Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mas Ahmad Yani
Abstrak :
Studi terhadap efektifitas upaya Bank dalam menanggulangi tindakan penyimpangan penggunaan kredit, menjadi amat relevan, terutama dilihat dari sudut kriminnlogis. Hal ini disebabkan karena; pertama, penyimpangan penggunaan kredit (side streaming) secara kriminologis dapat dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan. Kedua, side streaming sering merepotkan bank dalam penanganannya. Karena selain dihadapkan pada masalah pembuktian untuk menentukan upaya-upaya hukum, juga karena upaya-upaya hukum itu sendiri bagi bank ditempatkan sebagai upaya akhir (ultimum remedium), baik dalam kerangka perdata maupun pidana sehingga model penanganan sengketa yang dikenal dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang bersifat rekonsiliatif lebih diutamakan. Ketiga, dalam rangka melaksanakan rekonsiliasi, pihak bank justru sering dihadapkan pada masalah-masalah sikap dan perilaku debitur yang dinilai tidak kooperatif. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan melakukan observasi terhadap data-data tertulis yang tersaji serta wawancara mendalam dengan informan atau nara sumber, dapat diketahui bahwa terdapat berbagai kelemahan yang dapat dinilai tidak efektif dalam upaya penanggulangan maupun mencegah tindakan side streaming. Analisa teori tentang reaksi formal dan informal terhadap kejahatan, penyimpangan, menyatakan, bahwa reaksi masyarakat akan timbul jika disadari tingginya tingkat seriusitas dari tindakan kejahatan/penyimpangan itu sendiri. Dengan demikian, maka reaksi akan timbul dari pihak bank, jika bank menyadari akan tingginya tingkat keseriusan dari akibat tindakan side streaming yang dilakukan debitur, Sebaliknya, jika bank tidak menyadari betapa seriusnya akibat-akibat yang timbul dari side streaming, reaksi formal maupun informal menjadi lemah dan dengan demikian kontrol menjadi lemah. Hal ini terbukti, karena kenyataan, bahwa ada pula praktik-praktik side streaming yang menimbulkan keuntungan bagi debitur dan debitur lancar tnengembalikan kreditnya pada pihak bank. Kenyataan ini sering dipersepsi sebagai tidak menimbulkan kerugian secara finansial bagi pihak bank. Kelemahan-kelemahan lainnya dapat dilihat dari perspektif bank sebagai korban. Teori tentang peran korban dalam suatu kejahatan antara lain menyatakan, bahwa korban dapat pula berperan sebagai pelaku, ketika ia memberi fasilitas atau kesempatan/peluang terjadinya suatu kejahatan. Peluang pertama, tentu saja ada karena masih terdapatnya persepsi yang berbeda-beda tentang side streaming itu sendiri. Peluang kedua, terjadi karena instrumen pengamanan kredit yang ada sementara ini, baik instrumen legal/administratif, ekonomik dan teknis, tidak cukup ntampu memberikan signal atau tanda-tanda yang dapat dipakai secara dini untuk tindakan-tindakan pencegahan maupun penanggulangan side streaming, karena tidak cukup memberikan signal bagi aspek-aspek perilaku dan karakter debitur. Peluang ketiga, terjadi karena dipengaruhi oleh filosofis bank dan pengertian kredit itu sendiri sebagai suatu lembaga yang didasarkan saling percaya. Sehingga mekanisme penegakan hukum sebagai wujud reaksi formal yang punatif sifatnya, ditempatkan sebagai upaya akhir (ultimum remedium). Prinsip ultimum remedium ini, dilihat dari sudut bank sebagai korban, seoalah-olah merupakan penangguhan terhadap penerapan sanksi-sanksi hukum yang bersifat punatif dan keras tersebut. Sementara itu dilihat dari sudut pelaku, prinsip ini memberi peluang bersifat menguntungkan terhadap pelaku, jika pelaku melakukan side streaming. Mengembangkan kearah persepsi yang sama dengan didasari oleh pemahaman terhadap tingkat keseriusan yang diakibatkan oleh tindakan side streaming, merupakan salah satu alternatif yang disarankan dalam upaya mengatasi dan menangggulangi tindakan side streaming. Caranya antara lain dengan mempertimbangkan bahwa terhadap tindakan, side streaming perlu dilakukan kriminalisasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10307
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Ahmad Yani
Abstrak :
Kebijakan pemberian bailout atau dana talangan dengan penamaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century, sejak digulirkan tahun 2008, hingga saat ini, telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Kontroversi itu, karena adanya pandangan bahwa kebijakan tersebut dinilai sebagai tidak layak dan menimbulkan kerugian bagi keuangan negara karena hanya menguntungkan salah satu pihak/kelompok tertentu saja. Dalam tinjauan kriminologi, kebijakan tersebut dapat dipandang sebagai kejahatan yang berada dalam ruang lingkup White Collar Crime (WCC), dilakukan oleh korporasi birokrasi negara. Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan penelitiannya adalah: 1. Mengapa di dalam mensikapi kasus Bank Century, di antara berbagai alternatif pemecahan masalah, kebijakan yang diambil oleh KSSK adalah bailout yang ternyata dikemudian hari disalah gunakan oleh Bank Century. 2. Kebijakan baru apa yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kasus Bank Century. Dengan pendekatan metode kualitatif, sifat kejahatan dari kebijakan FPJP Bank Century, ternyata tidak bisa hanya dilihat dari aspek pengambilan kebijakannya saja. Tetapi, perlu dilihat dari seluruh rangkaian kegiatan yang menunjukkan terjadinya kejahatan baik di Unit Operasional Bank Century, unit pengambilan kebijakan (KSSK-BI-LPS), dan unit pelaksana kebijakan (LPS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Peristiwa atau bentuk kejahatan di Unit Operasional Bank Century dan LPS selaku pelaksana kebijakan FPJP Bank Century, merupakan peristiwa/bentuk kejahatan yang menghimpit (beririsan) atau bersinggungan satu sama lain. Menyebabkan pengambilan kebijakan FPJP Bank Century oleh otoritas berwenang, memiliki kandungan/ sifat-sifat jahat (kriminogenik), sebagai kejahatan yang dilakukan oleh birokrasi Negara/kejahatan negara. 2. Peristiwa atau bentuk kejahatan yang terjadi di Unit Operasional Bank Century merupakan “penyebab” mengapa pengambilan kebijakan FPJP mengandung gen atau sifat-sifat kriminal. Sedangkan peristiwa/bentuk kejahatan yang terjadi di Unit Pelaksana Kebijakan, yakni LPS, adalah sebagai “akibat” yang membentuk FPJP Bank Century menjadi kejahatan Negara yang dapat dilihat secara nyata. 3. Memisahkan satu sama lain dari peristiwa/bentuk kejahatan yang terjadi pada masingmasing Unit Operasional tersebut di atas, mengakibatkan bentuk dan sifat kejahatan negara dalam pengambilan kebijakan FPJP Bank Century tidak terlihat secara sempurna/tidak kasat mata/tersamar karena peristiwa atau bentuk kejahatannya menyebar (diffusion) sesuai tugas pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing. 4. Hal itulah yang menyebabkan pembuat kebijakan pemberian FPJP kepada Bank Century terisolasi dari pandangan bahwa kebijakan yang salah dan merugikan adalah kejahatan. 5. Untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, direkomendasikan perlu ada mekanisme kontrol sosial yang melibatkan peran serta masyarakat yang lebih luas, misal optimalisasi peran DPR-RI melalui pemberian izin prinsip sebelum kebijakan digulirkan.
The policy of providing bailouts with the naming of the Short Term Funding Facility (STFF) to the Century Bank, since it was rolled out in 2008, until now, has caused controversy among the people. The controversy was due to the view that the policy was considered inappropriate and caused losses to the state finances because it was seen to only benefit one particular party/group. In a criminological review, the controversy can be seen (assumed) as a crime within the scope of the White Collar Crime (WCC), committed by the state bureaucratic corporation. Based on this, the research questions are: 1. Why is responding to the Century Bank case, among the various alternative solutions to the problem, the policy taken by the KSSK was a bailout that was later misused by Century Bank? 2. What new policies are needed to prevent a repeat of the Century Bank case? With a qualitative method approach, the nature of crime from Century Bank's STFF needs to be seen from the whole series of activities that show the occurrence of crime both in the Century Bank Operational Unit, the policy making unit (KSSK-BI-LPS), and the policy implementation unit (LPS). The research showed that: 1. Phenomenon or forms of crime in Century Bank Operational Units and LPS as implementing Century Bank STFF policies are events/forms of crime which coincide or intersect with each other. Causing the decision making of Century Bank's STFF policy by the competent authority, containing evil / criminogenic properties, such as a crime committed by the State bureaucracy/state crime. 2. Events or forms of crime that occurred in Century Bank Operational Units are the 'causes' why STFF policymaking contains genes or criminal traits. While the events/forms of crime that occurred in the Policy Implementation Unit, namely LPS, are as a 'result' that formed the Century Bank STFF into a state crime that can be seen clearly. 3. Separating each other from the events/forms of crime that occurred in each of the Operational Units mentioned above, resulting in the form and nature of state crime in making Century Bank STFF policies not seen perfectly / invisible / disguised because events or forms of crime spread ( diffusion) according to the main tasks, functions and respective authorities. 4. These factors have caused policymakers to provide STFF to Bank Century with isolation from the view that wrong and harmful policies are crimes. 5. To prevent the recurrence of similar actions, it is recommended that there is a need for social control mechanisms that involve broader community participation, for example optimizing the role of the house of representatives (DPR-RI) through granting principle permission before the policy is rolled out.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Ahmad Yani
Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan Anak Bangsa (LP2AB), 2024
336.343 MAS s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library