Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
Iva Maduratna Soerjo
Abstrak :
ABSTRAK
Sungguh tidak disangka Komite Nasional Indonesia yang kemudian menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang merupakan penasehat presiden, berubah menjadi perwakilan dalam arti yang tidak saja membuat undang-undang melainkan juga menerima pertanggungjawaban kabinet, malah membentuk Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menurut konstitusi (UUD 1945) merupakan tugas MPR, lembaga tertinggi negara di atas DPR .dan Presiden. Perwakilan yang terwujud dalam parlemen sepanjang tahun 1950-an, menggambarkan arti pelaksanaan demokrasi yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat dan peluang pembuktian kerja kabinet dengan program-program tertentu. Kehadiran dan eksistensi parlemen begitu tampil ke depan yang bukan berarti bertentangan dengan UUD Sementara, malah memperkuat sendi-sendi demokrasi yang dapat dikembangkan dalam masyarakat. Kedudukan.dan peranan parlemen dalam tahun 1960-an, sudah terbelenggu baik karena pembentukan pengisian dan tata tertib yang diputuskan oleh eksekutif (baca: Presiden). Kehidupan politik yang berpusat pada pribadi Presiden mendorong keotoriterian dalam kehidupan politik yang ada.
Kedudukan dan peranan parlemen sejak tahun 1970-an berada dalam keperluan "pembangunan" yang di pastikan arti maksud dan makna, termasuk menjadi rumusan politik, (political formula) dari rezim yang berkuasa. Dalam pembatasan tertentu itu parlemen terperangkap pada hal-hal yang bersifat protokoler, administratif dan birokratisasi dalam lembaga terhormat itu.
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian Universitas Indonesia Library
Iva Maduratna Soerjo
Abstrak :
ABSTRAK
Salah satu upaya mempertahankan bangunan politik Orde Baru adalah dengan menciptakan struktur dan fungsi dari lembaga politik dan kenegaraan yang sesuai dengan keinginan rejim politik. Hal ini tentu berkaitan dengan keperluan (need) dan kepentingan (interest) yang telah diperhitungkan dalam strategi dan langkah-langkah yang lebih taktis.
Asas tunggal dihasilkan dari landasan perlunya mengurangi ideologi yang beredar dalam masyarakat, sementara referendum dimaksudkan untuk menjamin kelestarian suatu kesepakatan yang menjadi salah sendi berdirinya rejim Orde Baru.
Pengajuan azas tunggal oleh eksekutif didasarkan oleh trauma masih belum diterimanya Pancasila secara utuh oleh partai-partai politik, dan juga Golkar, yang ada. Penajaman ini ditunjukkan oleh aktivitas dalam kampanye pemilihan umum 1992.
Sementara itu pengajuan referendum dilihat sebagai suatu parameter dari keberhasilan pembangunan yang justru menumbuhkan sikap kritis dan keinginan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian Universitas Indonesia Library