Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hayon, Yohanes Pande
"ABSTRAK
Toynbee termasuk seorang filsuf sejarah spekulatif. Seperti filsuf-filsuf sejarah umumnya, ia pun ingin mencari dan menemukan struktur intern yang melatarbelakangi arus peristiwa sejarah. Usaha itu dilakukan dengan bimbingan tiga pertanyaan utama : (1) Apa pola sejarah?; (2) Apa mekanisme sejarah?;.dan (3) Apa tujuan sejarah?
Toynbee menyelidiki sejarah dengan cara mengamati sejarah dari lingkup-lingkup kebudayaan (masyarakat) tertentu karena menurut dia, kebudayaan merupakan unit studi sejarah. Sebagai unit studi sejarah, kebudayaan harus dipandang sebagai suatu keseluruhan. Itu berarti ia bertolak dari asumsi tentang sejarah sebagai konstruk atau sistem.
Seluruh hasil surveinya, yang dituangkan dalam buku A Study of History (12 jilid), menunjukkan bahwa ada 21 kebudayaan besar di dunia. Dengan mengikuti siklus kehidupan organisme, proses perkembangan kebudayaan itu berlangsung dalam 4 tahap: (1) kelahiran; (2) pertumbuhan; (3) keruntuhan; dan (4) kehancuran. Proses perkembangan masing-masing kebudayaan dalam keempat tahap itu memperlihatkan dengan jelas pandangan Toynbee mengenai pola, mekanisme, dan tujuan sejarah.
Pola sejarah yang dianut Toynbee, seperti terlihat dalam keenam jilid pertama, adalah pola siklis karena proses sejarah itu bergerak secara kontinu membentuk suatu lingkaran (lahir, bertumbuh, runtuh, dan hancur). Tetapi mulai akhir jilid VI proses sejarah menampakkan pola linier.
Mekanisme sejarah tercermin dalam tiap-tiap tahap perkembangan kebudayaan. Proses kelahiran kebudayaan berlangsung dalam mekanisme "tantangan-dan--jawaban" (challenge-and--response); proses pertumbuhan dalam "penarikan diri-dan-kepulangan" (withdrawal-and-return) para pemimpin: proses keruntuhan dalam "pemusnahan secara total dan pemaksaan apa-apa yang baru" (rout-and-rally); dan proses kehancuran dalam "perpecahan dan pembentukan kelompok-kelompok serta institusi-institusi baru" (schismand-palingenesia).
Tujuan sejarah sudah tampak sejak akhir jilid VI di mana proses sejarah bergerak mengikuti garis lurus menuju Kerajaan Allah sebagai puncaknya. Di situlah manusia, yang telah mencapai status sebagai Manusia Super, menjalin hubungan langsung secara individual dengan Allah sendiri.
Sebagian konsep Toynbee masih dirasakan relevansinya dengan kehidupan masyarakat modern sekarang, seperti konsep "tantangan-dan-jawaban". Kemajuan di segala bidang kehidupan manusia dewasa ini mencerminkan bagaimana dialektika antara tantangan dan jawaban berlangsung.
Demikian pula halnya dengan masyarakat Indonesia. Kemajuan dalam pembangunan selama ini membuktikan keberhasilan masyarakat Indonesia dalam menjawab tantangan. Tetapi di samping itu konsep-konsep Toynbee yang lain, seperti "minoritas kreatif",- "minoritas dominan", "proletariat", dan "alienasi", terkesan menarik bila diangkat ke permukaan karena menampakkan relevansinya dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
Jakarta: ISTN, 2000-2005
100 HAY l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
"Ludwig Anreas Feuerbach dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1804 di Landshut, Bavaria dan meninggal di Nuremberg pada tanggal 13 September 1872. Sejumlah karya-karya ilmiah telah dihasilkannya semasa hidupnya; antara lain: Thoughts on Death and Immortality (1830); The Contribution to the Critique of Hegelian Philosophy (1839) The Essence of Christianity (1841); Theogony (1857) ;God, Freedom and Immortality from the Standpoint of Anthropology (1866). Seluruh masa hidup Feuerbach dapat dibagi dalam 3 tahap, yakni: sebagai seorang teolog (tahap pertama); seorang Hegelian (tahap kedua) dan seorang ateis (tahap ketiga). Pembahasan dalam skripsi ini justru terpusatkan kepada pandangan dan kritik Feuerbach terhadap agama pada umumnya dan agama Kristen pada khususnya sejauh dibentangkannya di dalam bukunya The Essence of Christianity. Agama adalah ilusi dan Allah tidak lebih daripada suatu proyeksi manusia. inilah kata-kata kunci dalam seluruh kritik Feuerbach tentang agama. Untuk membenarkan teorinya itu Feuerbach bertolak dari manusia. Namun manusia ini bukanlah manusia individual, kongkret, jasmaniah dan yang terbatas -- meskipun segi ini ia tekankan juga - melainkan manusia yang senatiasa terlibat dalam perkaitan sosialnya; Aku yang harus selalu tertuju kepada Engkau; manusia yang tetap terbuka bagi sesamanya. Tegasnya, manusia umum atau manusia sebagai Gattungswesen dipandang sebagai makhluk yang luhur dan bersifat ilahi dan yang oleh Feuerbach dijadikan sebagai tempat pijakan, untuk melacak seluruh fenomen agama. Kodrat manusia, demikian Feuerbach, terbentuk dari sejumlah daya-daya ilahi yang disebut sebagai Rasio, Kehendak dan Cinta. Daya-daya ini hadir di dalam diri manusia individual, namun yang serentak menguasai dan yang mengatasi manusia individual. Daya-daya tersebut kemudian oleh manusia beragama diproyeksikan ke luar dirinya dan dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan yang lantas dihormati sebagai Allah di dalam kebaktian. Kalau begitu jelaslah bahwasanya Allah itu tidak lain daripada proyeksi manusia sendiri. Karena itu dalam agama manusia memiskinkan dirinya dan memperkaya Allah dengan sifat-sifat yang ia miliki sendiri. Dengan agama, katanya, manusia menelanjangi dirinya sendiri demi kepentingan sebuah fiksi. Semakin manusia itu menjadi manusia beragama, tegasnya lagi, semakin ia melepaskan diri dari kemanusiaannya. Akibatnya sudah bisa diduga: gelombang alienasi yang terus-menerus menerpah manusia sepanjang hidupnya. Lantas, upaya penyelamatan macam apa yang harus ditempuh? Feuerbach sendiri menjawab: tak bisa lain selain Allah dan manusia harus kembali menjadi satu. Maka adalah tugas, filsafat yang baru untuk menyadarkan orang beragama agar menyadari kekhilafannya. Orang beriman harus dibangunkan dari mimpi-mimpinya yang kosong untuk mengerti keadaannya yang sebenarnya. Tegasnya, tugas filsafat yang baru ialah mengupayakan agar proses penyatuan antara yang ilahi dan yang manusiawi secepat mungkin berakhir. Setelah semuanya itu terlaksana, demikian Feuerbach, manusia akan memperoleh kembali seluruh keilahiannya. Kalau begitu manusia tidak memerlukan lagi suatu wujud asing. Manusia dengan itu harus membangun suatu kehidupan yang melulu manusiawi yang berlandaskan pada cinta manusiawi pula. Itu berarti kalau semua yang terbaik dalam diri manusia sudah terpulihkan, maka dengan sendirinya juga manusia harus menduduki tempat Allah dan teologi harus menjadi antropologi yang ditinggikan. Singkat kata, manusia menjadi Allah bagi dirinya sendiri. Tak dapat disangkal lagi, pandangan Feuerbach itu bernada ateistis. Tetapi sesungguhnya suatu ateisme antropologis, suatu pandangan yang tetap bertumpu pada humanisme sejati. Bagi orang beragama kritik ateistis Feuerbach itu tidak melulu bersifat negatif, melainkan juga positif. Harus diakui bahwa humanisme Feuerbach menantang setiap orang beriman untuk selalu bertanya pada diri sendiri apakah agama yang dianut sungguh-sungguh menjadi pendorong bagi terciptanya relasi yang baik dengan sesama manusia dalam suatu kehidupan masyarakat yang adil, sejahtera, damai dan penuh cinta, atau bahkan menjadi penghalang? Sebagai kesimpulan, menurut penulis, kita tidak perlu saling menuding. Semua manusia dengan segenap keterbatasannya sama-sama mempunyai tugas untuk menata dunia ini agar menjadi tempat tinggal yang lebih layak. Membangun dunia yang bahagia merupakan tanggung jawab semua pihak, baik kaum ateis maupun kaum beragama. Maka, penulis berpendapat, ketulusan hati merupakan modal dasar untuk menciptakan suatu hidup yang lebih serasi antara sesama manusia. Kejujuran merupakan syarat mutlak untuk membangun dialog yang lebih manusiawi. Semangat saling menghargai merupakan langkah awal bagi tumbuhnya suatu kehidupan yang lebih harmonis."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S16046
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
Jakarta: ISTN, 2000
100 HAY l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
Jakarta: Audi Grafika, 2009
160 HAY l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
Jakarta : ISTN, 2001
100 HAY l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hayon, Yohanes Pande
"Each political formula in the form of a statement (argument) always has a direct interconnected political purpose relative to an important group. This importance factor becomes basic consideration in the formulation of a political statement in such a manner that it can influence public emotion and feeling producing desired agreement and response from the public. Because a wide segment of society becomes special target, with their different levels of education and understanding, the logical aspects are considered unimportant and subject to elimination. The important thing is how to encourage public emotion and encourage the public to response according to what the politicians want. That is why many political statements are irrational (argumentum ad populum), having no consistency between the premise and the conclusion. Many political statements commit the fallacy of composition, shifting the distributive understanding to collective understanding. This article examines the types of fallacies in political staements by presenting actual cases as illustrations."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2005
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library