Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Wulandari
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengkaji strategi “soft law” kebijakan kriminal anti-pencucian uang di Indonesia di bawah payung hukum internasional tentang anti-money laundering (AML). Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan tiga teori utama, yaitu teori global criminology (Friedrichs, 2007), teori realitas sosial kejahatan (Quinney, 2004) dan teori bekerjanya hukum (Chambliss dan Seidman, 1971). Berdasarkan identifikasi, eksplorasi dan interpretasi data penelitian ditemukan tiga strategi kebijakan kriminal anti-pencucian uang di Indonesia. Pertama, kebijakan anti-pencucian uang perlu mengharmonisasi standar hukum internasional terkait tindak pidana pencucian uang. Perbedaan sistem hukum tidak semestinya menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mengadopsi atau mengikuti rekomendasi FATF. Adanya satu standar hukum global akan memudahkan Indonesia melakukan penegakan hukum karena TPPU merupakan kejahatan lintas negara dan lintas yurisdiksi yang memerlukan kesamaan visi internasional. Kedua, kebijakan anti-pencucian uang di Indonesia perlu disesuaikan dengan konteks hukum nasional, normal sosial dan budaya yang hidup di masyarakat serta kompleksitas kejahatan pencucian uang itu sendiri. Sehingga ada usulan agar UU PPTPPU yang berlaku saat ini perlu direvisi untuk menjangkau kemutakhiran modus kejahatan pencucian uang. Terakhir, strategi soft law dalam konstruksi kebijakan anti-pencucian uang perlu diimplementasikan dengan mempertajam aturan dan norma-norma turunan yang di dalam peraturan yang dibuat lembaga penegak hukum dan pemegang peran seperti Polri, PPATK, Bank Indonesia dan OJK. Aturan-aturan tersebut bisa langsung mengadopsi ketentuan-ketentuan yang merupakan rekomendasi FATF dan UU PPTPPU. ......This study aims to examine the "soft law" strategy of anti-money laundering criminal policies in Indonesia under the umbrella of international law on anti-money laundering (AML). The research uses a qualitative approach using three main theories, namely the theory of global criminology (Friedrichs, 2007), the theory of the social reality of crime (Quinney, 2004) and the theory of the working of law (Chambliss and Seidman, 1971). Based on the identification, exploration, and interpretation of research data, three anti-money laundering criminal policy strategies in Indonesia were found. First, anti-money laundering policies need to harmonize international legal standards regarding money laundering crimes. Differences in legal systems should not be an obstacle for Indonesia to adopt or follow FATF recommendations. The existence of one global legal standard will make it easier for Indonesia to enforce the law because money laundering is a transnational and cross-jurisdictional crime that requires a common international vision. Second, anti-money laundering policies in Indonesia need to be adapted to the context of national law, social and cultural norms that live in society and the complexity of the crime of money laundering itself. So there is a suggestion that the current UU PPTPPU needs to be revised to reach the latest modes of money laundering crimes. Finally, the soft law strategy in the construction of anti-money laundering policies needs to be implemented by sharpening the derived rules and norms in the regulations made by law enforcement agencies and role holders such as the National Police, PPATK, Bank Indonesia and OJK. These rules can directly adopt the provisions which are the recommendations of the FATF and the PPTPPU Law.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Rini Wulandari
Abstrak :
Di Indonesia terdapat sekitar lima ratusan bahasa daerah yang merupakan lahan yang menarik bagi bidang pemetaan bahasa. Akan tetapi penelitian mengenai pemetaan bahasa di Indonesia belum sebanding dengan jumlah bahasa daerah yang ada. Penelitian pemetaan bahasa di semua daerah di Jawa Barat bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh mengenai situasi kebahasaan bahasa Sunda di Jawa Barat. Saya memilih Kabupaten Purwakarta sebagai objek penelitian karena kabupaten ini masih menarik untuk diteliti dari segi bahasanya. Menurut pengamatan saya, masih ada aspek yang belum digarap oleh dua peneliti sebelumnya, baik penelitian yang dilakukan oleh Nothofer (1977) maupun Suriamiharja (1984). Tujuan penelitian Nothofer sebenarnya bukan pemetaan bahasa, melainkan rekonstruksi bahasa proto pada bahasa Melayu, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa di Provinsi Jawa Barat. Dari Kabupaten Purwakarta Nothofer mengambil 1 titik pengamatan sebagai percontoh bahasa Sunda. Data yang diperoleh Nothofer itu, menurut saya, belum dapat memberikan gambaran situasi kebahasaan di Kabupaten Purwakarta. Selanjutnya Suriamiharja pada dasarnya memetakan variasi bahasa Sunda lemes dan kasar yang ada dalam bahasa Sunda Purwakarta. la belum menentukan berapa dialek yang ada serta letak batas daerah pakai dan daerah sebar bahasa Sunda Purwakarta. Suriamiharja lebih memusatkan penelitiannya pada variasi bahasa. Walaupun penelitian saya dilakukan pada lokasi yang sama dengan Suriamiharja, namun terdapat beberapa perbedaan antara penelitian yang saya lakukan dan penelitian Suriamiharja. Pertama, Suriamiharja menggunakan daftar tanyaan berbahasa Sunda. Saya menggunakan daftar tanyaan nasional yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Dengan demikian data kebahasaan yang saya kumpulkan dapat dibandingkan dengan penelitian di wilayah lainnya di Indonesia. Kedua, konstruksi daftar tanyaan yang dipetakan Suriamiharja terdiri dari 35 kosakata dasar dan 541 kosakata budaya dasar. Konstruksi daftar tanyaan yang saya petakan terdiri dari 200 kosakata dasar dan 93 kosakata budaya dasar. Ketiga, Suriamiharja tampaknya belum sempat membuat berkas isoglos dari peta-petanya, untuk kemudian dihitung berdasarkan dialektometri. Saya membuat berkas isoglos dari setiap peta dan dihimpun dalam berkas isoglos berdasarkan medan makna yang terdiri dari 17 medan makna, lalu dihitung berdasarkan dialektometri. Penghitungan dialektometri dilakukan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan kosakata antartitik pengamatan dengan membandingkan data yang terkumpul. Keempat, saya melakukan penelitian di desa yang berbeda dengan Suriamiharja dan dengan jumlah desa yang berbeda. Desa yang diteliti oleh Suriamiharja berjumlah 22 desa, sedangkan desa yang saya teliti berjumlah 37 desa. Hal ini disebabkan oleh distribusi titik pengamatan yang berbeda serta pembagian administratif Kabupaten Purwakarta yang berbeda antara tahun 1984 dan 1996. Dari penelitian yang saya lakukan ditemukan beberapa kosakata yang untuk sementara diasumsikan sebagai kosakata setempat, seperti namut 'bajak', sabraj 'cabai', kutumiri, 'pelangi', sulampe & 'saputangan'; kosakata bahasa Jawa; kosakata bahasa Arab, kosakata bahasa Belanda, dan kosakata bahasa Indonesia. Di samping itu dikenal bentuk pengulangan dwilingga dan dwipurwa dalam bahasa Sunda Purwakarta serta sejenis korespondensi bunyi antartitik pengamatan. Menurut pengamatan saya, bahasa Sunda Purwakarta tidak mengalami perkembangan memburuk. Untuk berkomunikasi sehari-hari penduduk tetap memakai bahasa Sunda. Bahasa Sunda pun mempunyai wilayah pemakaian yang merata di seluruh kabupaten ini. Bahasa Indonesia bersifat situasional karena hanya digunakan dalam situasi yang resmi (di kantor dan di sekolah), kegiatan kemasyarakatan (penyuluhan pertanian, penyuluhan KB, dan kegiatan PKK), dan pembicaraan yang menyangkut masalah ilmiah atau keilmuan. Walaupun begitu munculnya kosakata bahasa Indonesia dalam kosakata bahasa Sunda tidak dapat dihindari. Kemunculannya dapat terjadi melalui sarana komunikasi atau saluran budaya (radio, televisi, surat kabar) yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Akibatnya bahasa Indonesia tidak lagi dianggap asing oleh penduduk Purwakarta. Kabupaten Purwakarta merupakan wilayah yang terus berkembang dan tidak menutup diri terhadap pengaruh luar. Perkembangan pembangunan daerah yang pesat, seperti munculnya kompleks industri, secara berangsur mengubah komposisi penduduk menjadi beragam. Hal ini mengakibatkan terjadinya interaksi antara penduduk asli dan pendatang. Agar terjalin komunikasi di antara mereka, masing-masing saling menyesuaikan diri dalam penggunaan bahasa. Ada kemungkinan kosakata asli diganti dengan kosakata bahasa Indonesia agar dapat dimengerti oleh pendatang. Berdasarkan hasil penelitian Suriamiharja (1984) dan penelitian yang saya lakukan (1996), bahasa Sunda Purwakarta yang ada dan dipakai selama dua belas tahun terakhir ini masih cenderung baku. Menurut asumsi saya, ada kemungkinan karena letak Kabupaten Purwakarta yang tidak jauh dari pusat penyebaran bahasa Sunda (Bandung). Selain itu ada beberapa kosakata atau berian yang dipakai pada tahun 1984 yang sudah tidak dikenal lagi oleh para informan tahun 1996. Hal ini terjadi karena sebagian berian itu adalah bentukan setempat, seperti oyo k 'panggilan untuk gadis kecil'; cungkir, pancang 'kikir'; b3gE? 'tuli'; kukuk ' anak anjing' ; j E r E rj E s ' pemarah' ; m9 gu? , kD d 7 .I 'tumpul' ; perbedaan pembagian administratif kabupaten, dan perbedaan distribusi titik pengamatan.
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
S10910
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library