Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Kurniawan
"Hampir setiap orang adalah pejalan kaki. Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan, khususnya pada lokasi-lokasi yang memiliki permintaan tinggi dengan jarak pendek seperti pada terminal transportasi. Beberapa penelitian mengenai pejalan kaki di negara-negara Asia, menyimpulkan bahwa standar perencanaan fasilitas pejalan kaki untuk negara-negara Asia sebaiknya didasarkan pada karakteristik lokal pejalan kaki; sehingga standar perancangan lokal dibutuhkan pada fasilitas-fasilitas pejalan kaki di negara-negara Asia. Namun hingga saat ini, sebagian besar studi mengenai pejalan kaki masih diarahkan pada tingkatan makroskopik. Pada tingkatan studi ini tidak mempertimbangkan interaksi atau konflik diantara pejalan kaki dan lingkungan serta tidak cocok untuk memprediksi kinerja arus pejalan kaki di dalam area atau jalur pejalan kaki khususnya untuk di dalam bangunan.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan penelitian terhadap interaksi yang terjadi diantara pejalan kaki. Dari interaksi pejalan kaki tersebut akan menimbulkan adanya tundaan dan ketidaknyaman yang akan digunakan sebagai dasar untuk penilaian kinerja arus dari koridor tersebut. Untuk mendapatkan penilaian tersebut maka studi yang bersifat mikroskopik perlu dilakukan pada penelitian ini.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam kaitannya dengan perencanaan dan perancangan fasilitas-fasilitas transportasi di Jakarta. Populasi yang digambarkan pada penelitian ini diharapkan dapat mewakili perjalanan tipikal pelaku pejalan kaki dari sebuah kota berkepadatan tinggi seperti Jakarta."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2004
T14813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Kurniawan
"Salah satu tugas aparatur pajak adalah melakukan pemeriksaan yang bertujuan untuk memastikan apakah Wajib Pajak sudah melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan. Kinerja pemeriksaan yang dilakukan oleh para aparatur pemeriksa akan menentukan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang lebih lanjut akan menentukan tingkat penerimaan negara. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas pemeriksaan yang diantaranya adalah budaya organisasi dan motivasi berprestasi.
Budaya organisasi adalah nilai-nilai, asumsi-asumsi dan keyakinankeyakinan dasar yang dirasakan bersama oleh anggota organisasi yang meliputi: inisiatif individu, toleransi terhadap risiko, integrasi, dukungan manajemen, pengawasan, identifikasi, sistem penghargaan, toleransi terhadap konflik, dan poly komunikasi. Motivasi berprestasi adalah suatu dorongan, keinginan, dan tingkat kesediaan seseorang untuk mengeluarkan upaya dalam rangka mencapai prestasi terbaik yang diukur dengan indikator: tanggung jawab, pertimbangan terhadap risiko, umpan balik, inovatif, waktu penyelesaian tugas, dan ingin menjadi yang. Kualitas pemeriksaan pajak adalah kondisi dinamis yang mencerminkan upaya aparatur pajak dalam melakukan korespondensi, pemeriksaan kantor, dan pemeriksaan lapangan atas wajib pajak
Penelitian menggunakan desain korelasional dengan melibatkan 42 responden yang diambil teknik sensus. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner yang sebelumnya telah teruji validitas dan reliabilitas. Uji validitas menggunakan korelasi Product Moment dan uji reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan formula statistika, yakni korelasi dan regresi yang perhitungannya dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 12.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa budaya organisasi dan motivasi berprestasi tergolong baik, sedangkan untuk kualitas pemeriksaan belum baik karena pada umumnya belum mencapai target yang ditetapkan. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa budaya organisasi dan motivasi berprestasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pemeriksaan pajak. Budaya organisasi memberikan kontribusi sebesar 29%, motivasi berprestasi 42,3%, dan secara bersama-sama budaya organisasi dan motivasi berprestasi memberikan kontribusi 44,2%. Dengan demikian kesimpulan penelitian ini adalah semakin baik budaya organisasi dan semakin tinggi motivasi berprestasi maka semakin baik kualitas pemeriksaan pajak, sebaliknya semakin buruk budaya organisasi dan semakin rendah motivasi berprestasi maka semakin buruk pula kualitas pemeriksaan pajak.
Budaya organisasi perlu ditingkatkan dengan mereduksi nilai-nilai yang kurang relevan untuk kebutuhan pengembangan organisasi dan karyawan yang harus didahulul oleh kegiatan riset secara intens dan series untuk menemukan nilai-nilai budaya yang usang dan berusaha mengidentifikasi nilai-nilai baru. Sementara motivasi berprestasi dapat ditingkatkan dengan perbaikan sistem pengembangan karir dan promosi yang lebih baik, obyektif dan adil. Untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini ada baiknya dilakukan penelitian lanjutan serupa dengan mengambil obyek yang berbeda dan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga diperoleh wilayah generalisasi yang lebih luas.

The one of tax auditor's tasks is to audit and to ensure whether taxpayers have paid their tax obligations correspond to the rule. The performance of auditing done by the auditors will determine the degree of taxpayer compliance in paying their tax obligations, which in turn will affect the degree of state receivable. This research was aimed to examine factors affecting the quality of tax auditing, in which two among many were organizational culture and achievement motivation.
Organizational culture defined as values, assumptions and confidences of the base felt together by organizational member which cover: individual initiative, tolerance to risk, integration, management support, observation, identify, appreciation system, tolerance to conflict, and communications pattern. Achievement motivation is motivation, desire, and storey, level readiness of someone to do the effort for the agenda of reaching the best achievement which measured with indicator: responsibility, consideration to risk, feed back, innovative, time solution of duty, and want to be the best. Quality of tax auditing is dynamic condition which expresses the effort tax auditor's in doing the correspondence, inspection of office, and inspection of field of taxpayer.
42 respondents were participated using census sampling. Questionnaires were used to collect data after testing their validity using Pearson Product Moment and reliability using Alpha Cronbach. Obtained data then were examined using correlation and regression technique with SPSS V. 12.
The results showed that organizational culture and the achievement motivation could be characterized as good, while for the quality of tax auditing not yet good, because generally they not yet reached specified goals. Hypotheses testing showed that organizational culture and achievement motivation had positive and significant influence toward the quality of tax auditing. Organizational culture gave 29% contribution, achievement motivation gave 42.3%, and both organizational culture and achievement motivation gave 44.2%. Thus, it could be concluded that the better organizational culture and the higher achievement motivation, the better the quality of tax controlling among tax controllers: and vice versa.
Organizational culture needs improving by decreasing obsolete values which are not relevant to the need of developing organization and employees. Intense and serious researches needed to discover obsolete values, and to identifying new values. Achievement motivation can be increased by improving career development system and better promotion, objectively and considering justice. To follow up this study, further similar researches using different objects and bigger sample size needed, so that generalization will be larger.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22238
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Kurniawan
"Zeolit X disintesis dari kaolin yang sebelumnya diaktivasi menjadi metakaolin melalui proses kalsinasi pada suhu 7500C. Karakterisasi perubahan fasa dan komposisi dilakukan dengan analisis DTA, XRD dan XRF. Sintesis zeolit X dilakukan dengan proses hidrotermal pada suhu 900C, menggunakan botol polipropilen. Hasil sintesis dianalisis dengan menggunakan XRD, XRF dan SEM untuk mengetahui bahwa zeolit X sudah terbentuk, serta rasio Si/Al dari zeolit X. Komposisi gel dari rasio Si/Al untuk sintesis zeolit X dibuat bervariasi antara 1:1 dan 5:1, yang menghasilkan zeolit X dengan rasio Si/Al sebesar 1.46 dan 2.22 yang berturut-turut disebut zeolit X-1 dan zeolit X-2. Pada proses adsorpsi molekul non-polar (heksana), zeolit X-2 menyerap heksana lebih banyak dibandingkan zeolit X-1. Hal ini membuktikan bahwa kepolaran zeolit X turun dengan meningkatnya rasio Si/Al. Kata kunci: kaolin, metakaolin, proses hidrotermal, zeolit X, kepolaran. xiii+54 hlm.; gbr.; lamp.; tab Bibliografi: 25 (1970-2005)"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Kurniawan
"ABSTRAK
Tuntutan pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar khususnya kesehatan bagi masyarakat sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan sangat tinggi. Sementara kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong perbaikan pelayanan dasar melalui desentralisasi sejak tahun 1999 belum terlihat hasilnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan pengaturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah otonom. Penerapan kebijakan SPM bagi daerah otonom mulai diperkenalkan tahun 2000 dengan berlakunya PP No. 25 Tahun 2000, namun baru efektif sejak keluarnya SE Mendagri No.100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002. Namun, belum sempat daerah otonom menerapkan SPM sesuai amanat peraturan perundangundangan, UU No. 22 Tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini dilanjutkan dengan terbitnya PP No. 65 tahun 2005 yang memperkuat posisi SPM untuk diterapkan di daerah otonom. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana pengaturan SPM di instansi Pemerintah Pusat dan instansi Pemerintah Daerah, dan efektivitas pengaturan tersebut di daerah otonom, serta faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat efektivitas pengaturan SPM di daerah otonom. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar belum mampu diberikan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) secara optimal, meskipun Pemerintah terus mengembangkan pengaturan terkait penerapan SPM di daerah otonom. Kedua, pengaturan SPM bagi daerah otonom belum efektif karena peraturan perundang-undang yang mengatur SPM tidak menegaskan jenis pelayanan dasar yang wajib diatur dan rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan SPM tersebut tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Ketiga, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan SPM di daerah otonom. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengaturan SPM bagi daerah otonom adalah dengan merevisi Pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang berisi pengaturan tentang jenis pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintahan yang wajib diatur melalui pengaturan SPM. Selain itu, merevisi pedoman penyusunan dan penerapan SPM agar lebih sederhana dan tidak berbelitbelit, sehingga memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi dalam rangka mencapai target akhir SPM yaitu mewujudkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar sesuai amanat.

ABSTRACT
Demands on the fulfillment of basic service requirements, public health in particular as it grafted in the constitution and in many laws and regulations, are very high. Meanwhile, the government policies in order to encourage the amelioration of basic services through decentralization since 1999 has not seen the results. In order to do so, the Government has established the need for Minimum Service Standards (MSS) regulation for the self-government regions. Actually in 2000, the implementation of MSS policy for the autonomy regions have had introduced with the enactment of PP No. 25/2000, but it was going into effect since the issuance of SE Mendagri No.100/757/OTDA July 8, 2002. However, before the autonomy regions yet had time to implement the MSS as mandated by the legislation, Law number 22/1999 was altered to Law number 32/2004 regarding Local Governance. These changes are followed by the issuance of PP. 65/ 2005 to strengthen the position of MSS to be implemented in autonomy regions. This research begin with the main issue about how the MSS regulation in the government agencies and local government agencies, and the effectiveness of these regulations in autonomy regions, as well as the factors that encourage and impede the effectiveness of the MSS regulations in autonomy regions. The answer to the issues of this research was held in juridical-normative approach, by studying secondary data in a literature study manner using data collecting tool with data processing and analysis methods in qualitative approach and descriptive-analytical and prescriptive-analytical form.
This research has found several findings. First, despite still continue developing regulation regarding MSS implementation in autonomy region, the Government (both central and local) has not been able to give the the fulfillment of basic service requirements in an optimal fashion that required by the constitutional mandate. Secondly, MSS regulation for autonomy regions has not been effective yet due to laws and regulations governing the MSS does not emphasize the type of basic services that must be regulated and the formulation of norms and validity of regulation norms that are made as the legal basis of policies such MSS does not comply with the law principles and can be said invalid. Third, there are many factors that affecting the realization of MSS in the autonomy regions. For the matter of that, to comply ius constituendum, there is no other way to do to improve the MSS regulation for the autonomy regions other than to revise the articles in Law regarding Local Governance that contain the regulation regarding the types of basic services that become governance affair that must be regulated through the MSS regulation. And what is more, to revise guidance for the drafting and implementation of MSS to be more simple and not complicated, making it easier for the Government and Local Government to coordinate in order to achieve the MSS final target that is to actualize the public welfare through the fulfillment of basic service requirements as mandated by the constitution.
"
2011
T29260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library