Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Limbeng, Julianus
"Karo adalah salah satu sub-suku bangsa yang banyak anggota masyarakatnya melakukan migrasi ke Pulau Jawa, khususnya ke Jakarta dan sekitarnya. Perpindahan ini hingga saat ini terus berlangsung sehingga diperkirakan populasi orang Karo di Jakarta lebih kurang 20.000 orang. Hal ini bisa kita lihat dari data anggota Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) saja di Jakarta lebih kurang 12.000 orang, dan ditambah pemelukpemeluk agama lain seperti Katholik, Islam, Kristen Protestan dan lainnya. Namun sampai saat ini angka yang pasti tentang jumlah orang Karo di Jakarta belum ada.
Melakukan migrasi pada masyarakat Karo bukanlah prilaku yang acak, karena itu orang-orang yang memutuskan untuk bermigrasi dapat dianggap sebagai orang-orang pilihan dari antara populasi (Guillet et at, 1976: 10), walaupun mungkin ada unsur-unsur atau faktor kemungkinan yang mendorong untuk bermigrasi. Keadaan-keadaan biografi personal mungkin merupakan faktor-faktor selektif yang menentukan individu-individu yang mana cenderung bermigrasi (Pally, 1994 : 8).
Orang Karo yang melakukan migrasi ini biasanya mempunyai kelompok-kelompok dan memilih tempat tinggal sementara dimana ada orang yang dikenalnya seperti satu kampung, hubungan kerabat dan sebagainya, karena orang Karo yang di Jakarta berlainan asal usul dari daerah asalnya (Petro, 1981 : 1-10). Walaupun jauh dari daerah asalnya, masyarakat Karo di `perantauan' di dalam kehidupan dan adaptasinya dengan budaya-budaya yang amat heterogen masih berusaha mempertahankan identitas etniknya dengan melakukan kegiatan-kegiatan budaya yang dijewantahkan di dalam upacara-upacara adat yang dilakukan yang disebut dengan adat nggeluh (Ginting, 1989 : 1-20) yang dibawa dari daerah asal walaupun perubahan-perubahan dapat saja terjadi dari beberapa sisi akibat banyak faktor.
Keberadaan instrumen musik dalam setiap upacara-upacara adat adalah merupakan hal yang sangat penting. Ensambel musik ini dikenal dengan nama gendang lima sedalanen yang terdiri dari 5 buah instrumen, yaitu sarune (aerofon, single-reed), gendang indung (membranofon, konikal), gendang anak (membranofon, konikal), gang (gong), dan penganak yaitu sejenis gong kecil (Sembiring, 1995 : 2). Ensambel musik ini dimainkan oleh lima orang. Namun, sekarang ini alat musik ini sudah jarang sekali digunakan di dalam kegiatan upacara-upacara yang ada dan digantikan oleh satu alat musik saja yaitu kibot, dan orang Karo menyebutnya dengan gendang kibot.
Gendang kibot adalah sebuah alat musik elektrik keyboard (organ). Kibot ini dapat diprogram sedemikian rupa untuk meniru bunyi yang hampir sama denga bunyi gendang lima sedalanen. Tidak semua kibot dapat diterima, hanya produksi dari perusahaan alat musik Jepang Technics dengan sari KN-2000. Namun demikian masyarakat Karo di Jakarta menerima kehadiran alat musik ini walaupun adanya perubahan-perubahan di dalam bentuk penyajian. Kehadirannya hampir selalu ada dalam upacara-upacara adat yang dilakukan baik yang bersifat kegembiraan dan kesedihan. Gendang kibot tidak saja sebagai pelengkap upacara, tetapi dia berubab hampir menjadi utama, karena orang cenderung menghadiri sebuah kegiatan apabila alat musik ini ada. Dia menjadi sebuah alat yang mempunyai makna yang sangat luas di dalam adaptasi masyarakatnya untuk membawa masyarakatnya kepada sebuah manifestasi dalam pola-pola hubungan sosial baik ke dalam maupun keluar demi kelangsungan hidup masyarakatnya.
Soal bagaimana gendang kibot berfungsi sebagai salah satu alat integrasi masyarakat Karo di Jakarta dapat dilihat dart kepentingan dan peranan-peranannya di dalam setiap konteks upacara-upacara yang dilakukan masyarakatnya. Hal ini sudah pasti menyangkut adanya suatu kebutuhan masyarakat untuk menggunakan perangkat alat tersebut. Untuk itu, maka beberapa konsep penting untuk mengkaji fenomena tersebut antara lain adalah kebutuhan, integrasi (Smith, 1987), pranata atau institusi (Uphoff, 1986), strategi adaptasi (Smith, 1987), struktur sosial (Foster, 1949; Merton, 1968) dan perubahan sosial budaya (Suparlan, 1986; Bungess, 1948; Inkeles, 1955; Etzioni and Etzioni, 1964).
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teknik pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Di dalam penelitian ini peneliti terlibat aktif di dalam kegiatan-kegiatan gendang kibot, tetapi wawancara tetap dilakukan kepada sejumlah informan untuk mengambil data primer. Pengamatan dilakukan terhadap kegiatan kehidupan masyarakat Karo di Jakarta dan sekitarnya. Pendekatan kualitatif diarahkan untuk menggali data etnografi masyarakat yang diteliti mengenai fungsi gendang kibot di dalam penintegrasian masyarakat Karo di Jakarta. Pengamatan dan wawancara dilakukan saling melengkapi, baik dalam arti saling mengisi kekurangan data dan menjauhkan penfsiran-penafsiran yang bersifat pribadi.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Limbeng, Julianus
"Disertasi ini membahas tentang strategi bertahan seni pertunjukan Jaipong, yaitu Lingkung Seni Sinar Budaya di Bekasi. Jaipong sebagai sebagai sebuah seni pertunjukan Sunda yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat memiliki berbagai tantangan dalam kesinambungannya, khususnya di kota Bekasi, sehingga ada beberapa kelompok seni pertunjukan Jaipong yang mati. Namun ada juga yang hingga saat ini masih tetap eksis meskipun telah terjadi perubahan-perubahan disana. Lingkung Seni Sinar Budaya adalah salah satu kelompok seni pertunjukan Jaipong yang tetap hidup.
Dari sisi historis, Jaipong memang telah memiliki pergeseran fungsi, baik dari sisi pertunjukannya sendiri maupun masyarakat pendukungnya. Sebuah kesenian yang lahir dan erat kaitannya dengan ritus pertanian (sakral), dimana sistem mata pencaharian masyarakat pada masa itu memang didominasi masyarakat agraris, menjadi kesenian yang erat hubungannya dengan fungsi hiburan (sekuler) dengan pendukungnya yang lebih spesifik yang disebut dengan Bajidor. Dari fungsi penghormatan kepada Dewi Sri (yang dianggap sebagai Dewi Kesuburan) hingga penghormatan terhadap nilai-nilai ekonomi atau fungsi-fungsi ekonomi.
Fungsi ekonomi dilihat sebagai faktor yang sangat penting dalam keberlangsungan seni pertunjukan Jaipong. Jika dilihat kaitannya seni pertunjukan tersebut dengan lingkungannya, maka faktor ekonomi dapat dilihat sebagai sebuah nilai baru yang kemudian dijadikan sebagai dasar seluruh aktivitas pelaku seni pertunjukan Jaipong. Faktor ekonomi ini pulalah yang kemudian mempengaruhi bentuk seni pertunjukan tersebut. Ketika seni pertunjukan tersebut dapat memberikan nilai ekonomi bagi para pelakunya, maka seni pertunjukan tersebut tetap dapat bertahan. Ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan tradisional pun sebenarnya telah masuk dalam ranah pasar.
Ia dipandang sebagai sebuah komoditas yang memiliki nilai ekonomi yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif menangani masalah ekonomi rumah tangga. Namun dalam konteks Lingkung Seni Sinar Budaya, strategi bertahannya tidak hanya dilihat dari sisi perubahan seni pertunjukannya saja, tetapi juga dilihat bagaimana hubungan mutualisme simboiosis yang dilakukan dengan berbagai struktur sosial yang ada, dengan memanfaatkan faktor kelebihan dan kekurangan masing-masing.

This dissertation describe survival strategic performing arts of Jaipong Lingkung Seni Sinar Budaya Bekasi. Jaipong, who know Sundanese performing arts has been many challenges in his continuity, in case in Bekasi. Within the las ten years, several Jaipong group. However the Lingkung Seni Sinar Budaya could stay afloat with many changes. From the historical side, Jaipong have change of function, both from the side of his own (performing), as well as from the community supporters.
Jaipong was born and intimately connected with the rite of agriculture, a rite that is considered sacred in peasant community, but now turned into common art, with supporters of a more specific who called Bajidor. The function of the veneration of the goddess, Dewi Sri, who is considered as the goddess of fertility, and now Jaipong respect for the value of economic value or economic function.
Economy function is seen as a very important factor in the existence of the Jaipong, then the economic factors can be seen as new value, the value that affects the action of perpetrators. Economic factor that are the basis of managing the Jaipong as a performing arts. When the perfoming arts can provide economic impact for the its actor, the Jaipong can stay afloat. This shows that the traditional performing arts has entered the realm of the market.
Jaipong viewed as a commodity of value economic, which can be used as an alternative to deal with the problem of household economy. In the Jaipong Lingkung Seni Sinar Budaya context, its survival strategy not only as seen from changes caused by economic factors only, but also how to relationship mutualisme symbiosis conducted with various social structures that exist in their environment. By leveraging the advantage and disadvantage of each to live in its environtment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
D1330
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library