Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 53 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Idris
Abstrak :
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk. Untuk mencapai keadaan tersebut diperlukan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh dan terpadu melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Kegiatan tersebut dilakukan di Puskesmas, terselenggaranya kegiatan tersebut memerlukan sumber daya. Di Puskesmas sumber daya yang penting adalah sumber daya manusia terutama tenaga dokter karena dokter di Puskesmas akan berfungsi ganda yaitu sebagai pelayan kesehatan dan pemimpin Puskesmas untuk melaksanakan kegiatan tersebut seorang dokter harus mempunyai dua kemampuan yaitu managerial skill dan medical skill, dengan demikian diharapkan kinerja Puskesmas di Kabupaten Musi Rawas dapat ditingkatkan. Kenyataannya di kabupaten Musi rawas, manajemen Puskesmas 80 % baik tetapi bila melihat strata Puskesmas maka yang berstrata I hanya 30 %, keadaan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang ada yaitu manajemen yang baik akan diikuti oleh kinerja yang baik, oleh karena itu informasi tentang manajemen Puskesmas di Kabupaten Musi rawas diragukan kebenarannya, sehingga menarik untuk diteliti. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini mencoba untuk menggali informasi tentang manajemen Puskesmas yaitu perencanaan, penggerakan kegiatan dan Penilaian di Kabupaten Musi rawas yang dipimpin oleh dokter PTT karena sebagian besar Puskesmas dipimpin oleh dokter PTT. Penelitian ini dilakukan di 3 Puskesmas yaitu; Puskesmas Taba, Puskesmas Muara Kelingi dan Puskesmas Muara Kulam serta pendekatan yang digunakan kualitatif, untuk mendapatkan informasi dari responden digunakan wawancara mendalam dan observasi dokumen, sedangkan untuk menganalisa hasil penelitian dengan content analysis (analisa isi). Hasil penelitian tersebut ternyata perencanaan dibuat berdasarkan instruksi dari atasan, beberapa Puskesmas tidak memiliki uraian tugas, penunjukan petugas dilakukan secara lisan, koordinasi dengan lintas sektoral tidak dilaksanakan, lokakarya mini dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya, pimpinan Puskesmas tidak memiliki kemampuan dalam memotivasi petugas, pengendalian tidak dilaksanakan dan masih terdapat beberapa petugas yang tidak mengetahui indikator tugasnya. Disarankan agar Pemerintah Kabupaten Musi rawas tidak menunjuk dokter PTT menjadi pimpinan Puskesmas tetapi sebaiknya Sarjana Kesehatan atau Sarjana Kesehatan Masyarakat, sehingga dokter diharapkan dapat menjalankan tugasnya sebagai pelayan kesehatan dengan baik.
Analysis Of Public Health Centers Management Realization Which Lead By Non-Permanent Physicians In Musi Rawas Regency, 2001"Health development aimed to achieve healthy life ability for every citizen, to do this it needs some integrated efforts through promotive, preventive, curative, and rehabilitative action, and these actions need resources. In primary Public health centers, non-permanent physicians beside as the head also as health service officer, which mean they should have managerial skill to improve Puskesmas performance. Data showed that in Musi Rawas regency 80% Puskesmas have good management, but that which in level 1 stratum just 30%, this information seem peculiar and doubted, so this research aimed to reveal and digging more information about Puskesmas management such as, planning, activity movement , and assessment in Puskesmas which headed by non-permanent physicians. This research carried out in 3 Public Health Centers Taba which representing city public healt center, puskesmas Muara Kelingi which representing ADB and sub district puskesmas, and puskesmas Muara Kulam which representing sub-urban or solated puskesmas. Using qualitative approach, collecting information from respondents by detailed interview, and documents observation, the results analysed by content analysing. Results of this research are: the planning was made by superintendent instruction, some puskesmas didn't have job descriptions, officer placed by direct order, there wasn't cross sectoraI coordination, not carrying out mini seminar routinely, the Head of puskesmas did not have ability to motivated officers, no controlling, and some do not know their tasks. It recommends the authority or local government not assigning non-permanent physicians to lead puskesmas, but only do their work in medical services not in managerial, and assign the other health officer which competence in managerial works.
2001
T3122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idris
Abstrak :
Hukum kewarisan Islam pada dasar nya berlaku secara universal terhadap seluruh umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian sistem kekeluargaan suatu negara atau daerah memberikan pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah tersebut. Pengaruh ini terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad ahli-ahli hukum Islam dalam memahami garis-garis pokok ketentuan kewarisan yang terdapat dalam alqur'an dan sunah Rasul. Hukum kewarisan Islam di Indonesia mengenal adanya sistem kewarisan patrilineal Syafi i (ahlussunah) dan sistem kewarisan bilateral Hazairin. Kedua sistem kewarisan itu pada prinsipnya sama, namun dalam beberapa hal keduanya berbeda satu sama lain. Salah satu perbedaan di antara keduanya ialah dalam memahami kedudukan cucu yang orang tuanya telah meninggal sebelum meninggalnya pewaris. Menurut kewarisan bilateral, cucu yang demikian akan mendapatkan bagian warisan sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup, karena cucu ini merupakan ahli waris pengganti (mawali) yang menggantikan kedudukan orangtuanya. Sedangkan menurut kewarisan patrilineal, kedudukan cucu tersebut dipisahkan antara cucu melalui anak perempuan dan cucu melalui anak laki-laki. Cucu melalui anak laki- laki memperoleh warisan apabila tidak ada anak laki-laki. Sedangkan cucu melalui anak perempuan baru bisa memperoleh warisan apabila sudah tidak ada lagi ahli waris yang lain. Kalangan ahlusunah telah lama menyadari bahwa ketentuan itu sangat janggal dan tidak adil, oleh karena itu mereka memberikan jalan keluarnya melalui wasiat wajibah untuk cucu yang besarnya sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup tetapi tidak boleh lebih dari sepertiga. Di antara kedua sistem kewarisan yang berbeda itu, Kompilasi Hukum Islam mengambil jalan tengah. Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam merumuskan (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam hal yang menyangkut kedudukan cucu, pasal 185 ayat (1) mengakomodir atau menampung pendapat-pendapat baik dari konsep ahli waris pengganti menurut sistem kewarisan bilateral maupun pendapat-pendapat dari konsep wasiat wajibah menurut sistem kewarisan patrilineal. Karena kedua konsep tersebut pada prinsipnya sama-sama memberikan bagian dari harta warisan kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal. Sedangkan mengenai besarnya bagian untuk cucu, dimana menurut konsep ahli waris pengganti (dalam hukum kewarisan bilateral) besarnya bagian cucu sama persis seperti bagian orangtuanya seandainya masih hidup dengan tidak ada pembatasan, dan menurut konsep wasiat wajibah (dalam hukum kewarisan patrilineal) besarnya bagian cucu sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup dengan pembatasan tidak lebih dari sepertiga, pasal 185 ayat (2) memberikan ketentuan sendiri yaitu besarnya bagian cucu tidak boleh lebih besar daripada bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Ketentuan ayat (2) ini sangat adil, karena tidak logis apabila bagian untuk cucu yang menggantikan kedudukan orangtuanya (anak dari pewaris) lebih besar dari pada bagian untuk anak pewaris yang lain (paman atau bibi dari si cucu) yang merupakan ahli waris langsung. Sehingga ketentuan ini dapat diterima baik oleh sistem kewarisan bilateral maupun oleh sistem kewarisan patrilineal.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idris
Abstrak :
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : Untuk Mengetahui berapa besar pengaruh pengelolaan modal kerja untuk meningkatkan efisiensi sumber dana dan penggunaan dana pada PT. Mitra Otto Perkasa. Metode penelitian ini hanya memiliki satu variabel yaitu variabel bebas (variable independent) yang selanjutnya dinyatakan dengan variabel X. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Rasio Likuiditas yang terperinci dalam Current Ratio, Quick Ratio, dan Cash Ratio serta Rasio Aktivitas yang terperinci dalam Cash Turnover Inventory Turn Over, Average Age of Account Receivable, dan Working Capital Turnover. Sehubungan dengan objek penelitian tersebut, maka subjek penelitian ini adalah PT. Mitra Oto Perkasa. Hasil penelitian ini saya menemukan: Analisis Rasio Likuiditas PT Mitra Oto Perkasa. PT Mitra Oto Perkasa memiliki nilain quick ratio sebesar 146,40%, PT Mitra Oto Perkasa dalam hutang lancar yang segera dipenuhi dengan aktiva lancar yang lebih berharga (investasi jangka pendek). Dari analisis likuiditas yang terdiri dari current ratio, quick ratio, dan cash ratio PT Mitra Oto Perkasa memilikin kemampuan yang kecil untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Analisis Rasio aktivitas PT Mitra Oto Perkasa. Dari hasil penelitian, analisi rasio aktivitas menunjukkan bahwa tingkat perputaran rasio-rasio aktivitas PT Mitra Oto Perkasa cenderung rendah, kecuali perputaran piutang, sehingga hal ini menunjukkan bahwa PT Mitra Oto Perkasa memiliki efisiensi dalam penggunaan modal. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis melalui analisis likuiditas dan aktivitas maka dapat disimpulkan bahwa PT Mitra Oto Perkasa kurang efisiensi dalam penggunaan dananya (modal kerja).
Universitas Dharmawangsa, 2016
330 MIWD 49 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fachmi Idris
Abstrak :
ABSTRAK Pendahuluan. Setiap pekerjaan yang menggunakan logam Merkuri, termasuk membuat amalgam, memiliki resiko untuk terpajan dengan logam ini. Pajanan logam ini, apabila melebihi nilai batas biologik akan menimbulkan penyakit. Di puskesmas-puskesmas, perawat gigi membuat amalgam secara manual, yang bahan dasarnya adalah logam Merkuri. Permasalahannya adalah, sampai saat ini, belum ada penelitian yang berhubungan dengan pajanan logam Merkuri pada perawat gigi tersebut. Pemikiran inilah, yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan topik kadar Merkuri dalam urin perawat gigi sebagai akibat proses kerja membuat amalgam. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Merkuri dalam urin perawat gigi yang bekerja di puskesmas serta faktor-faktor yang berhubungan dengan kadar tersebut. Metodologi. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional terhadap perawat gigi yang berkerja di balai pengobatan gigi puskesmas wilayah Jakarta Selatan. Subyek penelitian adalah perawat gigi yang membuat amalgam secara manual dan memiliki masa kerja minimal 6 bulan, serta tidak mengambil cuti lebih dari 35 hari dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum penelitian dilakukan. Jumlah perawat gigi yang diteliti sebanyak 25 orang dan total populasi 27 perawat gigi yang masuk kriteria (z = 1,75, p= 0,5, d = 0,17). Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 1998. Instrumen pengumpulan data adalah analisis laboratorium, kuesioner dan observasi. Analisis statistik yang digunakan adalah frekuensi, distribusi dan statistik deskriptif untuk analisis univariat, uji pasti Fisher dan uji-t independent untuk analisis bivariat, serta regresi logistik untuk analisis multivariat. Hasil. Kadar Merkuri dalam urin perawat gigi memiliki rentang nilai antara 6 ug/L sampai 300 ug/L. Dari rentang ini 68% melebihi nilai normal (>42 ug/L). Dan 6 variabel yang diperkirakan berhubungan dengan kadar tersebut, hanya 2 variabel yang secara statistik bivariat bermakna. Variabel tersebut adalah indikator pemaparan dan riwayat dental amalgam. Kesimpulan dan Saran. Kecilnya jumlah sampel dalam penelitian ini memerlukan dukungan penelitian-penelitian lain yang sejenis pada puskesmas-puskesmas di luar wilayah Jakarta Selatan. Konsep penelitian ini sendiri tidak mengeksplorasi lebih jauh tentang faktor-faktor lain yang tidak terkait dengan pekerjaan. Variabel yang berhubungan dengan pekerjaan hanyalah variabel indikator pemaparan yang merupakan hasil perkalian antara lama bekerja dengan jumlah penambalan. Mengingat banyaknya perawat gigi yang kadar Merkuri dalam urin melebihi nilai normal, memerlukan langkah-langkah antisipatif penurunan kadar tersebut. Langkah-langkah tersebut berupa langkah medisinal dan atau langkah manajerial. Untuk peneliti lain, dianjurkan untuk meneliti kemungkinan manifestasi klinik dari perawat gigi yang menunjukkan kadar Merkuri di atas nilai normal. Untuk praktisi kesehatan kerja yang bekerja di industri-industri yang berhubungan dengan hazard logam Merkuri, penelitian ini dapat dijadikan salah satu sumber informasi tambahan dalam melakukan pemeriksaan pra-karya dan pemeriksaan berkala (terutama kemungkinan adanya bias pemeriksaan kadar Merkuri dalam spesimen yang tidak berhubungan dengan proses kerja).
Introduction. Every work that uses Mercury, including amalgam, has a risk to be exposed. If Mercury exposure is more than biological limit value, the exposure may result in a disease. At the "puskesmas" (community health center), dental nurses make amalgam manually and use Mercury as basic ingredient. The problem is, until this time, there is no study on exposure to Mercury among dental nurses. On the basis of this reason, a research was conducted to study urine Mercury concentration on dental nurses. Objectives. The research objective is to describe Mercury concentration in urine dental nurses at community health centers in south Jakarta area and to analyze factors which relate to that concentration. Methodology. This research was conducted by use of a cross sectional study design. The subject of research were dental nurses who had made dental amalgam manually, had worked 6 months minimally and had no leaved the job more than 35 during the last 6 months. Total samples were 25 dental nurses (z=1,75, p=0,5, d3,17). This research was done in March 1998. Instrument for collecting data were laboratory analysis, questionnaire and observation. Statistical analysis was descriptive statistic for univariate, exact Fisher's test and t-test for bivariate, and multiple logistic regression for multivariate. Result. The range of urine Mercury concentration in dental nurses is between 6 ug/L and 300 ug/L. From this range, a 68% of dental nurses have urine Mercury concentration more than normal value (>42 ug/L). In analyzing factors related to that concentration, only 2 variables are statistically significant. These variables are exposure indicator and dental amalgam history. Summary. Considering that the number of sample was to small, this research needs a follow-up study to support this research. The weakness of this study did not observe in depth about another factors which is estimated not related to amalgam working process. A significant variable which relates to amalgam working process in this study is the exposure indicator. Due to number of dental nurses with urine Mercury concentration more than normal value is large enough, it is suggested that urine the Mercury concentration should be reduced. Medical and managerial approach are the ways to reduce it. For next study, on the basis of this study, other researchers may study the clinical manifestation in dental nurses who have urine Mercury concentration more than normal value. For occupational health manager, the result of this study can be considered for preemployment and annual health examination in industry with Mercury hazard (especially, to minimize urine Mercury concentration bias from dental amalgam when measure specimen that not related to working process).
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rambey, Mulia Idris
Abstrak :
Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan penyebarannya melalui nyamuk Aedes (Stegomiya). Menurut WHO (2000) DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebab utama banyaknya rawat inap dirumah sakit serta kematian anak. Di propinsi Jambi jumlah tertinggi kasus DBD terdapat di Kota Jambi dan dari hasil pemeriksaan jentik, angka bebas jentik di kota Jambi masih di bawah 95% atau dengan kata lain angka jentiknya lebih dari 5%. Titik berat pemberantasan penyakit DBD adalah dengan pelaksanaan PSN-DBD dengan harapan bila kegiatan ini berjalan dengan baik akan dapat menekan berkembang biaknya nyamuk dan pada akhirnya akan dapat menurunkan tingkat penularan dan pemberantasan nyamuk Aedes Aegypty. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah dengue di Kota Jambi. Faktor-faktor yang diduga adalah faktor predisposing (pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, pengetahuan, sikap), faktor enabling (ketersediaan sarana pemberantasan DBD) dan faktor reinforcing (keterpaparan penyuluhan dan pemeriksaan jentik). Disain penelitian yang digunakan adalah potong lintang (Cross sectional}, populasi dalam penelitian ini adalah rumah yang berada di 4 kelurahan/desa endemic DBD di Kota Jambi (Simpang IV Sipin, Talang Banjar, Rawasari dan Kebun Handil), cara pengambilan sample dengan Systematic Random Sampling setelah dilakukan perhitungan sampel diperoleh sampel berjumlah 400 responden. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden berperilaku baik dalam PSN-DBD yaitu sebesar 58,7% dan sebesar 41,3% responden berperilaku kurang baik. Hasil uji bivariate dengan menggunakan uji statistik chi square menunjukan terdapat hubungan bermakna antara variabel indenpenden yaitu pendidikan (p-value = 0,000), status ekonomi (p-value = 0,000), pengetahuan (p-value = 0,000), sikap (p-value = 0,000i. sarana dan prasarana (p-value = 0,007), keterpaparan penyuluhan (p-value = 0,000) dan pemeriksaan jentik (p-value = 0.000) dengan variabel dependen yaitu perilaku Responden dalam PSN-DBD. Hasil uji multivariate Regresi Logistik Ganda Bentuk Reduced Model terdapat tiga variabel secara bersama-sama yaitu pengetahuan (p-value = 0,000), sikap (p-value = 0,023), dan pemeriksaan jentik (p-value = 0,000) yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam PSN-DBD dan dari ketiga variabel tersebut variabel yang paling dominan berhubungan adalah pengetahuan (nilai OR terbesar yaitu 6,741). Dengan kata lain responden yang berpengetahuan baik akan berpeluang 6,741 kali mempunyai perilaku baik terhadap PSN - DBD dibanding responden yang berpengetahuan kurang baik. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan agar kegiatan pemeriksaan jentik berkala perlu dilaksaaakan pada setiap kelurahan yang ada di Kota Jambi 4 kali dalam setahun serta perlu peningkatan kegiatan penyuluhan melalui penyebarluasan informasi PSN-DBD yang ditekankan kepada kegiatan "3M" (menutup, menguras dan mengubur) dalam setiap kesempatan pertemuan dengan masyarakat ataupun melalui sarana informasi lokal (media cetak, elektronik) secara kontinyu dengan harapan dapat meningkatkan perilaku yang baik pada masyarakat dalam PSN-DBD, penyuluhan/penyebarluasan informasi lebih difokuskan terutama pada daerah yang endemis di Kota Jambi.
Factors Related to Community Behavior toward Eradication of Dengue Hemorrhagic Fever Mosquito (PSN-DBD) in the City of Jambi Year 2003Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a disease caused by virus which spreads through Aides mosquito (Stegomiya). According to WHO (2000), DI-IF is a major public health problem since it is a main cause of hospitalization and major contributor to child mortality. In the province of Jambi, the highest cases of DHF occurred in the City of Jambi and the larva assessment showed that larva-free value of City of Jambi was still under 95%. or in other word the larva value was more than 5%. The emphasis of combating DI--IF is through implementing the eradication of mosquito (PSN-DBD). Hopefully the program would suppress the population of the mosquito which will consequently reduce the transmission of the disease and eradicate Aedes aegepty mosquito. This study aims to obtain a description on factors related to community behavior toward the eradication of DHF mosquito in City of Jambi. Factors under study were predisposing factors (education, occupation, economic 'status, knowledge, attitude), enabling factors (availability of facilities to eradicate DHF), and reinforcing factors (exposure to extension and larva assessment). The design of the study was a cross sectional one. Population was houses located in 4 DI-1F endemic villages/townships in City of Jambi (Simpang IV Sipin, Talang Banjar, Rawasari, and Kebun Handil). Subjects were selected through systematic random sampling resulted in 400 respondents. The study showed that more than half of the respondents (58.7%) had positive behavior toward PSN-DBD, while the rest (41.3%) had less than positive behavior. The bivariate analysis using chi-square showed that there was a significant relationship between independent variables (education (p-value=0.000), economic status (p-value=0.000), knowledge (p-value=0.000), attitude (p-value=0.000), facilities (p-value=0,007), exposure to extension (p-value=0.000), and larva assessment (p-value-0,000)) and dependent variable (respondent's behavior toward PSN-DBD). The multivariate analysis using multiple logistic regression reduced model form showed that there were three variables simultaneously related to behavior toward PSN-D131), those were knowledge (p-value-0.000), attitude (p-value=0.023), and larva assessment (p-value-0.000) with knowledge as the most dominant factor (OR=6.74 I). This meant that respondent with good knowledge had 6.741 times higher chance to had positive behavior toward PSN-DBD compared to respondent with poor knowledge. Based on the results, it is suggested to implement periodic larva assessment in each village/township in the City of Jambi four times a year, to increase the extension activities to widely spread information on PSN-DBD emphasized on "3M'' activities (menutup - to close, menguras = to clean, and mengubur = to bury) on every occasion and public meeting as well as through local information facility (published and electronic media) continuously as to improve positive community behavior toward PSN-DBD, focused on endemic areas in the City of Jambi.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T13007
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isran Idris
Abstrak :
Sistem gilir ganti sawah adalah pola penguasaan tanah sawah menurut hukum adat bagi ahli waris perempuan secara bergilir ganti dalam menggunakan atau pemakaiannya untuk mendapatkan hasilnya. Adanya sistem ini adalah pengaruh sistem kewarisan yang membedakan antara harta berat dan ringan. Banyaknya peserta dan persilangan gilir ganti sawah mempengaruhi pergerakan sistem dan masa tunggu setiap peserta mendapatkan gilirannya. Pada saat ini Sistem gilir ganti sawah sudah tidak efektif dan fleksibel lagi karena bekerja diatas lapisan ke 3 dan persilangan melebihi dari 3 generasi. Keadaan ini diperburuk dengan luas sawah yang sangat kecil, sehingga produktivitasnya tidak layak untuk mencukupi kebutuhan sebuah keluarga petani. Penguasaan dan pemilikan sawah gilir ganti tidak sepenuhnya pada anak perempuan, walaupun ahli waris adalah anak perempuan tapi mereka harus memenuhi beberapa persyaratan, sehingga menimbulkan pemilikan barsyarat. Dalam prakteknya pengaturan, peruntukan dan kebijakan berada pada anak laki-laki. Walaupun ahli waris adalah anak perempuan, tapi bila dijual anak laki-laki mendapat bagian. Sehingga pola penguasaan dan pemilikannya tidak tegas. Sistem perwarisannya tidak sesuai dengan Pasal 9 UUP, dimasa dalam perwarisan kedudukan anak laki-laki dan perempuan adalah sederajat, sedangkan di Kerinci anak laki laki sebagai ahli waris tidak mendapat bagian atas tanah sawah gilir ganti. Ketidak tegasan kepemilikan menyebabkan tidak terdapatnya kepastian hakum, dan sampai sekarang tidak ada bukti kepemilikan baik secara Hukum Adat maupun UUPA (sertifikat), satu - satunya tanda yang dijadikan bukti kepemilikan adalah ranji. Walaupun tidak efektif, produktif, dan tidak adanya kepastian hukum, masyarakat Kerinci tetap mempertahankannya, karena mereka melihat dari sudut sosiologis den antropologis, bukan dari sudut ekonomis dan yuridis. Kondidisi ini dimasa mendatang akan menjadi lebih komkpleks lagi dan perlu adanya pertimbangan yang mendasar untuk mempertahankan eksistensinya. Untuk mengatasinya agar sesuai dengan cita-cita UUPA, yai_tu adanya kepastian hukum, maka setiap pemilikan tanah harus didaftarkan, dan setiap tanah harus dikerjakan secara aktif sehingga bisa menjadi sumber kehidupan yang layak, maka perlu melaksanakan beberapa kebijakan antara lain: penyuluhan, penyerderhanaan sistem, dan membuat sertifikat khusus. Dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan pejabat formal, dan informal, serta instansi terkait.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwandi Idris
Abstrak :
ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, dan kurang lebih 17.508 pulau. Dua pertiga atau sekitar 62% (± 3,1 juta km2) dari keseluruhan wilayah Indonesia berupa perairan laut. Wilayah laut ini meliputi 0,3 juta km2 (5,17%) perairan teritorial dan 2,8 juta km2 (48,28%) perairan nusantara. Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Indonesia diberi hak kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 (46,55%). Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terdapat bentukan-bentukan terumbu karang yang luas, ekosistem hutan mangrove yang luas dan berbagai ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun, pantai pasir, pantai berbatu. Di samping itu peran lain dari wilayah pesisir adalah sebagai kawasan wisata, budidaya perikanan, usaha penambangan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya. Keadaan demikian menyebabkan banyaknya penduduk yang hidup di daerah pesisir, sehingga tingkat eksploitasi sumber alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) di daerah pesisir menjadi tinggi, yang disertai dengan turunnya kualitas Lingkungan. Sementara itu, wilayah pesisir juga memiliki berbagai peranan penting bagi kelestarian fungsi ekosistem alam dan kehidupan umat manusia. Misalnya, dari segi biogeofisik sebagai daerah penyangga bagi kehidupan aneka ragam biota laut; secara ekologis merupakan tempat berkembangnya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, dan secara hidrologis berperan sebagai kelestarian sumber tanah dan air di daratan dan kepentingan lainnya. Pengertian wilayah pesisir dan laut yang mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya masih sulit dilakukan. Namun demikian penelitian ini mencoba mengambil pengertian; bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan atau kegiatan manusia di darat. Dilihat dari segi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia dihadapkan kepada suatu dilema. Di satu pihak beberapa kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara intensif sehingga telah melampaui daya dukungnya seperti tangkap lebih dan pencemaran. Di pihak lain pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum optimal bahkan di beberapa wilayah belum dijamah sama sekali. Permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut adalah disebabkan oleh meningkatnya kegiatan sektor pembangunan, baik oleh Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kegiatan pembangunan tersebut di samping belum dilakukan secara terkoordinasi, juga belum sepenuhnya memperhitungkan dampak lingkungan. Sebagai akibat dari kegiatan tersebut potensi sumberdaya laut semakin menurun, seperti kerusakan terumbu karang, menurunnya luas hutan mangrove, gejala penangkapan sumberdaya perikanan yang berlebihan (over fishing) dan pencemaran perairan laut. Apabila ditinjau dari aspek pengelolaan wilayah pesisir dan laut, salah satu penyebab permasalahan ini adalah belum adanya Kelembagaan Nasional dan Daerah yang mempunyai tugas dan wewenang secara khusus mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Sementara instansi yang terkait dalam pengelolaan tersebut cukup banyak, seperti Departemen Pertanian, Kehutanan, Perhubungan, Perindustrian, Pariwisata dan Telekomunikasi, Pertambangan dan Energi, Pekerjaan Umum, Pertahanan Keamanan, Kantor Menteri Negara Lingkungan HidupBapedal, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, LIPI, dan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek hukum dan kelembagaan serta sektor pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan taut, dengan mengambil studi kasus wilayah pesisir di Teluk Arnbon Dalam, Kotamadya Arnbon, Propinsi Maluku. Hipotesis penelitian yang digunakan adalah : " Adanya berbagai kepentingan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan taut yang terbatas di Teluk Ambon Dalam telah mengakibatkan tumpang tindih tanggungjawab kelembagaan yang mengelola sumberdaya alam, sehingga penggunaan lahan pesisir dan sumberdaya kelautan tidak sesuai dan serasi dengan peruntukan dan daya dukungnya". Studi dilakukan di kawasan pesisir dan taut Teluk Ambon Dalam dengan difokuskan kepada pengumpulan data dan informasi melalui: (i) Pengkajian kebijakan Pemerintah dalam pembangunan wilayah pesisir dan taut yang dimuat dalam GBHN, Repelita VI Nasional, Pala Dasar Pembangunan Daerah, Repelita Daerah serta fungsi dan tugas instansi terkait lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan; (ii) Mengumpulkan data dan informasi tentang aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, meliputi: potensi aktivitas pembangunan, kondisi lingkungan, Peraturan Perundangundangan, sosial-ekonomi penduduk, tingkat pendidikan dan sosial budaya masyarakat; dan (iii) Pengamatan langsung ke lapang untuk melakukan wawancara semi terstruktur terhadap pengambil kebijakan pada instansi Pemerintah dan masyarakat. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif, meliputi kajian terhadap: (i) Aktivitas pembangunan yang ada (Existing Development Activities), (ii) Analisis Keserasian antar sektorlkegiatan Pembangunan (Compatibility Analysis), dan (iii) Analisis Fungsi dan Wewenang Kelembagaan. Hasil penelitian di Teluk Ambon Dalam menunjukkan bahwa pada saat ini telah berkembang berbagai kegiatan pembangunan seperti, perikanan tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan, pangkalan angkatan laut, konservasi alam, industri, pertanian, pertambangan, energi, industri kayu dan perumahan. Namun atas dasar segi kesesuaian yang ideal (ekologis), maka pembangunan sektoral yang dapat dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah Perikanan Tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan/perkapalan, konservasi alam, lahan industri, pertanian dan perumahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari segi ekologis keruangan, pesisir Teluk Ambon Dalam telah jenuh dan relatif tidak dapat lagi menampung pengembangan sektoral. Hal ini diperkuat oleh adanya kerusakan lingkungan di wilayah pesisir ini, seperti pencemaran, sedimentasi, dan kerusakan fisik habitat. Terjadinya tumpang tindih dan pengembangan pembangunan sektor yang saling merugikan yang menimbulkan konflik di Teluk Ambon Dalam disebabkan karena kurang jelasnya tugas dan wewenang sektor, belum terkoordinasinya pelaksanaan tugas antar sektor serta belum jelasnya peran Pemerintah Daerah di wilayah pesisir dan laut. Penanggulangan permasalahan di atas dalam jangka pendek, perlu dikembangkan sistem pengelolaan yang bersifat terpadu di wilayah pesisir dan laut, melalui adopsi model pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang dilakukan mulai dari proses penelitian, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengembangan. Sedangkan untuk jangka panjang diperlukan adanya restrukturisasi kelembagaan instansi Pusat dan Daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Untuk mendukung terlaksananya pengelolaan terpadu di wilayah pesisir, diperlukan adanya wadah yang berfungsi sebagai koordinator pengelolaan, dengan anggota semua instansi dan lembaga masyarakat yang mempunyai kegiatan di wilayah pesisir dan laut dan memiliki ciri-ciri produktivitas dan kelestarian fungsi. Prinsip-prinsip keterpaduan yang perlu dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah: Pertama, Prinsip keterpaduan antara tata lingkungan daratan dengan wilayah pesisir dan laut yang dapat mencerminkan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Kedua, Pembentukan suatu wadah koordinasi yang bersifat integral antara instansi Daerah dan antara Pusat dan Daerah untuk mengatur kembali tumpang tindih pemanfaatan lahan dan untuk memelihara kelestarian lingkungan Teluk Ambon. Ketiga, Perlu diprioritaskan perlindungan dan rehabilitasi kawasan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
ABSTRAK Institutional Arrangements For Marine And Coastal Resource Management (A Case Study in Ambon Dalam Bay, Ambon Regency)Indonesia is an Archipelagic Nation containing 17,508 islands with a coastline of approximately 81,000 kms. Two third of the area of Indonesia (approximately 5.8 million km2) is marine. This vast area is divided into Territorial Sea (0.3 million km2 or 5.2%) Archipelagic sea (2.8 million km2 or 48.28%) and Exclusive Economic Zone (2.7 million km2 or 46.55%) Coastal and marine areas of Indonesia contain a wide range of ecosystem type; these support some of the largest and most divers assemblages of coral reefs , mangroves and sea grass in the world. These ecosystem also support a wide range of human activities. Marine transportation, port/harbors, mariculture, tourism, oil and gas production and coastal settlements all depends on coastal and marine ecosystem and resources. The multiple use nature of many coastal resources combined with rapid economic and industrial growth in recent decades has attracted an increasing percentage of the Indonesia population to live in coastal areas. With increasing in population and related direct and indirect use pressures, many coastal and marine resources throughout Indonesia have become depleted and degraded. Coastal areas, as the interface between land and sea, serve several import biological, physical, economic and social functions and are inter-connected with adjacent terrestrial and marine ecosystems via a range of linking processes. For example, a key bio-geophysic function of coastal areas is to "buffer" the impact of land activities on marine areas and vice versa. Via physical and ecological processes and pathways, coastal ecosystems regulate the input of nutrients and sediments to marine waters. Many global studies have shown that the maintenance of these ecosystems and their component processes is required if the functions they serve are to be sustained. Since function and processes of coastal ecosystems are broad and complex, an holistic approach to coastal and marine resource management is required. This study thus proposes that such an approach requires the definition of the coast as a road ecotone which extends from the inland limit of marine ecosystems on land systems to the seaward limit of land influences on marine ecosystems. Management of coastal and marine areas poses a particular dilemma in the context of sustainable development due largely to uneven nature of coastal and marine resource exploitation throughout the archipelago. In many areas coastal and marine resources, particularly fisheries, have been overexploited beyond sustainable use (carrying capacity) limits. In other areas various resources remain unutilized or under-utilized, often due to access or technological constraints. Various studies identified that the major problem facing coastal and marine management in Indonesia is the sectorally-oriented development approach which has been used by government agencies, private sector investors and local communities. Development activities throughout the archipelago have, in general, not been well coordinated, nor have they adequately taken into account the environmental impact of development. As a consequence resources have not been optimally utilized and, in many cases, have been degraded as a result of development activities. That degradation can be described in terms of both loss of ecosystem quantity (e.g. over harvesting of fisheries) and loss of quality (e.g. pollution of coastal waters by industry). Contemporary coastal management practice now recognizes the important of adequate institutional arrangement that provide the authority and allocate responsibility for co-ordination of resource planning and management. However, at present in Indonesia there are many sectors (e.g. agriculture, forestry, transportation, industry, tourism, telecommunication, mining, public work, defense, environmental management and research) and levels (national, provincial, sub-regional and local) of government which act independently or in an uncoordinated manner in coastal and marine resources management. The aim of this study is to review legal and institution arrangements and approach that are used in coastal and marine resource management. The study focuses on a case study of Ambon Dalam Bay (Teluk Ambon Dalam) in Ambon Regency, the capital of Maluku Province in Eastern Indonesia. The hypothesis of the study is that because of the uncoordinated and overlapping responsibilities of agencies involved in management of this area, resources are not being used optimally or sustainably. The data and information for this study was collected from : 1. Reviews of government policy and planning documents and guidelines, including National Policy Guidelines (GBHN), the Sixth Five Years National Development Plan (REPELITA VI), Regional Policy Guidelines (Pola Dasar), the Sixth Five Year Regional Development Plan (REPELITADA), and overview of the role and function of various government agencies. 2. Data and information obtained as part of development activities including information on potential development options, environmental conditions, regulations, community/socio-economic studies; and 3. Field observations and survey interviews (using a semi-structural approach) of the local decision-maker and community leader. This information was analyzed by descriptive and matrix-based methods which sought to assess (i) existing development activities and responsibilities for development control; (ii) the compatibility of existing development activities with sectoral objectives and (iii) improved institutional arrangements for coastal and marine resource management. The case study analysis of Ambon Dalam Bay revealed that development activities have expanded considerably over time, both in terms of the area subject to development and in terms of the types of activities undertaken within development areas. These have led to physio-chemical, ecological and socio-economic change in the Bay and around the foreshores. These changes have also generated increasing conflict between resource uses. Based on results of the compatibility analysis it was observed that activities which are most suitable for Ambon Dalam Bay are : a) Fish catching/aquaculture; b) Nature conservation; c) Industrial development (indemnified areas) d) Agriculture; and e) Settlement/housing When these most suitable activities were compared with the existing development pattern in the Bay area, it was concluded that developments within coastal areas of Ambon Bay currently exceed the carrying capacity of the Bay. Furthermore. it was noted that the overlapping jurisdiction of sectoral agencies have led to conflicting and inappropriate resource use. This is considered to be due largely to the fragmentation of administrative responsibilities and to the lack of clearly defined management authority. These problems are exacerbated by uncertainty about the roles and responsibilities of government agencies at all levels, especially at the local government level. In order to overcome this problem in the short term, an integrated and systematic approach to coastal and marine resources management has to be imposed. This process should begin with identification and agreement on problems, development of spatial an/or resource use plans which better reflect the sustainable use limits of Bay resources, clarification of management responsibilities and institutional restructuring to facilitate plan implementation and evaluation. This process can be supported by adoption of integrated coastal zone planning and management (ICZPM) principles, including: a. integrated of environmental management both terrestrial and marine ecosystems to ensure that resource uses within these areas sustainable; b. establishment of a Co-ordinating board which involves regional and national agencies in Maluku Province and which embraces in the interest of all stakeholders in the Bay, including government agencies, private sector interests and NGOs so at to achieve a more effective balance between economic development and environmental quality; and c. to define and then conserve andlor rehabilitate key ecosystems in the Bay - the initial priorities identified in this study included mangroves, coral reefs and seagrass ecosystems. Total of References 68 bibliographies (1967-1997)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Thoha Idris
Abstrak :
ABSTRAK Situs Garisul - Jasinga terletak di sebelah Utara Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor memiliki bentuk-bentuk nisan yang menarik. Nisan-nisan tersebut tersebar di Lima Komplek makam antara lain : a. Komplek makam di bukit kampung Garisul, b. Komplek makam di bawah bukit kampung Garisul, c. Komplek makam di bukit pinggir jalan raya kampung Garisul, d. Komplek makam di bukit pinggir jalan raya kampung Parungsari dan, e. Komplek makam di bukit kampung Parungsari. Oleh Uka Tjandrasasmita diuraikan bahwa bentuk-bentuk nisan tersebut menunjukkan kubur laki-laki dengan delapan sisi (oktagonal) berangka tahun 1200 H = 1822 M dan kubur wanita mempunyai ukiran-ukiran saja, tetapi hingga saat ini secara tegas belum dapat diuraikan keseluruhan bentuk-bentuk nisan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini berbeda dengan penelitian yang pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini mencakup keseluruhan bentuk-bentuk nisan di lima komplek makam tersebut diatas, selain itu diperbandingkan dengan bentuk-bentuk nisan di situs Banten Lama dan di daerah-daerah lainnya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa situs Garisul - Jasinga banyak memiliki kesamaan bentuk pada nisannisan di situs Banten Lama yang diklasifikasikan dengan tipe Aceh dan tipe Demak - Troloyo, baik bentuk Silindrik maupun bentuk pipih. Disamping itu pula diuraikan aspek sejarahnya sesuai yang terpahat pada nisan-nisan tersebut yaitu abed 19, salah satu keunikan dari nisan-nisan itu memuat inskripsi Arab dengan gaya kaligrafi Naskhi dan kufi, berbahasa Jawa yang berada di lingkungan orang-orang berbahasa Sunda. Hasil penelitian tentang Hubungan antara Gerakan-gerakan masyarakat Muslim Banten dengan situs Garisul - Jasinga Kabupaten Bogor : Kajian tipologi nisan dapat memberikan khazanah ilmu Kepurbakalaan Islam di Indonesia.
ABSTRACT Garisul-Jasinga Site is located in northern part of Bogor Regency, West Java, with interesting form of tomb-stones. The tombstones scattered in five grave complexes, namely: The complex in a hill of Garisul village; The complex in lower part of the hill in Garisul village; The complex in a hill beside the road of Garisul village; The complex in a hill beside the road of Parungsari village; and The complex in a hill of Parungsari village. Oka Tjandrasasmita describes that the forms of concerned tombstones related with the gender where the graves of men characterized by octagonal forms while women graves by en-graved forms; but up to now, there has not been explained distinctly the complete forms of the whole tombstones found in these complexes. The study carried out by the writer is differ with those carried out previously. This study covers the whole forms of tombstones found in the five complexes mentioned above, and they are also compared with those found in Ban-ten Lama Site and other sites in different regions. Based on this study it could be concluded that the form of tombstones found in this Garisul-Jasinga Site has many similarities with those found in Banten Lama Site, which all are classified as Aceh and Demak-Troloyo types, which both are in cylindric and slab. In addition, there are also described historical aspects which were engraved on concerned tombstones dated in 19th century. One of the unique things, there found Arabic inscription on the tombstones with Naskhi and Kufi style of calligraphy, written in Javanese language while they are located in Sundanese area. The study on relationship between the movement of Moslem community in Banten with Garisul-Jasinga Site; and study on typology of tombstones could provide a valuable source for Islamic archaeology in Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Zahron Idris
Abstrak :
James Tobin, Professor of Economics at Yale, a Nobel Laureate, a great economist and great human being, proposed in the 1970s, after the breakdown of the fixed exchange rate system that a currency transactions tax be imposed in order to slow down speculative movements of currency and give governments greater ability to manage their own domestic monetary and fiscal policy. Since the 70s this proposal has been changed in several ways -to have a two tier tax, to become part of financing for development, to include taxes on sales of international securities, and several other variations.

Three important points deserve emphasis. First, with regard to financial crisis prevention, the Tobin tax should be viewed as part of a package of reforms to the international financial architecture. No measure alone can prevent financial crises, and many measures generate synergies so that they work better as a package. A house has doors, windows, floors, and ceilings: a well-designed financial architecture will also have many elements, of which the Tobin tax should be one.

Second, James Tobin (1978) initially proposed the Tobin tax in connection with spot market currency transactions. Since then, there has been significant financial innovation in currency markets, including development of more extensive futures markets and derivative instruments. This means the Tobin tax must now be applied to all forms of foreign currency related transactions to avoid evasion. More generally, the Tobin tax should be seen as part of a family of financial market transaction taxes, and many of the arguments for a Tobin tax carry over and support other forms of financial market transaction taxes. Indeed, from a purely technical standpoint, taxing domestic financial market transactions may be the easier place to start since these involve a single jurisdiction, and are therefore harder to evade.

Third, not only does the Tobin tax promise to improve international financial stability, it also has significant tax revenue raising capacity. Indonesia have bill that applicable to the currency transaction taxes. The problem is Indonesia can use the Tobin Tax. This research use library research, that analyzing the literatures (pro and contra literature) from the recent economic researchers.

Solution of this thesis is Tobin Tax and Currency Transaction Tax can be a useful instrument against speculation. It could also dampen capital flight and therefore contribute to the prevention of financial crisis together with more comprehensive capital controls measures. It could stimulate economic cooperation at the regional level and therefore be a major step toward a new ?developmentalist financial architecture" (I. rabel, 2003b). It could also be useful to developed countries like the US and the EU and finally, it could generate huge revenues for financing development, universal access to social services, and global public goods. Indonesia can apply the Tobin Tax and Currency Transaction Taxes according with UU no 17, psl 4 ayat 2 tahun 2000.

Global civil citizenship has been a main driving force to promote the campaign of the Tobin tax. In this regard, for campaigning the Tobin tax in East Asia successfully, consolidation of citizens in East Asian countries, or 'Civil Asia' should be built first. Most powerful NGOs were formerly responsible only to their member states, although a broad spectrum of issues have been brought across inter-state borders.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosila Idris
Abstrak :
ABSTRACT
A study was done to investigate the number and function of T cells of underfive children in Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Grouping of samples was done based on weight-for-age, into well nourished (normal) children as control, mild-moderate PEM and severe PEM. The number of each group was 15.

The relative number of T cells in mild-moderate PEM and severe PEM were significantly reduced compared to the normal group (P <0.01 , See Figure 13). The relative number of blast-transformation of the severe PEM group compared with the mild-moderate PEB and the severe PEM with the normal group were not significantly different (P>0.05, See Figure 15). The total serum protein in mild-moderate PEM and severe PEM were not significantly different compared to the normal group (P> 0.05, See Figure 16). The protein intake in mild-moderate PEM and severe PEM were significantly reduced compared to the normal group (P<0.01, See Figure 17). The energy intake in mild-moderate PEM and severe PEM were significantly reduced to the normal group (P<0.01, See Appendix 11).

From the facts mentioned above it can be assumed strongly that: Lower protein intake in combination with lower energy intake in mild-moderate PEM and severe PEM are most probably very important factors that cause the reduction of T lymphocyte number in both moderate PEM as well as in severe PEM.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>