dengan ketentuan BBP (batas bilangan pembagi) sesuai daerah pemilihan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>