Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadira Putri Krisandy
"Formulasi serbuk inhalasi rifampisin carrier-free dapat menghantarkan rifampisin dalam jumlah yang adekuat untuk menjamin efektivitas terapi tuberkulosis. Diperlukan serbuk inhalasi rifampisin dengan sifat aerodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian bertujuan untuk menghasilkan sediaan serbuk inhalasi rifampisin yang memiliki sifat aerdonamis yang baik dengan adanya penambahan l-leusin dan/atau amonium bikarbonat, dengan pelepasan obat yang baik dalam medium makrofag paru. Serbuk inhalasi rifampisin (F1) diformulasikan dengan leusin 30% (F2), amonium bikarbonat 2% (F3) atau kombinasinya (F4) dan dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk yang diperoleh kemudian dikarakterisasi rendemen, kandungan lembab, ukuran partikel geometris dan aerodinamis, serta kelarutan dan profil disolusinya dalam medium simulasi cairan paru pH 7,4 dan medium simulasi makrofag paru pH 4,5. Penambahan leusin 30% (F2) berhasil sedikit memperbaiki sifat aerodinamis serbuk inhalasi rifampisin (F1) dengan diameter aerodinamis rata-rata 8,21 μm, FPF 30,73% dan EF 42,60%, serta meningkatkan pelepasan rifampisin dalam medium simulasi makrofag alveolar (pH 4,5) menjadi 13,14 ± 0.08% dengan peningkatan 1,62x dibanding serbuk rifampisin (F1).

A carrier-free dry powder inhaler of rifampicin formulations could deliver adequate amounts of rifampicin to provide the effectiveness of tuberculosis therapy. Inhaled rifampicin powder with good aerodynamic properties was required to be deposited in the lungs. The aim of the study was to produce a rifampicin inhaled powder that had good aerodynamic properties with the addition of L-leucine and/or ammonium bicarbonate, with good drug release in the medium of lung macrophages. Inhaled rifampicin powder (F1) was formulated with 30% leucine (F2), 2% ammonium bicarbonate (F3), or a combination thereof (F4) and was prepared by spray dry method. The obtained powder was then characterized by yield, moisture content, geometric and aerodynamic particle size, as well as solubility and dissolution profile in lung fluid simulation medium (pH 7.4) and lung macrophage simulation medium (pH 4.5). The addition of 30% leucine (F2) succeeded in slightly improving the aerodynamic properties of the inhaled rifampicin powder (F1) with an average aerodynamic diameter of 8.21 μm, FPF 30.73%, and EF 42.60%, as well as increasing the drug release of rifampicin in the alveolar macrophage simulation medium (pH 4.5) to 13.14 ± 0.08% with an increase of 1.62x compared to rifampicin powder (F1)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Dalam melaksanakan kegiatan proses pembuatan obat, obat herbal, maupun suplemen, industri farmasi wajib menerapkan kaidah Good Manufacturing Practices (GMPs) atau di Indonesia disebut juga dengan kaidah Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu, ketentuan izin pembuatan, dan izin edar. Salah satu aspek CPOB yang harus dilaksanakan oleh tiap industri farmasi dalam produksi obat maupun bahan obat adalah validasi. Validasi merupakan suatu tindakan pembuktian yang sesuai dengan prinsip CPOB bahwa prosedur, proses, material, kegiatan atau sistem akan senantiasa memberikan hasil produk yang konsisten dan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Sebagai bentuk pengendalian menyeluruh terhadap proses produksi dan untuk menjamin konsistensi mutu produk, PT Bintang Toedjoe melakukan validasi proses yang meliputi serangkaian kegiatan selama siklus hidup produk dan proses. Validasi dilakukan pada tiga batch berturut-turut untuk skala produksi komersil dan dilakukan revalidasi setelah tiga tahun. Pada tugas ini dilakukan pembuatan protokol validasi proses dan pengkajian hasil validasi proses terhadap produk Komix Varian “X” di PT Bintang Toedjoe, lalu mendokumentasikannya dalam bentuk laporan validasi proses. Berdasarkan hasil validasi proses yang telah dilaksanakan terhadap produk Komix “X” di PT Bintang Toedjoe, secara keseluruhan, seluruh kegiatan yang dilakukukan yaitu penimbangan, compounding, dan filling telah sesuai dengan prosedur dan dapat memberikan hasil yang sesuai dengan kriteria penerimaan. Dengan demikian, proses produksi produk Komix Varian “X” dinyatakan valid dan dapat diterapkan untuk produksi bets komersil selanjutnya.

In carrying out the activities of the process of producing drugs, herbal medicines, and supplements, the pharmaceutical industry is required to apply the principles of Good Manufacturing Practices (GMPs) or in Indonesia they are also known as Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) which aim to ensure that the quality of the drugs produced meets the requirements. One aspect of GMP that must be carried out by every pharmaceutical industry in the production of drugs and medicinal ingredients is validation. Validation is an act of proof that is in accordance with GMP principles that procedures, processes, materials, activities or systems will always provide consistent product results and in accordance with established specifications. As a form of overall control of the production process and to ensure product quality consistency, PT Bintang Toedjoe conducts process validation which includes a series of activities throughout the product and process life cycle. Validation was carried out on three consecutive batches for commercial production scale and revalidated after three years. In this task, a process validation protocol was developed and the process validation results were assessed for the product of Komix Variant “X” at PT Bintang Toedjoe, then documented in the form of a process validation report. Based on the results of the process validation that has been carried out on the Komix "X" product at PT Bintang Toedjoe, overall, all activities carried out, such as weighing, compounding, and filling are in accordance with procedures and can produce results that are in accordance with the acceptance criteria. Thus, the production process for the Komix Variant "X" product is declared valid and can be applied for the production of further commercial batches."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Dalam melaksanakan kegiatan proses pembuatan obat, obat herbal, maupun suplemen, industri farmasi wajib menerapkan kaidah Good Manufacturing Practices (GMPs) atau di Indonesia disebut juga dengan kaidah Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan memenuhi persyaratan mutu, ketentuan izin pembuatan, dan izin edar. Salah satu aspek CPOB yang harus dilaksanakan oleh tiap industri farmasi dalam produksi obat maupun bahan obat adalah validasi. Validasi merupakan suatu tindakan pembuktian yang sesuai dengan prinsip CPOB bahwa prosedur, proses, material, kegiatan atau sistem akan senantiasa memberikan hasil produk yang konsisten dan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Sebagai bentuk pengendalian menyeluruh terhadap proses produksi dan untuk menjamin konsistensi mutu produk, PT Bintang Toedjoe melakukan validasi proses yang meliputi serangkaian kegiatan selama siklus hidup produk dan proses. Validasi dilakukan pada tiga batch berturut-turut untuk skala produksi komersil dan dilakukan revalidasi setelah tiga tahun. Pada tugas ini dilakukan pembuatan protokol validasi proses dan pengkajian hasil validasi proses terhadap produk Komix Varian “X” di PT Bintang Toedjoe, lalu mendokumentasikannya dalam bentuk laporan validasi proses. Berdasarkan hasil validasi proses yang telah dilaksanakan terhadap produk Komix “X” di PT Bintang Toedjoe, secara keseluruhan, seluruh kegiatan yang dilakukukan yaitu penimbangan, compounding, dan filling telah sesuai dengan prosedur dan dapat memberikan hasil yang sesuai dengan kriteria penerimaan. Dengan demikian, proses produksi produk Komix Varian “X” dinyatakan valid dan dapat diterapkan untuk produksi bets komersil selanjutnya.

In carrying out the activities of the process of producing drugs, herbal medicines, and supplements, the pharmaceutical industry is required to apply the principles of Good Manufacturing Practices (GMPs) or in Indonesia they are also known as Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) which aim to ensure that the quality of the drugs produced meets the requirements. One aspect of GMP that must be carried out by every pharmaceutical industry in the production of drugs and medicinal ingredients is validation. Validation is an act of proof that is in accordance with GMP principles that procedures, processes, materials, activities or systems will always provide consistent product results and in accordance with established specifications. As a form of overall control of the production process and to ensure product quality consistency, PT Bintang Toedjoe conducts process validation which includes a series of activities throughout the product and process life cycle. Validation was carried out on three consecutive batches for commercial production scale and revalidated after three years. In this task, a process validation protocol was developed and the process validation results were assessed for the product of Komix Variant “X” at PT Bintang Toedjoe, then documented in the form of a process validation report. Based on the results of the process validation that has been carried out on the Komix "X" product at PT Bintang Toedjoe, overall, all activities carried out, such as weighing, compounding, and filling are in accordance with procedures and can produce results that are in accordance with the acceptance criteria. Thus, the production process for the Komix Variant "X" product is declared valid and can be applied for the production of further commercial batches."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien di Apotek, seorang apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan harus mampu menjamin bahwa pasien memperoleh pengobatan yang aman, bermutu, dan berkhasiat sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Salah satu upaya untuk menerapkan standar pelayanan kefarmasian di apotek, seorang farmasis diharapkan mampu memperkecil potensi terjadinya medication error dalam melakukan praktik kefarmasian. Medication error didefinisikan sebagai setiap peristiwa yang bisa dicegah, yang bisa menyebabkan atau mengarah pada penggunaan obat yang tidak tepat atau harm pada pasien ketika obat itu berada dalam pengendalian profesional pelayanan kesehatan, pasien, atau konsumen. Salah satu bentuk medication error yang mungkin terjadi yaitu kesalahan seorang farmasis dalam penyimpanan dan peletakan obat LASA (Look Alike Sound Alike) atau NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirim) yaitu obat-obatan yang memiliki bentuk, rupa, dan penguacapan yang mirip dengan obat lainnya. Dalam laporan tugas khusus ini, akan dilakukan observasi langsung dan evaluasi penyimpanan obat LASA untuk obat golongan antibiotik, antihistamin, kortikosteroid, antidiabetes, dan obat gangguan kardiovaskuler di Apotek Kimia Farma M. Kahfi 2 dengan pedoman yang berlaku. Hasil observasi didokumentasikan dan dilakukan tindakan perbaikan apabila terdapat ketidaksesuaian pada penyimpanan obat LASA. Berdasarkan hasil evaluasi penyimpanan obat LASA, dapat disimpulkan bahwa masih ada beberapa penyimpanan obat LASA yang masih belum sesuai dengan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan telah dilakukan tindakan perbaikan dengan menyetak ulang label obat, menyusun ulang penyimpanan obat LASA, dan penambahan stiker LASA pada kotak penyimpanan obat.

providing pharmaceutical services to patients in pharmacies, a pharmacist as one of the health workers must be able to ensure that patients obtain safe, quality and efficacious treatment in accordance with the mandate stated in Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009. One of the efforts to implement pharmaceutical service is the pharmacists are expected to be able to minimize the potential for medication errors in carrying out pharmaceutical practices. Medication error is defined as any preventable event that can cause or lead to inappropriate use of medication or harm to a patient when the medication is in the control of a health care professional, patient, or consumer. One form of medication error that may occur is a pharmacist's error in the storage and placement of LASA (Look Alike Sound Alike) or NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirim) drugs, which are drugs that have a shape, appearance, and pronunciation that are similar to other drugs. In this article, direct observation and evaluation of LASA drug storage for antibiotics, antihistamines, corticosteroids, antidiabetics, and cardiovascular disorders drugs at Apotek Kimia Farma M. Kahfi 2 will be carried out with applicable guidelines. The results of the observations are documented and corrective action is taken if there are discrepancies in the storage of LASA drugs. Based on the results of the evaluation of LASA drug storage, it can be concluded that there are still some LASA drug storage that is still not in accordance with the Guidelines of Pharmaceutical Service Standards in Pharmacies and corrective action has been taken by reprinting drug labels, rearranging LASA drug storage, and adding LASA stickers to drug storage boxes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien di Apotek, seorang apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan harus mampu menjamin bahwa pasien memperoleh pengobatan yang aman, bermutu, dan berkhasiat sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Salah satu upaya untuk menerapkan standar pelayanan kefarmasian di apotek, seorang farmasis diharapkan mampu memperkecil potensi terjadinya medication error dalam melakukan praktik kefarmasian. Medication error didefinisikan sebagai setiap peristiwa yang bisa dicegah, yang bisa menyebabkan atau mengarah pada penggunaan obat yang tidak tepat atau harm pada pasien ketika obat itu berada dalam pengendalian profesional pelayanan kesehatan, pasien, atau konsumen. Salah satu bentuk medication error yang mungkin terjadi yaitu kesalahan seorang farmasis dalam penyimpanan dan peletakan obat LASA (Look Alike Sound Alike) atau NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirim) yaitu obat-obatan yang memiliki bentuk, rupa, dan penguacapan yang mirip dengan obat lainnya. Dalam laporan tugas khusus ini, akan dilakukan observasi langsung dan evaluasi penyimpanan obat LASA untuk obat golongan antibiotik, antihistamin, kortikosteroid, antidiabetes, dan obat gangguan kardiovaskuler di Apotek Kimia Farma M. Kahfi 2 dengan pedoman yang berlaku. Hasil observasi didokumentasikan dan dilakukan tindakan perbaikan apabila terdapat ketidaksesuaian pada penyimpanan obat LASA. Berdasarkan hasil evaluasi penyimpanan obat LASA, dapat disimpulkan bahwa masih ada beberapa penyimpanan obat LASA yang masih belum sesuai dengan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan telah dilakukan tindakan perbaikan dengan menyetak ulang label obat, menyusun ulang penyimpanan obat LASA, dan penambahan stiker LASA pada kotak penyimpanan obat.

providing pharmaceutical services to patients in pharmacies, a pharmacist as one of the health workers must be able to ensure that patients obtain safe, quality and efficacious treatment in accordance with the mandate stated in Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009. One of the efforts to implement pharmaceutical service is the pharmacists are expected to be able to minimize the potential for medication errors in carrying out pharmaceutical practices. Medication error is defined as any preventable event that can cause or lead to inappropriate use of medication or harm to a patient when the medication is in the control of a health care professional, patient, or consumer. One form of medication error that may occur is a pharmacist's error in the storage and placement of LASA (Look Alike Sound Alike) or NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirim) drugs, which are drugs that have a shape, appearance, and pronunciation that are similar to other drugs. In this article, direct observation and evaluation of LASA drug storage for antibiotics, antihistamines, corticosteroids, antidiabetics, and cardiovascular disorders drugs at Apotek Kimia Farma M. Kahfi 2 will be carried out with applicable guidelines. The results of the observations are documented and corrective action is taken if there are discrepancies in the storage of LASA drugs. Based on the results of the evaluation of LASA drug storage, it can be concluded that there are still some LASA drug storage that is still not in accordance with the Guidelines of Pharmaceutical Service Standards in Pharmacies and corrective action has been taken by reprinting drug labels, rearranging LASA drug storage, and adding LASA stickers to drug storage boxes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Dalam menunjang kesehatan masyarakat, penting untuk diperhatikan agar obat dan alat kesehatan yang didistribusikan sampai ke tangan pasien dengan kondisi yang terjamin mutu, khasiat, dan keamanannya. Untuk menjamin hal tersebut, Pedagang Besar Farmasi (PBF) atau distributor farmasi wajib berpedoman pada Cara Distibusi Obat yang Baik (CPOB) untuk proses distribusi obat. PBF memiliki peran yang esensial dalam menerima, menangani, menyimpan, mendistribusikan obat dan alat kesehatan sesuai dengan sifat dan karakteristik dari masing-masing produk farmasi. Salah satu contoh dari produk farmasi yang memerlukan perhatian khusus terkait penanganannya adalah produk rantai dingin atau Cold Chain Product (CCP) yaitu produk yang bersifat thermosensitive sehingga dibutuhkan penanganan khusus yaitu dengan mengontrol temperatur produk dan sekeliling produk untuk tetap berada dalam rentang 2-8°C dengan tidak terputus mulai dari pabrik hingga didistribusikan kepada pasien. Sebagai bentuk pengendalian menyeluruh terhadap proses distribusi CCP dan menjamin konsistensi sistem pengiriman dan penanganan CCP, PT Enseval Putera Megatrading Tbk melakukan validasi pengiriman CCP yang dilakukan secara periodik setiap tiga tahun sekali dan/atau setiap ada perubahan yang signifikan. Validasi ini bertujuan untuk membuktikan bahwa proses pengemasan dan pengiriman cold chain product yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Validasi pengiriman dilakukan selama sembilan jam dalam waktu tiga hari berturut-turut. Berdasarkan hasil pencatatan suhu oleh termometer data logger dan pengelolaan data suhu selama validasi pengiriman CCP, diperoleh hasil bahwa suhu pengiriman produk rantai dingin berada dalam rentang yang memenuhi spesifikasi sesuai dengan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik Tahun 2020 yaitu pada suhu 2-8°C dan suhu dapat dipertahankan selama sembilan jam proses pengiriman. Dengan demikian, proses transportasi produk rantai dingin dinyatakan valid. Selain itu, berdasarkan hasil observasi kesesuaian pengiriman cold chain product di PBF PT Enseval Putera Megatrading Tbk Branch Jakarta 4 dengan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik, diperoleh hasil bahwa kedelapan elemen terkait pengiriman cold chain product sudah diimplementasikan sesuai dengan pedoman.

In supporting public health, it is important to pay attention so that the drugs and medical devices that are distributed reach the hands of patients with guaranteed quality, efficacy, and safety. To guarantee this, Pedagang Besar Farmasi (PBF) or pharmaceutical distributors must be guided by Good Distribution Practice (GMP) for the drug distribution process. PBF has an essential role in receiving, handling, storing, distributing drugs and medical devices according to the stability and characteristics of each pharmaceutical product. One example of a pharmaceutical product that requires special attention related to handling is cold chain product or Cold Chain Product (CCP), which is a product that is thermosensitive so that special handling is required, namely by controlling the temperature of the product and the product's surroundings to remain within the range of 2-8°C, uninterruptedly from the factory to distribution to patients. As a form of overall control of the CCP distribution process and ensuring the consistency of the CCP shipping and handling system, PT Enseval Putera Megatrading Tbk conducts validation of CCP shipments which are carried out periodically every three years and/or whenever there are significant changes. This validation aims to prove that the process of packaging and shipping cold chain products that are carried out can provide results that meet predetermined specifications. Transport validation is performed for nine hours over three consecutive days. Based on the results of temperature recording by a thermometer data logger and management of temperature data during the validation of CCP shipments, the result is that the temperature of cold chain product shipments is within the range that meets the specifications according to the GDP Guidelines, namely at a temperature of 2-8°C and temperature can be maintained for nine hours of transport process. Thus, the cold chain product transportation process is declared valid. In addition, based on the results of observing the conformity of cold chain product transportation at PBF PT Enseval Putera Megatrading Tbk Jakarta 4 Branch with the GDP Guidelines, the results show that the eight elements related to cold chain product transportation have been implemented according to the guidelines"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan salah satu bentuk pelayanan farmasi klinik yang diberikan oleh apoteker di rumah sakit, dilakukan untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi yang aman, efektif, dan rasional. Kegiatan PTO meliputi pengkajian resep dan pilihan obat, pengkajian dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pada tugas khusus ini, dilakukan PTO secara berkesinambungan dan dievaluasi secara berkala pada pasien ulkus dekubitus grade 3 regio sacral dan syok sepsis dengan riwayat penyakit diabetes melitus tipe II, neglected femur fracture, hipoalbuminemia, dan hipokalemia di ruang rawat inap Teratai RSUP Fatmawati. Selain itu, dilakukan pula analisis kerasionalan terapi, analisis Drug Related Problem (DRP) menggunakan tools PCNE Versi 9.0, dan evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan metode Gyssens. PTO dilakukan selama satu bulan dengan metode retrospektif dan prospektif dengan melihat data sekunder melalui rekam medik, Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT), dan profil penggunaan obat pasien, baik yang tertulis secara fisik maupun elektronik di website RSUP Fatmawati (SIMRS GOS). Hasil PTO menunjukkan bahwa terapi yang diterima oleh pasien sudah sesuai dengan indikasi dan Panduan Praktik Klinik (PPK) yang dikeluarkan oleh RSUP Fatmawati, tetapi ada satu obat yang diberikan dengan tidak adanya indikasi langsung dari obat tersebut. Berdasarkan analisis DRP menggunakan tools PCNE Versi 9.0, terdapat beberapa permasalahan terkait obat dan sebagian dari masalah masih belum terselesaikan saat pasien dirawat. Pada analisis penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan metode Gyssens, didapatkan hasil bahwa penggunaan antibiotik Meropenem termasuk ke dalam golongan IIIA karena pemberian obat terlalu lama.

Therapeutic Drug Monitoring (TDM) is a form of clinical pharmacy service provided by pharmacists in hospitals, to ensure that patients receive an effective, save, and rational therapy. TDM activities include: reviewing prescriptions and drug choices; assessing doses, methods of drug administration, therapeutic response, adverse drug reactions (ROTD); and giving recommendations for changes or alternative therapies. In this article, TDM was carried out continuously and evaluated periodically in patients with grade 3 decubitus ulcers in the sacral region and septic shock with a history of type II diabetes mellitus, neglected femur fracture, hypoalbuminemia, and hypokalaemia in the Teratai room at RSUP Fatmawati. In addition, rational therapy analysis, Drug Related Problem (DRP) analysis using PCNE Version 9.0 tools, and qualitative evaluation of antibiotic prescriptions using the Gyssens method were also carried out. TDM is carried out for one month with retrospective and prospective methods by looking at secondary data through medical records, integrated patient records, and profiles of patient drug use that is both written physically and electronically on the RSUP Fatmawati website (SIMRS GOS). The results of TDM showed that the therapy received by the patient was in accordance with the indications and clinical practice guidelines issued by RSUP Fatmawati, but there was one drug given with no direct indication of the drug. Based on the DRP analysis using PCNE Version 9.0 tools, there were several drug-related problems and some of the problems were still unresolved when the patient was treated. In a qualitative analysis of the use of antibiotics using the Gyssens method, it was found that the use of the antibiotic Meropenem was included in class IIIA because the administration of the drug was too long."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Putri Krisandy
"Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan salah satu bentuk pelayanan farmasi klinik yang diberikan oleh apoteker di rumah sakit, dilakukan untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi yang aman, efektif, dan rasional. Kegiatan PTO meliputi pengkajian resep dan pilihan obat, pengkajian dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pada tugas khusus ini, dilakukan PTO secara berkesinambungan dan dievaluasi secara berkala pada pasien ulkus dekubitus grade 3 regio sacral dan syok sepsis dengan riwayat penyakit diabetes melitus tipe II, neglected femur fracture, hipoalbuminemia, dan hipokalemia di ruang rawat inap Teratai RSUP Fatmawati. Selain itu, dilakukan pula analisis kerasionalan terapi, analisis Drug Related Problem (DRP) menggunakan tools PCNE Versi 9.0, dan evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan metode Gyssens. PTO dilakukan selama satu bulan dengan metode retrospektif dan prospektif dengan melihat data sekunder melalui rekam medik, Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT), dan profil penggunaan obat pasien, baik yang tertulis secara fisik maupun elektronik di website RSUP Fatmawati (SIMRS GOS). Hasil PTO menunjukkan bahwa terapi yang diterima oleh pasien sudah sesuai dengan indikasi dan Panduan Praktik Klinik (PPK) yang dikeluarkan oleh RSUP Fatmawati, tetapi ada satu obat yang diberikan dengan tidak adanya indikasi langsung dari obat tersebut. Berdasarkan analisis DRP menggunakan tools PCNE Versi 9.0, terdapat beberapa permasalahan terkait obat dan sebagian dari masalah masih belum terselesaikan saat pasien dirawat. Pada analisis penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan metode Gyssens, didapatkan hasil bahwa penggunaan antibiotik Meropenem termasuk ke dalam golongan IIIA karena pemberian obat terlalu lama.

Therapeutic Drug Monitoring (TDM) is a form of clinical pharmacy service provided by pharmacists in hospitals, to ensure that patients receive an effective, save, and rational therapy. TDM activities include: reviewing prescriptions and drug choices; assessing doses, methods of drug administration, therapeutic response, adverse drug reactions (ROTD); and giving recommendations for changes or alternative therapies. In this article, TDM was carried out continuously and evaluated periodically in patients with grade 3 decubitus ulcers in the sacral region and septic shock with a history of type II diabetes mellitus, neglected femur fracture, hypoalbuminemia, and hypokalaemia in the Teratai room at RSUP Fatmawati. In addition, rational therapy analysis, Drug Related Problem (DRP) analysis using PCNE Version 9.0 tools, and qualitative evaluation of antibiotic prescriptions using the Gyssens method were also carried out. TDM is carried out for one month with retrospective and prospective methods by looking at secondary data through medical records, integrated patient records, and profiles of patient drug use that is both written physically and electronically on the RSUP Fatmawati website (SIMRS GOS). The results of TDM showed that the therapy received by the patient was in accordance with the indications and clinical practice guidelines issued by RSUP Fatmawati, but there was one drug given with no direct indication of the drug. Based on the DRP analysis using PCNE Version 9.0 tools, there were several drug-related problems and some of the problems were still unresolved when the patient was treated. In a qualitative analysis of the use of antibiotics using the Gyssens method, it was found that the use of the antibiotic Meropenem was included in class IIIA because the administration of the drug was too long."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library