Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 14 Document(s) match with the query
cover
Ibnu Hamad
"Dalam situasi transisi politik tahun 1999, munculnya kebebasan berpolitik, yang ditandai dengan berdirinya banyak partai, di satu sisi, memicu munculnya kembali aliran-aliran ideologi partai seperti ketika Indonesia menganut sistem liberal 1955-1959. Kebebasan pers yang hampir tanpa batas pasca reformasi, di sisi lain, menghidupkan lagi "panggilan sejarah" media massa Indonesia yang telah memasuki era industri.
Pertautan antara keduanya pers dan partai politik-dalam situasi transisional itu tentu menjadi sangat khas. Bagi pers, berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam meliput partai-partai politik : lebih berorientasi pada semangat ideologis, idealis, politik ataukah lebih mementingkan ekonomi --hal-hal mana yang ingin ditemukan dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan analisis wacana kritis sebagai metode pembacaan terhadap berita-berita sembilan parpol selama kampanye Pemilu 1999, ternyata 10 koran yang diteliti menunjukkan pencitraan dan orientasi pemberitaan yang berbeda di antara mereka. Mereka memanfaatkan tanda-tanda bahasa (membangun wacana) dalam mengembangkan pencitraan tersebut tempat dimana motif yang mereka miliki bersembunyi : motif ideologis, idealis, politis dan ekonomi tadi.
Untuk pengembangan politik yang sehat (demokratis) pola pengkosntruksian parpol yang terlalu berorientasi pada kepentingan kelompok sealiran saja maupun yang sangat mengutamakan nilai jual berita, jelas bukan isyarat yang baik. Hal ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi pers Indonesia untuk peliputan-peliputan parpol di masa yang akan datang. Untuk para pengkritisi pers, penelitian seperti ini dapat diperkaya untuk memastikan dijalankannya tanggung-jawab sosial oleh pers atau pelaku komunikasi lainnya (pengiklan, humas, politisi, dan sebagainya)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"ABSTRAK
Pokok masalah penelitian ini adalah soal keberadaan media massa dalam benturan antar peradaban. Apakah media massa mempercepat ataukah memperlambat terjadinya clash of civilization tersebut? Sebagaimana diramalkan Samuel Huntington, dunia di masa depan akan ditandai oleh benturan-benturan antar peradaban, terutama antara Barat dan Islam. Sehubungan dengan ini, bagaimana media massa, khususnya media cetak, dari masing-masing peradaban menempatkan dirinya dalam perseteruan itu : ikut memanaskan suasana atau mencoba menciptakan iklim yang dialogis.
Aspek yang ditelaahnya adalah seputar isi berita, guna menemukan dan memahami apa yang disebut dengan gejala "retak dalam teks". Apakah cara penyajian dan pemakaian sebutan-sebutan tertentu (sebagai indicator retak teks) memiliki arti (meaning) dan maksud (purpose) tertentu pula? Bisakah gejala itu dijadikan bukti ada (terjadinya) benturan antar-peradaban.
Dengan memakai kerangka teori dan metode semiotika sosial, analisis isi terhadap berita-berita tentang empat peristiwa peradaban (kasus The Satanic Verses novel karya Salman Rushdie; peledakan tower World Trade Center di New York; pengepungan dan penyerbuan markas kelompok Branch Davidian di Waco, Texas; dan pemboman gedung Alfred Murah di Oklahoma City) oleh The Washington Post (mewakili media berperadaban Barat) dan Republika (sampel media berperadaban Timur) menunjukkan bahwa kedua harian ini secara konsisten dan koheren melakukan peretakan teks.
Dapat dirasakan dari cara kedua harian itu memilih gaya penyajian dan sebutannya, bahwa Post dan Republika selalu membuat afeksi (subjective meaning) positif tentang peradaban darimana mereka berasal. Kedua harian ini tampaknya sengaja menjadikan keempat peristiwa tersebut sebagai simbol perantara (condensational symbol) untuk membaguskan peradaban diri sendiri seraya menjelekkan peradaban lawan. Terutama Post, nyata bahwa kedua koran itu terlibat dalam praktik newspeak.
Dipandang dari konsep semantic disclosure tampak bahwa kedua harian itu pun berusaha keras untuk menciptakan mitos baik tentang peradaban dirinya sendiri dan mitos buruk mengenai peradaban orang lain, melalui penanaman makna konotatif dalam berita-berita (teks) yang disajikannya. Maka dapatlah dikatakan bahwa keduanya telah menjadi agen yang sesungguhnya (virtually agent) dari masyarakatnya. Post sebagai agen budaya Barat; Republika mewakili peradaban Timur. Saling silang di antara keduanya menunjukkan adanya (terjadinya) benturan antara kedua peradaban Barat (Kristen) dan Timur (lslam).
Sebagai bagian dari sistem media massa Barat, untuk Post peretakan teks tersebut bertujuan untuk mempertahankan supremasi Barat di dunia internasional. Sementara bagi media Timur seperti Republika langkah itu lebih tepat dikatakan sebagai upaya mengimbangi kekuatan media Barat dalam mencitrakan peradaban yang diwakilinya, Islam."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0500
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"Dalam situasi transisi politik tahun 1999, munculnya kebebasan berpolitik yang ditandai dengan berdirinya banyak partai, di satu sisi, memicu munculnya kembali aliran-aliran ideologi partai seperti ketika Indonesia menganut sistem liberal 1955-1959. Kebebasan pers yang hampir tanpa batas pasca reformasi, di sisi lain, menghidupkan lagi "panggilan sejarah" media massa Indonesia yang telah memasuki era industri.
Pertautan antara keduanya --pers dan partai politik--dalam situasi transisional itu tentu menjadi sangat khas. Bagi pers, berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam meliput partai partai politik : lebih berorientasi pada semangat ideologis, idealis, politik ataukah lebih mementingkan ekonomi ---hal-hal mana yang ingin ditemukan dalam penelitian ini.
Dengan menggunakan analisis wacana kritis sebagai metode pembacaan terhadap berita-berita sembilan parpol selama kampanye Pemilu 1999, ternyata 10 koran yang diteliti menunjukkan pencitraan dan orientasi pemberitaan yang berbedabeda di antara mereka. Mereka memanfaatkan tanda-tanda Bahasa (membangun wacana) dalam mengembangkan pencitraan tersebut tempat dimana motif yang mereka miliki bersembunyi : motif ideologis, idealis, politis dan ekonomi tadi.
Untuk pengembangan politik yang sehat (demokratis) pola pengkosntruksian parpol yang terlalu berorientasi pada kepentingan kelompok sealiran saja maupun yang sangat mengutamakan nilai jual berita, jelas bukan isyarat yang balk Hal ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan bagi pers Indonesia untuk peliputan-peliputan parpol di masa yang akan datang. Untuk para pengkritisi pers, penelitian seperti ini dapat diperkaya untuk memastikan dijalankannya tanggung-jawab sosial oleh pers atau pelaku komunikasi lainnya (pangiklan, humas, politisi, dan sebagainya).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D516
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ibnu Hamad
"Banyak cara orang mencapai bulan. Orang Amerika Serikat menuju bulan dengan peswat Apollo. Orang Rusia menggunakan Soyuz. Dengan teknologi canggih mereka melesat ke ruang angkasa. Lain lagi dengan orang Cina. Mereka membuat tangga manusia: satu orang berdiri di atas pundak yang lain sambng menyambung membentuk formasi tangga manusia yang tinggi sekali hingga menembus cakrawala. Sampailan mereka ke bulan."
2006
TJPI-V-2-MeiAugust2006-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"Selama kampanye Pemilu 1999 umumnya media massa Indonesia mengkonstruksikan partai politik ibarat grup musik; dan menjadikan para tokohnya sebagai selebritis. Pada masa itu, koran-koran nasional menggambarkan partai politik sebagai alat pengumpul massa. Sementara fungsi parpol sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas) dalam kehidupan berdemokrasi tidak terlihat dalam pengkonstruksian tersebut. Menariknya, hal itu terjadi dalam kondisi dimana setiap media memiliki motivasi yang berbeda-beda, entah itu ideologis, idealis, politis, ataupun ekonomis, dalam membuat berita politik.

During the 1999-campaign period generally the mass media in Indonesia constructed political parties like a music group; and present the politicians acts as celebrities. At that time, national newspapers describe political parties as the instrument to harvested masses. Meanwhile the political party functions, as broker within the clearinghouse of ideas in the democratic lives didn?t appear within the political party?s discourse. In spite of the media have different interests one each other in news making the political parties, such as ideological, idealism, political, and economic or market factors."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
Jakarta: Unesco, 2005
302.2 IBN t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
Jakarta: Granit, 2004
302.23 Ham k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Hamad
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan hubungan antara pemakaian suatu sebutan dengan sikap si pemakai sebutan tersebut. Yang diteliti adalah kecenderungannya. Apakah kecenderungan suatu kabar menyebut suatu kelompok perlawanan dengan istilah tertentu merupakan cerminan sikap koran bersangkutan terhadap kelompok perlawanan itu Dalam ilmu komunikasi} kajian seperti ini termasuk kedalam bidang retorika, khususnya studi semantik. Teori yang menjelaskan hubungan antara pemakaian sebutan (simbol) dengan tujuan (sikap) sang pemakai, antara lain teori segi tiga makna. Teori ini menerangkan, dipakainya sebuah simbol berdasarkan latar belakang tertentu sanggup menunjukkan tujuan Peranan latar belakang dalam menunjukkan surat tertentu penggunanya, maksud tertentu ini, lebih jelas lagi dalam analisis pentas. Sedangkan penyimpulan adanya tujuan tertentu akibat dipakainya suatu sebutan karena mempunyai latar belakang tertentu dibenarkan oleh logika substansial dari Stephen Toulmin. Dikenalnya rasa kata dalam masyarakat Indonesia, turut pula dijadikan dasar dalam melihat sikap suatu surat kabar yang cenderung memakai istilah tertentu untuk menyebut suatu kelompok perlawanan. Hasil penelitian menunjukkan, kecenderungan tersebut memang terjadi. Istilah-istilah tertentu seperti pejuang, pemberontak, grilyawan, atau gerombolan, cenderung digunakan oleh keempat harian sampel, yaitu Suara Pembaruan, Suara Karya, Pelita, dan Merdeka, untuk menyebut suatu kelompok perlawanan. Hal ini berarti adanya sikap tertentu koran tersebut terhadap kelompok itu. Apalagi hubungan penggunaan istilah-istilah dengan tujuan tertentu tersebut, dikontrol dengan faktor-faktor yang diperkiraka ikut mempengaruhinya. Maka perbedaan sikap diantara keempat harian itu menjadi makin jelas tampak ke permukaan. Di antara ketujuh kelompok perlawanan yang menjadi sampel yakni PLO, MNLF, LTTE, NPA, SWAPO, Mujahidin, dan Contra, ada yang disebut dengan istilah yang berkonotasi positif, ada pula yang digelari dengan sebutan yang berkesan negatif atau netral. Besarnya peranan faktor-faktor yang diperkirakan ikut mempengaruhi penyebutan itu nampak pula dari perbedaan sikap antar surat kabar. Misalnya Merdeka memojokkan Mujahidin, sementara ketiga harian yang lain malah mendukungnya. Atau sewaktu harian Pelita memberikan citra baik terhadap MNLF, ketiga koran yang lain menggambarkannya dengan kesan yang buruk. Dalam penelitian ini faktor-faktor pengaruh tersebut mencakup missi dan perhitungan ekonomi suatu surat kabar, kondisi sistem politik Indonesia termasuk ideologinya, serta arus informasi internasional."
1991
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>