Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isman Firdaus
"

Kebutuhan akan dukungan sirkulasi mekaniksecara diniuntuk meningkatkan perfusi organ harus dipertimbangkandalam manajemen pasien pasca henti jantungPompa Balon Intra-Aorta (PBIA)merupakan alat bantu sirkulasi mekanik yang paling mudah dipakai dan tersedia di negara berkembang seperti Indonesia.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas insersi diniPBIA terhadap mortalitas pasien pasca henti jantungkarena sindrom koroner akut (SKA).

Penelitian uji klinis yang melibatkan 60 pasieninidilakukan pada pasca henti jantung karena SKA di dilakukan RSJPDHKperiodeOktober 2017Desember 2018K.Kriteria inklusi adalah semua pasien pasca henti jantung karena sindrom koroner akut, berusia 1875 tahun.Kriteria eksklusi adalah terdapat riwayat strokeberdasarkan anamnesis, pupil anisokor, sudah menggunakan PBIA sebelumnya, regurgitasi aorta, sindrom brugada dan congenital long QT.Pasien dirandomisasi menjadi kelompok pelakuan dan kontrol.Pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu perlakuan (n= 30) dan kontrol (n =30). Kelompok perlakuan diberikan intervensi insersi PBIA sedini mungkin dalam 3 jam pertama setelah sirkulasi spontan kembali.Pemeriksaan kadar interleukin-6, bersihan laktat efektif (BLE)beklin-1, kaspase-3, curah jantung (CJ), VTI, TAPSE, fraksi ejeksi (FE), a-vO2 diff, dan ScvO2 dilakukan di jam ke-0 dan jam ke-6 pasca kembali sirkulasi spontan.Luaran primer yang dinilai adalah mortalitas rumah sakit.,Luaransekunder yang dinilai adalahperbaikan hemodinamik, dan marka apoptosisdan kemampuanprediksi beklin-1, kaspase-3, interleukin-6 dan laktat jam ke-0 terhadap kematian. Analisisregresi cox dilakukan untuk menilai kesintasan pasien di RSdengan prinsip intention-to treat.

Sebanyak 60 pasien pasca henti jantung karena SKA, 30 di kelompok perlakuan dan 30 di kelompok kontroldiikutsertakan dalam penelitian ini.Mortalitas pada kelompok perlakuan adalah 18 (60%) pasien, sedangkan pada kelompok kontrol adalah 17 (56,67%) pasien.  ([p=0,793; hazard ratio 1,29; [IK] 95% 0,662,52). Tidak terdapat perbedaan kadar IL-6, BLE, beclinbeklin-1, caspasekaspase-3, curah jantung (CJ), VTI, TAPSE, fraksi ejeksi (FE), a-vOdiff, dan ScvO2di jam ke-6 pasca SSK antara dua kelompok.Laktat, IL-6dan kaspase-3 dapat memprediksi mortalitas pasien pasca henti jantung karena SKA, sedangkan Beklin-1 tidak dapat memprediksi kematian.

Simpulan:Pemasangan PBIA dini tidakmemperbaiki mortalitas pasien SKA pasca henti jantung.Laktat, IL-6, dan kaspase-3 dapat memprediksi mortalitas pasien pasca henti jantung karena SKA.


The need formechanical circulatory support to improve organ perfusion may be considered inthemanagement of post cardiac arrest syndrome patients. Intra-Aortic Balloon Pump (IABP) is the most available and convenient used mechanical circulation aid especially in developing countries such as Indonesia.1This study aimed to find out whether early insertion of IABP can reduce in-hospital mortality, length of stay and death markers of cardiac arrest complicating acute myocardial infarction.

A randomized trial conducted in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) Hospital from October 2017–December 2018. Inclusion criteria were all post cardiac arrest due to acute coronary syndrome (ACS) patients aged 18–75 years. Exclusion criteria were history of stroke, anisocoric pupil, previous IABP use, aortic regurgitation, brugada syndrome, and congenital long QT syndrome.The intevention group was given IABP inserted as early as possible in the first 3 hours after spontaneous circulation returned.  Patients were randomized into two groups, intervention and controls. Assessment of interleukin-6, lactate clearence, beclinbeclin-1, caspasecaspase-3, cardiac output, VTI, TAPSE, ejection fraction (EF), a-vO2 Diff, and ScvO2 was done in first hour and 6 hours afterreturn of spontaneous circulation (ROSC). Primary outcome was in-hospital mortality. Secondary outcome was improved hemodynamics, apoptotic markers, and predictive ability of beclin-1, caspase-3, IL-6 and lactate in first hour after ROSC to mortality. Cox regression analysis was performed to assess in-hospital survival with the intention-to-treat principle.

A total of 60 post cardiac arrest due to ACS patients, 30 in intervention group and 30 controls included in this study. In hospital mortality of intervention group vs control was 18 (60%) vs.17 (56.67%) respectively ([p=0.793; hazard ratio 1.29; [CI] 95% 0,662.52). There’s no difference in IL-6, lactate clearence, beclinbeclin-1, caspasecaspase-3, cardiac output, VTI, TAPSE, ejection fraction (EF), a-vO2Diff, and ScvO2in 6 hours after ROSC between two groups. Lactate, IL-6, and caspase-3 predicts mortality of post cardiac arrest due to ACS patients while beclin-1 does not.

Conclusion:Early insertion of IABP is not improvemortality outcome of post cardiac arrest complicating acute myocardial infarctionpatients. Lactate, IL-6, and caspase-3 predicts mortality of post cardiac arrest due to ACS patients.

"
2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isman Firdaus
"Turbulensi laju jantung (heart rate turbulence [HRT]) baru-baru ini dianggap sebagai prediktor terbaru paling kuat untuk terjadinya kematian mendadak (sudden cardiac death [SCD]) melebihi prediktor lain yang telah ada sebelumnya. Pasien penyakit jantung koroner yang menjalani reperfusi koroner ternyata memberikan hasil HRT lebih baik dan hal ini mencerminkan pulihnya respon baroreseptor.Penelitian ini akan membandingkan nilai turbulence onset (TO) dan turbulence slope(TS) pada dua jenis reperfusi (PCI dan fibrinolitik) Subjek menjalani monitoring EKG selama 24 jam setelah dilakukan revaskularisasi. TO ditentukan dengan cara mengukur perubahan relatif dua interval RR irama sinus setelah ekstrasistol ventrikel dan dua RR interval terakhir sebelum ekstrasistol ventrikel. TS dihitung dengan dengan mengukur slope maksimum yang dibuat tiap 5 buah RR interval. Terdapat 13 pasien (usia rata-rata 56 + 9 tahun) yang memenuhi syarat untuk ikut dalam penelitian. Sepuluh pasien menjalani fibrinolitik dan tiga pasien menjalani PCI. Terdapat perbedaan bermakna nilai TO antara kelompok PCI dan fibrinolitik (-3,3 + 1,7 % vs -0,2 + 0,9 %; P=0,03). Terdapat kecenderungan kelompok PCI memberikan nilai TS yang lebih baik dibanding kelompok fibrinolitik, walaupun secara statistik tidak signifikan ( 7,7 + 4,4 msec/RR interval vs 3,4 + 2,6 msec/RR interval; P = 0,056). Disimpulkan bahwa subjek dengan STEMI akut yang menjalani PCI mempunyai nilai TO yang lebih baik dibanding subjek yang menjalani terapi fibrinolitik.

Heart rate turbulence (HRT) as novel predictor of sudden cardiac death were superior to all other presently available indicators. HRT significantly was improves after successful reperfusion reflecting rapid restoration of baroreceptor response. We investigated turbulence onset (TO) and turbulence slope (TS) values among patients with acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) underwent revascularization by means of primary PCI or fibrinolytic. We hypothesized that the values of TO and TS were different in two kinds of revascularization treatment. The subjects underwent 24 hours ECG recording after revascularization therapy. TO was quantified by the relative change of the first two sinus RR intervals following a ventricular premature beat (VPB) and the last two sinus RR intervals before the VPB. TS was quantified by the maximum positive slope of a regression line assessed over any sequence of five subsequent sinus rhythm RR intervals within the first two sinus rhythm intervals after a VPB. Thirteen patients (mean of age 56 + 9 years old) who underwent revascularization treatment of acute STEMI were eligible as subject of this study.Ten patients underwent fibrinolytic therapy and three patients underwent primary PCI. TO value was significantly different between PCI group and fibrinolytic group (-3.3 + 1.7 % vs -0.2 + 0.9 % ; P=0.03). The Primary PCI group has better outcome on turbulence slope value (TS) than fibrinolytic group but not significance (7.7 + 4.4 msec/RR interval vs 3.4 + 2.6 msec/RR interval; P = 0.056). In conclusion, TO was better in acute STEMI patient undergone PCI compare to that undergone fibrinolytic therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library