Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhyiddin
Abstrak :
ABSTRAK Karya Lulis ini mencoba menyelidiki dan mcnjelaskan dampak korupsi lerhadap GDP perkapita pada panel data 105 negara. Kekhususan paper ini jika dibandingkan dengan studi-studi terdahulu adalah mencoba menyelidiki bahwa dampak korupsi terhadap pembangunan berbeda antar Negara dengan menambahkan variabel dummy negara maju dan negara berkembang Serta pengelompolcan dummy berdasarkan wilayah geogran (yaitu negara barat dan maju, Negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin dan r Karibia, serta Eropa Timur dan bekas Uni Soviet). Metode yang dipakai adalah OLS . panel, ZSLS, dan fixed effects regressions. 1-lasilnyamenunjukkan bahwa perlama, dengan meuggunakan OLS dan ZSLS, dampak korupsi terhadap GDP per kapita adalah . ncgatif dan signifikan. Dengan memakai fixed effects, hasilnya menunjukkan bahwa l dampak tersebut tidak si gnilikan clikarenakan adanya kemungkinan data panel yang terlalu pendek (hanya 6 tahun durasi data) Serta measurement emor (kesalahan pengukuran variabcl korupsi). Kedua, dampak negatif korupsi dirasakan lebih besar di negara berkembang dibandingkan di negara maju, Ketiga, jika dilihat dari wilayah 0 geografi, dampak negatif korupsi terhadap pembangunan dirasakan paling besar di negara berkembang di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, lalu berturut-turut di Asia, Atnka, rl Negara Barat dan Maju, serta paling kecil dampaknya di Negara berkembang di Amerika Latin dan Karibia.
ABSTRACT This paper tries to investigate and explain the impact ofcomiption on per capita GDP across 105 countri cs. The distinction of this paper comparing to earlier studies is to investigate that the impact of corruption on development is different among countries by involving dummy developed and developing countries and cluster geographical areas (Western and developed countries, Developing oountries in Asia, Africa, South America and Caribbean, and Eastern Europe and Ex Soviet Union). The methods used are OLS, ZS LS, and fixed effects regressions. The results show that first, by using OLS and ZSLS, the impact of corruption on per capita GDP is negatively significant. Fixed effects estimation show no impact ofoorruption on pcr capita GDP but this is probably duc to the short panel as well as measurement error. Second, developing countries have higher impact of con-uption on per capita GDP rather than developed countries. Third, looking on across geographical areas, developing countries in Eastern Europe and Ex Soviet Union have the highest negative impact, and then in Asia, Afiica, Westem and developed countries, and the lowest is in developing countries in South America and Caribbean.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T34222
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhyiddin
Abstrak :
Lembaga thing tank pemerintah pada dasarnya berfungsi sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan pemerintah. Bappenas salah satu tugas dan fungsinya adalah sebagai think tank pemerintah. Untuk mencari bentuk kelembagaan yang sesuai, maka studi ini mengelaborasi kelembagaan think tank pemerintah manca negara. Pada studi dnegan pendekatan kualitatif ini menguraikan beberapa model paraktik-praktik terbalik diantara korean development institute (KDI)- Korea selatan. Nasional institution for transforming India (NITI) Aayog-India, National Economic and social Development Board(NESDB)- Thailand,dan Productivity commisiion (PC)- Australia. Dari 4 model kelembagaan tersebut, Studi ini memberi 4 aternatif opsi sebagai rekomendasi Pertama, untuk pemerintah dapat melakukan revitalisasi sebagai organ di Bappenas untuk menjadi unit kerja think tank pemerintah. Opsi ini jika lembaga Bappenas tetap memegang fungsi perencanaan dan penganggaran, maka merujuk pada NSEBD- Thailan. Kedua, mentrasformasi Bappenas menjadi lembagaThink tank pemerintah secara keseluruhan, dengan rujukan NITI Aayog- India Ketiga, melepas unit kerja yang melaksanakan fungsi think tank di Bappenas dan dijadikan lembaga khusus think tank dibawah Bappenas, rujukannya KDI- Korea Selatan. Keempat, membentuk kelembagaan baru think tank bawah Presiden dengan memanfaatkan sumber daya kelembagaan think tank yang sudah ada dipemerintahan seperti Bappenas dan litbang Kementerian dan lembaga yang sebelumnya juga mempunyai tugas sebagai jembatan atas ilmu pengetahuan kepada kebijakan (bridging knowledge to policy), rujukanya PC -Australia
Kementrian PPN/ Bappenas, 2017
03-18-717470489
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhyiddin
Abstrak :
ABSTRAK
Studi ini mencoba mengelaborasi model kelembagaan think tank pemerintah yang sesuai dengan Indonesia. Pendekatan studi ini kualitatif dengan melakukan studi best practices di Korea Selatan dan India yang mempunyai lembaga think tank yang berasal dari institusi perencanaan, yaitu KDI dan NITI Aayog. Adaptasi model KDI dan NITI Aayog diperlukan untuk merevitalisasi fungsi think tank yang sudah ada pada Bappenas. Kelembagaan think tank ini akan menjadi jembatan antara penelitian dan kebijakan (bridging research to policy) dan jembatan ilmu pengetahuan kepada kekuasaan (bridging knowledge to power). Kompleksitas permasalahan pembangunan menjadi tantangan pemerintah untuk dikelola dan diatasi berdasarkan ilmu pengetahuan yang bersumber dari penelitian akademis. Lembaga think tank harus dapat merumuskan bagaimana ilmu pengetahuan tersebut ditransformasikan menjadi riset kebijakan sehingga dihasilkan solusi kebijakan yang teruji.
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2019
330 BAP 2:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhyiddin
Abstrak :
Masalah pengangguran dan kebijakan ketenagakerjaan menjadi prioritas pemerintahan melalui kebijakan pemerintah yang berorientasi pada full employment yang diharapkan akan berdampak pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Konsep welfare to work (WTW) saat ini telah menjadi pembahasan sentral di banyak negara saat berbicara tentang isu pengangguran dan ketenagakerjaan. Model ini adalah salah satu oprasional dari pendekatan Active Labour Market Policy (ALMP) yang muncul sebagai kritik atas pendekatan lama yaitu Passive Labour Market Policy (PLMP). Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan sebuah pendekatan yang secara jelas dan sistematis benar-benar mengantarkan para pencari kerja untuk dapat kembali bekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) melakukan identifikasi atas faktor-faktor penentu atas dukungan implementasi Program Kartu Prakerja; (2) Menyusun disain hubungan antar lembaga antar pemerintah pelaksana Program Kartu Prakerja dengan lembaga penyedia jasa swasta dan organisasi lokal; (3) Menyusun mekanisme insentif baik bagi pencari kerja maupun lembaga penyedia layanan WTW khususnya pada pencari kerja dari kelompok rentan; (4) Menyusun desain program peningkatan kapasitas dan profesioanalitas petugas penyedia pelayanan lapangan (frontliner-activation workers) 5) Memetakan persepsi kelompok terdampak atas keberadaan Program Kartu Prakerja di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Program Kartu Prakerja adalah suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ditengah kondisi pandemi COVID-19 sebagai suatu social safety net dan untuk melatih serta meningkatkan kompetensi angkatan kerja menghadapi bonus demografi pada tahun 2030. Sosialisasi yang digunakan oleh pihak dinas secara intensif hanya dilakukan melalui satu platform media sosial (instagram). Selain itu, interaksi yang terjadi dalam akun tersebut dapat dikatakan sangat minim dan kurang efektif.
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2022
330 BAP 5:1 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhyiddin
Abstrak :
Pandemi Covid-19 melanda dunia, dan Indonesia termasuk di dalamnya. Indonesia berjuang melawan Covid-19 dengan memodifikasi kebijakan karantina wilayah (lockdown) menjadi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang bersifat lokal sesuai tingkat keparahan di wilayah provinsi, kabupaten, atau kota. Selama masa pandemi ini, perekonomian dunia dan Indonesia mengalami pelambatan. Pemerintah dan lembaga kajian strategis memprediksi Indonesia tumbuh rendah atau bahkan negatif di tahun 2020. Untuk itu, Pemerintah berupaya mengagendakan kebijakan Normal Baru agar dampak ekonomi akibat pandemi tidak sampai menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Kebijakan ini berhubungan dengan perencanaan pembangunan dimana Pemerintah sudah menetapkan program, target, dan major projects di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah perlu melakukan penelaahan kembali terhadap rencana jangka menengah mengingat pada tahun 2020 semua program dilakukan pengalihan fokus untuk penanganan Covid-19. Pemerintah mempunyai 3 alternatif dalam perencanaan jangka menengah, apakah tetap dengan rencana semula, melakukan revisi moderat, atau mengganti dengan rencana yang baru dengan mendasarkan asumsi yang sudah diperbaharui dengan datangnya pandemi Covid-19 dan dampak ekonomi yang mengiringinya.
Jakarta: Badan Perencanaan PembangunaN Nasional (BAPPENAS), 2020
330 JPP 4:2 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Muhyiddin
Abstrak :
Berbagai peristiwa terorisme yang terjadi di tanah air selalu diikuti lalu dipenuhsesaki narasi tentang pelaku. Cerita korban jarang diulas dalam kajian akademik di Indonesia. Korban, begitu pula dalam kebijakan hanya menjadi pelengkap yang letaknya di pinggiran. Soal deradikalisasi dan kegiatan pertemuan korban-pelaku dalam rangka restorative justice di Indonesia oleh banyak peneliti, baik dari Indonesia maupun luar, hanya menyorot pelaku. Para pemangku otoritas acapkali dianggap juga menomorduakan korban. Padahal, narasi korban sangat penting diangkat. Tentang bagaimana mereka melewati semua trauma, beratnya memaafkan pelaku dan dinamika diantara berbagai organisasi korban bom di Indonesia sangat menarik dibahas dan dijadikan pembelajaran (best practice) bagi generasi mendatang. Dengan memakai pisau analisis penganjur restorative justice seperti J. Braithwaite, H. Bianchi, N. Christie, Umbreit dan lainnya, peneliti menemukan fakta bahwa para korban ini butuh bersikap altruistik dan memaafkan pelaku karena hal ini bisa membuat korban lebih mudah menatap masa depan. Namun, bagi penentangnya, seperti A. Acorn, A. Pemberton, Van Dijk, dan lainnya menilai rekonsiliasi untuk penyembuhan korban bersifat semu karena korban berpotensi menjadi viktimisasi sekunder akibat ekspektasi tinggi dari masyarakat terhadap perdamaian. Dengan memakai penelitian Kualitatif dan pendekatan Fenomenologi, peneliti mewawancarai lima narasumber dari empat organisasi korban yang dianggap representatif. Hasilnya mencerminkan kedua polar akademisi yang disebut di atas. Bagi pendukung keadilan restorasi, para korban ini menganggap pertemuan korban-pelaku sangat penting untuk mewujudkan pelaku yang meminta maaf dengan tulus dan korban yang memberikan maaf. Bahkan, korban di pihak pendukung restorative justice kini bisa bekerja sama dengan mantan teroris. Namun, bagi penentangnya, restorative justice ini tak ubahnya panggung sandiwara yang  menjadikan korban sebagai komoditas yang dijual cerita penderitaannya. Pemaafan dan pertemuan korban-pelaku hanya bisa diselenggarakan efektif andai kewajiban pelaku dan negara terhadap korban sudah ditunaikan. ......Terrorism incidents in Indonesia are always loaded with narratives about the perpetrators. Victim stories are rarely discussed in academic studies in Indonesia. For policy makers and authorities, victims only serve as complements as a second priority. Many researchers, both from Indonesia and abroad who are focusing on deradicalization and engagement movements for victims and perpetrators, exclusively stressing the perpetrators as the main subject. Hence, the victim's narrative is extremely essential, especially about how they went through all the trauma, how hard it is to forgive the perpetrators and the dynamics between various organizations for bomb victims in Indonesia are very interesting to discuss and serve as lessons. Using the analytical knife of restorative justice advocates such as J. Braithwaite, H. Bianchi, N. Christie, Umbreit and others, researchers discovered the fact that these victims need to be altruistic and forgive the perpetrators because, in that way, the victims can be better to move forward. However, his opponents, such as A. Acorn, A. Pemberton, Van Dijk, and others, see reconciliation for healing victims as seemingly because victims have the potential to become secondary victims due to high expectations from society for peace. Using qualitative research and a phenomenological approach, the researcher interviewed five informants from four victim organizations that were considered representative. The results reflect the two polar academics mentioned above. For proponents of restoration justice, these victims consider the meeting between victims and perpetrators to be very crucial to make perpetrators apologize sincerely and a victim forgive the perpetrator. However, for those who oppose it, restorative justice is like a stage where victims are sold as commodities for the stories of their suffering. Forgiveness and engagement between victims and perpetrators can only be held effectively if the obligations of the perpetrators and the government towards the victims have been fulfilled.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Muhyiddin
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5790
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yassin, Muhyiddin
Kuala Lumpur: Institut terjemahan negara Malaysia berhad, 2012
370.959 5 MUH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library